Sejak pertemuan dengan ibunya kemarin … rinai gerimis berubah menjadi hujan. Suram dan dinginnya hawa di luar dibawa oleh embusan angin yang menyelinap dan membuat Tania yang duduk mengelung lututnya di sudut ruangan menggigil. “Saudari Tania, mari ikut untuk pemeriksaan.” Ucapan salah seorang penjaga tahanan membuatnya mengangkat wajah. Ia perlahan bangun dengan langkah yang terasa gontai. Kedua pergelangan tangannya berat sebab terbelenggu borgol, matanya buram oleh air mata pada netranya yang sembab sebab tak hentinya ia menangisi sang Ibu sejak semalam. Atau …. Tangisnya ini juga karena mengingat Laura, Nonanya yang ia sakiti hingga hampir mati tetapi sama sekali tak membalasnya. Di dalam sebuah ruangan setelah ia berpindah … ia dihadapkan dengan seorang pria yang memakai kemeja putih, yang tak hanya sekali ia temui karena pria itu adalah penyidik yang menangani kasusnya sejak ia dibawa masuk. “Jika saya mengakui siapa yang menyuruh saya untuk memberikan obat anestesi hewan
Laura tak ingin menunda untuk menemui Tania besok, atau bahkan mungkin lusa.Dengan diantar oleh Han, bersama dengan Jake mereka pergi ke tempat di mana Tania ditahan dan ingin menemuinya.Di sana, pengacara Jake yang bernama Roy itu sudah menunggu.“Saya kira Pak Jake dan Nona Laura tidak ingin datang hari ini,” kata pria yang mengenakan kemeja putih itu, menyambut kedatangan Laura serta Jake yang baru saja keluar dari mobil.“Laura bilang tidak ingin menundanya, Roy,” jawab Jake lebih dulu.Di samping kiri Jake, langkah Laura terasa gontai. Dadanya berdebar karena ia mendapati dirinya begitu dekat dengan kebenaran.“Tapi apakah benar dia sudah mengakui siapa yang menyuruhnya?” tanya Jake saat mereka berbelok ke tikungan.“Kita akan mendengarnya sebentar lagi, Pak Jake,” jawab Roy.Jake mengangguk, begitu juga dengan Laura.Langkah demi langkah, mereka semakin dekat dengan ruang kunjung tahanan.Dinginnya angin dari timur membawa sebuah perasaan yang mengganjal di benak Laura. Sesuat
Deva—salah seorang staf Laura—mengatakan bahwa Farida berpamitan untuk pergi ke luar setelah wanita tua itu selesai meletakkan bunga yang ia petik dari taman bunga di sebelah timur butik. Tetapi tak berselang lama, seseorang berlarian memasuki butik dan mengatakan bahwa seorang wanita yang tadi datang dari arah sini jatuh pingsan di jalur pejalan kaki. Deva yang ketakutan karena Farida terlihat sangat pucat dan tubuhnya terasa dingin kemudian membawanya ke rumah sakit. Tiba di instalasi gawat darurat dan brankar tempat ia berbaring didorong ke ruang penanganan, Deva yang menunggunya dalam kecemasan mendapat kabar dari dokter bahwa wanita itu telah mengembuskan napas terakhirnya. Laura tak bisa menahan air mata saat ia tiba di rumah sakit setelah pergi dari ruang kunjung tahanan dan meninggalkan Tania tergugu tangis hingga tubuhnya limbung. Langkahnya terasa gamang saat ia berhenti di depan ruang jenazah. Deva yang menunggunya di luar menunjuk di mana Farida berada. Gema langkahnya
Pintu rumah tempat di mana orang tuanya Fidel tinggal diketuk dari luar oleh seseorang.Saat seorang wanita paruh baya membuka pintu berdaun dua itu, ia dibuat cukup terkejut. "Selamat siang," sapa seseorang yang ada di luar itu."Selamat siang.""Apakah benar ini rumah Saudari Fidella Magali?""B-benar, t-tapi—""Ada apa, Bu Lani?" potong sebuah suara yang datang dari wanita paruh baya itu. Johan—ayahnya Fidel—sama terkejutnya dengan wanita paruh baya pelayan di rumahnya itu sewaktu melihat beberapa petugas polisi yang berada di depan pintu rumahnya."Bapak ada perlu dengan saya?" tanya Johan pada polisi tersebut, kebingungan. Sementara wanita yang ia panggil 'Bu Lani' itu pergi dari sana."Kami mencari anak Anda, benar namanya Fidella Magali?" tanya pria itu balik."Benar, tapi ada apa?""Dia dicurigai terlibat dalam tindak pidana pembunuhan berencana, penyalahgunaan obat, penipuan dan penghancuran barang bukti, Pak."Johan terpancang di tempat ia berdiri, ia satu langkah mundur, m
Elsa tertegun selama lebih dari enam puluh detik. Dadanya berdebar mendengar penolakan itu. Kehadirannya tidak diterima di keluarganya Zafran. Melihat perubahan wajah Elsa yang sangat kentara dari yang semula tersenyum serta mata cantiknya yang berbinar, Zafran dengan cepat menegur ibunya. "Mam?!" panggil Zafran pada sang ibu, kedua bahunya jatuh mendengar ringannya kalimat Ema yang menyebut bahwa beliau tak suka dengan Elsa secara langsung dan terang-terangan. Sedikit heran juga, kenapa ibunya berkata begitu padahal setahunya Ema cukup suka dengan— "Tante tidak suka denganmu yang tidak cepat jadi menantunya Tante," lanjut Ema, sebelum Zafran berceloteh panjang lebar. "Padahal Tante sudah mau dipanggil 'Mama' sama anak perempuan juga." Ketegangan yang tadinya sempat singgah di ruang makan mendadak sirna. Karena rupanya kalimat Ema itu seperti sebuah jebakan yang seolah menolak Elsa padahal beliau ingin secara halus menyindir Zafran. Elsa berdeham, ia menyentuh sekilas pipinya y
"Hmm? Kamu tidak mau melakukannya?" Jake semakin mendekatkan wajahnya sehingga Laura dengan cepat menahan dada bidang miliknya dengan kedua tangan."Jake, tunggu—" ucapnya."Apa?""Sepertinya kamu belum mematikan laptopmu," Laura sekilas mengedikkan dagunya pada meja di mana Jake sibuk sebelumnya. Sangat terlihat dengan jelas bahwa di sana laptop miliknya masih menyala."Laptop bisa mati sendiri nanti," kata Jake tanpa beban. "Tapi aku bisa mati sekarang kalau kamu tidak menciumku."Laura mendengus. Ia perlahan memindah tangannya dari yang semula menahan Jake untuk menarik kacamata baca yang sedang dikenakannya.Setelah Laura meletakkannya di atas meja yang tak jauh dari ranjang, Jake ia jumpai tersenyum dan mengisyaratkan bahwa ia sedang menunggu dengan sabar."Lalu apa setelah ini?" tanya Laura, menyentuh dagu Jake dengan jari telunjuknya."Kamu sudah tahu, bukan? Kenapa harus bertanya?"Jake lebih dulu memejamkan matanya saat Laura memberi kecupan yang berlangsung selama beberapa
Penghujung November telah tiba. Menepati janji yang pernah mereka sepakati, Laura pergi bersama dengan Jake ke Pantai Kenangan. Tempat yang sudah ke tiga kali ini mereka datangi dalam momen yang berbeda-beda. Pertama saat titik terendah kehidupan Laura, lalu saat mereka mengetahui bahwa takdir baik masih berpihak pada mereka, dan sore hari ini saat mereka akan menjemput momen bahagia lainnya. Laura bergandengan tangan bersama dengan Jake setelah keluar dari mobil, kaki mereka bersinggungan secara langsung dengan pasir pantai yang berwarna putih saat mereka menapaki setiap jengkal tempat ini yang tak berubah sama sekali. “Kita di sini lagi,” kata Jake seraya mengayunkan tangan Laura ke depan dan ke belakang, tak bisa menahan senyumnya. Bahagia sebab tahun ini ia menggenapi usianya dengan hati yang jujur, pada perasaannya yang tak perlu ia pungkiri atau sembunyikan seperti sebelumnya. “Apakah kamu akan menjadikan Pantai Kenangan sebagai saksi momen yang baik lagi hari ini, Jake?” t
“Selamat ulang tahun,” kata Laura di tengah benak Jake yang sedang tak tahu harus mengatakan apa. “Aku harap itu akan menjadi kado pertamaku yang sangat berkesan untukmu.” “Laura—“ Jake berhenti bicara, ia menarik Laura dalam dekapannya. Dagunya yang tegas jatuh pada bahu Laura yang seolah menjadi satu-satunya tempat ternyaman baginya untuk bersandar. Laura membalas pelukannya, membiarkan Jake menata hatinya, atau keterkejutan yang lebih hebat daripada gelombang kala laut mulai pasang. Saat Jake menarik wajahnya, Laura mengusap air mata yang ada di sudut bibirnya. Manis sekali rasanya menjumpai pria yang berkepribadian keras dan tak terkalahkan sedang runtuh oleh hadiah yang secara tak langsung mengatakan bahwa ia sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. “Ini hadiah yang paling indah yang pernah aku terima,” kata Jake setelah ia menghela dalam napasnya dan maniknya yang mengunci pandang pada test pack yang ada di tangan kanannya. “Kamu siap?” tanya Laura, turut memandang