TRAGEDI CINTA BUNGA
Penulis : David KhanzBagian : 6Episode : Duka Di Antara Gayung AsmaraKeesokan harinya, Juragan Mahmud ditemukan dalam kondisi tergeletak oleh seorang warga Kampung Sarawu di sebuah area pemakaman. Tepatnya di pinggir kuburan mendiang Sumiarsih. Saat diperiksa, beruntung sekali masih dalam keadaan bernapas.Kabar pun tersiar dengan cepat ke seluruh pelosok kampung. Maka Dillah segera menyusul ke astana pemakaman diikuti oleh beberapa pekerja lainnya untuk segera membawa pulang majikan mereka.“Yaa Allah … Ayah!” pekik Bunga langsung memburu tubuh ayahnya begitu tiba di rumah. “A-apa yang terjadi pada ayahku, Kang Dillah?” tanya gadis tersebut pada Dillah, salah seorang orang kepercayaan Juragan Mahmud.“Sabar, Neng. Biarkan Juragan di bawa dulu ke kamar dan diurus oleh kami,” ujar Dillah menahan gerak Bunga yang hendak memeluk tubuh ayahnya. “Nanti setelah semuanya selesai, saya akan ceritakan semuanya pada Neng Bunga. Saya janji.”Perempuan muda itu menurut, membiarkan Dillah dan beberapa tenaga laki-laki lainnya membawa Juragan Mahmud masuk ke dalam kamar. Sebelum menutup pintu, Dillah meminta pada Dirga agar memanggilkan seorang tabib kampung untuk datang ke sana sesegera mungkin.“ … Beritahu saya kalau Ki Sanca sudah datang, ya?” pesan Dillah mewanti-wanti di akhir titah. Balas Dirga kemudian, “Baik, Mang.” Lantas remaja berusia 16 tahun itu pun segera berlalu dari sana. Sementara Dillah sendiri izin pamit kepada Bunga untuk masuk ke dalam kamar dan mengurus Juragan Mahmud.Bunga duduk menunggu di luar ditemani oleh Bi Enok. Sebentar-sebentar gadis tersebut melirik ke arah pintu kamar ayahnya, berharap segera mendapat kabar baik saat itu juga.“Tenang, Neng. Bersabar dan teruslah berdoa. Kita semua berharap sama, semoga keadaan Juragan baik-baik saja. Insyaa Allah,” kata Bi Enok mencoba menenangkan anak majikannya tersebut.Bunga menoleh sayu pada sosok pengasuh dirinya dari semenjak kecil dulu, lalu menimpal, “Iya, Bi. Aamiin. Hanya saja, aku masih bingung, mengapa semalam Ayah ada di astana pekuburan kampung? Apa yang Ayah lakukan di sana? Mengunjungi makam Ibu? Ah, tapi … mengapa harus malam-malam juga?”Gadis itu menduga, jika kepergian Juragan Mahmud semalam adalah hendak menemui kembali Abah Targa dan Syaiful, usai terlibat percakapan sengit dengan dirinya. Dia juga yakin, pasti ayahnya itu marah atau mungkin pula merasa kecewa.‘Yaa Allah … mungkinkah Ayah mengira kalau aku dan Kang Syaiful telah melakukan sesuatu yang terlarang di saung itu? Tidak. Ini hanya kesalahpahaman belaka. Kemarin sore itu, kami berdua ….’ Lamunan Bunga terhenti seketika. Ingatannya langsung mengembara pada rencana Juragan Mahmud yang hendak menjodohkan dirinya dengan seorang laki-laki lain. Tentu saja Bunga menolak, karena sudah kadung menjatuhkan pilihan dan teramat mencintai kekasih hati, Syaiful.Bagi sebagian orang atau terkhusus kaum perempuan, sosok Syaiful mungkin tidak begitu istimewa. Laki-laki berusia 25 tahun tersebut hanyalah seorang pemuda biasa, sudah tidak lagi memiliki sanak saudara, tinggal sendiri dalam keadaan sebatang kara, dan terakhir tentu saja sebagai seorang pekerja pada Juragan Mahmud. Menjadi nelayan yang senantiasa mencari ikan di tengah lautan luas bermodalkan perahu milik ayah Bunga.Namun ada satu hal yang menarik perhatian dari sosok Syaiful itu, disamping memiliki paras rupawan, lelaki itu pun mempunyai budi pekerti yang baik. Sehingga sanggup mencuri hati Bunga serta mampu memalingkan mata gadis tersebut dari pesona laki-laki lain yang berusaha mendekat. Termasuk pemuda pilihan sang ayah sendiri.“Kadang aku tidak mengerti, mengapa gadis secantik Neng Bunga lebih memilih aku sebagai calon pendamping hidup? Padahal di kampung ini masih banyak pemuda-pemuda tampan dan kaya, yang berharap banyak bisa mendapatkan hatimu, Neng,” ucap Syaiful pada suatu ketika.Bunga tersenyum manis seraya menyibak gerai rambut di wajah yang tertiup angin, menutupi pesona kecantikannya yang terpancar dengan sempurna. Putih berseri terkena bias pantulan sinar matahari yang menerpa buih ombak laut.“Entahlah, Kang. Aku sendiri tidak pernah bisa memahami perasaanku sendiri hingga saat ini. Saat pertama kali melihat Akang, rasanya … aku yakin saja … kalau Akang adalah orang terakhir yang kucintai setelah kedua orangtuaku,” jawab Bunga dengan jenjang leher terlihat mengilap bersimbah keringat, usai menyibak rambut ke belakang.Kedua sejoli itu duduk anteng berteduh di bawah rindang sebuah pohon untuk mengaso, setelah seharian tadi saling berkejaran di sepanjang pesisir pantai.Seulas senyum semringah, membelah garis tawa pemuda itu setelah mendengar ungkapan kekasih hati baru saja.“Terus … apa yang membuat Neng begitu yakin bahwa aku adalah orang yang pantas mendapatkan cinta terakhirmu itu, Neng?” tanya Syaiful sambil membelai lembut rambut panjang nan indah sang kekasih dengan penuh cinta. Ada aroma harum semerbak, khas bunga dan akar tetumbuhan yang tercium di setiap helainya.“Sebagian orang berujar bahwa cinta itu buta,” ujar Bunga berfalsafah. “Memandang sosokmu, Kang, rasanya … aku melihat ada banyak pesona luar biasa yang mampu meluluhkan kebekuan hati selama ini. Alam pikiranku … membutakan semua tentangmu. Yang kurasa setiap kali bersamamu adalah ... kenyaman yang teramat, saat Akang berada di dekatku,” imbuh kembali Bunga menjawab seraya menjatuhkan wajah di dada Syaiful yang bidang dan berbulu. Mata gadis itu terpejam, menikmati kenyaman dan kehangatan yang hadir menyelimuti wajahnya yang merona.Mendengar ungkapan sang kekasih, mungkin dirasa sudah cukup bahwa Bunga memang mencintainya. Namun Syaiful sadar akan sosok diri sendiri.“Aku hanyalah seorang nelayan biasa yang tidak berlimpahkan harta dunia. Sementara keluargamu, Neng, adalah hartawan terkemuka yang bertahta. Wajar saja, jika selama ini Ayahmu begitu murka menilai jalinan hubungan kita ini, Neng.” Syaiful menarik napas. Mendadak dadanya terasa sesak.Bunga terhenyak. Menengadah, lalu memandang mata Syaiful yang mulai berkaca-kaca. Ujarnya kemudian, “Bagiku semua itu tidak begitu penting, Kang. Cinta seutuhnya yang Akang berikan padaku, itu sudah lebih dari cukup. Harta tidak menjamin lahirnya sebuah kebahagiaan, tapi justru banyak menimbulkan keangkuhan. Apakah selama ini aku pernah memintamu sesuatu yang lebih selain cintamu, Kang?”Syaiful tidak menjawab. Lelaki kekar itu memeluk erat tubuh Bunga penuh kasih sayang. Keduanya terdiam dalam kebisuan. Sampai kemudian, tanpa mereka sadari, tiba-tiba langit memuntahkan isak tangisnya perlahan-lahan. Seakan alam ingin turut bersedih melihat kisah kasih pilu dua insan yang berbeda kasta tersebut.“Sebaiknya kita berteduh di dalam sana saja, Neng,” tunjuk Syaiful ke arah bagian dalam hutan bakau. “Setahuku, di sana ada sebuah saung kecil yang bisa dijadikan tempat sementara untuk kita berteduh.”Awalnya Bunga merasa ragu dan takut melihat temaram kondisi tempat yang dimaksud, hingga bertanya getar pada sang kekasih hati. “A-akang yakin itu?”Menjawab Syaiful penuh kekhawatiran begitu menengadah ke langit kelabu bercampur kehitaman, tampak mendung hebat dan sepertinya hujan pun akan turun lebat, “Tentu saja, Neng. Aku sering lewat di sini sepulang melaut.”Kedua sejoli itu pun lekas bangkit. Bergegas bersama-sama memasuki area dalam hutan bakau sambil berpegangan tangan erat. Hanya seberapa puluh langkah dari tempat semula mereka berada tadi, sampai kemudian tiba di depan sebuah saung kecil.“Aku takut, Kang,” desah Bunga seraya bergelayut di lengan lelaki terkasih.“Sebentar … aku periksa dulu keadaan di dalam,” ujar Syaiful mencoba menenangkan sosok perempuan muda di samping. Kemudian secara perlahan dan penuh kehati-hatian, pemuda tersebut melangkah. Dia ingin memastikan keamanan di dalam saung dari kemungkinan bahaya yang mengintai. Binatang berbisa salah satunya.Syaiful memeriksa dengan saksama setiap sudut tempat yang ada, terutama pada hamparan dedaunan yang dijadikan alas duduk mereka kelak. Cukup untuk menampung dua badan orang, bahkan sambil merebah-rebah sekalipun.Merebah? Entahlah, tiba-tiba saja seulas senyum kecil terlukis samar pada raut wajah lelaki berusia 25 tahun tersebut.“Aman, Neng. Insyaa Allah ….,” ujar Syaiful begitu keluar dari dalam gubuk. “Ayo, cepat masuk. Hujan sudah mulai turun,” imbuhnya kembali seraya menarik tangan Bunga agar lekas meneduh dari terjangan titik-titik tangis sang alam.Benar saja. Sebentar kemudian, gemuruh suara air hujan yang menerpa dedaunan hutan bakau pun membahana di sekeliling tempat. Lengkap bersama hiasan kedip menyilaukan dari belalak luas langit, diiringi gelegar petir menciutkan segenap jiwa.“K-kaanggg ….,” sebut Bunga ketakutan sambil menangkupkan kedua kaki ke badan, dikalungi erat lengan melingkar sebagai pengunci dekap. “A-aku takut, K-kaangg.”“Neng ….,” timpal sosok di samping. “Ada apa, Neng?”Spontan Bunga menoleh ke samping dan langsung tersentak kaget. Sosok terkasih itu kini telah berubah. Menjadi seorang tua berwajah penuh keriput, menatap dirinya bersama bias keheranan.“Bi Enok ….?” Seketika gadis itu pun menyadari, sedang dimana kini keberadaannya. Bayang-bayang akan wujud kekasih tercinta di dalam benak tadi, mendadak lenyap, berganti dengan sosok perempuan renta bernama Bi Enok. “M-maafkan aku, Bi,” ujar Bunga dalam gelayut sipu serta risau yang mendera. “Ki Sanca belum juga datang ya, Bi?”Sebuah pertanyaan aneh bagi seorang Bi Enok yang sedari awal duduk menemani anak gadis majikannya. Namun lain pula dengan niat yang tebersit di hati Bunga, sekadar hendak mengalihkan suasana dari tatap heran pancaran bola mata sang pengasuh.“Sudah lama Ki Sanca datang dan masuk ke dalam kamar Juragan, Neng,” kata Bi Enok pelan, menjawab pertanyaan terakhir Bunga tentang sosok tabib Kampung Sarawu itu. “Apa Neng Bunga tidak melihat tadi?” tanyanya kemudian terheran-heran.Lagi-lagi Bunga tersentak. Sama sekali tidak pernah menyadari kapan Ki Sanca tiba. Bahkan Dirga pun sudah tampak kembali. Duduk menyendiri tidak seberapa jauh dari keberadaan mereka berdua.“Oh, maaf. Aku tidak menyadari itu, Bi. M-mungkin … karena tadi … aku sedang termenung,” ungkap gadis cantik berusia 23 tahun tersebut, malu.Sejenak, Bi Enok menghela napas. Keriput bibir tuanya menipis diiringi gelengan kepala, usai memperhatikan kondisi anak asuhnya tersebut.“Eneng teringat Nak Syaiful?” tanya Bi Enok kemudian. “Berdoalah, semoga saja anak muda itu tidak apa-apa dan cepat pulih. Seperti kondisi ayah Eneng di dalam kamar sana.”Itu bukan merupakan ucapan biasa, melainkan seperti sebuah sindiran halus terhadap sosok di samping. Bagaimana tidak, di saat Juragan Mahmud tengah terbaring dalam keadaan tidak berdaya, sang anak malah asyik memikirkan orang lain. Sayang sekali, Bunga sendiri tidak sepenuhnya memahami ungkapan Bi Enok baru saja.Dalam pada itu, tiba-tiba pintu kamar Juragan Mahmud terkuak. Seseorang muncul dari dalam dengan raut wajah lara. Dillah. Seketika Bunga pun bangkit dan mendekat.“Bagaimana kondisi Ayah sekarang, Kang?” serang gadis itu dengan sebuah pertanyaan yang sedari tadi bersiap-siap diajukan.Dillah tidak lantas menjawab. Namun dari raut wajah lelaki tersebut, seperti terlukis sebuah perasaan duka yang teramat mendalam. “J-juragan … eh, a-ayah Eneng maksud saya,” ungkap Dilla terpatah-patah, “ … kondisi beliau sekarang ….”BERSAMBUNGTRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 7Episode : Perang Dingin“Ada apa dengan Ayah saya, Kang?” tanya Bunga tidak sabar dengan sikap Dillah yang tampak ragu untuk menjawab pertanyaannya tadi. Karena hal itu pula, gadis tersebut nekat hendak ikut masuk ke dalam kamar.Dillah berusaha menahan dan menghalang-halangi, lalu berseru, “Jangan dulu masuk, Neng! Biarkan Juragan beristirahat untuk sementara waktu!”Bunga tetap memaksa. Berusaha masuk dengan cara mendorong-dorong badan anak buah ayahnya sekuat tenaga.“Itu ayahku sendiri, Kang! Jadi … biarkan saya masuk sekarang juga!” ujar gadis tersebut kesal.Di saat-saat ribut itulah, sosok Ki Sanca muncul. Dia keluar dari dalam kamar beserta beberapa orang lainnya. Kemudian mengajak Bunga untuk bersama-sama duduk dan menjelaskan keadaan Juragan Mahmud.“ … Juragan harus banyak beristirahat selama beberapa
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 8Episode : Misteri Makhluk Berwajah AnjingSesosok hitam tiba-tiba melesat ke arah Mahmud disertai geram menyeramkan laksana suara binatang buas hendak menerkam. Sontak laki-laki muda tersebut terkesiap dan melakukan gerakan mundur untuk menghindar. Hampir saja sesuatu mengenai badan bagian depan. Hanya sepersekian masa singkat dan cepat mengancam salah satu titik terlemah manusia, yakni dada. Dengan sigap, Mahmud lanjut mengentak kaki lebih jauh ke belakang seraya memasang kuda-kuda.“Siapa kau?!” tanya Mahmud masih dengan sisa keterkejutannya, melihat-lihat ke arah sosok tadi muncul dalam pandangan temaram. “Astaga!” Kali ini dia berseru kaget bukan kepalang. Bukan apa-apa, karena penampakan di depannya tersebut sungguh sangat mengejutkan. ‘Makhluk apa ini, Tuhan?’ bergumam kemudian di dalam hati.Dalam kepekatan malam dan dibantu sedikit bias cahaya centir di sana, pandangan mata Mahmud membentur pada satu sosok menyeramkan. Berwu
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 9Episode : Kecurigaan Seorang Mahmud“Sudah seharian ini aku tidak melihat ayahmu, Sum,” ujar Mahmud siang harinya pada sang istri, Sumiarsih. “Bahkan terakhir kali aku bertemu dengan beliau, kemarin waktu acara pesta pernikahan kita usai. Ke mana ayahmu itu?” tanya lelaki tersebut kemudian dengan sorot mata tajam.Sumiarsih yang baru saja selesai mandi, menoleh pada suaminya. Dia membetulkan letak belitan handuk di kepala sebelum menjawab.“Biasanya Ayah ada di rumah satunya lagi, Kang. Ayah memang jarang sekali mau tinggal di sini denganku. Lebih suka berdiam di sana sambil mengurusi pekerjaan,” kata perempuan tersebut tampak santai. “Ada apa? Akang ada perlu dengan Ayah?”Mahmud menghela napas panjang. Pandangannya sengaja dialihkan ke arah lain, guna menghindari tatapan dari Sumiarsih.“Ah, tidak. Aku hanya sekadar bertanya saja,” balas lelaki tersebut dengan benak masih menyimpan beberapa pertanyaan terkait kejadian semalam. “La
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 10Episode : Misteri SumiarsihHari itu Mahmud tidak diperkenankan untuk menjenguk Ki Darsan yang sedang dalam perawatan Tabib Sanca. Karena hal itu pula, lelaki tersebut semakin dibuat penasaran dan berkali-kali memaksa untuk menemui mertuanya.“Beliau itu ayah dari istri saya, Abah!” ujar Mahmud merasa kesal sekali pada Abah Langga. “Mengapa sampai berhari-hari saya tidak diperbolehkan menemui mertua saya sendiri?”“Tenanglah, Mahmud,” timpal Tetua Adat Kampung Sarawu itu. “Kondisi dia sekarang, tidak dalam keadaan lebih baik. Kita percayakan saja semuanya pada Saudara Tabib Sanca. Kelak kalau sudah pulih kembali, kau bisa menemui Ki Darsan.”Mahmud tetap tidak mau menerima dan bersikeras. Dia merasa bahwa Abah Langga telah menyembunyikan sesuatu darinya terkait sosok ayah Sumiarsih tersebut. Karena hal itu pula, hampir saja terjadi keributan besar antara anak muda dengan orang tua itu. Untung saja, Targa yang senantiasa mengawal ke
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian 11Episode : Kematian Ki DarsanSumiarsih menghambur peluk pada tubuh Mahmud. Di antara sedu sedannya, kembali perempuan tersebut melanjutkan ucapan, "Mulai sekarang ... saat ini, aku akan memasrahkan diri pada Akang seorang." Lelehan hangat mengalir deras menyusuri pipi dan jatuh membasahi baju Mahmud. "Tolong, jangan tinggalkan aku, Kang. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi."Masih dengan berbagai pertanyaan yang ada di dalam kepala, lelaki itu memutuskan untuk menunda terlebih dahulu desakan rasa keingintahuannya akan perihal masa lalu Sumiarsih dan Ki Darsan, sebagaimana tadi. Dia merekatkan tubuh istrinya semakin dalam lingkar peluk. Membiarkan beberapa saat sampai isak tangis perempuan tersebut mereda.Sebagai menantu dari salah seorang tokoh masyarakat Kampung Sarawu yang berpengaruh, Mahmud mencoba merayu dan mengajak Sumiarsih agar ikut hadir dalam acara pemakaman Ki Darsan. Awal-awalnya masih mendapatkan penolakan, hingga a
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 12Episode : Rahasia Dalam Misteri“Tapi pada kenyataannya Akang masih hidup sampai sekarang ‘kan, Kang? Karena apa? Sebab aku percaya kalau Akang akan mampu mengubah semuanya. Mengeluarkan aku dari permasalahan yang selama ini mengukung aku, Kang,” balas Sumiarsih masih bersikeras untuk tidak mengungkapkan hal yang sebenarnya pada Mahmud. “Bukan tanpa alasan aku menghendaki Akang untuk menjadi suamiku. Disamping itu … aku juga jatuh cinta pada Kang Mahmud. Akang seorang,” imbuh perempuan tersebut panjang lebar disertai kelopak mata menganak sungai. “Aku bersumpah, aku akan mengabdikan hidupku ini sepenuhnya hanya untuk Akang. Suamiku.”Pada satu itu, ada kebanggaan tersendiri bagi Mahmud saat mendengar ucapan dari lisan istrinya itu. Namun sebagai berbagai pertanyaan yang masih juga memenuhi benak, tidak serta merta membuat laki-laki tersebut luluh untuk sementara. Dia ber
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 13Episode : Pemakaman Ki DarsanDi saat Sumiarsih dan Enok sedang berbincang-bincang itulah, tiba-tiba pintu kamar kembali terkuak, disusul kemunculan sosok Mahmud berdiri dengan raut wajah dingin di sana.“Sebentar lagi jenazah ayahmu akan dibawa ke astana pemakaman, kamu masih tetap ingin bertahan berdiam di sini, Sum?” tanya lelaki tersebut terdengar datar.“Akang ….,” gumam Sumiarsih langsung bereaksi semringah begitu mendapati sosok suaminya tersebut. Bagi perempuan ini, kembalinya Mahmud yang beberapa saat sebelumnya berlalu begitu saja dari kamar, tentunya memberikan makna tersendiri di hati. Maka tanpa dipinta, dia bangkit untuk menghampiri dari tepian ranjang. “Akang memintaku untuk turut mengantarkan Ayah ke sana?”Mahmud menarik napas panjang-panjang seraya menipiskan bibir.“Setidaknya aku ingin istriku terlih
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 14Episode : Rencana Pengadilan AdatTok! Tok! Tok!Terdengar suara ketukan di pintu kamar, sekaligus membuyarkan lamunan Juragan Mahmud akan masa lalunya beberapa saat lalu.“Siapa?” tanya lelaki berusia 50 tahun tersebut seraya menoleh ke arah pintu.Terdengar jawaban parau dari arah luar, “Saya, Juragan.”Juragan Mahmud menarik napas panjang. “Masuklah,” ujarnya kemudian begitu mengenali siapa sosok yang berada di balik pintu kamarnya tersebut.Tidak berapa lama muncul sesosok perempuan tua usai menguak daun pintu. Bi Enok. Wajah pembantu tersebut tertunduk, tidak berani beradu tatap maupun melihat-lihat seisi kamar. Dia melangkah pelan mendekati Juragan Mahmud yang terbaring duduk di atas ranjang besar dengan posisi punggung bersandar pada dinding kayu.“Ada apa, Bi?” tanya ayah kandung Bunga itu