Clara tidak bersuara.Satya merasa agak kesal, tetapi dia juga tidak ingin membuat situasi menjadi terlalu tegang. Itu sebabnya dia berbicara dengan lembut, "Kemarilah, tidur sebentar. Bukannya kamu nggak bisa tidur belakangan ini?"Di sisi lain, Clara yang memegang segelas air tampak bengong di depan jendela. Setelah sekian lama, dia baru berucap, "Aku mau pulang. Sudah setengah bulan aku nggak pulang, Bi Aida pasti mengkhawatirkanku."Satya menimpali sambil mengernyit, "Ini rumahmu."Clara membalas dengan tenang, "Kita sudah nggak tinggal bareng.""Satya, apa jangan-jangan kamu kira dengan mengancam dan melecehkanku beberapa kali, aku akan kembali ke sisimu dan membiarkanmu mengatur hidupku seenaknya? Aku bahkan sudah nggak punya harga diri lagi. Apa lagi yang harus kutakuti?" tanya Clara.Satya tidak ingin membiarkannya pergi. Namun, dia sadar telah bersalah atas masalah Reagan. Dia berpikir sejenak dan akhirnya membiarkan Clara pergi.....Awalnya Satya ingin mengantarnya, tetapi C
Lantaran niatnya terungkap, Gilian berseru dengan kesal, "Jangan asal bicara! Reagan jelas-jelas terluka karena kamu."Clara sedari tadi bersikap dengan sangat tenang. Dia menimpali dengan datar, "Cinta nggak bisa didapatkan hanya dengan kata-kata ataupun merengek. Di dalam hati Satya nggak ada dirimu. Dia nggak menganggapmu siapa-siapa. Untuk apa kamu masih terobsesi dengannya? Kamu jelas-jelas bisa mempunyai kehidupan yang lebih baik."Bibir Gilian berkedut-kedut. Sebenarnya dia tahu bahwa yang dikatakan Clara itu benar. Akan tetapi, dia tetap enggan menerimanya. Dia tidak bisa menerima usahanya dipandang sebagai sampah oleh Satya. Harga dirinya tidak akan membiarkan dirinya berakhir dengan menyedihkan.Gilian menggigit bibirnya sambil menatap Clara cukup lama. Beberapa saat kemudian, dia menutup wajahnya dan pergi.Kini, Clara duduk sendirian di area istirahat dengan kopi yang sudah dingin. Clara memiliki rasa bersalah terhadap Reagan, tetapi dia tidak bisa menebus kesalahannya. Dia
Clara membaca semua isi suratnya dengan tenang. Dia tahu bahwa Satya menyiapkan hadiah ini dengan sepenuh hati. Surat yang Satya tulis juga begitu tulus. Namun, Clara tidak bisa menerimanya. Dia menyimpan lukisan ini di gudang, lalu membuang suratnya ke tong sampah.Kala ini, terdengar suara ketukan pintu. Sekretarisnya membuka pintu dan masuk. Dia melaporkan, "Bu Clara, ada seseorang yang membeli lima lukisan yang paling mahal. Dia sudah menandatangani cek senilai 80 miliar. Dia bilang ... mau bertemu denganmu."Clara berdiri seraya menyahut, "Oke. Aku ke sana sekarang." Dia mengikuti sekretarisnya ke area pameran.Setibanya di area pameran VIP, terlihat Veren yang berdiri membelakanginya. Wanita ini mengenakan congsam dengan penutup bahu. Rambut hitamnya terurai di belakang. Dia tampak sangat anggun meskipun hanya dilihat dari belakang.Ketika Clara menghampirinya, Veren kebetulan membalikkan badan. Dia memandang Clara sembari tersenyum dan bertutur, "Kamu pasti Clara."Clara sontak
Selama ini, Satya selalu sukses dalam dunia bisnis. Dia tidak pernah kalah dalam hal apa pun. Kala ini, perkataan Veren justru membuat hatinya terasa sakit. Keluarga Sadali bukan keluarga yang bisa disinggung. Satya tidak bisa melakukan apa-apa selain menjaga sikapnya dan berujar, "Kalau begitu, Vigo mungkin harus menunggu sangat lama."Veren tersenyum tipis sembari berkomentar, "Pak Satya percaya diri sekali. Pantas saja banyak wanita yang mendekatimu. Aku rasa wanita-wanita di acara sosialisasi menyukai kepercayaan dirimu."Mereka berdua sedari tadi saling menyindir dengan tenang.Bagaimana mungkin Satya tidak mengerti maksud ucapan Veren? Pria ini hanya tidak bisa menjawab karena yang dikatakan Veren adalah fakta.Satya memang sudah lama bersenang-senang di luar, bergonta-ganti wanita, dan mabuk-mabukan. Dia pernah berpikir bahwa semua itu adalah penebusan atas hukuman penjaranya selama beberapa tahun. Namun sekarang, dia sudah muak dengan kehidupan seperti itu dan merindukan kehang
Clara bersandar di kursi sambil berlinangan air mata. Dia berucap, "Satya, hal semanis apa pun yang kamu katakan sudah nggak ada gunanya. Kamu juga pernah mendengar cerita 'Serigala Datang', 'kan? Jangan membodohi orang lain hanya untuk mencapai tujuanmu."Clara meraih pegangan pintu seraya melanjutkan, "Biarkan aku turun. Aku sudah janji pada Joe untuk membelikan kue. Joe sedang menungguku di rumah. Dia nggak mau tidur kalau aku belum pulang."Satya tercekat. Dia paham dengan maksud Clara. Jika dia masih tidak melepaskan Clara, dia bukan hanya akan menjadi suami yang buruk, tetapi juga ayah yang buruk. Pada akhirnya, dia membiarkan Clara pergi.....Clara pergi membeli kue. Begitu pulang ke apartemen, Joe malah tidak ada di ruang tamu. Clara mengira anak-anak sudah mengantuk. Aida tiba-tiba keluar dari kamar dengan ekspresi cemas. Dia menyampaikan, "Sepertinya Joe sakit. Sekarang, tubuhnya agak panas. Dia juga nggak bisa tidur nyenyak."Clara meletakkan kue dan buru-buru masuk ke kama
Clara tercengang. Sementara itu, Vigo justru tersenyum tipis dan berucap, "Perawat mengira kita kakak beradik, makanya dia bilang aku dan Joe mirip."Clara berpikir bahwa Vigo hanya bercanda, jadi dia tidak menganggapnya serius. Tidak lama kemudian, perawat sudah selesai memasangkan infus untuk Joe. Vigo tidak ada niat untuk pergi, melainkan menemani Joe berbicara. Bisa dilihat bahwa Joe sangat menyukai Vigo.Setelah cairan di dalam botol infus habis setengah, Joe akhirnya tertidur. Suasana di dalam kamar menjadi hening. Clara baru saja hendak berbicara, tetapi Vigo berbicara lebih dulu. Pria ini menatap Clara seraya bertanya dengan lembut, "Kamu nggak bertanya kenapa aku ada di rumah sakit?""Kenapa?" tanya Clara tanpa ketulusan. Hal ini membuat Vigo terkekeh-kekeh.Vigo tidak marah. Dia berdiri di depan jendela dan memandang langit malam. Setelah diam cukup lama, dia menjelaskan dengan suara rendah, "Aku mengidap kelainan darah. Ketika usiaku 16 tahun, aku menjalani operasi transplan
Malam itu, tidur Clara tidak tenang. Dia memimpikan ibunya yang melompat dari gedung.Ujung gaun ibu Clara berkibar tertiup angin malam kencang. Liliana, sang ibu, berujar pilu, "Roger, aku nggak berbuat kesalahan apa pun, semua ini adalah rencana licikmu.""Ibu ...," lirih Clara kecil sambil memeluk bonekanya. Clara tidak berani mendekat. Dia takut bila dirinya maju selangkah lebih jauh, ibunya benar-benar akan melompat, lalu dia pun akan kehilangan sang ibu.Liliana menoleh dan menatap putri bungsunya untuk terakhir kalinya, lalu berpesan dengan nada lembut, "Kakak akan menjagamu. Clara, tumbuhlah yang baik!"Angin bertiup kencang hari itu. Seiring dengan darah yang tertumpah, ikat pinggang Liliana terbawa angin dan melayang jauh."Ibu!" pekik Clara, seketika terjaga dari mimpi buruk. Punggungnya sudah dibasahi keringat dingin.Suasana di sekitar sangat hening, hanya terdengar hela napas pelan Joe yang diam-diam meredakan pedih di hati Clara. Dia perlahan merebahkan diri lagi. Ha
Clara mengabaikan Satya. Dia menekan bel dan meminta perawat untuk memberikan infus pada Joe.Bertepatan dengan itu, Gracia datang dan membawakan sarapan lengkap. Tahu bahwa Clara sedang marah pada Satya, dia pun berinisiatif berkata, "Sarapan ini aku yang bayar, jadi anggaplah aku yang membelinya. Jangan sampai Joe kelaparan, oke?"Clara sudah bukan lagi pribadi yang bertindak karena dorongan perasaan. Dia tidak menolak sarapan dari Gracia.Gracia yang memiliki dua orang anak sangat lihai membujuk orang. Dia menyajikan bubur sambil menghibur Joe. Bocah kecil itu pun segera melupakan masalah tadi dan menyapa Gracia dengan ceria."Bibi suapin bubur, boleh? Ayah dan ibumu mau bicara," bujuk Gracia.Joe adalah anak yang patuh, selain itu dia juga sangat menyukai Gracia. Jadi, dia duduk dengan manis dan membiarkan Gracia menyuapinya makan.Sementara itu, Satya dan Clara sudah keluar kamar untuk bicara. Sesampainya di ujung koridor, Clara berhenti melangkah dan berujar pelan, "Joe sudah bis