''Apa? Kau gila ya? Kekasih apanya! Aku tidak sudi menjadi kekasih dari pria aneh seperti dirimu, yang suka seenaknya sendiri. Pria aneh yang suka sekali menindasku dengan sangat kejam." Zoya membentak Dareen dalam hati, menolak mentah-mentah segala ucapan yang Dareen katakan sebagai jawaban atas pertanyaan dari pria paruh baya dihadapannya. Dan Zoya hanya mampu mengatakannya dalam hati, sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan semua itu langsung kepada Dareen. Apalagi di depannya berdiri dua orang asing yang sama sekali tidak Zoya kenali. Apakah mereka teman, saingan atau musuh dari seorang Dareen.
Mathew membelalakkan matanya, sedikit terkejut juga bahagia, karena akhirnya, Dareen mampu melupakan Laura, mantan kekasih Dareen yang kini sudah menjadi istri sah nya, selama beberapa tahun ini "Kekasih! Waaw, seleramu sudah berubah ya?" kata Mathew dengan nada sedikit mengejek, saat Dareen mengatakan jika wanita di sebelahnya itu
Zoya masih terdiam membisu, setelah Dareen mengecup pipinya secara tiba-tiba, tanpa bicara, atau pun meminta ijin terlebih dahulu. Gadis manis bernama lengkap Ananda Zoya itu, kini tengah berdiam diri di pojokan, dekat meja yang menyajikan berbagai macam makanan yang menggugah selera makan siapa saja yang memandangnya. Namun tidak bagi Ananda Zoya. Gadis itu masih terlalu shock, dengan apa yang baru saja terjadi pada pipinya beberapa waktu yang lalu. Ia juga masih tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia ketahui, mengenai Dareen, Laura dan pria paruh baya bernama Mathew itu. 'Aaaaa..., Tidak! Ciuman pertamaku! Dasar pria aneh. Beraninya kau mengambil ciuman pertamaku. Walaupun bukan di bibir, tapi tetap saja, ini adalah ciuman pertama dari seorang pria untukku. Dan kau telah mengambilnya tanpa permisi. Kau jahat! Menyebalkan! Aku membencimu dengan seluruh napas ku Dareen Danendra Atmaja!' teriak Zoya dalam hati. Saat ia menemukan kembali kesadarannya, sete
"Maafkan aku pak tua, sepertinya istrimu itu lupa. Aku tidak pernah meminum minuman beralkohol. Aku sama sekali tidak menyukainya- - Minuman beralkohol, sangat tidak baik untuk kesehatan. Dapat menurunkan stamina seorang pria," kata Dareen dengan mengedipkan sebelah matanya, menatap Mathew, juga Laura. 'Apalagi kau sudah tua!' lanjut Dareen dalam hati.'Stamina? Apa maksudmu pria aneh?' tanya Zoya, tanpa ada yang mengetahuinya.Wajah Laura memerah, dan Mathew juga terkejut, dengan wajah yang mulai memucat. Bagaimana ia bisa melupakan, jika dirinya adalah seorang pria yang usianya sudah tak muda lagi. Ucapan Dareen barusan, benar-benar menampar harga diri, kenyataan, juga gengsinya di hadapan para wanita. Laura, juga Zoya.'Sial! Dia benar, usiaku sudah tak muda lagi. Dan stamina ku di ranjang, juga sudah melemah! Meminum minuman beralkohol, akan memperburuk keadaanku!' kepanikan Mathew akan kelanjutan hubungan rumah tang
"Aaa..., Aku benci, akan ku singkirkan kau bocah!" Teriak seorang wanita cantik yang kini telah menghancurkan setiap barang yang ia temui di depan matanya.Wanita itu terlihat sangat marah, dengan derai air mata yang terus menerus mengalir di pipi mulusnya. Wajah memerah, dan deru napas yang tidak teratur, membuatnya terlihat tidak baik-baik saja. Wanita itu lalu mengambil sebuah handphone yang berada dalam tas kecil nan mewah, mengambilnya dengan tidak sabaran."Ah, menyusahkan!" ucapnya, hingga tak lama kemudian, wanita itu berhasil mengambil handphone yang sedari tadi ia cari.'Ibu!' wanita itu mendial nama ibu untuk menghubunginya.'Hallo Laura sayang!' sapa seorang wanita paruh baya dari balik panggilan telepon. Wanita paruh baya yang nama dalam panggilan telepon Laura disimpan dengan nama 'ibu' itu, begitu terdengar bersemangat, saat menjawab panggilan telepon dari Laura.
Lampu menyala, dan saat bola mataku mengarah pada kamarku. Aku melihat seorang wanita paruh baya yang selalu aku panggil dengan sebutan ibu, dan seorang pria paruh baya yang selama beberapa bulan ini telah mendekap di penjara.Deg!'Ibu, A-ayah!' lidahku terasa kelu, saat akan memanggil seorang pria paruh baya yang sedang berdiam diri dengan bersidekap dada itu dengan sebutan ayah. 'Bagaimana mungkin! Orang yang selalu aku panggil dengan sebutan ayah itu, sudah berada di rumah, tepat di dalam kamarku! Bukankah dia sedang mendekap di penjara? Kenapa dia sudah berada di rumah? Apakah ini sebuah mimpi? Atau hanya halusinasi? Pikirku dalam hati.Kedua orang itu menatapku dengan tatapan yang sangat sulit untuk aku artikan. Tatapan apakah itu? Aku terus bertanya-tanya dalam hati, dengan kepala yang mulai menunduk. Pertanda jika aku sudah mulai takut dengan keadaan ini. Tepatnya aku takut dengan kehadiran pria paruh baya
'Dareen tersenyum! Cucu kesayangan ku tersenyum? Apa yang membuatnya tersenyum seperti itu?' Murti menatap haru Dareen yang kini tengah tersenyum samb menatap langit-langit kamar. Senyumnya tulus, dan begitu menyentuh hati Murti. Senyum yang sudah jarang sekali Murti lihat dari sosok Dareen sang cucu, setelah sekian lama. "E-Eyang- - Dareen gugup saat mengetahui jika Eyangnya sedang memergoki dirinya tersenyum tanpa sebab, - -apa yang Eyang lakukan, Eyang?" tanya Dareen kemudian, yang kini telah bangkit dari rebahan nya, menutupi rasa gugup yang tiba-tiba saja menghampirinya. Murti tidak menjawab. Ia berjalan perlahan mendekati Dareen. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Murti masih bisa diberi kesehatan tulang yang kuat, penglihatan yang tajam dan pendengaran yang masih jelas. Ia sungguh mensyukuri nikmat yang telah sang pencipta berikan padanya. Dan satu doa nya telah terkabul. 'Melihat Dareen tersenyum'. Perl
Pagi ini tidak seperti biasanya. Zoya datang pagi-pagi sekali ke kediaman Daren tanpa banyak mengeluarkan kata-kata. Melayani Daren dengan sepenuh hati, tanpa mengeluh ini dan itu. 'Tidak biasanya bocah itu diam! Apa dia sakit?' diam-diam Daren memperhatikan Zoya. Gadis yang selalu ia panggil bocah bodoh. Gadis yang beberapa hari ini telah mengisi hampir seluruh isi kepalanya. Hingga pikiran Daren hanya diisi dengan ingatan tentang Zoya dan tingkahnya yang kadang diluar perkiraan.'Apa aku masih bermimpi? Kenapa ini terasa sangat nyata sekali! Ayah keluar dari dalam penjara. Namun sikapnya padaku berubah tak biasa, tak seperti dulu! Apa ayah sekarang menyayangiku?’ Zoya bertanya-tanya dalam hati. Tangannya sibuk melayani Daren menyiapkan sarapan. Namun pandangannya kosong tanpa arah dan tujuan. Hingga-Suara geraman yang terdengar serak, menggema hingga menusuk indera pendengaran Zoya.Zoya terperanjat, ia baru menyadari jika dirinya me
“Diam! Berisik sekali. Kalian membuat kepala kakak pusing!” kata Dareen langsung membuat Delia juga Delina terdiam saat itu juga.“Apakah Anda membutuhkan sesuatu Tuan?” El menyembunyikan tawa kecilnya dengan menawarkan apa yang Daren butuhkan.“Tid- -“Belum selesai Daren menjawab, Zoya datang dengan satu pack tissue di tangannya. “Ini tissue nya Tuan!”“Hmm.”“Hmm,” Zoya mengernyit, “apa maksudmu dengan 'hmm' simpan atau apa? Yang jelas kalau berbicara atau menjawab, agar aku paham! Dasar menyebalkan!’ sambung Zoya dalam hati, dengan kebingungannya.“Kau bodoh atau apa? Simpan tissue itu didepanku!” Daren menatap lekat Zoya yang menampakkan wajah bingung. Dan sepertinya Daren tahu, apa yang sedang Zoya pikirkan. ‘Dasar gadis bodoh! Kau memang bocah! Bisa-bisanya ucapan sederhana dari mulutku saja, dia tidak paham!’
Pagi ini, Daren dan El sudah bersiap dengan wajah segar walau terlihat datar, ditambah setelan baju yang tidak biasa pula, baju yang jarang sekali Daren dan El pakai dikhalayak umum.'Sangat tampan!’ puji Zoya dalam hati, entah untuk siapa.Celana olahraga berwarna hitam dengan garis putih sebagai pemanisnya, membuat kaki Daren terlihat sangat jenjang, ditambah lagi dengan kaos yang berwarna senada, yang dipadupadankan dengan jaket track top berwarna sama. Membuat kesan cool serta misterius secara bersamaan ditubuh Daren.“Apa semua barang sudah siap?” tanya Daren pada pria disamping-Nya.“Tentu tuan! Semuanya sudah siap dan tidak ada satupun yang tertinggal!” jawab El pasti. Dengan tampilan yang tidak kalah mencuri perhatian dengan Daren, memakai pakaian yang sama, hanya saja berbeda warna. El menyukai warna putih. Segala jenis pakaian berwarna putih, El sangat menyukainya. Walaupun pakaian putih mudah sekali ter
Harapan dan doa yang buruk dari orang yang buruk pula hatinya, tak mampu membuat doa yang ia panjatkan menjadi kenyataan. Setelah Daren berhasil menemukan sumber air yang membuat lelah dan dahaganya seketika hilang, Daren memberikan Zoya sebuah air yang ia bawa dengan tangannya sendiri.Sedikit demi sedikit. Walau berceceran dan selalu sedikit yang tersisa untuk di berikan kepada Zoya. Namun, Daren telah berhasil membuat Zoya sadar dari pingsannya yang cukup lama.'Uhuk! Uhuk!'Suara yang keluar dari tenggorokan Zoya, membuat Daren senang bukan main. "Kau sadar, Zoya?!" tanya Daren saat Zoya terbatuk. Matanya masih belum terbuka. Namun Daren sudah tak sabar untuk mengeluarkan suara dan bertanya bagaimana keadaannya.'Uhuk! Uhuk!'Zoya masih terbatuk.Daren menepuk-nepuk punggung Zoya sambil mengelusnya perlahan. "Kau tidak apa?" tanya Daren. "Ayolah, jawab aku. Aku begitu mengkhawatirkan dirimu!" lanjutnya berucap.Perlahan-lahan, kesadaran Zoya mulai kembali. Matanya pun mulai ter
Jatuh dan tergelincir, sudah tidak Daren rasakan lagi betapa kaget dan sakitnya seluruh badan. Demi bisa sampai ke tempat tujuan, Daren memaksakan diri menyusuri jalanan menurun yang akan membawanya ke tepian sungai."Jika bukan karena dahagaku, aku tidak akan mau berjalan sambil menggendong gadis ini. Walau dia tidak berat, tapi dia cukup menyusahkan langkahku," gerutunya setelah ia terjatuh dan bangkit lagi dengan tangannya sendiri.Daren mengeluh, ia menggerutu. Namun, hanya di mulut saja. Hatinya benar-benar ikhlas melakukan itu semua, demi dahaganya yang harus segera di aliri air, juga demi kesadaran Zoya. Tanah dan lumpur mengotori hampir seluruh tubuh Daren. Seakan tak ingin tertinggal, wajahnya pun ikut merasakan bagaimana rasanya terkena lumpur saat Daren mengusap keringat yang bercucuran dari kening hingga ke pipinya.Daren tak peduli, setelah ketemu sungai nanti, ia sudah berjanji akan membersihkan diri. "Hei, apa kau tidak kasihan padaku? Lihat aku, aku kelelahan. Aku k
"El! El! Dimana kau? Cepat bantu aku!" teriak Daren saat ia dengan susah payah sudah berhasil melewati jurang curam yang membuat Zoya terjatuh dan tak sadarkan diri, dengan melewati dan mencari jalan lain.Tidak ada tanggapan dan jawaban dari sosok yang Daren panggil. Matahari sudah mulai meninggi, Daren mulai dehidrasi, apalagi dengan gadis yang ada di pangkuannya saat ini, sudah pasti, kondisi gadis itu jauh lebih buruk dari kondisi Daren yang masih bisa mengangkat beban tubuh Zoya. "Bertahanlah! Kau pasti bisa!" ucap Daren menyemangati Zoya yang masih tak sadarkan diri. Perjalanan cukup jauh, hingga saat ini, Daren baru menemukan jalan di mana ia dan El berpisah subuh tadi."El...." teriak Daren kembali. Kali ini, teriakannya begitu nyaring, hingga tenggorokan Daren terasa kering. "El...." Jika kali ini El tidak mendengar teriakan Daren. Maka sudahlah, jangan harapkan Daren bisa berteriak kembali, karena kerongkongannya setelah berteriak, kini terasa benar-benar kering."Ah, ten
"Uh..., Kalajengking sialan!" umpat Daren saat dirinya sudah berhasil menuruni tanah yang terjal tersebut. Dilihatnya tangannya sendiri yang terasa sangat perih dan gatal. Dan ternyata, tangannya membengkak dan memerah. Mungkin, itu adalah efek dari gigitan kalajengking tadi.Kembali Daren memfokuskan dirinya pada pencariannya pada Zoya yang sampai saat ini masih belum ia temukan."Zoya..." Teriak Daren begitu kencang dan menggelegar. Hingga para hewan kecil keluar dari persembunyiannya."Hei Zoya! Dimana kau gadis bodoh?" Teriaknya lagi dan masih belum mendapatkan jawaban. Lalu, pandangannya tertuju pada sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya dengan tubuh penuh tanah dan luka.Zoya, gadis itu terkapar diantara pohon beringin besar dan daun daun yang sudah mengering."Zoya!" Secepat kilat Daren menghampiri Zoya yang tengah terkapar tak sadarkan diri.
Doa kembali Zoya panjatkan pada Tuhan, sang pencipta alam dan segala isinya. Ia berdoa agar siapapun bisa menemukannya dengan segera. Kakinya sudah tak mampu lagi menopang tubuh, di tambah dengan tangannya yang ternyata masih mengeluarkan sisa-sisa darah dari injakan kaki Mayra tadi. "Ya Tuhan, aku mohon... Siapapun tolong aku. Aku akan menikahinya jika dia adalah seorang laki-laki. Tapi, setelah aku lulus sekolah. Dan akan aku jadikan dia saudara, jika dia adalah seorang perempuan," ujar Zoya pasrah. Gadis itu membuat janji dengan Tuhan sesuka hatinya, tanpa memikirkan bagaimana nasib kedepannya. Tentang masa depannya, tentang bagaimana menjalaninya. Akankah ada yang akan datang membantunya atau bahkan tidak. Mengingat ini adalah hutan, dan Zoya hanya sendirian di sana. "Tapi, apakah yang menolongku itu akan mau, jika yang akan dinikahinya atau di jadikan saudaranya adalah seorang gadis miskin yang waj
"Apa kubilang El! Kau memang bodoh! Kenapa kau melarang ku menyusul mereka tadi hah!" Daren geram. Di cengkeramnya kerah baju El dengan sangat kuat, hingga buku-buku tangan Daren terlihat memutih, saking geramnya. "Maafkan saya Tuan!" tunduk El. El sama sekali tidak berani menegakkan kepalanya, apalagi menatap mata Daren, atas apa yang El katakan padanya. "Maaf kau bilang? Beraninya kau meminta maaf setelah mengabaikan perasaanku tadi," dihempaskan pula dengan kencang baju El. Pria tampan berambut hitam pekat itu seketika terbatuk, saat Daren melepaskan cengkraman tangannya. "Apa dengan meminta maaf, semua akan kembali?" Sedangkan Delia dan Delina, serta Gio dan teman sekelompoknya. Mereka semua berdiam mematung setelah menceritakan jika Zoya menghilang dan terpisah dari rombongan. Apalagi saat melihat reaksi Daren yang ternyata di luar dugaan. Sangat marah saat mengetahuinya. Mereka semua tidak ada yang bera
"Eh, apa ada yang melihat kak Zoya?" tanya Delia yang baru saja menyadari jika Zoya sedari tadi tidak bersamanya. Semua orang memandang ke arah Delia. Lalu saling pandang satu sama lain. "Bukankah Zoya selalu bersama Anda, Nona?" ujar Gio membalikkan pertanyaan pada Delia. Delia menggeleng, "memang! Tapi setelah teriakan itu, aku langsung berlari mengikuti kalian, dan melepaskan peganganku dari tangan kak Zoya," jawab Delia sedikit gemetar. Lalu ia alihkan pandangannya pada Delina yang nampak acuh tak acuh dengan ketidakadaannya Zoya di dalam rombongan mereka. "Kenapa kau melihatku?" tanya Delina sinis, "aku memang tidak menyukainya. Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Aku juga tidak tahu kalau dia tidak bersama kita!" sambungnya dengan penuh penekanan. Dan Delina berkata jujur apa adanya. Tanpa ada yang dia sembunyikan. "Bagaimana ini kak Gio, kak Andi?" reng
Zoya berjalan mundur beberapa langkah, "jangan kau pikir aku ini bodoh Mayra! Apa yang kau rencanakan padaku hah?" tanya Zoya tanpa basa-basi. Mayra tertawa, sedang Zoya mengerutkan keningnya. "Kenapa kak? Apa kau takut kakak!" tanya Mayra dengan menekankan perkataannya. Membuat Zoya yakni jika Mayra memang sedang merencanakan sesuatu yang buruk padanya. "Ma-mau apa kau Mayra?" tanya Zoya bergetar. Mayra terus berjalan perlahan mendekatinya. Semakin dekat, dan terus mendekat. Sedangkan Zoya, gadis itu juga terus berjalan mundur menjauhi Mayra. Nyali Zoya semakin menciut kala melihat wajah Mayra yang terlihat seperti seorang pembunuh kala mengeluarkan tawanya. Walaupun Zoya tau, jika Mayra adalah adiknya sendiri. Tapi kenapa? Kenapa Mayra ingin berbuat jahat padanya? Pikir Zoya. "Ak-aku mohon Mayra! Apa yang akan kau lakukan padaku? Aku ini kakakmu, kau adikku. Kita ini bersaudara Mayra!" ujar
"Kau gila El! Kenapa aku tidak boleh ikut bersama mereka hah?" ungkap Daren setelah kepergian para anggota perkemahan. "Karena mereka akan merasa tidak nyaman saat bersama Anda Tuan!" jawab El tanpa basa-basi. Tuannya itu sedari tadi terus mengomelinya karena El tidak menyarankannya untuk mengikuti mereka. "Ah!" Daren frustasi. Pria tampan penuh kharismatik itu menjambak rambutnya sendiri karena kesal dengan jawaban El. *** "Kak Zoya? Aku takut!" rengek Delia sambil menggandeng lengan Zoya erat. "Tenanglah Nona. Tidak akan ada apa-apa di sini!" ujar Zoya menenangkan. Gadis itupun akhirnya sedikit lebih tenang. Walaupun tangannya masih enggan untuk melepaskan lengan Zoya. Menempel terus seperti lem. "Delia, kenapa kau terus menempel padanya?" tanya Delina dengan nada kesal. Namun, yang di tanya terlihat enggan untuk menjawab