“Perkenalkan, nama saya Joshua.” Clara berdiri di ambang pintu, mengamati pria jangkung di depannya yang mengenakan jas gelap rapi. Wajah pria itu tidak terlalu asing, tetapi senyumnya yang tipis dan sorot matanya yang tajam membuatnya merasa tidak nyaman. “Joshua?” ulang Clara dengan nada tidak ramah. “Seingatku aku tidak punya teman atau pun kolega yang bernama Joshua. Apa kau orang suruhannya Papa?” Joshua mengangkat satu alis, senyum kecilnya tetap terukir. “Sayangnya bukan. Ini adalah pertemuan kita yang pertama.” “Oh, jadi kau ini seorang penguntit, ya?” Duga Clara, berkacak pinggang, menatap pria itu dari ujung rambut ke ujung kaki. “Wajahmu lumayan, tapi maaf saja. Kau bukan tipeku. Jadi, pergilah. Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu.” “Tunggu sebentar, Nona Clara,” tahan Joshua, saat Clara membalikkan tubuhnya, berniat masuk kembali ke dalam rumah. “Aku bukanlah penguntit seperti yang Anda kira. Aku datang ke sini, bermaksud ingin membicarakan sesuatu. Itu saja.
Krisna membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat. Langkahnya berat, seakan ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya saat ia melangkah masuk. Rumah itu terlihat suram, sunyi, dan terasa lebih besar dari biasanya. Lampu-lampunya menyala, tapi cahaya yang memancar terasa dingin dan asing. Biasanya, ketika ia pulang, Radha selalu ada di sana. Meski Krisna tak pernah benar-benar memerhatikannya, Radha akan selalu menunggunya pulang, menyambutnya di pintu dengan segelas air hangat atau teh. Lalu Radha akan bertanya bagaimana harinya di kantor, meski jawaban Krisna selalu singkat dan ketus. Tapi malam ini berbeda. Tak ada sosok Radha di depan pintu. Tak ada sapaan lembut atau senyum kecil yang dulu sering ia abaikan. Kini, setiap sudut rumah seakan mengingatkan Krisna pada ketidakhadiran wanita itu. Langkah kakinya bergema hampa di lantai marmer, dan keheningan yang menyelimuti membuat dadanya terasa sesak. Ia menjatuhkan tubuhny
Langit malam memayungi perjalanan Radha dan Nakula menuju kontrakan baru mereka di pinggiran kota. Bangunan rumah susun tua dengan cat yang mulai pudar berdiri di hadapan mereka. Radha menatapnya lekat, mencoba meyakinkan diri bahwa ini adalah awal yang baru, meskipun jauh dari kemewahan yang pernah ia rasakan. "Kak, nomor lima kosong lima, ya? Lantai lima," ucap Nakula sambil membawa koper kecil di tangannya. Radha mengangguk. Mereka menaiki tangga yang sempit dan sedikit berdecit saat dipijak. Napas mereka sedikit terengah-engah saat akhirnya tiba di lantai lima. Pintu dengan angka '505' terpasang sederhana di depan mereka. Radha merogoh kunci dari tasnya dan membuka pintu. "Akhirnya sampai," gumam Radha pelan. Ruangan itu berukuran kecil, hanya terdiri dari tiga petak. Ruang utama, kamar tidur, dan dapur dengan kamar mandi kecil di sudut ruangan. Dindingnya sedikit lembab, tetapi masih bisa ditinggali. Nakula menaruh koper di sudut ruangan dan menghela napas panjang. "Lumayan,
Pagi itu, suasana di ruang kerja Krisna terasa begitu sunyi. Sinar matahari menerobos masuk melalui tirai jendela yang setengah terbuka, memantulkan bayangan samar di atas lantai kayu yang dingin. Krisna duduk termenung di balik meja kerjanya. Matanya tertuju pada amplop coklat yang tergeletak diam, seolah-olah menantangnya untuk membuka kembali isinya. Amplop itu adalah sumber kegelisahannya sejak tadi malam, sebuah paket misterius yang berisi dokumen kehamilan Radha dan foto-foto yang tidak seharusnya ada. Krisna menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Pikiran-pikirannya berkelindan, bercampur aduk antara rasa curiga dan ketidakpastian. Siapa Joshua? Apa motifnya memberikan informasi ini padanya? Apakah ini nyata atau hanya jebakan? Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu. "Masuk," ucap Krisna datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari amplop itu. Pintu berderit pelan, dan dari baliknya muncullah sosok ketua pengawal, pria bertubuh tegap
Radha duduk di sebuah bangku kayu yang terletak di ruang tunggu kantor pengadilan. Dinding ruangan itu dicat putih pucat, dengan papan pengumuman yang dipenuhi jadwal persidangan dan aturan pengadilan. Ruangan tersebut hening, hanya diiringi suara langkah orang yang sesekali melintas. Pak Arman, pengacara pribadi Saga, duduk di sebelahnya, terlihat memegang map tebal berisi dokumen-dokumen perceraian. Ia menatap Radha sejenak sebelum memulai pembicaraan. “Nyonya Radha, sebelum kita masuk ke ruang sidang satu jam lagi, ada beberapa hal yang perlu kita bahas ulang,” kata Pak Arman dengan nada tegas tapi lembut. Ia membuka map itu, lalu menarik selembar dokumen. “Apakah Anda sudah memikirkan perihal pembagian aset atau tuntutan nafkah pasca perceraian?” Radha mendongak perlahan. Wajahnya tampak lelah, tapi tatapannya tetap tegas. “Pak Arman, saya tidak menginginkan apa pun dari Krisna,” katanya. "Saya hanya ingin bebas dan perceraian ini bisa selesai secepatnya tanpa ada urusan apa p
Begitu mereka berjalan menjauh, Krisna berhenti di tempat yang cukup sepi, lalu berbisik, “Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kau hamil?” Radha berdiri terpaku di tempatnya, berhadapan dengan Krisna yang wajahnya penuh emosi. Suasana lorong pengadilan yang sepi membuat setiap kata yang mereka ucapkan terasa menggema. Mata Krisna menyipit, menatap Radha dengan intens. “Apa kau sengaja ingin mempercepat proses perceraian kita, agar kehamilanmu ini tidak diketahui?” tanyanya lagi, nadanya lebih menekan kali ini. “Kenapa kau menyembunyikannya? Apa karena itu bukan anakku, melainkan anak dari pria lain?” Radha mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Ia tidak menyangka Krisna akan mengetahuinya. “Apa maksudmu? Aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan ide gila itu,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. Krisna mendengus, lalu menarik selembar kertas dari sakunya dan menyerahkannya kepada Radha. “Ini. Mungkin ini bisa menjelaskan maksudku.” Radha meraih
Radha berdiri mematung, matanya bergantian menatap Krisna dan Saga yang kini saling berhadapan dengan ketegangan yang hampir bisa disentuh. Krisna menyeringai tipis, tangannya melipat di dada, matanya tajam menusuk ke arah Saga. “Kebetulan sekali kau ada di sini, Saga. Rasanya jadi lebih mudah untuk menyelesaikan semuanya,” ujar Krisna dengan nada sarkas. “Aku bahkan tidak perlu repot-repot mencarimu ke tempat lain.” Saga tetap berdiri tenang, menatap Krisna tanpa ekspresi berlebihan. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud, Krisna. Tapi kalau ini soal Radha, sebaiknya kau jangan membuat keributan di sini.” Krisna tertawa pendek, sarkastis. “Apa kau pikir aku butuh nasihat darimu?” Saga tidak terpancing. Ia hanya berdiri tegap, menatap Krisna tanpa ekspresi. Tapi ketenangan itu justru membuat Krisna semakin gelisah. “Sudahlah,” Krisna mendesis, melangkah lebih dekat dengan nada mengejek. “Kau di sini karena ingin memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, bukan? Tapi biarkan aku me
BUGH! Saga tak tahan lagi. Tinju kerasnya melayang tepat ke wajah Krisna, membuatnya terhuyung mundur beberapa langkah. Mata Saga berkilat penuh amarah, dadanya naik turun dengan napas memburu. “Jaga mulutmu, Krisna! Kau sudah melewati batas!” Krisna mengusap sudut bibirnya yang mulai mengeluarkan darah, lalu menyeringai. “Sudah aku duga, kau memang menyimpan perasaan untuk Radha sejak dulu. Iya ‘kan? Berlagak menjadi dewa penolongnya, tapi sebenarnya kau punya hasrat lain untuknya! Cuih! Apa aku harus berterima kasih padamu karena sudah menjadi pria yang selalu berada di sisinya?” “Diam kau, Krisna!” Saga melangkah maju dengan kepalan tangan siap menghantam. “Aku sudah cukup sabar dengan semua omong kosongmu. Kau pikir aku akan diam saja kali ini setelah mendengar kau menghina Radha dan juga ibuku?!” Krisna mendengus. “Ah, benar. Ibumu. Wanita yang tidak tahu malu itu? Berusaha menjebak ayahku dengan tidur dengannya agar bisa menjadi nyonya besar di keluarga Harlingga. Lalu karen
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida