"Tentu, Dok. Terima kasih atas sarannya. Saya pasti akan menjaga istri saya sebaik mungkin.” Dr. Sasmitha tersenyum puas. Sementara Radha, di sisi lain, hanya bisa memandang Saga dengan bingung. Hingga setelah keluar dari ruang pemeriksaan, ia langsung menoleh ke arah pria itu. “Kenapa tadi Kak Saga bilang seperti itu? Dr. Sasmitha mungkin akan salah paham dengan kita berdua,” ujarnya setengah berbisik. Saga terkekeh pelan. “Aku hanya ingin mempercepat proses pemeriksaannya saja. Kalau nanti dia tahu kau datang ke sini bukan bersama suamimu tapi dengan pria lain, malah akan jadi panjang urusannya. Meskipun sebenarnya kau dan Krisna akan segera bercerai. Jadi aku rasa itu tidak masalah, 'kan?” Radha mendesah panjang. “Tapi tetap saja Kak, tolong lain kali jangan lakukan itu lagi. Aku tidak mau ada orang lain yang salah paham dengan hubungan kita." “Baiklah, tidak akan lagi,” jawab Saga sambil tersenyum kecil. "Maaf, ya?" Radha menghela napas panjang dan mengangguk pelan. “Kak, b
Saga langsung bangkit dari kursinya, langkahnya cepat dan mantap menuju arah di mana ia melihat kilatan kamera. Radha dan Clara sempat terdiam, saling pandang dengan kebingungan. “Kak Saga!” panggil Radha, suaranya tertahan. "Tunggu sebentar," jawab Saga singkat. "Aku harus memastikan sesuatu." Sebelum Radha bisa menahannya, Saga sudah berjalan cepat menerobos kerumunan restoran. Clara hanya melirik sekilas, tampak tidak terlalu peduli. Ia kembali menyibukkan diri dengan gelas anggurnya, sementara Radha menatap punggung Saga yang semakin menjauh. Ia melangkah cepat ke antara meja-meja, melintasi pelayan yang membawa nampan, dan menggeser kursi-kursi yang menghalangi jalannya. Matanya menyapu seluruh area restoran, mencari jejak seseorang dengan kamera. Saga akhirnya melihat sesosok pria berjaket hitam dengan topi abu-abu yang tampak terburu-buru menuju pintu keluar. Tanpa pikir panjang, Saga mempercepat langkahnya dan menyusul pria tersebut. Tangan Saga hampir menyentuh bahu pria
Clara menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit menatap Saga dengan tajam. "Tidak hidup di masa lalu, huh? Kau pikir aku bisa melupakan semuanya begitu saja, Saga?" Clara menyilangkan tangan di depan dadanya, nada suaranya naik satu tingkat. Saga mengaduk pelan kopinya yang mulai dingin. "Bukan soal mudah atau tidak, Clara. Tapi kita harus memilih apa yang ingin kita jalani. Dan aku telah memilih untuk melangkah ke depan." Clara tertawa pendek, sarkastik. "Oh, tentu. Kau memilih melangkah ke depan dengan dia, bukan? Wanita itu tampaknya tidak punya latar belakang seperti kita, tidak punya kedudukan yang setara, dan—" "Clara." Saga memotong dengan suara tegas, menatapnya langsung. "Jangan mulai membandingkan dirimu dengan Radha." Clara meletakkan cangkir tehnya dengan sedikit keras. "Kenapa? Karena kau tahu aku benar? Apa yang dia punya yang aku tidak miliki, Saga?" "Entahlah, mungkin dia bukan tipe wanita yang suka membuat keputusan secara sepihak lalu pergi tanpa penj
Clara memandang surat di tangannya dengan ekspresi penuh keterkejutan. Tulisan "Hasil Pemeriksaan Kehamilan: Positif" terus berputar dalam pikirannya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Matanya beralih ke Radha, yang kini berdiri dengan wajah tenang namun terlihat sedikit canggung. "Apa ini?" tanya Clara dengan suara tertahan, sambil menunjuk surat itu. "Kau hamil?" Radha mengangguk, senyumnya tipis namun tetap tenang. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil surat itu dari Clara. "Ya, aku hamil," jawabnya singkat, lalu memasukkan surat itu ke dalam tasnya dengan hati-hati. Kata-kata itu menghantam Clara seperti badai. Dadanya berdebar, dan pikirannya berputar liar. Semua potongan puzzle seolah mulai menyatu dalam pikirannya. Radha hamil, dan itu menjelaskan semuanya. Perubahan sikap Saga, jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka, dan kini—jawabannya menjadi jelas. "Tentu saja," ujar Clara dengan nada sarkastik, tangannya terlipat di depan dada. "Jadi ini alasan
"Pergi dari sini sekarang, atau kau akan melihat versi terburukku yang belum pernah kau lihat." Clara tergagap, napasnya memburu. Tatapan dingin Saga terasa menusuk hingga ke tulangnya, membuat kakinya goyah. Ia menelan saliva dengan susah payah, namun tenggorokannya terasa kering seolah ada batu besar yang mengganjal. “S-Saga… aku… aku hanya—” "Pergi." Suara Saga terdengar lebih rendah, hampir seperti desisan, namun sarat dengan ancaman yang membuat nyali Clara ciut. Clara mundur selangkah, tangannya bergetar di sisi tubuhnya. Ia menatap Radha dengan kebencian yang belum reda, namun ketakutan pada Saga lebih kuat. Tanpa berkata lagi, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan restoran dengan langkah tergesa. Saga lalu beralih menatap Radha yang masih berdiri di tempatnya, wajahnya kaku, dan tangan gemetar di sisi tubuhnya. Suara pengunjung di restoran perlahan menghilang, tergantikan oleh denyut jantung yang terdengar jelas di telinga Saga. Ia menarik napas dalam-dalam, menco
Radha membuka pintu vila dengan langkah cepat, nyaris terburu-buru. Napasnya terdengar berat, dan ekspresi wajahnya menunjukkan kemarahan yang tertahan. Ia tidak memedulikan Nakula yang sedang duduk di sofa, menonton televisi dengan santai. Tanpa sepatah kata, Radha langsung menuju kamar, membuka lemari, dan mulai mengemasi barang-barangnya. Nakula mengernyit bingung melihat tingkah kakaknya. Ia segera bangkit dan berjalan menyusul ke kamar. “Kak, ada apa?” tanyanya, nada suaranya penuh kebingungan. Namun, Radha tidak menjawab. Ia membuka lemari pakaian dengan kasar, terus menarik pakaian dari gantungan, melipatnya sekadarnya, dan memasukkannya ke dalam tas besar di atas tempat tidur. Tangannya bergerak cepat, seperti dikejar waktu, sementara wajahnya menyiratkan kegelisahan. “Kak Radha!” Nakula kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih tegas. “Kenapa tiba-tiba mengemasi semua pakaianmu, Kak? Apa yang terjadi?” Radha berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu menjawab dengan
“Perkenalkan, nama saya Joshua.” Clara berdiri di ambang pintu, mengamati pria jangkung di depannya yang mengenakan jas gelap rapi. Wajah pria itu tidak terlalu asing, tetapi senyumnya yang tipis dan sorot matanya yang tajam membuatnya merasa tidak nyaman. “Joshua?” ulang Clara dengan nada tidak ramah. “Seingatku aku tidak punya teman atau pun kolega yang bernama Joshua. Apa kau orang suruhannya Papa?” Joshua mengangkat satu alis, senyum kecilnya tetap terukir. “Sayangnya bukan. Ini adalah pertemuan kita yang pertama.” “Oh, jadi kau ini seorang penguntit, ya?” Duga Clara, berkacak pinggang, menatap pria itu dari ujung rambut ke ujung kaki. “Wajahmu lumayan, tapi maaf saja. Kau bukan tipeku. Jadi, pergilah. Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu.” “Tunggu sebentar, Nona Clara,” tahan Joshua, saat Clara membalikkan tubuhnya, berniat masuk kembali ke dalam rumah. “Aku bukanlah penguntit seperti yang Anda kira. Aku datang ke sini, bermaksud ingin membicarakan sesuatu. Itu saja.
Krisna membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat. Langkahnya berat, seakan ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya saat ia melangkah masuk. Rumah itu terlihat suram, sunyi, dan terasa lebih besar dari biasanya. Lampu-lampunya menyala, tapi cahaya yang memancar terasa dingin dan asing. Biasanya, ketika ia pulang, Radha selalu ada di sana. Meski Krisna tak pernah benar-benar memerhatikannya, Radha akan selalu menunggunya pulang, menyambutnya di pintu dengan segelas air hangat atau teh. Lalu Radha akan bertanya bagaimana harinya di kantor, meski jawaban Krisna selalu singkat dan ketus. Tapi malam ini berbeda. Tak ada sosok Radha di depan pintu. Tak ada sapaan lembut atau senyum kecil yang dulu sering ia abaikan. Kini, setiap sudut rumah seakan mengingatkan Krisna pada ketidakhadiran wanita itu. Langkah kakinya bergema hampa di lantai marmer, dan keheningan yang menyelimuti membuat dadanya terasa sesak. Ia menjatuhkan tubuhny
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida