Vigo dan istrinya masih berkelahi. Malam ini, dunia Renata benar-benar hancur. Selama ini, dia mengira suaminya tetap mementingkan pernikahan mereka meskipun menyukai wanita lain. Dia sungguh tidak menduga Vigo akan melakukan tindakan tercela seperti ini. Apa bedanya Vigo dan wanita ini dengan binatang?Seketika, sebuah asbak menghantam dahi Vigo. Darah pun mengalir. Hantaman ini sama dengan kehancuran pernikahan mereka. Vigo menatap istrinya dengan tatapan suram, lalu bertanya, "Sudah cukup belum?"Bagaimana mungkin cukup? Hati Renata dipenuhi amarah. Dia menarik Nella yang ada di pelukan suaminya, lalu melayangkan 2 tamparan hingga wajah Nella berdarah.Nella hanya memegang pipinya tanpa bersuara. Bagaimanapun, orang-orang selalu merasa kasihan terhadap orang yang lemah.Vigo sontak naik pitam. Dia membentak, "Renata, sampai kapan kamu akan membuat keributan? Sampai kita bercerai?"Bercerai .... Renata sampai lupa untuk bernapas. Dia menatap suaminya yang murka dan hampir melupakan p
Aksa tampak serius. Dia merenung sejenak sebelum berucap, "Ini memang agak sulit. Tapi, aku kebetulan punya seorang teman yang rumahnya sedang nggak dipakai. Ukurannya nggak besar, tapi sangat estetik. Lokasinya di kawasan budaya, tepatnya di Jalan Oltona. Itu cocok dengan status Nona Nella."Vigo mematikan rokoknya, lalu merangkul Nella dan bangkit berdiri. Pria itu berucap, "Kita pergi sekarang."....Dengan membawa dua koper kecil, mobil mereka segera melaju.Satu jam kemudian, mereka tiba di sebuah apartemen kecil di Jalan Oltona. Ukurannya memang tidak besar, hanya sekitar 80 meter persegi. Hanya saja, dekorasinya sangat mewah. Setiap barang di dalamnya adalah barang berkualitas. Bahkan, Vigo yang berasal dari keluarga berada pun masih terkesan dengan kemewahan rumah itu.Setelah mengatur tempat untuk Nella, Vigo turun dari apartemen dan masuk ke dalam mobil.Aksa yang menyetir sendiri. Sambil mengemudi, dia mengobrol seperti biasa, "Rumah ini memang bagus, untungnya Nona Nella ju
Butuh waktu lama bagi Renata untuk menemukan kembali suaranya. Suaranya yang sedingin es bergaung di ruang tamu. "Nggak mencintaiku? Bercerai? Vigo, kamu nggak bilang seperti itu saat menikah denganku .... Kamu bilang aku lembut dan penuh kasih. Kamu bilang aku adalah istri idealmu.""Itu dulu. Renata, lihat dirimu sekarang. Apa kamu masih bisa disebut lembut?" tanya Vigo.....Wajah Renata penuh dengan air mata. Dia berbalik bertanya, "Siapa yang memaksaku? Siapa yang membuatku menjadi seperti ini? Vigo, katakan!"Vigo tidak bisa menjawab.Angin malam berembus dan menimbulkan suara gemeresik. Itu sepertinya adalah suara lampu-lampu di halaman yang bergoyang. Suara itu membuat Malik murka. Dia memerintahkan pembantu, "Hancurkan semua lampu itu.""Ayah!" Veren berseru dengan rambut yang berantakan, "Ayah, kamu benaran nggak mau meninggalkan sedikit pun martabat untuk Clara? Itu disiapkan pada malam ketika Clara kembali ke Keluarga Sadali."Namun, Malik tidak menunjukkan belas kasihan. L
Clara sedang melukis di galeri.Di luar pintu, terdengar ketukan dari sekretaris. "Bu Clara, Bu Renata yang datang waktu itu ingin bertemu denganmu."Clara terdiam sejenak, lalu memandang keluar. Renata tampak berdiri di depan pintu. Kali ini, dia terlihat jauh lebih kurus. Ekspresinya sangat sedih, itu menunjukkan bahwa hidupnya tidak berjalan baik.Clara tidak ingin bertemu dengannya. Namun dia tahu jika menolaknya, Renata tidak akan berhenti. Jadi, akhirnya dia memilih untuk pergi ke sebuah kafe bersama Renata.Dua gelas kopi buatan tangan di atas meja beraroma sangat harum. Dua wanita yang sama-sama elegan itu duduk di depan satu sama lain. Jika bukan karena Vigo, mereka tidak akan pernah bertemu seumur hidup mereka.Akhirnya, Renata membuka pembicaraan lebih dulu. Dia berucap, "Kamu kelihatan ceria, pasti hidupmu baik-baik saja."Clara menjawab dengan tak acuh, "Biasa saja." Sikapnya sangat dingin. Suasana menjadi tegang untuk sementara waktu.Renata menunduk. Dia mengaduk kopi de
Namun setelah memasuki vila, mobil hitam itu tidak berhenti di parkiran terbuka melainkan langsung menuju garasi bawah tanah. Mobil menurun dengan tiba-tiba. Sebelum Clara sadar, pintu garasi sudah terkunci. Hal ini membuat pembantu di sana tidak bisa masuk.Clara tidak curiga. Dia membuka sabuk pengaman dan hendak turun dari mobil, tetapi pria itu meraih pinggang rampingnya dan langsung menariknya ke pangkuannya …. Kemudian, kursi mobil diturunkan.Satya berbaring, sementara Clara duduk di pinggangnya. Situasinya benar-benar sedikit bergairah.Di dalam mobil yang gelap, Satya membelai wajah lembutnya. Dia berbicara dengan suara serak yang dalam, "Barusan, kamu bilang aku punya tubuh yang kuat. Maksudmu begini?"Wajah Clara segera memerah. Satya benar-benar berbeda dari yang lain. Dia sudah berusia lebih dari 40 tahun, tetapi selalu ingin melakukan hal ini kapan pun dan di mana saja.Ada tonjolan pada celana jas gelapnya. Itu merupakan godaan yang paling ampuh bagi seorang wanita ....
Suara keras terdengar. Pintu sebelah kanan mobil Bantley hitam itu tergores keras, lalu jatuh ke jalan dan menimbulkan suara gemuruh .... Kemudian, mobil itu oleng dan menabrak dinding di depannya. Seiring terdengarnya suara, kap mobil tampak mengeluarkan asap hitam.Kantong udara segera terbuka dan melindungi pria yang berada di kursi pengemudi. Meskipun demikian, lengan kanan Satya tetap tertusuk pecahan kaca sekitar 4 sentimeter dalamnya. Kini, darah mengalir deras melalui kemeja putihnya.Satya duduk di dalam mobil dan terengah-engah. Dia bukannya tidak takut. Dia takut terjadi sesuatu pada dirinya, tetapi dia lebih takut jika anak-anaknya tidak memiliki ayah. Dia takut bahwa tanpa perlindungannya ... Clara akan ditindas oleh orang lain.Satya mencabut pecahan kaca dari daging lengannya dengan berani. Pandangannya menjadi kabur. Namun, dia tetap berusaha keras membuka sabuk pengamannya. Satya memukul keras pintu mobil, lalu terhuyung-huyung keluar. Mobil di belakangnya mengeluarkan
Namun, Satya tetap menunjuk Malik dan menegaskan, "Pak Malik, kehidupan seseorang nggak akan selalu berjalan mulus. Sebaiknya kamu jangan bertindak di luar batas."Malik baru angkat bicara, "Pak Satya memang beruntung. Seharusnya kamu lapor polisi, kenapa kamu malah buat keributan di sini?"Malik sama sekali tidak gentar. Satya mencibir dan menimpali, "Aku takut Pak Malik bisa sakit jantung kalau aku pergi ke kantor polisi."Selesai bicara, Satya langsung pergi. Sekarang Satya sudah bermusuhan dengan Malik secara terang-terangan. Situasinya tidak bisa diubah lagi. Satya yang baru keluar melihat Clara. Kondisi Clara terlihat menyedihkan, bahkan dia keluar dengan memakai sandal rumah. Sudah jelas Clara sangat cemas.Satya dan Clara saling bertatapan untuk beberapa saat, lalu Satya berujar dengan lembut, "Aku nggak apa-apa. Bagaimana kamu bisa tahu? Apa Gracia yang memberitahumu?"Clara tidak berbicara. Dia bergegas menghampiri Satya dan memeluknya dengan erat. Clara membenamkan wajahnya
Pintu terbuka, lampu di kamar tidur tidak dinyalakan. Clara mendekati tempat tidur. Dia baru menyadari Satya sudah bangun. Satya yang bersandar di kepala tempat tidur menatap Clara lekat-lekat. Clara duduk di samping Satya dan berkata dengan lembut, "Kamu makan sedikit dulu. Aku bantu obati lukamu."Clara menyalakan lampu. Satya bertanya sembari memandang Clara, "Anak-anak di mana?"Clara menyahut, "Mereka sudah dibawa kemari."Satya menimpali, "Kamu tahu kenapa hari ini aku emosi? Nggak masalah kalau Malik mau mencelakaiku. Tapi, kalau masalah ini terjadi lebih awal, Joe dan Alaia ada di dalam mobil. Aku nggak berani membayangkan apa yang akan terjadi."Satya melanjutkan seraya menatap Clara, "Malik nggak akan melepaskan kita. Selanjutnya, mungkin aku akan melakukan hal yang menyinggung Keluarga Sadali. Clara ... mungkin kamu juga akan merasa keberatan."Clara mengangguk dan tidak mengatakan apa pun lagi. Dia hanya menyuap Satya. Sebenarnya Clara merasa takut setelah mendengar ucapan