"Selamat, kau akan menjadi Kakek!" ucap Zein, benar-benar tersenyum tetapi sebuah senyuman mengejek pada Raka yang sudah muram.Kakek? "Cih." Raka melepas paksa tangannya dari Zein lalu menatap sinis pada keponakannya tersebut. "Kakek kakek begini, aku jauh lebih tampan darimu."Zein menaikkan sebelah alias, berdecis geli lalu secara sengaja duduk di sebelah Zahra, merangkul mesra pundak Zahra sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Raka. "Terlalu percaya diri," ejek Zein. Raka memalingkan wajah, menetap Zein jengah. Dia berjalan mendekati ayahnya, memilih mengabaikan Zein yang sangat menyebalkan. "Ahahaha … kalian berdua sangat tampan." Brian tertawa puas, setelah itu menepuk pelan pundak putranya. "Tetapi jika Zahra melahirkan anak laki-laki, maka ketampanan kalian berdua tidak akan ada artinya." "Aku setuju dengan ucapan Kakek," ucap Zahra, terkekeh geli menanggapi perkataan Brian. "Siapa bilang akan ada anak laki-laki, aku ingin anak perempuan." Zein tak mau kalah, terse
Melihat kekonyolan Zein, Lucas meneguk saliva kasar. Putrinya bisa mati keracunan bila memakan nasi goreng buatan Zein. Di sisi lain, Alana meringis horor, syok melihat apa yang suami nyonya-nya buat. Sedangkan Raka, dia sudah menepuk jidat, sama syok melihat cara Zein memasak. Namun, apa yang bisa diharapkan dari seorang Zein? Masuk dalam dapur ini saja mungkin baru pertama kalinya. Sok-sokan ingin memasak nasi goreng untuk istrinya. "Zahra, kamu ingin nasi goreng bukan? Aku saja yang membuatkannya. Masakan Zein bisa membahayakanmu dan janinmu." Raka berkata, lalu tanpa mendapat persetujuan dari Zahra, dia segera memasuki dapur. Zahra menghela napas, kembali duduk di kursi mini bar bersama sang ayah dan Alana. "Kenapa kamu tidak melarang Zein memasak, Nak? Lihatlah, dia menghancurkan dapurmu." Zahra menoleh pada ayahnya kemudian tersenyum tipis. "Biarkan saja, Ayah. Kemauan Zein tidak pernah didengar oleh orang tuanya, selama ini dia hidup untuk memenuhi kemauan orangtuanya. Dan
"Tidak ada rasa," jawab Lucas, membuat senyuman Zein menyurut. Dia buru-buru mencoba dan benar saja, nasi goreng buatannya tak berasa. "Ck." Zein berdecak kesal. Sepertinya dia lupa memasukkan garam. Hell! Padahal dia sudah sangat bangga dengan nasi goreng buatannya dihadapan istrinya. Ternyata nasi gorengnya gagal. "Tidak apa-apa, Zein." Zahra tiba-tiba meraih kedua piring nasi goreng lalu mencampurnya. "Nasi goreng buatan Paman terlalu asin dan nasi goreng buatanmu tidak berasa. Jika digabung kelebihan dan kekurangan antara keduanya akan saling melengkapi. Dan …-" Setelah mencampur nasi goreng yang masih panas tersebut, Zahra mencicipi pelan-pelan. Senyuman di bibirnya muncul, menatap suaminya dengan manik cerah. "Ini enak," lanjut Zahra, menyendok nasi goreng lalu menyuapi suaminya–supaya Zein mencoba rasanya. Zein setuju, rasanya lumayan. "Aku akan belajar lagi supaya bisa membuatkan nasi goreng untukmu," ucap Zein, kini sudah duduk di sebelah Zahra–menonton istrinya yang seda
"Papa sebentar lagi pulang. Nail main dengan Mama dulu yah," ucap Zahra, saat ini sedang berada di ruang keluarga. Setelah dia memiliki anak, Zahra tak seaktif dahulu lagi. Ada Raka yang membantunya, serta Alana yang selalu mendampingi Zahra. Sudah lima bulan berlalu setelah dia melahirkan, Zahra sangat menikmati momen menjadi seorang ibu. Meskipun sibuk dengan pekerjaannya, Zein tak pernah melupakan tanggung jawab sebagai suami maupun ayah. Baby Nail tiba-tiba menangis, Zahra langsung membawa Nail dalam gendongan–menimang anaknya sembari berjalan ke arah tembok kaca transparan, menuju luar. Di sana sedang hujan, dan bayinya sangat suka melihat hujan. "Nail, coba lihat keluar, Sayang. Sedang turun hujan. Nail suka hujan kan?" ucap Zahra, terus menimang anaknya yang kini sudah berhenti menangis. Mana Nail membulat, pupil membesar–melihat ke arah luar dengan pandangan antusias. Bayi tersebut memang sangat menyukai hujan. Nail berhenti menangis dan kini bercoleteh dengan bahasa bayi,
"Hari ini kau ke kantor, Sweetheart?" tanya Zein, saat ini sedang sarapan dengan Zahra. Zahra menggelengkan kepala. "Aku ingin bermain dengan Nail, seharian ini, Zein," jawab Zahra, "besok aku harus bekerja lebih lama untuk peluncuran produk baru. Aku mungkin tidak bisa bermain lagi dengan Nail, jadi akan aku puaskan seharian ini." "Hum." Zein memangut pelan. "Jangan lupa istirahat dan jangan terlalu memaksakan diri," lanjut Zein. Setelah itu tak ada lagi percakapan antara keduanya. Entah kenapa Zein merasa hampa dan Zahra sibuk dengan pemikirannya. Hingga akhirnya Zein pamit ke kantor dan Zahra melanjutkan tugas, memandikan putranya lalu memberi asupan. Setelah itu, dia dan Nail bermain. Sekitar jam setengah sebelas, Alana datang untuk membahas pekerjaan. Ada beberapa desain tas yang akan mereka luncurkan bulan depan, Zahra harus melihat desain tersebut. Sembari menjaga Nail–dibantu oleh pengasuh dan Alana, Zahra memeriksa desain tersebut. Brak'Tiba-tiba saja terdengar keribu
Zein memasuki lingkungan rumah dan begitu terkejut saat menemukan semua orang sudah tergeletak penuh darah di lantai. Tubuh Zein seketika lemes, merasa sudah tak ada harapan lagi mengenai istri dan putranya. Dia terlambat! Dia bodoh dan ceroboh karena memilih pekerjaan dibandingkan menjaga anak istrinya ketika dia sudah tahu jika Nolan sudah mulai melancarkan rencananya. Lucas yang baru santai langsung bertekuk lutut di tengah rumah Zein. Darah para bodyguard yang tewas menggenangi tempat tersebut. Dalam keadaan seperti ini apakah putrinya masih selamat? "A-Aureliaku," cicit Lucas, menangis tanpa suara.Sedangkan Zein, dia berupaya mencari-cari istrinya di antara mayat. Tak bisa dicegat, tubuhnya gemetar dan matanya mengeluarkan bening kristal. Hatinya tak tenang dan bibirnya pucat. "Za-Zahra, kau dimana? Aku sudah datang melindungimu. Keluar!" teriak Zein, mencari ke seluruh penjuru ruangan. Marcus dan Raka tak tinggal diam. Raka ke atas dan Marcus ke halaman samping. Hingga pa
Lima tahun kemudian. "Uhuk uhuk uhuk." Seorang perempuan terbatuk-batuk saat memasuki ruangan Zein, asap rokok mengepul dan aromanya cukup menyengat. Zein melirik tak suka pada perempuan tersebut kemudian meletakkan rokok di asbak. "Kak Zein, kenapa kamu masih merokok? Kamu tahu kan merokok itu sangat berbahaya dan … kamu punya Nail loh di rumah ini. Jika dia menghirup asap rokok darimu, kesehatannya akan terganggu, Kak." Deana berkata lembut tetapi nadanya mengomel. Dia adalah sepupu Zein yang baru dua tahun yang lalu kembali dari luar negeri–setelah menyelesaikan pendidikannya. Selama dua tahun ini, Deana sering ke rumah Zein untuk menemani Nail. Selain itu, Deana juga menyimpan rasa pada kakak sepupunya tersebut. Siapa yang tak jatuh cinta pada Zein yang tanpa dan punya segalanya? Deana hanyalah wanita normal, mudah terbius oleh ketampanan sang kakak. Terlebih saat ini Zein menyandang status duda, di mana Zein semakin hot dan mempesona. Deana berusia dua puluh lima tahun, seda
"Kamu harus membujuk Papa kamu supaya menikahiku. Jika tidak--" Deana merampas foto yang Nail peluk, "Aku akan membakar foto mama kamu!" gertaknya dengan membentak di akhir kalimat. Anak tersebut tak merespon apa-apa, hanya menunjukkan raut muka datar tetapi dengan manik mata berkaca-kaca. "Lagian ngapain sih kamu kemana-mana membawa foto Mamamu. Hei!" Deana mendorong kepala Nail cukup kasar, "Mama kamu itu sudah mati. Dia tidak akan kembali meskipun dua puluh empat jam kamu memohon pada Tuhan. Mama mati, Bisu!" sarkasnya, menjewer kuat lengan Nail kemudian segera pulang. Sebelumnya, dia melempar foto Zahra ke lantai secara kasar. Sedangkan Nail, dia buru-buru mengambil foto mamanya yang telah pecah–menangis tanpa suara saat melihat foto mamanya rusak. Nail tidak bisu, tetapi dia pernah berbicara lagi karena keluarga papanya sering mengolok-oloknya. Sepupunya yang seumuran bahkan jauh lebih tua darinya, sering menyebutnya tak punya ibu dan anak dari seorang monster pembunuh. Nail t
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s
"Agatha putriku! Jauhkan tangan kotormu dari rambut putriku," marah Almira, menepis kasar tangan Seline dari atas kepala Agatha. Seline dan Almira saling bertatapan, sepertinya akan saling memakan satu sama lain. Penuh kemaraha! Hingga tiba-tiba saja, Alka datang. "Sya, Agatha, ayo, kita makan siang bersama," ajak Alka, tersenyum manis pada kedua sahabatnya. Akan tetapi, senyumannya seketika pudar saat menyadari aliran ketegangan yang ada di sana. "Calon Mama dan Mama Agatha. Mereka berebut Agatha," bisik Syakila pada Alka, ketika Paci-nya tersebut mendekat ke arahnya. "Kukira Agatha hanya diperebutkan Kakak dan pria luaran sana. Ternyata … ck ck ck," balas Alka, berbisik pada Syakila. Sedangkan Agatha, perempuan itu tiba-tiba sudah mengenakan kacamata hitam. Dia tersenyum lebar, cengengesan lebih tepatnya. "Wah … masih calon bintang saja sudah diperebutkan. Superstar Agatha memang keren. Ahahaha …." Agatha terkekeh geli sendiri, mulai berpose seolah ada kamera yang mengambil g
"Hais, aku capek sekali!" keluh Agatha, berjalan bersebelahan dengan Sandi. Rapat sudah selesai dan Agatha merasa sangat kelelahan. Untung saja sebelum rapat, suaminya memaksanya untuk makan. Jika tidak, Agatha rasa saat ini dia sudah tak punya tenaga lagi. Sekali lagi, untung suaminya pengertian. "Kamu baik-baik saja?" tanya Sandi, menatap wajah Agatha yang cukup pucat. "Hais." Agatha menatap kesal pada Sandi, "masih bertanya? Kamu lihat wajahku, Hah? Lihat?" Agatha berjinjit lalu mencengkeram kesal kerah kemeja Sandi. "I-iya, aku melihat." Sandi mengangkat kedua tangan ke atas, pertanda dia menyerah dan tak berani melawan. "Apa-apaan kalian ini?" Tiba-tiba saja Raka muncul, langsung menarik lengan Agatha supaya menjauh dari Sandi. "Agatha, jangan dekat-dekat dengan pria lain. Kamu sudah punya Nail," lanjut Raka, menegur Agatha–menatap dingin cucu menantunya tersebut. Agatha berkacak pinggang. "Siapa yang dekat-dekat, Kakek? Dia ini bertanya apakah aku baik-baik saja atau