Elsa tertegun selama lebih dari enam puluh detik. Dadanya berdebar mendengar penolakan itu. Kehadirannya tidak diterima di keluarganya Zafran. Melihat perubahan wajah Elsa yang sangat kentara dari yang semula tersenyum serta mata cantiknya yang berbinar, Zafran dengan cepat menegur ibunya. "Mam?!" panggil Zafran pada sang ibu, kedua bahunya jatuh mendengar ringannya kalimat Ema yang menyebut bahwa beliau tak suka dengan Elsa secara langsung dan terang-terangan. Sedikit heran juga, kenapa ibunya berkata begitu padahal setahunya Ema cukup suka dengan— "Tante tidak suka denganmu yang tidak cepat jadi menantunya Tante," lanjut Ema, sebelum Zafran berceloteh panjang lebar. "Padahal Tante sudah mau dipanggil 'Mama' sama anak perempuan juga." Ketegangan yang tadinya sempat singgah di ruang makan mendadak sirna. Karena rupanya kalimat Ema itu seperti sebuah jebakan yang seolah menolak Elsa padahal beliau ingin secara halus menyindir Zafran. Elsa berdeham, ia menyentuh sekilas pipinya y
"Hmm? Kamu tidak mau melakukannya?" Jake semakin mendekatkan wajahnya sehingga Laura dengan cepat menahan dada bidang miliknya dengan kedua tangan."Jake, tunggu—" ucapnya."Apa?""Sepertinya kamu belum mematikan laptopmu," Laura sekilas mengedikkan dagunya pada meja di mana Jake sibuk sebelumnya. Sangat terlihat dengan jelas bahwa di sana laptop miliknya masih menyala."Laptop bisa mati sendiri nanti," kata Jake tanpa beban. "Tapi aku bisa mati sekarang kalau kamu tidak menciumku."Laura mendengus. Ia perlahan memindah tangannya dari yang semula menahan Jake untuk menarik kacamata baca yang sedang dikenakannya.Setelah Laura meletakkannya di atas meja yang tak jauh dari ranjang, Jake ia jumpai tersenyum dan mengisyaratkan bahwa ia sedang menunggu dengan sabar."Lalu apa setelah ini?" tanya Laura, menyentuh dagu Jake dengan jari telunjuknya."Kamu sudah tahu, bukan? Kenapa harus bertanya?"Jake lebih dulu memejamkan matanya saat Laura memberi kecupan yang berlangsung selama beberapa
Penghujung November telah tiba. Menepati janji yang pernah mereka sepakati, Laura pergi bersama dengan Jake ke Pantai Kenangan. Tempat yang sudah ke tiga kali ini mereka datangi dalam momen yang berbeda-beda. Pertama saat titik terendah kehidupan Laura, lalu saat mereka mengetahui bahwa takdir baik masih berpihak pada mereka, dan sore hari ini saat mereka akan menjemput momen bahagia lainnya. Laura bergandengan tangan bersama dengan Jake setelah keluar dari mobil, kaki mereka bersinggungan secara langsung dengan pasir pantai yang berwarna putih saat mereka menapaki setiap jengkal tempat ini yang tak berubah sama sekali. “Kita di sini lagi,” kata Jake seraya mengayunkan tangan Laura ke depan dan ke belakang, tak bisa menahan senyumnya. Bahagia sebab tahun ini ia menggenapi usianya dengan hati yang jujur, pada perasaannya yang tak perlu ia pungkiri atau sembunyikan seperti sebelumnya. “Apakah kamu akan menjadikan Pantai Kenangan sebagai saksi momen yang baik lagi hari ini, Jake?” t
“Selamat ulang tahun,” kata Laura di tengah benak Jake yang sedang tak tahu harus mengatakan apa. “Aku harap itu akan menjadi kado pertamaku yang sangat berkesan untukmu.” “Laura—“ Jake berhenti bicara, ia menarik Laura dalam dekapannya. Dagunya yang tegas jatuh pada bahu Laura yang seolah menjadi satu-satunya tempat ternyaman baginya untuk bersandar. Laura membalas pelukannya, membiarkan Jake menata hatinya, atau keterkejutan yang lebih hebat daripada gelombang kala laut mulai pasang. Saat Jake menarik wajahnya, Laura mengusap air mata yang ada di sudut bibirnya. Manis sekali rasanya menjumpai pria yang berkepribadian keras dan tak terkalahkan sedang runtuh oleh hadiah yang secara tak langsung mengatakan bahwa ia sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. “Ini hadiah yang paling indah yang pernah aku terima,” kata Jake setelah ia menghela dalam napasnya dan maniknya yang mengunci pandang pada test pack yang ada di tangan kanannya. “Kamu siap?” tanya Laura, turut memandang
Yoga yang dikatakan oleh Laura tak jadi dilaksanakan. Sebab pada pagi hari setelah mereka kembali ke kota, yang terjadi adalah dirinya yang mulai menunjukkan tanda kehamilan yang normalnya akan diterima oleh ibu hamil. Ini sudah lima menit sejak Jake menyusul Laura ke kamar mandi dengan kondisi istrinya yang muntah dan berjongkok lemas di dekat closet. “Tidak sanggup berdiri?” tanya Jake, menyentuh puncak kepala Laura dan mengintip wajahnya yang tertunduk. “Bisa, aku akan—“ Laura berhenti bicara saat aksi Jake bertindak lebih cepat daripada jawabannya. Pria itu mengangkat Laura pergi dari kamar mandi dan membuatnya duduk di tepi ranjang. “Jangan pergi ke butik,” kata Jake, berlutut di depan Laura menggunakan sebelah kakinya, menyeka sudut bibirnya sebelum memberi kecupan di sana. “Tunda dulu soal merayakan ulang tahunku, aku akan meminta Bu Rani untuk memindahkan barang ke kamar bawah, jadi mulai sekarang kamu tidak perlu naik turun tangga,” lanjutnya. “Panggil Bu Rani kalau kamu
Laura tidak akan lupa bagaimana Fidel menyebut bahwa Laura lah yang gagal menjadi seorang istri, ia gagal membuat Jake senang padahal selama dengan Fidel dulu Jake adalah pria yang paling bahagia.Ia katakan itu di hadapan laura yang telah menyerah mempertahankan pernikahannya, dengan seulas senyum yang tampak seperti sebuah dukungan tetapi Laura sangat terlambat menyadari bahwa itu adalah kepalsuan yang sangat besar.Gadis itu menyembunyikan wajah aslinya secara sempurna.“Laura,” panggil Jake, mengguncang lirih tangan Laura agar ia terjaga dari lamunannya. “Kamu tidak sendirian sekarang,” katanya. “Dan wanita bernama Fidel itu sudah dalam pengejaran untuk menebus dosa-dosa yang dia lakukan kepadamu. Maaf untuk sudah membuatmu mengingat sakitnya waktu yang kamu lewati di belakang sana,” tutur Jake panjang, iris kelamnya mengunci manik Laura yang menghangat.“Tidak apa-apa. Setidaknya kamu tahu sekarang, Jake.”Laura memejamkan matanya saat Jake mendekatkan wajahnya. Hidung mereka leb
Meski yang dikatakan oleh Dokter Karel soal kondisi Laura yang akan segera membaik dalam beberapa hari ke depan ... tetapi ia masih belum bisa pergi ke butik. Kepalanya yang sering pusing ditambah dengan mualnya yang kadang parah, ia lebih memilih untuk menaati sarannya agar sebaiknya ia berada di rumah saja. Seharian ini, ia hanya berbaring di atas ranjang. Sesekali berjalan dalam jarak dekat untuk melihat kegiatan yang berlangsung di luar lewat jendela kamar yang ada di lantai satu. Atau berkirim pesan dengan stafnya yang ada di butik dan memastikan tempat itu dalam situasi yang kondusif. “Aku lapar ...” gumam Laura seorang diri. Sudah cukup larut saat Laura membuka matanya dan memeriksa ponselnya yang menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Dengan keadaan didekap oleh Jake, Laura membebaskan diri dari kedua lengannya yang kekar. Ia tahu waktunya sedikit kurang tepat. Tapi sekarang ia ingin makan sesuatu yang manis seperti .... “Jake,” panggil Laura lirih, bangun dari dudu
Tangan seseorang tengah gemetar hebat tatkala ia menjumpai dua garis yang tampak sangat jelas ada test pack yang sedang ia bawa.Tubuhnya jatuh merosot ke lantai kamar mandi yang dingin pagi ini. Setitik air mata menggantung di kedua sudutnya. Bibirnya terbuka tapi ia tak bisa mengatakan apapun. Lidahnya membeku.‘T-t-tidak mungkin ....’ batinnya seraya meremas test pack tersebut kuat-kuat.Ia menunduk, bayangan wajahnya yang suram terpantul di lantai yang mendengar jeritan tanpa suara yang memenuhi benaknya.“Kenapa aku hamil lagi?” tanyanya dengan napas yang tersengal. “Aku tidak mau anakku seperti Christopher lagi!” ia menghentakkan kakinya yang tertekuk.Fidel.Wanita yang dirundung oleh ketakutan atas kondisinya yang tengah hamil itu adalah Fidel.Setelah beberapa hari merasakan gejala aneh pada perutnya yang terasa tak nyaman dan sering kali mual, ia mengecek kalender dan merasa gugup.Tubuhnya menggigil membayangkan kemungkinan dari hubungan siang dan malamnya bersama dengan E