Bab 84Kendaraan hitam hasil curian itu, dibawa dengan sedikit kasar mengingat pengemudinya tidak terlalu pandai dalam membawa kendaraan mewah milik Teguh.Melati yang mendekap Diandra dalam pelukannya, terus melafalkan doa agar dirinya diberi keselamatan. Dia tidak yakin jika pria di sampingnya ini akan berhasil membawa dirinya kepada Edwin, mengingat pria itu seperti ugal-ugalan dalam mengendarai kendaraannya.Ditambah lagi jalanan yang sedikit basah akibat salju yang baru saja turun, membuatnya kadang berbelok ke kanan dan ke kiri, kadang menyela dan mengerem dengan tidak sempurna. Dan Melati sampai harus berpegangan ke bagian atas."Bisa nggak sih kamu mengendarai kendaraan dengan benar? Aku membawa bayi dalam pelukanku, dan aku tidak ingin sampai terjadi kecelakaan diantara kita!" ujar Melati ketus ke arah pria itu yang tampak santai sambil berulang kalis salah dalam menginjak rem dan gas itu."Tenang saja, Nona. Aku memang hampir 5 tahun tidak mengendarai mobil lagi. Namun kea
Bab 85"Pak, mungkin anda hanya sedang berhalusinasi!" ujar anak buahnya ikut berdiri, apalagi setelah Edwin seketika berlari meninggalkan tempat itu begitu saja."Tidak mungkin! Aku yakin mendengar teriakan berarti baru saja!" Edwin tetap bersikukuh dengan pemikirannya.Edwin berlari ke luar ruangan tanpa memperdulikan yang lainnya. Memindai ke kanan dan ke kiri di malam yang mulai turun salju tersebut. Namun orang yang berlalu-lalang itu tidak sama sekali tidak ada yang dikenalnya satupun. Dan malah menatap heran ke arahnya."Entah kenapa aku yakin jika Melati ada di sekitar sini. Oh ya Tuhan, tolong pertemukan aku dengan istriku, aku tidak mau sampai kami harus berpisah lebih lama lagi," harapnya dalam hati dengan wajah yang terlihat sangat cemas.Anak buah Edwin pun turut serta keluar dari ruangan setelah membayar pesanan. Mereka turut berpencar ke kanan dan ke kiri. Bahkan ada yang sampai ke seberang jalan, demi mencari wanita pemilik hati bosnya tersebut.Hingga satu suara membu
Bab 86Malam menjelang. Edwin bersama seorang anak buahnya menyiapkan makanan di dapur. Sedangkan istrinya tengah menidurkan Giandra di kamarnya.Makanan lezat menggugah selera sengaja disiapkan untuk menyambut istrinya. Di meja makan sudah tersedia beberapa hidangan bahkan ada yang dipesan langsung dari restoran ternama yang berlabel halal. Dihiasi lilin yang temaram, mereka siap menyambut Melati untuk turun.Hanya membutuhkan waktu beberapa menit hingga akhirnya Melati tiba dengan gaun panjang dan sedikit tebal untuk menghalau suasana dingin.Ada yang meniup terompet, bertepuk tangan, bahkan ada bersorak ketika Melati turun dengan wajah terkejut."Hei, ada apa ini? Apa yang kalian lakukan?" tanya Melati tidak percaya dengan kejutan kecil yang sudah disiapkan ini. Bahkan Edwin menggenggam sebuket bunga lili untuk dipersembahkan kepada istrinya."Selamat berbahagia istriku. Semoga setelah ini kita tidak akan pernah terpisahkan lagi," harap Edwin sambil merangkul istrinya dan mempersi
Bab 87Entah kenapa setelah mendengar penjelasan Kirana barusan, Edwin merasa tidak tenang. Seperti ada misteri yang belum terpecahkan akan jalan kehidupan yang kini tengah menantinya. Pernyataan Kirana yang ambigu membuatnya terus kepikiran. Bahkan tidak sadar ketika Melati menghampirinya bersama dengan Giandra."Apa ada sesuatu yang penting yang sudah terjadi, hingga membuatmu menjadi gelisah seperti ini?" Melati menghampirinya dan ikut berdiri bersama dengan suaminya memandang ke arah kota Amsterdam di pagi hari ini."Entahlah Kirana mengatakan sesuatu yang buruk tengah terjadi di Indonesia. Tapi aku tidak tahu ada apa itu." Edwin menjelaskan dengan singkat."Dan karena hanya hatimu menjadi gelisah?" Melati bertanya. Membuat Edwin langsung mengangguk dengan cepat."Aku takut ada hal lain yang saat ini sudah terjadi. Apalagi Jovan tidak mau mengangkat sambungan teleponku!" Edwin menjelaskan keadaan barusan."Kalau begitu kita harus pulang secepatnya," saran Melati membuat Edwin mena
Bab 88Langkah gadis itu terasa berat saat akan memasuki sebuah ruangan, di mana seseorang terbaring tidak berdaya dengan selang infus menempel di pergelangan tangannya. Ada beban dalam dadanya, yang entah kenapa hingga beberapa saat lamanya dia tidak bisa menghilangkan beban itu dan membuatnya menangis.Pintu dibuka perlahan, saat dirinya masuk dan menatap seorang pria yang tengah memejamkan matanya, dengan perban di kepala. Bulir bening itu kian berjatuhan mengingat Jovan sudah seperti kakak kandungnya sendiri.Tak kuasa, akhirnya Kirana memilih duduk di samping tempat tidur Jovan. Pria yang tengah beristirahat itu pun membuka matanya perlahan, saat mendapati suara isak tangis yang mengganggu telinganya."Gadis Kecil, kau berisik! Tangisanmu itu membuat kepalaku semakin berat," ujarnya dengan meringis. Bahkan pandangannya masih berkunang akibat obat bius."Dasar pria tidak berperasaan," isaknya, kian tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Hampir saja Kirana memukul gemas dada Jovan
Bab 89Dengan dua tangan bersedekap Edwin berdiri tepat di samping ranjang. Ada seseorang yang berbaring di sana masih dengan wajah pucatnya dengan kepala yang terbalut perban. Dan Edwin masih setia menunggunya untuk bangun, dengan perasaan kesal, marah, sekaligus bahagia mengingat sahabatnya itu bisa berhasil melewati masa kritis setelah pengangkatan penyakit yang ada di dalam kepalanya.Mata Jovan mengerjap ketika sebelumnya sinar terang masuk ke matanya dan mengganggu tidurnya."Edwin!" Jovan sedikit terkejut ketika seringai licik perlahan mendekat hingga membuat jarak wajah keduanya terkikis jarak."Kau tak akan marah sekarang, bukan?" Seakan-akan mengerti dengan isi hati sahabatnya tersebut jopan meringis karena Edwin tidak melepaskan pandangan darinya.Sejak kapan kau memiliki rahasia dariku ujar Edwin dengan tetapan yang serius dan menghujam ke arah sahabatnya yang makin membuatnya tersenyum tipis."Aku tak mau membuatmu khawatir!" Jovan beralasan. Dia bukan yang tidak tahu Edw
Bab 90Malam harinya Ernawati pergi ke rumah sakit untuk menemani Jovan. Wanita itu tidak tega meninggalkan Jovan sendirian, sementara Edwin kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh. "Kamu istirahat saja di rumah dan temani istrimu. lagi pula kalian pasti saling merindukan. Urusan Jovan, biar ibu saja yang menemaninya di sana." Ernawati menjelaskan rencananya."Tapi, Bu, aku tidak mau sampai Ibu sakit dan kelelahan karenanya." Edwin pun bersikeras melarang ibunya untuk pergi menunggui Jovan. Dia lebih rela jika dirinya saja yang pergi.Ernawati tersenyum dan menepuk lengannya. "Kamu ini, Jovan itu sudah Ibu anggap seperti anak ibu sendiri. Dia itu seperti adikmu dan seperti kakaknya Kirana. Makanya ibu sama sekali tidak keberatan untuk menunggui Jovan. Kasihan pria itu hanya seorang diri, lagi pula ibu kan di sana cuma tidur menemani Jovan bukan bekerja keras." Ernawati tersenyum menjelaskan agar Edwin mengerti bagaimana posisinya sebagai seorang wanita. Dia tidak mungkin membia
Bab 91Padahal Edwin baru saja tiba di ruangan Jovan beberapa saat yang lalu. Dan dia langsung menggendong Giandra karena gemas dan merindukan bayi kecil itu, setelah seharian ditinggalkan untuk bekerja di kantornya. Tapi, kehadiran Gunadi langsung membuatnya mengernyit heran, menatap ke arah pria itu yang langsung bersimpuh di kakinya dengan matanya yang memerah."Ada apa denganmu, Ayah?" tanyanya sambil memberikan Giandra kembali pada istrinya.Melati pun ikut bingung melihat kelakuan Gunadi saat ini. Sekilas menatap ke arah Jovan yang tampak santai dan menatap ke arah pria itu, yang bersimpuh di bawah dengan dada naik turun."Sebelum aku masuk penjara demi untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanku, aku ingin memohon ampun dan meminta maaf kepadamu, Edwin, bahkan untukmu juga Melati. Karena itu ayah meminta maaf karena selama ini telah memperlakukanmu dengan tidak adil. Terlebih tindakan ayah di masa lalu kepada Edwin dan keluarganya, yang membuat suamimu itu menderita. Ay