Beranda / Thriller / Topeng si Pembunuh / Bab 1. Kotak-kotak Misterius

Share

Topeng si Pembunuh
Topeng si Pembunuh
Penulis: moondavest

Bab 1. Kotak-kotak Misterius

Penulis: moondavest
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-19 07:44:52

Di sebuah ruangan sepetak, satu-satunya penerangan hanya sinar laptop. Seseorang bertudung jaket hitam sibuk bersenandung lembut. Suaranya menggema di antara kesunyian dalam ruangan. Sepasang matanya terpejam menikmati suara senandungnya sendiri.

Sudah lima belas menit berlalu layar laptop menyala. Ada sebuah gambar jeda video yang menampilkan seorang perempuan mengenakan pakaian minim—baju ketat tanpa lengan mengekspos bahu mulus sekaligus tulang selangka—meneguk sebuah minuman alkohol dengan posisi setengah terbaring ke arah kiri dan tangan kiri menopang tubuhnya.

Suara isak tangis seorang perempuan menggema di sunyi senyap ruangan. Sumbernya dari telepon rumah yang tak jauh dari seseorang bertudung ini.

"K-kau... kau tidak bisa berbuat... macam-macam denganku," ujar perempuan itu di sela isaknya.

"Oh, ya?" Senyuman miring merasa tertantang melengkung. "Makanya itu, aku sangat penasaran sekali untuk—"

"Tidak! Tidak! Kumohon..."

Seseorang bertudung ini tertawa dengan nada tertimbun. Mengejek perempuan di telepon yang bersikap sok berani tetapi menciut dalam waktu bersamaan.

"Kau tau? Kau sungguh menarik di foto ini," ujar seseorang itu. Matanya menelusuri foto di layar laptop. "Banyak bagian yang menyenangkan."

Salah satunya adalah seorang lelaki berada di sebelah perempuan itu. Lengannya memegang bahu kanan si perempuan yang terkespos sempurna sambil berpose mengecup bahu. Perempuan itu memiringkan kepalanya ke kiri dan membiarkan bibir lelaki itu berada di leher, mengecupnya dengan sensual.

Ini pemandangan sempurna!

Lelaki dengan tudung jaket membenamkan hampir seluruh wajah itu tak menyurutkan seringai. Ia memejamkan mata, membayangkan jika video ini tidak lama lagi akan memantik keramaian.

Perasaan tenang sekaligus gairah begitu menggebu-gebu mengalir ke celah-celah dadanya. Sensasi menyenangkan itu membuatnya mendongakkan kepala, merasa tubuh di awang-awang kenikmatan. Berapa kali pun dibayangkan, sensasi menyenangkan itu tetap mengalir.

"Tolong... ampun... aku harus bagaimana?"

"Kau harus bagaimana? Hmm... sebentar, biar kupikirkan. Kau ada ide?"

"Jangan seperti itu! Aku sudah menuruti keinginanmu, mengapa kau justru membalas dengan ini?"

"Kau yang bodoh," tandas seseorang bertudung. "Jelas-jelas kau yang membiarkan dirimu masuk dalam jebakan. Mengapa tidak menggunakan otakmu sejak awal?"

Isak tangis perempuan di telepon masih terdengar. Semakin suaranya menggema, semakin seseorang bertudung merasakan sensasi kenikmatan dalam dadanya.

"Kau tau bahwa kau tidak bisa bermain-main denganku, 'kan?" Lelaki itu bersuara pelan sekali. Merendah. Mengintimidasi. "Kalau seandainya video ini tersebar, aku membayangkan bagaimana nanti—"

"Tidak! Tolong... kumohon jangan..." Lalu sesegukan. Suaranya menyayat, persis seperti kehilangan harapan dan tidak tahu harus berbuat apa. "Aku akan lakukan apa pun untukmu. Kumohon jangan biarkan siapa pun mengetahui video itu."

"Ah... negosiasi. Aku benci negosiasi. Sebab apa? Kau terdengar seperti orang lemah," jawab lelaki itu dengan embusan napas kecewa. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Mengapa tidak melawanku saja?"

Tidak ada jawaban selain sesegukan. Perempuan itu berusaha menahan gemetarnya. Sayang sekali. Bagaimanapun juga seseorang di depan layar laptop tetap bisa menangkap suara gemetar di telinga, dan begitulah sensasi menyenangkan makin menyeruak: rasa tenteram mengalir perlahan, kemudian berakhir tawa lepas seraya bertepuk tangan pelan.

"Kau tau? Ini menyenangkan!" Dia bersuara di tengah tawanya. Seakan suara isak tangis dan gemetar perempuan itu adalah imun untuk hatinya. "Semakin kau menangis, semakin suaramu terdengar sangat merdu di telingaku."

"Ku-kumohon... aku akan memberikan... apa pun. Apa pun y-yang k-kau mau."

"Apa pun? Dusta!"

"A-aku tidak berdusta...."

Lelaki itu tertawa sinis. Kembali ia bersenandung hingga membuat isak tangis perempuan itu semakin sesegukan. Hanya selama sekitar sepuluh detik senandung itu bergema di ruangan sunyi senyap ini. Sebelum akhirnya tubuhnya menegak, mengulurkan jari telunjuk ke arah keyboard, menggigit bibir dengan senyum antusias.

"Kau terlambat, Sayang."

Jari telunjuk itu menekan tombol enter pada keyboard. Perempuan itu menjerit ketakutan sebab mengetahui apa maksud di balik kalimat 'terlambat'. Tombol enter itu mengantarkan video yang dijeda tadi masuk ke dalam beranda sebuah situs website. Dalam hitungan lima detik, setelah proses loading, video itu sudah terpampang di beranda website itu bersama sekumpulan video serupa lainnya.

"Brengsek! Kau brengsek! Bukankah aku memintamu untuk berhenti?!"

Makian perempuan itu tak berarti apa-apa. Lelaki itu menyandarkan lagi tubuhnya, memandang layar laptop. Segurat kepuasan terpancar dari sorot mata legam redupnya. Untuk kedua kali tawanya mengudara. Lebih kencang dan puas.

"Dasar manusia munafik. Sekarang kau malah memaki?"

***

Belakangan ini Aleena sedang dilanda kekhawatiran seiring perkembangan berita kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang merebak cepat. Kasus-kasus itu saling timpal-menimpali, setiap hari tanpa henti, memancing ketakutan dalam ruang hati dan pikiran Aleena. Tak ada hari tanpa merasa ada seseorang yang mengawasinya, pun tak ada tempat yang dirasa aman baginya.

Selama seminggu Aleena hanya sekelebat membuka sosial media. Rasanya menguras tenaga menyaksikan berita-berita serupa bermunculan. Era digital membuat pelecehan seksual bukan hanya bisa dilakukan di realitas, tetapi bisa melalui digital. Perasaan Aleena cemas tiap kali seseorang tak dikenal mengetuk DM sosial medianya.

"Pemerkosaan yang dilakukan seorang kakak kandung dari ayah korban tak hanya sekali, namun berulang kali. Pelaku juga melakukan hal itu kepada korban ketika sedang masa menstruasi—"

Tayangan televisi dimatikan oleh Aleena menyisakan kesunyian pekat. Hanya suara deru napasnya sendiri yang mengisi ruangan kamar. Ia menghela napas berat. Kesekian kalinya, lagi-lagi berita yang sama.

Aleena baru setengah bangkit dari posisi duduk, tetapi suara dering telepon ponsel terdengar. Alisnya mengernyit memandang nama di layar ponsel. Segera ia menyambar ponsel dan mengangkat telepon itu.

"Ada apa, Laura?" tanya Aleena sambil melangkah menuju kulkas.

"Aleena, sepertinya aku akan izin besok," ujar Laura di seberang. "Bisakah aku menitip absen padamu? Ada sesuatu urusan mendadak yang harus kukerjakan besok."

Alis Aleena mengerut. Ia membuka pintu kulkas dan mengecek isinya. "Hei, ada apa? Biasanya kamu nggak pernah mau titip absen."

Helaan napas Laura terdengar bersamaan helaan napas Aleena. Sepasang mata hitam redupnya sudah selesai menyusuri isi kulkas seakan tidak bernyawa: hanya ada sebuah botol air mineral berukuran medium yang tersisa. Botol lainnya sudah kosong melompong. Oh, ada empat sosis seukuran jari telunjuk orang dewasa.

Betapa sial Aleena selalu merasa berat hati setiap kali melihat isi kulkas menuju akhir bulan.

"—jadi, aku tidak bisa sama sekali buat ke kampus besok?"

Tunggu, Laura berkata apa tadi?

Aleena meringis seraya menutup kulkas. Memikirkan jatah akhir bulan malah membuatnya tidak fokus mendengarkan Laura. Namun Aleena mengiakan saja akhirnya.

"A-ah... heum... baiklah, Laura. Kamu boleh menitip absen besok. Akan kulaksanakan," ujar Aleena meskipun ia tidak mendengar penjelasan Laura tadi apa.

"Oke, Aleena! Kamu memang baik hati!" Laura bersorak riang. Entah kenapa.

Setelah itu telepon ditutup, bahkan sebelum Aleena sempat membalas. Alhasil Aleena memandang bingung layar ponsel sebelum membuang napas kasar. Pandangannya melirik ke jam. Sudah bertambah lima belas menit semenjak mengangkat telepon. Cepat sekali.

Tanpa mengulur waktu, kedua kaki jenjangnya segera melangkah keluar kamar asrama seraya menyambar jaket hoodie pada gantungan dekat pintu.

Begitu pintu terbuka, angin dingin malam menerpa wajah Aleena. Baru maju selangkah seraya menutup pintu, mengunci, lalu tatapan mata Aleena tidak sengaja menangkap sebuah kotak berwarna coklat berukuran medi di bawah jemuran kecilnya. Pergerakan tangan Aleena yang mengunci pintu melamban.

"Kotak ini lagi?" gumamnya memandang terperangah kotak di depannya.

Sejujurnya membicarakan soal perasaan seperti ada yang mengawasi, alasan lebih mendominasi adalah kotak ini. Sudah kelima kali kotak ini ditempatkan oleh entah siapa di depan kamar asramanya. Tidak ada alamat pengirim, tidak ada nama pengirim.

Aleena mengembuskan napas jengah sebelum melangkah mendekati kotak itu lalu berjongkok. Kotak itu ditarik mendekat, Aleena memerhatikan seluruh kotak mulai dari bagian depan, belakang, sisi kanan dan sisi kiri. Bentuknya sama seperti kotak sebelumnya. Tentu saja tak ada alamat pengirim ataupun nama pengirim.

Siapa pula orang kurang kerjaan yang mengirimkan kotak-kotak ini?

"Siapa sebenarnya kau?" Aleena bergumam, bertanya pada kotak itu. Sayang sekali kotak ini tidak bisa menjawab. Aleena mendengus kesal, lantas mendorong masuk kotak itu. "Kotak-kotak aneh! Kamu pikir aku itu cenayang yang bisa membaca masa depan, makanya tau pengirim kalian siapa?" lanjutnya seraya berkacak pinggang kepada si kotak.

Aleena menutup pintu kamar. Ketika berbalik, ia menemukan dua mahasiswi membawa plastik jajanan. Keduanya tampak terlibat percakapan sebelum melihat Aleena. Mendadak mereka bergeming, lalu saling bertatapan. Salah satu dari mereka mengintip ke arah bawah jemuran. Wajahnya keheranan.

"Kotaknya sudah kamu ambil?" tanya salah satu perempuan bergaya rambut bob.

Aleena terkesiap. "Sudah. Eh, kok kamu tau?" Ia melangkahkan kaki mendekat ke dua perempuan yang juga mendekatinya. Dia tak lagi berkacak pinggang. "Kamu lihat siapa yang kasih kotak ini?"

"Nggak," jawab perempuan satu lagi. "Tadi kita kebetulan lewat pos pak satpam dan katanya kotak itu tau-tau udah di deket pos, nggak tau siapa yang taruh. Pak Satpam tanya apa kamu ada di kamar atau enggak."

"Terus yang taruh di sini siapa?"

"Pak Satpam sama kami, lebih tepatnya kami yang antar dia ke kamar kamu."

Kening Aleena berkerut. Merasa rasa penasarannya belum terpuaskan. "Kalian bisa tau dari mana kalau kotaknya ini buat aku? Bukannya diletakin gitu aja sama seseorang entah siapa?"

"Iya, tapi di kotak itu ada tulisan 'untuk Aleena', gitu."

"Oh? Iya, kah?" Mata Aleena melebar sekaligus kedua alisnya terangkat. "Aku nggak sadar ada tulisan itu."

Atau jangan-jangan di setiap kotak ada tulisan untuk namanya, ya? Kenapa orang itu bisa tau nama Aleena?

Aleena langsung terkesiap, lalu memandang kedua perempuan di hadapannya yang tampak khawatir. Seakan memahami, Aleena tersenyum. "Itu bukan masalah besar, kok. Kadang suka ada kerabat jauh yang kasih hadiah atau barang. Mereka khawatir aku kekurangan pasokan kebutuhan selama di asrama. Agak rempong memang."

Raut wajah kedua perempuan itu serentak terlihat lega. Si pemilik rambut bergaya bob dengan poni rata di kening mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak Aleena. "Beruntung kamu ada yang perhatian buat pasokan makanan sama dikasih hadiah. Jangan lupa bagi-bagi ke kita, ya."

Tawa kecil Aleena keluar bersamaan tawa kecil dua perempuan itu. "Astaga. Nggak masalah. Nanti kubagikan."

Selepas kedua perempuan itu tertawa kecil serentak lagi, mereka mengangguk sebagai tanda berpamitan. Mulanya mereka menawarkan diri untuk menemani Aleena keluar ke Supermarket. Namun Aleena menolak sebab jarak dari gedung asrama menuju Supermarket tidak terlalu jauh.

Seiring kedua perempuan itu sudah semakin menjauh ke arah berlawanan, Aleena bergeming. Pikirannya melalang buana memikirkan kotak-kotak sebelum kotak sekarang. Ternyata Pak Satpam yang selama ini mengantarkan kotak?

Aleena mengetahui fakta kalau ternyata pengirimnya tahu namanya. Kotak-kotak itu bukan diletakkan secara asal. Meskipun begitu, Aleena lega terhadap satu hal: si pengirim sepertinya tidak tahu letak kamar asramanya dan kemungkinan bukan mahasiswa atau mahasiswi gedung asrama ini.

Tidak masalah. Pengirimnya mungkin tahu letak gedung asrama Aleena, tetapi tidak mengetahui letak kamarnya di mana. Untuk sementara waktu mungkin kekhawatiran Aleena bisa mereda.

Hanya untuk sementara waktu sebelum Aleena akan menyadari suatu celah yang luput dipikirkan otaknya.

Bab terkait

  • Topeng si Pembunuh   Bab 2. Penemuan Mayat di Kampus

    Ada dua hal di daftar paling atas hal yang amat dibenci Aleena: (1) Terlambat Bangun, (2) Bertemu Azka. Hari ini sial sekali. Ia terbangun pukul tujuh kurang lima belas menit, sedangkan mata kuliahnya dimulai pukul tujuh tepat. Maka di sinilah Aleena, berlari tergesa-gesa membawa tas ransel seraya membenahi almamater di tubuh. Kepanikan begitu kentara dari pancaran raut wajah dan sorot mata perempuan itu. Napasnya sudah terengah-engah ketika berhenti di pinggir jalan hendak menyebrang. Tatapan Aleena pasrah saat memandang lalu lintas hari ini padat sekali. Ia berkacak pinggang seraya mendesis panjang. "Sshh... sial. Kenapa harus ramai sekali, sih?" Aleena menunggu dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukkan alas sepatu ke aspal. Tatapannya was-was mencari celah menyebrang. "Ayo dong, cepet... cepet... nanti terlambat." Berulang kali bibir Aleena menggumamkan rapalan doa. Semakin melihat kendaraan begitu padat hingga tidak ada celah untuk menyebrang, Aleena m

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 3. Seseorang Misterius

    "Aleen—AW! ASTAGA!" Aleena hampir menganga setelah melayangkan tendangan ke seseorang di samping. Rupanya seseorang yang menciptakan suara ketukan langkah lain dari belakang adalah Azka. Aleena memandang bingung Azka yang mengelus tulang kakinya bekas tendangan Aleena. Karena kekesalannya memuncak, lantas Aleena menggeplak pundak Azka. "Sialan kamu, Azka! Kenapa sih harus kayak tadi, ha?! Kamu pikir itu lucu? Menyenangkan ya bikin orang lain takut?" Bagaimana Aleena tidak kesal kalau Azka tiba-tiba muncul di sela suasana sunyi lorong koridor ini. Aleena sedang berjalan sendirian, seharusnya Azka tidak mengejutkannya seperti itu! Di sampingnya, Azka meringis. "Aduh, tenaga sumo..." "Apa?!" Aleena meninggikan suara. "Makanya jangan macam-macam! Tanganmu itu loh gatal sekali ke leherku!" Menegakkan tubuh, Azka berdecak. "Iya, iya, maaf. Namanya juga iseng." Aleena mendecak. "Namanya juga iseng," cibirnya mengulang jawaban Azka. Pandangannya beralih ke de

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

    Aleena membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. Suara erangan Aleena keluar bersamaan tubuhnya ditegakkan dengan kedua tangan diangkat ke udara, merenggangkan otot-otot. Bunyi tulang sempat membuat tersentak terkejut. Rasa pegal di pinggang sepertinya sungguh sudah melewati batas. Sepulang dari kampus, ia langsung mengerjakan tugas-tugas dari Prof. Kim yang sungguh kelewat tidak punya nurani. "Ah... sudahlah. Nggak usah pikirin apa-apa." Perempuan itu menggumam sambil menggelengkan kepala. Dalam kondisi mata terpejam, Aleena mencoba menjernihkan pikiran. Selama beberapa saat itu ia mengatur ritme napas serta detak jantung. Aleena membiarkan perasaan lega mengalir menjalarkan ketenangan. Beban di dadanya seolah menguap hitungan sekejap. Kalau begini, kan, Aleena bisa tertidur nyenyak. Ting. Pandangan Aleena menengok ke layar ponsel yang menyala, lalu sedikit melonjongkan leher untuk mengecek tampilan pada layar. Sebuah notifikasi pesan muncul menampakk

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 5. Rekaman CCTV dan Rumor Bisnis Rahasia

    Satu-satunya hal yang paling mengganggu Aleena sekarang adalah ketiga foto polaroid di tangannya. Hari ini ia memang berniat untuk menelisik gedung fakultas apa yang ada di foto ini, maka ketiga foto itu sengaja dibawa ke kampus. Namun meskipun Aleena sudah memerhatikan—bahkan sampai penjelasan dari sang Dosen masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetap saja otaknya tidak bisa mencapai pemahaman bangunan apa ini. Masalahnya foto polaroid di tangan Aleena difilter BMW: hitam cukup tebal dengan agak keabu-abuan di beberapa titik. Jangan salahkan Aleena karena tidak bisa menebak gedung bangunan fakultas apa. Seluruh gedung di kampusnya nyaris serupa dari bentuk bangunan, ketinggian, warna. Hanya dibedakan melalui bentuk pucuk gedung, dan masalahnya Aleena tidak hafal bentuk-bentuk pucuk gedung seluruh fakultas. "Bentuk jendela yang nggak ada garis memecah empat... papan kayu di atas bangunan... jumlah anak tang—" "Aleena!" Langkah Aleena yang menyusuri lorong

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 6. Bibit Kecurigaan

    Kelas mata kuliah terakhir sudah selesai. Sejak ditunjukkan rekaman CCTV oleh Azka, Aleena memutuskan untuk membuat mind-mapping(¹) secara diam-diam. Di kepalanya sudah tersusun rencana untuk mendatangi lokasi yang berada dalam rekaman CCTV. Aleena sungguh-sungguh tidak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Sosok pria misterius yang mengikuti dirinya dan Azka dua malam kemarin membayangi pikiran Aleena. Mengapa pria itu mengikuti mereka? Aleena tidak merasa mengganggu siapa pun. Kalaupun memang seseorang itu berniat macam-macam, mengapa langkahnya ragu-ragu saat ingin mendekati ruangan persembunyian Aleena dan Azka? Kalau saja keberadaan si pria misterius itu tidak tertangkap kamera CCTV, maka Aleena tidak akan ingin menelusuri. Masalahnya, Aleena merasa kalau pria misterius itu ada keterkaitan dengan foto-foto yang ditemukan di dalam kotak. Bayangkan. Tiga foto polaroid dari salah satu kotak yang dikirimkan entah siapa menunjukkan wilayah Fakultas Kedokteran

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-13
  • Topeng si Pembunuh   Bab 7. Klub Teater Jiwa

    “Semalam saya tidak mencatat pengunjung luar yang datang, Mbak. Hanya ada empat kegiatan ekstrakurikuler berjalan. Dua di antara empat itu memang mengenakan setelan hoodie abu-abu dan hitam. Saya hanya tidak melihat ada keluar ataupun masuk. Sepertinya semua anggota ekstrakurikuler melaksanakan kegiatan di dalam gedung ini.”. Kalimat yang diucapkan si penjaga meja resepsionis berputar di kepala Aleena selama kedua kakinya melangkah menyusuri lorong koridor. Kedua mata Aleena tegas menatap ke depan, melalui beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memandangnya penuh pertanyaan. Namun Aleena tidak memedulikan sekeliling. Aleena masih tidak bisa mencerna kalimat si penjaga. Bagaimana bisa dia tidak melihat ada yang keluar atau masuk kalau rekaman kamera CCTV jelas-jelas merekam ada seseorang melakukan itu? Berulang kali Aleena pikirkan sampai rasanya di kepalanya sekarang muncul kotak-kotak kemungkinan yang menggambarkan kejadian secara terpisah.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-18
  • Topeng si Pembunuh   Bab 8: Jejak Bukti Pada Hoodie

    Azka benar-benar seseorang yang berpikir di luar dugaan!Sedari mereka keluar dari ruangan tempat ekstrakurikuler Teater Jiwa berlatih—dengan Azka yang menggenggam dua plastik berisi pakaian kotor tentu saja, Aleena menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin dilakukan Azka. Padahal Aleena merencanakan ingin melihat isi dari ruangan tempat ganti baju. Namun karena kedatangan Azka secara mendadak membuat rencananya batal. Sekarang Aleena sudah tiba di tempat laundry khusus yang disediakan kampus untuk mahasiswa atau mahasiswi asrama. Di depan mereka Ferdian sudah meletakkan dua kantung plastik hitam berukuran sedang dan membiarkan petugas laundry mengambil itu. “Sebenarnya kau ingin melakukan apa?” Aleena bertanya dengan berbisik sangat pelan, mengantisipasi agar Ferdian tidak mendengar. Azka hanya melihat sekilas ke arah Aleena, dan tersenyum kecil. “Lihat saja.”Belum sempat Aleena membalas lagi, Ferdian sudah membalik

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-20
  • Topeng si Pembunuh   Bab 9: Menyadap Percakapan

    "Apa kamu sudah menemukan target selanjutnya?" Di tengah ruangan sepetak dengan pencahayaan remang-remang, suara dari rekaman terdengar. Menggema bagai suara hantu. Tidak ada cahaya putih terang, hanya cahaya dari dua layar komputer menyala yang menampilkan baris-baris data algoritma. Orang awam tidak akan mungkin bisa paham. Namun tidak untuk Azka. Satu layar komputer di depan mata Azka menunjukkan ruang lobi laundry. Tempat resepsionis menyambut para pengunjung. Namun yang menjadi perhatian Azka bukan ruangan itu. Dua pria yang berdiri saling berhadapan. Menyamping dari kamera kecil yang beberapa saat lalu sengaja dipasang Azka pada meja resepsionis. Azka tidak tahu siapa pria itu. Hanya pria yang berdiri di sisi kiri. Ia adalah Kevin. "Aku sudah menemukan, tapi maaf jumlahnya tidak bisa sesuai keinginannmu." Azka mengerutkan kening. Dieratkan earpiece—alat kecil di telinga untuk mendengar rekaman sadapan—untuk mendengarkan lebih saksama. Sementara tangan kiri Azka yang terb

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19

Bab terbaru

  • Topeng si Pembunuh   Bab 9: Menyadap Percakapan

    "Apa kamu sudah menemukan target selanjutnya?" Di tengah ruangan sepetak dengan pencahayaan remang-remang, suara dari rekaman terdengar. Menggema bagai suara hantu. Tidak ada cahaya putih terang, hanya cahaya dari dua layar komputer menyala yang menampilkan baris-baris data algoritma. Orang awam tidak akan mungkin bisa paham. Namun tidak untuk Azka. Satu layar komputer di depan mata Azka menunjukkan ruang lobi laundry. Tempat resepsionis menyambut para pengunjung. Namun yang menjadi perhatian Azka bukan ruangan itu. Dua pria yang berdiri saling berhadapan. Menyamping dari kamera kecil yang beberapa saat lalu sengaja dipasang Azka pada meja resepsionis. Azka tidak tahu siapa pria itu. Hanya pria yang berdiri di sisi kiri. Ia adalah Kevin. "Aku sudah menemukan, tapi maaf jumlahnya tidak bisa sesuai keinginannmu." Azka mengerutkan kening. Dieratkan earpiece—alat kecil di telinga untuk mendengar rekaman sadapan—untuk mendengarkan lebih saksama. Sementara tangan kiri Azka yang terb

  • Topeng si Pembunuh   Bab 8: Jejak Bukti Pada Hoodie

    Azka benar-benar seseorang yang berpikir di luar dugaan!Sedari mereka keluar dari ruangan tempat ekstrakurikuler Teater Jiwa berlatih—dengan Azka yang menggenggam dua plastik berisi pakaian kotor tentu saja, Aleena menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin dilakukan Azka. Padahal Aleena merencanakan ingin melihat isi dari ruangan tempat ganti baju. Namun karena kedatangan Azka secara mendadak membuat rencananya batal. Sekarang Aleena sudah tiba di tempat laundry khusus yang disediakan kampus untuk mahasiswa atau mahasiswi asrama. Di depan mereka Ferdian sudah meletakkan dua kantung plastik hitam berukuran sedang dan membiarkan petugas laundry mengambil itu. “Sebenarnya kau ingin melakukan apa?” Aleena bertanya dengan berbisik sangat pelan, mengantisipasi agar Ferdian tidak mendengar. Azka hanya melihat sekilas ke arah Aleena, dan tersenyum kecil. “Lihat saja.”Belum sempat Aleena membalas lagi, Ferdian sudah membalik

  • Topeng si Pembunuh   Bab 7. Klub Teater Jiwa

    “Semalam saya tidak mencatat pengunjung luar yang datang, Mbak. Hanya ada empat kegiatan ekstrakurikuler berjalan. Dua di antara empat itu memang mengenakan setelan hoodie abu-abu dan hitam. Saya hanya tidak melihat ada keluar ataupun masuk. Sepertinya semua anggota ekstrakurikuler melaksanakan kegiatan di dalam gedung ini.”. Kalimat yang diucapkan si penjaga meja resepsionis berputar di kepala Aleena selama kedua kakinya melangkah menyusuri lorong koridor. Kedua mata Aleena tegas menatap ke depan, melalui beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memandangnya penuh pertanyaan. Namun Aleena tidak memedulikan sekeliling. Aleena masih tidak bisa mencerna kalimat si penjaga. Bagaimana bisa dia tidak melihat ada yang keluar atau masuk kalau rekaman kamera CCTV jelas-jelas merekam ada seseorang melakukan itu? Berulang kali Aleena pikirkan sampai rasanya di kepalanya sekarang muncul kotak-kotak kemungkinan yang menggambarkan kejadian secara terpisah.

  • Topeng si Pembunuh   Bab 6. Bibit Kecurigaan

    Kelas mata kuliah terakhir sudah selesai. Sejak ditunjukkan rekaman CCTV oleh Azka, Aleena memutuskan untuk membuat mind-mapping(¹) secara diam-diam. Di kepalanya sudah tersusun rencana untuk mendatangi lokasi yang berada dalam rekaman CCTV. Aleena sungguh-sungguh tidak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Sosok pria misterius yang mengikuti dirinya dan Azka dua malam kemarin membayangi pikiran Aleena. Mengapa pria itu mengikuti mereka? Aleena tidak merasa mengganggu siapa pun. Kalaupun memang seseorang itu berniat macam-macam, mengapa langkahnya ragu-ragu saat ingin mendekati ruangan persembunyian Aleena dan Azka? Kalau saja keberadaan si pria misterius itu tidak tertangkap kamera CCTV, maka Aleena tidak akan ingin menelusuri. Masalahnya, Aleena merasa kalau pria misterius itu ada keterkaitan dengan foto-foto yang ditemukan di dalam kotak. Bayangkan. Tiga foto polaroid dari salah satu kotak yang dikirimkan entah siapa menunjukkan wilayah Fakultas Kedokteran

  • Topeng si Pembunuh   Bab 5. Rekaman CCTV dan Rumor Bisnis Rahasia

    Satu-satunya hal yang paling mengganggu Aleena sekarang adalah ketiga foto polaroid di tangannya. Hari ini ia memang berniat untuk menelisik gedung fakultas apa yang ada di foto ini, maka ketiga foto itu sengaja dibawa ke kampus. Namun meskipun Aleena sudah memerhatikan—bahkan sampai penjelasan dari sang Dosen masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetap saja otaknya tidak bisa mencapai pemahaman bangunan apa ini. Masalahnya foto polaroid di tangan Aleena difilter BMW: hitam cukup tebal dengan agak keabu-abuan di beberapa titik. Jangan salahkan Aleena karena tidak bisa menebak gedung bangunan fakultas apa. Seluruh gedung di kampusnya nyaris serupa dari bentuk bangunan, ketinggian, warna. Hanya dibedakan melalui bentuk pucuk gedung, dan masalahnya Aleena tidak hafal bentuk-bentuk pucuk gedung seluruh fakultas. "Bentuk jendela yang nggak ada garis memecah empat... papan kayu di atas bangunan... jumlah anak tang—" "Aleena!" Langkah Aleena yang menyusuri lorong

  • Topeng si Pembunuh   Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

    Aleena membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. Suara erangan Aleena keluar bersamaan tubuhnya ditegakkan dengan kedua tangan diangkat ke udara, merenggangkan otot-otot. Bunyi tulang sempat membuat tersentak terkejut. Rasa pegal di pinggang sepertinya sungguh sudah melewati batas. Sepulang dari kampus, ia langsung mengerjakan tugas-tugas dari Prof. Kim yang sungguh kelewat tidak punya nurani. "Ah... sudahlah. Nggak usah pikirin apa-apa." Perempuan itu menggumam sambil menggelengkan kepala. Dalam kondisi mata terpejam, Aleena mencoba menjernihkan pikiran. Selama beberapa saat itu ia mengatur ritme napas serta detak jantung. Aleena membiarkan perasaan lega mengalir menjalarkan ketenangan. Beban di dadanya seolah menguap hitungan sekejap. Kalau begini, kan, Aleena bisa tertidur nyenyak. Ting. Pandangan Aleena menengok ke layar ponsel yang menyala, lalu sedikit melonjongkan leher untuk mengecek tampilan pada layar. Sebuah notifikasi pesan muncul menampakk

  • Topeng si Pembunuh   Bab 3. Seseorang Misterius

    "Aleen—AW! ASTAGA!" Aleena hampir menganga setelah melayangkan tendangan ke seseorang di samping. Rupanya seseorang yang menciptakan suara ketukan langkah lain dari belakang adalah Azka. Aleena memandang bingung Azka yang mengelus tulang kakinya bekas tendangan Aleena. Karena kekesalannya memuncak, lantas Aleena menggeplak pundak Azka. "Sialan kamu, Azka! Kenapa sih harus kayak tadi, ha?! Kamu pikir itu lucu? Menyenangkan ya bikin orang lain takut?" Bagaimana Aleena tidak kesal kalau Azka tiba-tiba muncul di sela suasana sunyi lorong koridor ini. Aleena sedang berjalan sendirian, seharusnya Azka tidak mengejutkannya seperti itu! Di sampingnya, Azka meringis. "Aduh, tenaga sumo..." "Apa?!" Aleena meninggikan suara. "Makanya jangan macam-macam! Tanganmu itu loh gatal sekali ke leherku!" Menegakkan tubuh, Azka berdecak. "Iya, iya, maaf. Namanya juga iseng." Aleena mendecak. "Namanya juga iseng," cibirnya mengulang jawaban Azka. Pandangannya beralih ke de

  • Topeng si Pembunuh   Bab 2. Penemuan Mayat di Kampus

    Ada dua hal di daftar paling atas hal yang amat dibenci Aleena: (1) Terlambat Bangun, (2) Bertemu Azka. Hari ini sial sekali. Ia terbangun pukul tujuh kurang lima belas menit, sedangkan mata kuliahnya dimulai pukul tujuh tepat. Maka di sinilah Aleena, berlari tergesa-gesa membawa tas ransel seraya membenahi almamater di tubuh. Kepanikan begitu kentara dari pancaran raut wajah dan sorot mata perempuan itu. Napasnya sudah terengah-engah ketika berhenti di pinggir jalan hendak menyebrang. Tatapan Aleena pasrah saat memandang lalu lintas hari ini padat sekali. Ia berkacak pinggang seraya mendesis panjang. "Sshh... sial. Kenapa harus ramai sekali, sih?" Aleena menunggu dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukkan alas sepatu ke aspal. Tatapannya was-was mencari celah menyebrang. "Ayo dong, cepet... cepet... nanti terlambat." Berulang kali bibir Aleena menggumamkan rapalan doa. Semakin melihat kendaraan begitu padat hingga tidak ada celah untuk menyebrang, Aleena m

  • Topeng si Pembunuh   Bab 1. Kotak-kotak Misterius

    Di sebuah ruangan sepetak, satu-satunya penerangan hanya sinar laptop. Seseorang bertudung jaket hitam sibuk bersenandung lembut. Suaranya menggema di antara kesunyian dalam ruangan. Sepasang matanya terpejam menikmati suara senandungnya sendiri. Sudah lima belas menit berlalu layar laptop menyala. Ada sebuah gambar jeda video yang menampilkan seorang perempuan mengenakan pakaian minim—baju ketat tanpa lengan mengekspos bahu mulus sekaligus tulang selangka—meneguk sebuah minuman alkohol dengan posisi setengah terbaring ke arah kiri dan tangan kiri menopang tubuhnya. Suara isak tangis seorang perempuan menggema di sunyi senyap ruangan. Sumbernya dari telepon rumah yang tak jauh dari seseorang bertudung ini. "K-kau... kau tidak bisa berbuat... macam-macam denganku," ujar perempuan itu di sela isaknya. "Oh, ya?" Senyuman miring merasa tertantang melengkung. "Makanya itu, aku sangat penasaran sekali untuk—" "Tidak! Tidak! Kumohon..." Seseorang bertudung ini t

DMCA.com Protection Status