Home / Thriller / Topeng si Pembunuh / Bab 3. Seseorang Misterius

Share

Bab 3. Seseorang Misterius

Author: moondavest
last update Last Updated: 2022-01-19 07:47:21

"Aleen—AW! ASTAGA!"

Aleena hampir menganga setelah melayangkan tendangan ke seseorang di samping. Rupanya seseorang yang menciptakan suara ketukan langkah lain dari belakang adalah Azka. Aleena memandang bingung Azka yang mengelus tulang kakinya bekas tendangan Aleena. Karena kekesalannya memuncak, lantas Aleena menggeplak pundak Azka.

"Sialan kamu, Azka! Kenapa sih harus kayak tadi, ha?! Kamu pikir itu lucu? Menyenangkan ya bikin orang lain takut?"

Bagaimana Aleena tidak kesal kalau Azka tiba-tiba muncul di sela suasana sunyi lorong koridor ini. Aleena sedang berjalan sendirian, seharusnya Azka tidak mengejutkannya seperti itu!

Di sampingnya, Azka meringis. "Aduh, tenaga sumo..."

"Apa?!" Aleena meninggikan suara. "Makanya jangan macam-macam! Tanganmu itu loh gatal sekali ke leherku!"

Menegakkan tubuh, Azka berdecak. "Iya, iya, maaf. Namanya juga iseng."

Aleena mendecak. "Namanya juga iseng," cibirnya mengulang jawaban Azka. Pandangannya beralih ke depan, ia merasa sedikit lebih tenang mengetahui kedatangan Azka. "Lagian kamu mau apa masih di kampus malam-malam begini?"

Azka menggumam cukup panjang. Ia menempelkan telunjuk pada bibir dengan pandangan serius. "Sebenarnya aku ke sini karena ingin menemukan sesuatu," katanya memelankan suara. Ia baru ingin membuka mulut lagi, namun entah kenapa lehernya justru tergerak otomatis menoleh ke belakang.

Aleena memerhatikan perubahan raut wajah Azka tiba-tiba menyiratkan kekhawatiran. Dari tenang, lalu berubah waspada. Kening Aleena berkerut keheranan, lantas mengikuti arah mata Azka. Namun Aleena tidak melihat apapun selain kekosongan lorong.

"Azka?" panggil Aleena begitu sudah memandang Azka lagi.

Azka sedikit tersentak, membuat Aleena semakin bingung. "A-ah... enggak. Len, kamu mau ke Ruang Auditorium, kan?"

Aleena terkejut. "He? Loh, kok kamu bisa tau?"

Sekali lagi Azka melirik ke belakang dengan tatapan wanti-wanti. Aleena sudah terlanjur kesal akhirnya mendecak.

"Ada apa si—" Kalimat Aleena langsung menggantung begitu Azka tiba-tiba melingkarkan tangannya ke leher Aleena. Mata Aleena langsung melotot. "Azka, apa-apa—"

Kedua kalinya Aleena tidak bisa menyelesaikan kalimat sebab Azka mendadak membekap mulut Aleena. Napas Aleena tertahan, membuatnya menepuk punggung tangan Azka. Di balik tangan pria itu, Aleena memprotes tetapi suaranya teredam. Apalagi saat Azka mendorong pelan tubuh Aleena untuk berjalan maju.

Langkah Azka dan Aleena menyusuri koridor. Azka membawa Aleena ke jalur yang dikehendakinya tadi. Beberapa meter kemudian mereka berjalan ke belokan koridor, Aleena masih menepuk-nepuk punggung tangan Azka.

"Ssh... kumohon, Len, diam," bisik Azka dengan kecemasan yang semakin kentara.

Pergerakan tangan Aleena yang menepuk-nepuk punggung tangan Azka melamban. Melihat sorot khawatir Azka ke sesuatu entah apa di belakang, membuat Aleena mengernyit.

Sampai Azka tak lagi menengok ke belakang, lalu mendekat ke Aleena. "Kamu dengar sesuatu?"

Aleena semakin dalam mengerutkan kening. Ekspresinya seketika menegang. Dengan raut wajah kesal, Aleena memberi tahu Azka jangan bergurau. Alih-alih menjawab, Azka memandang Aleena semakin serius. Ada isyarat kepada perempuan itu supaya mempertajam pendengaran.

Namun Aleena masih tidak mendengar apa pun. Azka mendesis pelan. "Dengarkan baik-baik. Jalan pelan-pelan. Suara..."

Kalimat Azka sengaja tidak diselesaikan sebab suara lain terdengar. Bukan suara langkah mereka, melainkan gesekan tapak kaki antara alas sepatu dan rerumputan dari jarak tidak terlalu jauh. Baru detik itulah Aleena mendengarnya. Aleena memudarkan ekspresi kekesalan, beralih memandang Azka khawatir.

"It's okay, kita pura-pura jalan biasa seolah nggak dengar apa pun," ujar Azka yang entah bagaimana bisa membaca kekhawatiran Aleena. "Aku sengaja tutup mulut kamu supaya nggak teriak mendadak. Tenang."

Tentu saja Aleena tidak bisa tenang!

Aleena tidak perlu bertanya untuk tahu kalau ada seseorang mengikuti di belakang. Ia ingin menoleh, tetapi pergerakan kepalanya ditahan oleh Azka. Entah siapa yang berada di belakang mereka sekarang, namun suaranya terdengar mengiringi langkah mereka!

Azka jengkel karena seseorang entah siapa tak kunjung berhenti melangkah. Pada akhirnya, Azka membawa Aleena berbelok ke salah satu ruangan kelas di lorong itu hingga membuat Aleena terkesiap. Aleena hendak melawan, tetapi keduanya sudah lebih dahulu masuk ke ruangan.

Tangan Azka baru terlepas ketika lelaki itu mengunci pintu ruangan dengan gerakan cekatan. Menyisakan kegelapan tanpa cahaya sedikitpun.

Aleena nyaris tidak bisa melihat apa pun di sekeliling. Ia meraba almamater untuk mengambil ponsel seraya berjalan mundur. Namun tidak ada ponsel di saku almamater maupun saku baju dan celananya. Pikiran Aleena seketika buyar. Ia bahkan lupa di mana ponselnya diletakkan.

"Azka sialan!" desis Aleena hampir tak sadar meninggikan suara.

"Sssh! Udah kubilang diam, Aleena. Kamu mau dia ikut ke sini?"

Dalam kegelapan ruangan, Aleena bahkan tidak tahu posisi Azka di mana. Tahu-tahu saja wajah Azka muncul dari samping dengan senter ponsel menyorot ke wajah. Jantung Aleena nyaris berhenti berdetak.

"Kamu mau ngapain, sih?" tanya Aleena, memandang Azka kesal sekaligus tidak mengerti.

Azka, yang berdiri di hadapan Aleena sambil menyorotkan sinar senter ponsel ke wajahnya sendiri, memasang ekspresi serius. Jari telunjuknya ditempelkan ke bibir. "Ssst. Jangan bicara dulu."

Aleena menghela napas berat. "Ada apa sih? Siapa yang ikutin—"

"Ssst," Azka menekan desisnya, melotot, "kubilang jangan bicara dulu."

"Tapi aku—"

Kalimat Aleena menggantung ketika Azka kembali menutup mulutnya. Aleena terbelalak saat Azka membawa tubuh Aleena bergerak mundur, membuat Aleena nyaris terhuyung ke belakang kalau tidak segera menyeimbangkan tubuh. Lalu tubuh keduanya kompak berjongkok merapat ke dinding jendela.

"Azka, kamu pasti tau kan siapa yang mengikuti di belakang?" Aleena bertanya hampir melirih ketika mereka sudah duduk merapat ke dinding.

Sambil berjinjit kecil untuk mengintip sedikit ke luar jendela, Azka hanya menggelengkan kepala. Aleena baru membuka mulut, tetapi suara derap langkah kaki dari koridor samping mendadak terdengar. Bulu kuduk perempuan itu meremang. Azka segera duduk lagi di sebelah Aleena, lalu berkutat dengan ponselnya.

"Ada siapa?" bisik Aleena pelan sekali.

Setelah beberapa detik Azka meletakkan layar ponsel di tengah dirinya dan Aleena. Pada layar itu menampilkan kegelapan koridor. Ada siluet seseorang dengan pakaian serba hitam berjalan sendirian. Selama beberapa detik tatapan Aleena begitu serius memerhatikan pergerakan itu.

Di pikirannya, Aleena mencoba mencocokkan kemungkinan: derap langkah di samping mendekat, seorang pria di layar sudah nyaris berada di depan pintu sebuah ruangan.

Napas Aleena tercekat bersamaan matanya melotot panik ke arah Azka. "Ini..."

Azka menganggukkan kepala. "Pria di layar ini adalah pria di koridor sebelah ruangan sini."

"Kamu pasang kamera?" tanya Aleena kepada Azka pelan sekali.

Masih dengan pandangan fokus ke arah layar, Azka menjawab, "Koridor ini titik buta."

Tepat setelah Azka mengatakan itu, seseorang di layar ponsel berhenti tepat di sebelah ruangan mereka berada. Kepalanya menoleh ke arah ruangan ini, membuat Aleena sontak merapatkan tubuhnya ke Azka.

"Tenang," bisik Azka pelan sekali, tepat di telinga Aleena. "Tenang, Aleena."

Kedua pasang mata mereka masih memerhatikan seseorang di layar. Entah apa yang dilakukan seseorang ini. Tak ada pergerakan, tetap diam dengan pandangan tertuju ke ruangan tempat mereka berada.

Aleena merasakan salah satu tangan Azka memegang tangannya, erat sekali, seakan menyalurkan ketenangan. Gurat kekhawatiran di wajah Azka kentara di balik upaya mencoba tenang.

Suara derap langkah itu kembali terdengar. Ketukannya pelan sekali. Satu, satu.

Dan pada layar ponsel Azka, seseorang itu berjalan melambat mendekati pintu ruangan ini.

Dekat, semakin dekat.

Aleena memejamkan mata erat-erat. Situasi hening menjadikan suara langkah menuju pintu ruangan semacam nada-nada kematian di telinga Aleena. Deru napasnya memburu. Dadanya sesak sekali sebab degup jantung memompa lebih cepat.

Langkah pria di layar semakin dekat, dekat, dekat... hingga pria itu mengulurkan tangan untuk meraih gagang pintu. Sungguh-sungguh hanya butuh—

"WOI, SIAPA DI SANA?"

"WEH. JANGAN TERIAK-TERIAK DONG!"

"KAMPUS SEPI, BEBAS DONG!"

"TAU, NIH!"

Suara teriakan keramaian sahut menyahut menyentakkan Aleena hingga matanya terbuka kembali. Saat melihat layar ponsel, seseorang yang semula berdiri di depan pintu ruangan sudah berlari ke arah berlawanan. Aleena baru bisa membuang napas lega dan menyandarkan kepalanya ke dinding.

"Ya Tuhan..." Aleena bergumam di tengah deru napasnya yang tersengal-sengal. "Ya Tuhan, kupikir aku bakal mati...."

Karena merasa tidak punya energi untuk membicarakan hal ini, apalagi suara seruan semakin mendekat, Aleena menghela napas. Ia tahu kalau teman-teman sesama anggota organisasinya datang. Maka, Aleena bangkit dari posisi duduk, disusul Azka, lalu memandang Azka dengan tatapan penuh ketajaman.

"Kamu hutang penjelasan sama aku, besok!"

Azka mengerutkan kening. Aleena sudah melenggang pergi dari hadapannya sambil menyalakan senter. Sudut bibir Azka terangkat membentuk senyum miring. Kepalanya menggeleng-geleng.

***

Malam telah menyelimuti langit dengan kegelapan.

Katanya ini waktu paling ditakuti manusia: kegelapan, ketakutan, kesunyian, ketidakberdayaan melihat suasana sekeliling dengan leluasa, dan tidak ada siapa pun bisa mendengar suaramu.

Semua sibuk terlelap, tetapi sepasang mata seseorang bertudung ini tetap mengawasi layar laptop yang menjadi satu-satunya penerangan. Tampilan layar laptop menampakkan sebuah kolom chat berlatar belakang hitam. Beberapa kalimat terpampang di sana. Buble-buble pesan saling timpal menimpali satu sama lain.

Malam ini ruang obrolan sedang ramai.

Kelewat ramai.

Mr. X: Ah... dia memang pantas mendapatkan hal itu. Kerja bagus.

CandyXandy: Apakah kematiannya membuat heboh seisi kampus?

Newjoy: Dia begitu bermasalah. Aku menyayangkan betapa dia keras kepala ingin membocorkan semua.

Newjoy: Tapi bukan di antara kita, kan, yang membunuhnya?

Babi Hitam: Aku tidak.

Mr. X: Kemungkinan iya.

Mr. X: Memang kenapa kalau di antara kita? Kau takut akan terbongkar?

Newjoy: Tidak, bukan begitu.

Newjoy: Aku dilanda kekhawatiran semenjak perempuan sialan itu malah mengancam akan membongkar.

Newjoy: Tapi betapa menguntungkan kalau dia sudah mati.

Jack: Halah, sudahlah.

Jack: Kau berharap apa dari manusia yang sudah tidak ada gunanya untuk kita?

Babi Hitam: Yap.

Babi Hitam: Untuk apa kau memikirkan itu? Dia sudah tidak ada, maka tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu.

Mr. X: Yang seharusnya kau khawatirkan bukan orang lain, tapi diri kalian—atau mungkin seseorang di antara kalian.

Mr. X: Siapa yang tau kalau suatu saat diri kalian bisa berubah menjadi pengkhianat?

Mr. X: Atau lebih parahnya...

Mr. X: Di antara kalian ada yang memang pengkhianat.

Jagung Salad: Iya, siapa yang tau kalau suatu saat pengkhianat bisa kembali muncul?

Newjoy: Aku tidak akan berani berkhianat.

Mr. X: Tidak usah berjanji. Sebuah janji sebagian besar berbalik menjadi dusta.

Mr. X: Manusia mudah berubah.

Babi Hitam: Sepanjang ini belum ada.

Babi Hitam: Mungkin nanti akan muncul kalau dia sudah tidak kuat menahan kepalsuan, atau dalam keadaan terdesak.

Babi Hitam: Tapi akan kuberikan tepuk tangan paling sempurna karena bisa menahan kepalsuan begitu lama.

Mr. X: Memuakkan.

Percakapan pada ruang obrolan itu masih terus berlanjut. Selama membaca, pikirannya melayang membayangkan berita kematian seseorang yang menjadi topik pembicaraan dalam ruang obrolan ini. Jari telunjuknya mengetuk meja membentuk nada asal. Sejak awal obrolan berlangsung, ia masih menahan untuk menimbrung.

Newjoy: Omong-omong... di mana Tuan Chic?

Satu kalimat pertanyaan itu membuat ketukan jari terhenti. Sudut bibir seseorang ini melengkung membentuk seringai.

Barulah, setelah menahan cukup lama, jarinya kemudian mengetikkan sesuatu di atas papan ketikan untuk menimbrung dalam ruang obrolan itu.

Chic: Aku di sini, membaca obrolan kalian.

Chic: Senang sekali ya tidak ada lagi seseorang yang semena-mena?

Chic: Aku datang untuk membawa berita bagus untuk kalian.

Related chapters

  • Topeng si Pembunuh   Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

    Aleena membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. Suara erangan Aleena keluar bersamaan tubuhnya ditegakkan dengan kedua tangan diangkat ke udara, merenggangkan otot-otot. Bunyi tulang sempat membuat tersentak terkejut. Rasa pegal di pinggang sepertinya sungguh sudah melewati batas. Sepulang dari kampus, ia langsung mengerjakan tugas-tugas dari Prof. Kim yang sungguh kelewat tidak punya nurani. "Ah... sudahlah. Nggak usah pikirin apa-apa." Perempuan itu menggumam sambil menggelengkan kepala. Dalam kondisi mata terpejam, Aleena mencoba menjernihkan pikiran. Selama beberapa saat itu ia mengatur ritme napas serta detak jantung. Aleena membiarkan perasaan lega mengalir menjalarkan ketenangan. Beban di dadanya seolah menguap hitungan sekejap. Kalau begini, kan, Aleena bisa tertidur nyenyak. Ting. Pandangan Aleena menengok ke layar ponsel yang menyala, lalu sedikit melonjongkan leher untuk mengecek tampilan pada layar. Sebuah notifikasi pesan muncul menampakk

    Last Updated : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 5. Rekaman CCTV dan Rumor Bisnis Rahasia

    Satu-satunya hal yang paling mengganggu Aleena sekarang adalah ketiga foto polaroid di tangannya. Hari ini ia memang berniat untuk menelisik gedung fakultas apa yang ada di foto ini, maka ketiga foto itu sengaja dibawa ke kampus. Namun meskipun Aleena sudah memerhatikan—bahkan sampai penjelasan dari sang Dosen masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetap saja otaknya tidak bisa mencapai pemahaman bangunan apa ini. Masalahnya foto polaroid di tangan Aleena difilter BMW: hitam cukup tebal dengan agak keabu-abuan di beberapa titik. Jangan salahkan Aleena karena tidak bisa menebak gedung bangunan fakultas apa. Seluruh gedung di kampusnya nyaris serupa dari bentuk bangunan, ketinggian, warna. Hanya dibedakan melalui bentuk pucuk gedung, dan masalahnya Aleena tidak hafal bentuk-bentuk pucuk gedung seluruh fakultas. "Bentuk jendela yang nggak ada garis memecah empat... papan kayu di atas bangunan... jumlah anak tang—" "Aleena!" Langkah Aleena yang menyusuri lorong

    Last Updated : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 6. Bibit Kecurigaan

    Kelas mata kuliah terakhir sudah selesai. Sejak ditunjukkan rekaman CCTV oleh Azka, Aleena memutuskan untuk membuat mind-mapping(¹) secara diam-diam. Di kepalanya sudah tersusun rencana untuk mendatangi lokasi yang berada dalam rekaman CCTV. Aleena sungguh-sungguh tidak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Sosok pria misterius yang mengikuti dirinya dan Azka dua malam kemarin membayangi pikiran Aleena. Mengapa pria itu mengikuti mereka? Aleena tidak merasa mengganggu siapa pun. Kalaupun memang seseorang itu berniat macam-macam, mengapa langkahnya ragu-ragu saat ingin mendekati ruangan persembunyian Aleena dan Azka? Kalau saja keberadaan si pria misterius itu tidak tertangkap kamera CCTV, maka Aleena tidak akan ingin menelusuri. Masalahnya, Aleena merasa kalau pria misterius itu ada keterkaitan dengan foto-foto yang ditemukan di dalam kotak. Bayangkan. Tiga foto polaroid dari salah satu kotak yang dikirimkan entah siapa menunjukkan wilayah Fakultas Kedokteran

    Last Updated : 2022-03-13
  • Topeng si Pembunuh   Bab 7. Klub Teater Jiwa

    “Semalam saya tidak mencatat pengunjung luar yang datang, Mbak. Hanya ada empat kegiatan ekstrakurikuler berjalan. Dua di antara empat itu memang mengenakan setelan hoodie abu-abu dan hitam. Saya hanya tidak melihat ada keluar ataupun masuk. Sepertinya semua anggota ekstrakurikuler melaksanakan kegiatan di dalam gedung ini.”. Kalimat yang diucapkan si penjaga meja resepsionis berputar di kepala Aleena selama kedua kakinya melangkah menyusuri lorong koridor. Kedua mata Aleena tegas menatap ke depan, melalui beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memandangnya penuh pertanyaan. Namun Aleena tidak memedulikan sekeliling. Aleena masih tidak bisa mencerna kalimat si penjaga. Bagaimana bisa dia tidak melihat ada yang keluar atau masuk kalau rekaman kamera CCTV jelas-jelas merekam ada seseorang melakukan itu? Berulang kali Aleena pikirkan sampai rasanya di kepalanya sekarang muncul kotak-kotak kemungkinan yang menggambarkan kejadian secara terpisah.

    Last Updated : 2022-04-18
  • Topeng si Pembunuh   Bab 8: Jejak Bukti Pada Hoodie

    Azka benar-benar seseorang yang berpikir di luar dugaan!Sedari mereka keluar dari ruangan tempat ekstrakurikuler Teater Jiwa berlatih—dengan Azka yang menggenggam dua plastik berisi pakaian kotor tentu saja, Aleena menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin dilakukan Azka. Padahal Aleena merencanakan ingin melihat isi dari ruangan tempat ganti baju. Namun karena kedatangan Azka secara mendadak membuat rencananya batal. Sekarang Aleena sudah tiba di tempat laundry khusus yang disediakan kampus untuk mahasiswa atau mahasiswi asrama. Di depan mereka Ferdian sudah meletakkan dua kantung plastik hitam berukuran sedang dan membiarkan petugas laundry mengambil itu. “Sebenarnya kau ingin melakukan apa?” Aleena bertanya dengan berbisik sangat pelan, mengantisipasi agar Ferdian tidak mendengar. Azka hanya melihat sekilas ke arah Aleena, dan tersenyum kecil. “Lihat saja.”Belum sempat Aleena membalas lagi, Ferdian sudah membalik

    Last Updated : 2022-04-20
  • Topeng si Pembunuh   Bab 9: Menyadap Percakapan

    "Apa kamu sudah menemukan target selanjutnya?" Di tengah ruangan sepetak dengan pencahayaan remang-remang, suara dari rekaman terdengar. Menggema bagai suara hantu. Tidak ada cahaya putih terang, hanya cahaya dari dua layar komputer menyala yang menampilkan baris-baris data algoritma. Orang awam tidak akan mungkin bisa paham. Namun tidak untuk Azka. Satu layar komputer di depan mata Azka menunjukkan ruang lobi laundry. Tempat resepsionis menyambut para pengunjung. Namun yang menjadi perhatian Azka bukan ruangan itu. Dua pria yang berdiri saling berhadapan. Menyamping dari kamera kecil yang beberapa saat lalu sengaja dipasang Azka pada meja resepsionis. Azka tidak tahu siapa pria itu. Hanya pria yang berdiri di sisi kiri. Ia adalah Kevin. "Aku sudah menemukan, tapi maaf jumlahnya tidak bisa sesuai keinginannmu." Azka mengerutkan kening. Dieratkan earpiece—alat kecil di telinga untuk mendengar rekaman sadapan—untuk mendengarkan lebih saksama. Sementara tangan kiri Azka yang terb

    Last Updated : 2022-09-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 1. Kotak-kotak Misterius

    Di sebuah ruangan sepetak, satu-satunya penerangan hanya sinar laptop. Seseorang bertudung jaket hitam sibuk bersenandung lembut. Suaranya menggema di antara kesunyian dalam ruangan. Sepasang matanya terpejam menikmati suara senandungnya sendiri. Sudah lima belas menit berlalu layar laptop menyala. Ada sebuah gambar jeda video yang menampilkan seorang perempuan mengenakan pakaian minim—baju ketat tanpa lengan mengekspos bahu mulus sekaligus tulang selangka—meneguk sebuah minuman alkohol dengan posisi setengah terbaring ke arah kiri dan tangan kiri menopang tubuhnya. Suara isak tangis seorang perempuan menggema di sunyi senyap ruangan. Sumbernya dari telepon rumah yang tak jauh dari seseorang bertudung ini. "K-kau... kau tidak bisa berbuat... macam-macam denganku," ujar perempuan itu di sela isaknya. "Oh, ya?" Senyuman miring merasa tertantang melengkung. "Makanya itu, aku sangat penasaran sekali untuk—" "Tidak! Tidak! Kumohon..." Seseorang bertudung ini t

    Last Updated : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 2. Penemuan Mayat di Kampus

    Ada dua hal di daftar paling atas hal yang amat dibenci Aleena: (1) Terlambat Bangun, (2) Bertemu Azka. Hari ini sial sekali. Ia terbangun pukul tujuh kurang lima belas menit, sedangkan mata kuliahnya dimulai pukul tujuh tepat. Maka di sinilah Aleena, berlari tergesa-gesa membawa tas ransel seraya membenahi almamater di tubuh. Kepanikan begitu kentara dari pancaran raut wajah dan sorot mata perempuan itu. Napasnya sudah terengah-engah ketika berhenti di pinggir jalan hendak menyebrang. Tatapan Aleena pasrah saat memandang lalu lintas hari ini padat sekali. Ia berkacak pinggang seraya mendesis panjang. "Sshh... sial. Kenapa harus ramai sekali, sih?" Aleena menunggu dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukkan alas sepatu ke aspal. Tatapannya was-was mencari celah menyebrang. "Ayo dong, cepet... cepet... nanti terlambat." Berulang kali bibir Aleena menggumamkan rapalan doa. Semakin melihat kendaraan begitu padat hingga tidak ada celah untuk menyebrang, Aleena m

    Last Updated : 2022-01-19

Latest chapter

  • Topeng si Pembunuh   Bab 9: Menyadap Percakapan

    "Apa kamu sudah menemukan target selanjutnya?" Di tengah ruangan sepetak dengan pencahayaan remang-remang, suara dari rekaman terdengar. Menggema bagai suara hantu. Tidak ada cahaya putih terang, hanya cahaya dari dua layar komputer menyala yang menampilkan baris-baris data algoritma. Orang awam tidak akan mungkin bisa paham. Namun tidak untuk Azka. Satu layar komputer di depan mata Azka menunjukkan ruang lobi laundry. Tempat resepsionis menyambut para pengunjung. Namun yang menjadi perhatian Azka bukan ruangan itu. Dua pria yang berdiri saling berhadapan. Menyamping dari kamera kecil yang beberapa saat lalu sengaja dipasang Azka pada meja resepsionis. Azka tidak tahu siapa pria itu. Hanya pria yang berdiri di sisi kiri. Ia adalah Kevin. "Aku sudah menemukan, tapi maaf jumlahnya tidak bisa sesuai keinginannmu." Azka mengerutkan kening. Dieratkan earpiece—alat kecil di telinga untuk mendengar rekaman sadapan—untuk mendengarkan lebih saksama. Sementara tangan kiri Azka yang terb

  • Topeng si Pembunuh   Bab 8: Jejak Bukti Pada Hoodie

    Azka benar-benar seseorang yang berpikir di luar dugaan!Sedari mereka keluar dari ruangan tempat ekstrakurikuler Teater Jiwa berlatih—dengan Azka yang menggenggam dua plastik berisi pakaian kotor tentu saja, Aleena menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin dilakukan Azka. Padahal Aleena merencanakan ingin melihat isi dari ruangan tempat ganti baju. Namun karena kedatangan Azka secara mendadak membuat rencananya batal. Sekarang Aleena sudah tiba di tempat laundry khusus yang disediakan kampus untuk mahasiswa atau mahasiswi asrama. Di depan mereka Ferdian sudah meletakkan dua kantung plastik hitam berukuran sedang dan membiarkan petugas laundry mengambil itu. “Sebenarnya kau ingin melakukan apa?” Aleena bertanya dengan berbisik sangat pelan, mengantisipasi agar Ferdian tidak mendengar. Azka hanya melihat sekilas ke arah Aleena, dan tersenyum kecil. “Lihat saja.”Belum sempat Aleena membalas lagi, Ferdian sudah membalik

  • Topeng si Pembunuh   Bab 7. Klub Teater Jiwa

    “Semalam saya tidak mencatat pengunjung luar yang datang, Mbak. Hanya ada empat kegiatan ekstrakurikuler berjalan. Dua di antara empat itu memang mengenakan setelan hoodie abu-abu dan hitam. Saya hanya tidak melihat ada keluar ataupun masuk. Sepertinya semua anggota ekstrakurikuler melaksanakan kegiatan di dalam gedung ini.”. Kalimat yang diucapkan si penjaga meja resepsionis berputar di kepala Aleena selama kedua kakinya melangkah menyusuri lorong koridor. Kedua mata Aleena tegas menatap ke depan, melalui beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memandangnya penuh pertanyaan. Namun Aleena tidak memedulikan sekeliling. Aleena masih tidak bisa mencerna kalimat si penjaga. Bagaimana bisa dia tidak melihat ada yang keluar atau masuk kalau rekaman kamera CCTV jelas-jelas merekam ada seseorang melakukan itu? Berulang kali Aleena pikirkan sampai rasanya di kepalanya sekarang muncul kotak-kotak kemungkinan yang menggambarkan kejadian secara terpisah.

  • Topeng si Pembunuh   Bab 6. Bibit Kecurigaan

    Kelas mata kuliah terakhir sudah selesai. Sejak ditunjukkan rekaman CCTV oleh Azka, Aleena memutuskan untuk membuat mind-mapping(¹) secara diam-diam. Di kepalanya sudah tersusun rencana untuk mendatangi lokasi yang berada dalam rekaman CCTV. Aleena sungguh-sungguh tidak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Sosok pria misterius yang mengikuti dirinya dan Azka dua malam kemarin membayangi pikiran Aleena. Mengapa pria itu mengikuti mereka? Aleena tidak merasa mengganggu siapa pun. Kalaupun memang seseorang itu berniat macam-macam, mengapa langkahnya ragu-ragu saat ingin mendekati ruangan persembunyian Aleena dan Azka? Kalau saja keberadaan si pria misterius itu tidak tertangkap kamera CCTV, maka Aleena tidak akan ingin menelusuri. Masalahnya, Aleena merasa kalau pria misterius itu ada keterkaitan dengan foto-foto yang ditemukan di dalam kotak. Bayangkan. Tiga foto polaroid dari salah satu kotak yang dikirimkan entah siapa menunjukkan wilayah Fakultas Kedokteran

  • Topeng si Pembunuh   Bab 5. Rekaman CCTV dan Rumor Bisnis Rahasia

    Satu-satunya hal yang paling mengganggu Aleena sekarang adalah ketiga foto polaroid di tangannya. Hari ini ia memang berniat untuk menelisik gedung fakultas apa yang ada di foto ini, maka ketiga foto itu sengaja dibawa ke kampus. Namun meskipun Aleena sudah memerhatikan—bahkan sampai penjelasan dari sang Dosen masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetap saja otaknya tidak bisa mencapai pemahaman bangunan apa ini. Masalahnya foto polaroid di tangan Aleena difilter BMW: hitam cukup tebal dengan agak keabu-abuan di beberapa titik. Jangan salahkan Aleena karena tidak bisa menebak gedung bangunan fakultas apa. Seluruh gedung di kampusnya nyaris serupa dari bentuk bangunan, ketinggian, warna. Hanya dibedakan melalui bentuk pucuk gedung, dan masalahnya Aleena tidak hafal bentuk-bentuk pucuk gedung seluruh fakultas. "Bentuk jendela yang nggak ada garis memecah empat... papan kayu di atas bangunan... jumlah anak tang—" "Aleena!" Langkah Aleena yang menyusuri lorong

  • Topeng si Pembunuh   Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

    Aleena membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. Suara erangan Aleena keluar bersamaan tubuhnya ditegakkan dengan kedua tangan diangkat ke udara, merenggangkan otot-otot. Bunyi tulang sempat membuat tersentak terkejut. Rasa pegal di pinggang sepertinya sungguh sudah melewati batas. Sepulang dari kampus, ia langsung mengerjakan tugas-tugas dari Prof. Kim yang sungguh kelewat tidak punya nurani. "Ah... sudahlah. Nggak usah pikirin apa-apa." Perempuan itu menggumam sambil menggelengkan kepala. Dalam kondisi mata terpejam, Aleena mencoba menjernihkan pikiran. Selama beberapa saat itu ia mengatur ritme napas serta detak jantung. Aleena membiarkan perasaan lega mengalir menjalarkan ketenangan. Beban di dadanya seolah menguap hitungan sekejap. Kalau begini, kan, Aleena bisa tertidur nyenyak. Ting. Pandangan Aleena menengok ke layar ponsel yang menyala, lalu sedikit melonjongkan leher untuk mengecek tampilan pada layar. Sebuah notifikasi pesan muncul menampakk

  • Topeng si Pembunuh   Bab 3. Seseorang Misterius

    "Aleen—AW! ASTAGA!" Aleena hampir menganga setelah melayangkan tendangan ke seseorang di samping. Rupanya seseorang yang menciptakan suara ketukan langkah lain dari belakang adalah Azka. Aleena memandang bingung Azka yang mengelus tulang kakinya bekas tendangan Aleena. Karena kekesalannya memuncak, lantas Aleena menggeplak pundak Azka. "Sialan kamu, Azka! Kenapa sih harus kayak tadi, ha?! Kamu pikir itu lucu? Menyenangkan ya bikin orang lain takut?" Bagaimana Aleena tidak kesal kalau Azka tiba-tiba muncul di sela suasana sunyi lorong koridor ini. Aleena sedang berjalan sendirian, seharusnya Azka tidak mengejutkannya seperti itu! Di sampingnya, Azka meringis. "Aduh, tenaga sumo..." "Apa?!" Aleena meninggikan suara. "Makanya jangan macam-macam! Tanganmu itu loh gatal sekali ke leherku!" Menegakkan tubuh, Azka berdecak. "Iya, iya, maaf. Namanya juga iseng." Aleena mendecak. "Namanya juga iseng," cibirnya mengulang jawaban Azka. Pandangannya beralih ke de

  • Topeng si Pembunuh   Bab 2. Penemuan Mayat di Kampus

    Ada dua hal di daftar paling atas hal yang amat dibenci Aleena: (1) Terlambat Bangun, (2) Bertemu Azka. Hari ini sial sekali. Ia terbangun pukul tujuh kurang lima belas menit, sedangkan mata kuliahnya dimulai pukul tujuh tepat. Maka di sinilah Aleena, berlari tergesa-gesa membawa tas ransel seraya membenahi almamater di tubuh. Kepanikan begitu kentara dari pancaran raut wajah dan sorot mata perempuan itu. Napasnya sudah terengah-engah ketika berhenti di pinggir jalan hendak menyebrang. Tatapan Aleena pasrah saat memandang lalu lintas hari ini padat sekali. Ia berkacak pinggang seraya mendesis panjang. "Sshh... sial. Kenapa harus ramai sekali, sih?" Aleena menunggu dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukkan alas sepatu ke aspal. Tatapannya was-was mencari celah menyebrang. "Ayo dong, cepet... cepet... nanti terlambat." Berulang kali bibir Aleena menggumamkan rapalan doa. Semakin melihat kendaraan begitu padat hingga tidak ada celah untuk menyebrang, Aleena m

  • Topeng si Pembunuh   Bab 1. Kotak-kotak Misterius

    Di sebuah ruangan sepetak, satu-satunya penerangan hanya sinar laptop. Seseorang bertudung jaket hitam sibuk bersenandung lembut. Suaranya menggema di antara kesunyian dalam ruangan. Sepasang matanya terpejam menikmati suara senandungnya sendiri. Sudah lima belas menit berlalu layar laptop menyala. Ada sebuah gambar jeda video yang menampilkan seorang perempuan mengenakan pakaian minim—baju ketat tanpa lengan mengekspos bahu mulus sekaligus tulang selangka—meneguk sebuah minuman alkohol dengan posisi setengah terbaring ke arah kiri dan tangan kiri menopang tubuhnya. Suara isak tangis seorang perempuan menggema di sunyi senyap ruangan. Sumbernya dari telepon rumah yang tak jauh dari seseorang bertudung ini. "K-kau... kau tidak bisa berbuat... macam-macam denganku," ujar perempuan itu di sela isaknya. "Oh, ya?" Senyuman miring merasa tertantang melengkung. "Makanya itu, aku sangat penasaran sekali untuk—" "Tidak! Tidak! Kumohon..." Seseorang bertudung ini t

DMCA.com Protection Status