Beranda / Thriller / Topeng si Pembunuh / Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

Share

Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

Penulis: moondavest
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-19 07:48:36

Aleena membuang napas kasar untuk kesekian kalinya.

Suara erangan Aleena keluar bersamaan tubuhnya ditegakkan dengan kedua tangan diangkat ke udara, merenggangkan otot-otot. Bunyi tulang sempat membuat tersentak terkejut. Rasa pegal di pinggang sepertinya sungguh sudah melewati batas. Sepulang dari kampus, ia langsung mengerjakan tugas-tugas dari Prof. Kim yang sungguh kelewat tidak punya nurani.

"Ah... sudahlah. Nggak usah pikirin apa-apa." Perempuan itu menggumam sambil menggelengkan kepala.

Dalam kondisi mata terpejam, Aleena mencoba menjernihkan pikiran. Selama beberapa saat itu ia mengatur ritme napas serta detak jantung. Aleena membiarkan perasaan lega mengalir menjalarkan ketenangan. Beban di dadanya seolah menguap hitungan sekejap.

Kalau begini, kan, Aleena bisa tertidur nyenyak.

Ting.

Pandangan Aleena menengok ke layar ponsel yang menyala, lalu sedikit melonjongkan leher untuk mengecek tampilan pada layar. Sebuah notifikasi pesan muncul menampakkan diri.

Aleena mengerutkan kening. Pesan itu dikirim entah siapa sebab hanya ada nomor telepon, tampil sekilas lalu layar ponselnya mati lagi karena waktu menyala diatur lima detik. Segera tangan Aleena menyambar benda pipih panjang itu, menyalakan lagi, membaca tampilan pesan tanpa perlu membuka aplikasi.

+62 877 95** ****

s21340p03

"Ha?" Gumaman Aleena keluar, mengerutkan kening. "Apaan, sih, nggak jelas. Siapa orang kurang kerjaan kirim pesan begini?"

Aleena mendongak menatap jam dinding. Jarum menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Helaan napasnya keluar lagi. Untuk apa orang iseng mengirim pesan pada pukul larut malam?

Aleena tak menggubris pesan itu. Ketika hendak melangkah menuju kulkas, sepasang bola matanya tak sengaja melihat ke arah sebuah kotak di sela kaki meja make up dan rak buku.

Di antara kelima kotak di sana, belum ada yang dibuka oleh Aleena. Mereka masih tertutup rapat. Sudah berulang kali Aleena merasa penasaran, tetapi ia terlalu malas.

Niat itu sepertinya sudah berubah dalam hitungan detik malam ini.

Rasa penasaran menggerakkan tubuh kurus itu mendekati kotak. Aleena mengambil gunting berukuran cukup besar dari rak buku, lalu berjongkok. Pergerakannya membuka salah satu kotak mulai dari menggunting lakban putih hingga menggunting lagi beberapa sudut kardusnya begitu cekatan.

Butuh lima menit sampai akhirnya kotak itu bisa terbuka sepenuhnya. Setumpuk isinya muncul: sebuah boneka berukuran cukup kecil, empat foto cetak pemandangan agak blur, tiga kertas hitam kosong, dan sebuah lembar kertas putih dengan huruf-huruf tak beraturan.

Aleena mendengus seraya menurunkan tangan dengan agak kasar. "Tidak ada nama dan alamat pengirim, sebenarnya apa sih maksud isi kotak-kotak ini?" tanyanya bergumam kepada diri sendiri.

Sejenak Aleena termangu memandang meja belajar. Salah satu tangannya yang masuk ke kotak tanpa sengaja merasakan sesuatu mengganjal. Dia langsung menoleh, melihat sebuah kertas kecil berbentuk persegi panjang terselip di antara garis-garis lekukan kotak.

Aleena segera mengambil benda itu dan mengangkatnya. Ada sebuah kalimat. Benda ini nyaris serupa stiker. "Di antara kegundahan, kami ada?"

Sebentar... sepertinya Aleena familier dengan kalimat yang satu ini.

Ah! Ini adalah kalimat slogan dari Fakultas Kedokteran yang didengarnya sewaktu OSPEK Kampus!

Mengapa kalimat itu ada di sini?

"Kalau ada kalimat ini di sini..." Aleena menggantungkan kalimat sejenak, memfokuskan pikiran untuk menyusun gambaran kemungkinan di kepalanya. "Berarti kemungkinan besar pengirim kotak ini kemarin adalah mahasiswa atau mahasiswi dari kampusku?"

Kini tatapannya tertuju ke tiga foto cetak. Tangan Aleena meraih foto cetak itu sebelum mengangkat ketiganya. Masing-masing foto itu menampilkan hal yang sama: pemandangan suatu wilayah, agak blur, dan suasana yang sepi.

Tiga pemandangan menampakkan hal familier bagi mata Aleena: sebuah gedung dengan sejumlah anak tangga pada sisi kanan, kolam air mancur cukup besar, dan ruang laboratorium.

'Lagi-lagi laboratorium?' batin Aleena bertanya.

Embusan napas gusar keluar. Ia sama sekali tidak bisa memahami maksud gambar dan seluruh isi kotak ini. Alhasil, tangannya malah memijat pelipis seraya mendesis panjang.

"Di antara semua foto ini cuma laboratoriumnya aja yang keliatan jelas," Aleena bergumam, lalu sedikit memiringkan kepala. "Kolam ada air mancur. Di kampus ada tiga fakultas yang punya kolam dekat gedung."

Aleena lalu bergeming. Otaknya berputar mengumpulkan kepingan kemungkinan. "Tapi pertanyaan yang lebih penting, kenapa semua foto ini dikasih ke aku? Orang ini mau pamer kalau punya bakat fotografi gitu?"

Meletakkan ketiga foto itu dengan agak melempar ke dalam kotak, Aleena mendengus. "Nggak peduli juga!"

Setelah membuang napas kasar, Aleena malah merasa kantuk menyerang. Malam sudah terlalu larut untuk dipakai berpikir keras-keras. Ia meletakkan lagi foto polaroid untuk kemudian mengambil sebuah boneka kecil.

"Aaa, lucunya kamu. Kamu nanti kubawa ke kampus, ya!" Aleena berbicara dengan nada suara gemas sembari menggerak-gerakkan boneka yang direntangkan tangan. "Aku kasih nama... Candy Kein!"

Aleena langsung menutup kotak di depannya dan menggeser ke tempat semula. Selama tiga detik matanya memandangi kotak itu.

Besok ia akan menemukan jawaban dari pertanyaan di kepalanya.

Sekarang waktu tidur datang, dan Aleena tidak bisa menyia-nyiakan jam tidur.

***

"ALEENA! ALEENA BANGUN WOI!"

Aleena mengerang geram mendengar ketukan pintu kencang berulang kali. Dalam posisi tubuh telungkup, wajah Aleena terangkat dengan kedua mata masih setengah terpejam menatap tajam pintu—lebih tepatnya kesal pada seseorang di luar kamar asrama.

Aleena bergerak lemas dan malas-malasan menggeser tubuh untuk meraih jam weker di atas nakas samping kasur. Sepasang matanya langsung melotot saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan lewat sedikit. Tubuhnya langsung bangkit dalam sekali sentakan kepanikan yang menyerang.

"ALEENA! UDAH SIANG, KEBO BANGET SIH KAMU!"

"BERISIIIIIIK!" Aleena memekik, disusul geraman jengkel sekali lagi. Perempuan itu memutar tubuh yang terlentang, tetapi begitu berbalik, tubuh Aleena justru terjatuh dari kasur hingga menciptakan suara berdebum. "Ah! Sial! Kenapa jatuh sih?!"

Sembari memegang bokong, Aleena bangkit dengan wajah meringis. Ia memandang kesal ke arah pintu sebab ketukan berulang kali itu belum juga berhenti. Pelan-pelan tubuhnya berdiri dan melangkah menuju pintu sambil mengusap tulang ekor.

"Kamu tuh beris—ah! Jena, jangan dipukul muka aku!"

Di depan pintu, sosok Jena tercengang. Ia tak sengaja memukul wajah Aleena sebab tidak tahu pintunya akan terbuka. Alhasil kejengkelan terpancar terang-terangan dari tatapan Aleena. Namun Jena tidak mau kalah galak.

"Bagus. Tidur aja sampai jam sebelas," sindir Jena sambil melipat kedua tangan. "Nggak ingat hari ini matkul Pak Ilham? Jangan mentang-mentang dosen baik hati begitu, kamu santai-santai. Belum tau aja kalau Pak Ilham marah gimana!"

"Aduh... iya-iya. Aku udah bangun tadi. Salahnya jam bergerak cepat."

"Jam kok disalahin."

Bukan suara Jena maupun Aleena.

Keduanya serempak menoleh ke sumber suara. Mata Aleena terbelalak begitu melihat sosok Azka tak jauh dari titik Jena berdiri. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana dan sebelah tubuh bersandar pada dinding. Seulas senyum miring terbit di wajah Azka.

"Kesiangan lagi?" tanya Azka, mengejek dan menyindir dalam waktu bersamaan

"Kamu ngapain?" tanya Aleena ketus, lantas memandang Jena dengan tatapan bertanya. Dan Jena menjawab melalui gelengan kepala sekaligus ekspresi wajah menciut.

Aleena sudah tahu. Ini pasti Azka yang memaksa Jena supaya ikut ke sini.

"Melihat kondisimu. Nggak boleh?"

Sepasang mata Aleena memerhatikan sinis tubuh Azka dari bawah sampai ke atas. Penampilan formal dan rapi. Tawa Aleena keluar, tawa mengejek. "Aneh. Udah alasannya nggak meyakinkan, sekarang tampilanmu juga nggak meyakinkan."

Azka mengerutkan kening. "Nggak meyakinkan gimana?"

"Aish, sudahlah. Nggak ada waktu meladeni kamu."

Tanpa basa-basi lagi Aleena membalikkan badan hendak masuk lagi ke dalam kamar. Namun Azka tiba-tiba maju dan mencekal pergelangan tangan Aleena. Tubuh perempuan itu berbalik menghadap Azka, memandang keheranan wajah Azka yang kelihatan serius.

"Tapi beneran kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Azka menyorotkan segurat kekhawatiran dari pancaran mata.

Aleena sungguh tidak mengerti dengan lelaki di hadapannya. Tangan perempuan itu menyentakkan tangan Azka supaya terlepas. "Apaan, sih? Aneh banget pertanyaannya. Nggak lihat aku masih berdiri di sini?"

Azka menegakkan tubuh dan memasukkan satu tangan ke saku celana. "A-ah... iya, sih. Ya sudah kalau begitu," jawabnya sambil menggaruk tengkuk canggung.

Entah mengapa Aleena menangkap gestur gusar dari mata, tubuh, dan raut wajah Azka. Persis seperti semalam. Namun Aleena tidak mau berpikiran berlebihan. Pada akhirnya ia hanya menghela napas sebelum melanjutkan niat masuk ke kamar.

Ketika Azka ingin berjalan pergi dari ambang pintu, tanpa sengaja manik matanya menangkap sesuatu: tiga kotak. Gerakan Azka terhenti. Sekujur tubuh dan tatapannya terpaku. Kotak itu seakan menyerap seluruh perhatian Azka. Mata Azka memicing untuk memperjelas penglihatan.

"Aleena, kamu belanja online sebanyak itu?"

Aleena yang hendak berjalan menuju pintu kamar mandi menoleh. Melihat mata Azka menatap ke suatu arah, pandangannya mengikuti arah pandangan Azka. Setelah menyadari kalau ketiga kotak di dekat rak buku dan meja make up sudah ketahuan oleh Azka, mendadak Aleena diserang rasa gugup.

Dan tawa canggungnya lantas keluar. "O-oh, iya, aduh lagi ada promo besar-besaran," jawab Aleena yang berusaha sesantai mungkin.

Azka menatap Aleena curiga, dan itulah yang nyaris membuat Aleena menunjukkan kegusarannya. "Belum dibuka kotak-kotak itu?"

"Eum... baru satu, tapi belum kuambil barangnya. Masih... belum terlalu butuh." Aleena mengakhiri kalimatnya dengan senyuman manis. Tentu saja berbohong.

Tanpa menunggu reaksi apa pun dari Azka, Aleena langsung berbalik masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Azka yang hendak membuka mulut kembali bertanya, tetapi mengatup rapat lagi. Embusan napas kasat keluar. Azka memandang ke arah setumpuk kotak di sana. Salah satu dari kotak memang sudah terbuka, namun tidak sepenuhnya.

Helaan napas Azka keluar. Gusar.

Bab terkait

  • Topeng si Pembunuh   Bab 5. Rekaman CCTV dan Rumor Bisnis Rahasia

    Satu-satunya hal yang paling mengganggu Aleena sekarang adalah ketiga foto polaroid di tangannya. Hari ini ia memang berniat untuk menelisik gedung fakultas apa yang ada di foto ini, maka ketiga foto itu sengaja dibawa ke kampus. Namun meskipun Aleena sudah memerhatikan—bahkan sampai penjelasan dari sang Dosen masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetap saja otaknya tidak bisa mencapai pemahaman bangunan apa ini. Masalahnya foto polaroid di tangan Aleena difilter BMW: hitam cukup tebal dengan agak keabu-abuan di beberapa titik. Jangan salahkan Aleena karena tidak bisa menebak gedung bangunan fakultas apa. Seluruh gedung di kampusnya nyaris serupa dari bentuk bangunan, ketinggian, warna. Hanya dibedakan melalui bentuk pucuk gedung, dan masalahnya Aleena tidak hafal bentuk-bentuk pucuk gedung seluruh fakultas. "Bentuk jendela yang nggak ada garis memecah empat... papan kayu di atas bangunan... jumlah anak tang—" "Aleena!" Langkah Aleena yang menyusuri lorong

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 6. Bibit Kecurigaan

    Kelas mata kuliah terakhir sudah selesai. Sejak ditunjukkan rekaman CCTV oleh Azka, Aleena memutuskan untuk membuat mind-mapping(¹) secara diam-diam. Di kepalanya sudah tersusun rencana untuk mendatangi lokasi yang berada dalam rekaman CCTV. Aleena sungguh-sungguh tidak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Sosok pria misterius yang mengikuti dirinya dan Azka dua malam kemarin membayangi pikiran Aleena. Mengapa pria itu mengikuti mereka? Aleena tidak merasa mengganggu siapa pun. Kalaupun memang seseorang itu berniat macam-macam, mengapa langkahnya ragu-ragu saat ingin mendekati ruangan persembunyian Aleena dan Azka? Kalau saja keberadaan si pria misterius itu tidak tertangkap kamera CCTV, maka Aleena tidak akan ingin menelusuri. Masalahnya, Aleena merasa kalau pria misterius itu ada keterkaitan dengan foto-foto yang ditemukan di dalam kotak. Bayangkan. Tiga foto polaroid dari salah satu kotak yang dikirimkan entah siapa menunjukkan wilayah Fakultas Kedokteran

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-13
  • Topeng si Pembunuh   Bab 7. Klub Teater Jiwa

    “Semalam saya tidak mencatat pengunjung luar yang datang, Mbak. Hanya ada empat kegiatan ekstrakurikuler berjalan. Dua di antara empat itu memang mengenakan setelan hoodie abu-abu dan hitam. Saya hanya tidak melihat ada keluar ataupun masuk. Sepertinya semua anggota ekstrakurikuler melaksanakan kegiatan di dalam gedung ini.”. Kalimat yang diucapkan si penjaga meja resepsionis berputar di kepala Aleena selama kedua kakinya melangkah menyusuri lorong koridor. Kedua mata Aleena tegas menatap ke depan, melalui beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memandangnya penuh pertanyaan. Namun Aleena tidak memedulikan sekeliling. Aleena masih tidak bisa mencerna kalimat si penjaga. Bagaimana bisa dia tidak melihat ada yang keluar atau masuk kalau rekaman kamera CCTV jelas-jelas merekam ada seseorang melakukan itu? Berulang kali Aleena pikirkan sampai rasanya di kepalanya sekarang muncul kotak-kotak kemungkinan yang menggambarkan kejadian secara terpisah.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-18
  • Topeng si Pembunuh   Bab 8: Jejak Bukti Pada Hoodie

    Azka benar-benar seseorang yang berpikir di luar dugaan!Sedari mereka keluar dari ruangan tempat ekstrakurikuler Teater Jiwa berlatih—dengan Azka yang menggenggam dua plastik berisi pakaian kotor tentu saja, Aleena menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin dilakukan Azka. Padahal Aleena merencanakan ingin melihat isi dari ruangan tempat ganti baju. Namun karena kedatangan Azka secara mendadak membuat rencananya batal. Sekarang Aleena sudah tiba di tempat laundry khusus yang disediakan kampus untuk mahasiswa atau mahasiswi asrama. Di depan mereka Ferdian sudah meletakkan dua kantung plastik hitam berukuran sedang dan membiarkan petugas laundry mengambil itu. “Sebenarnya kau ingin melakukan apa?” Aleena bertanya dengan berbisik sangat pelan, mengantisipasi agar Ferdian tidak mendengar. Azka hanya melihat sekilas ke arah Aleena, dan tersenyum kecil. “Lihat saja.”Belum sempat Aleena membalas lagi, Ferdian sudah membalik

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-20
  • Topeng si Pembunuh   Bab 9: Menyadap Percakapan

    "Apa kamu sudah menemukan target selanjutnya?" Di tengah ruangan sepetak dengan pencahayaan remang-remang, suara dari rekaman terdengar. Menggema bagai suara hantu. Tidak ada cahaya putih terang, hanya cahaya dari dua layar komputer menyala yang menampilkan baris-baris data algoritma. Orang awam tidak akan mungkin bisa paham. Namun tidak untuk Azka. Satu layar komputer di depan mata Azka menunjukkan ruang lobi laundry. Tempat resepsionis menyambut para pengunjung. Namun yang menjadi perhatian Azka bukan ruangan itu. Dua pria yang berdiri saling berhadapan. Menyamping dari kamera kecil yang beberapa saat lalu sengaja dipasang Azka pada meja resepsionis. Azka tidak tahu siapa pria itu. Hanya pria yang berdiri di sisi kiri. Ia adalah Kevin. "Aku sudah menemukan, tapi maaf jumlahnya tidak bisa sesuai keinginannmu." Azka mengerutkan kening. Dieratkan earpiece—alat kecil di telinga untuk mendengar rekaman sadapan—untuk mendengarkan lebih saksama. Sementara tangan kiri Azka yang terb

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 1. Kotak-kotak Misterius

    Di sebuah ruangan sepetak, satu-satunya penerangan hanya sinar laptop. Seseorang bertudung jaket hitam sibuk bersenandung lembut. Suaranya menggema di antara kesunyian dalam ruangan. Sepasang matanya terpejam menikmati suara senandungnya sendiri. Sudah lima belas menit berlalu layar laptop menyala. Ada sebuah gambar jeda video yang menampilkan seorang perempuan mengenakan pakaian minim—baju ketat tanpa lengan mengekspos bahu mulus sekaligus tulang selangka—meneguk sebuah minuman alkohol dengan posisi setengah terbaring ke arah kiri dan tangan kiri menopang tubuhnya. Suara isak tangis seorang perempuan menggema di sunyi senyap ruangan. Sumbernya dari telepon rumah yang tak jauh dari seseorang bertudung ini. "K-kau... kau tidak bisa berbuat... macam-macam denganku," ujar perempuan itu di sela isaknya. "Oh, ya?" Senyuman miring merasa tertantang melengkung. "Makanya itu, aku sangat penasaran sekali untuk—" "Tidak! Tidak! Kumohon..." Seseorang bertudung ini t

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 2. Penemuan Mayat di Kampus

    Ada dua hal di daftar paling atas hal yang amat dibenci Aleena: (1) Terlambat Bangun, (2) Bertemu Azka. Hari ini sial sekali. Ia terbangun pukul tujuh kurang lima belas menit, sedangkan mata kuliahnya dimulai pukul tujuh tepat. Maka di sinilah Aleena, berlari tergesa-gesa membawa tas ransel seraya membenahi almamater di tubuh. Kepanikan begitu kentara dari pancaran raut wajah dan sorot mata perempuan itu. Napasnya sudah terengah-engah ketika berhenti di pinggir jalan hendak menyebrang. Tatapan Aleena pasrah saat memandang lalu lintas hari ini padat sekali. Ia berkacak pinggang seraya mendesis panjang. "Sshh... sial. Kenapa harus ramai sekali, sih?" Aleena menunggu dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukkan alas sepatu ke aspal. Tatapannya was-was mencari celah menyebrang. "Ayo dong, cepet... cepet... nanti terlambat." Berulang kali bibir Aleena menggumamkan rapalan doa. Semakin melihat kendaraan begitu padat hingga tidak ada celah untuk menyebrang, Aleena m

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Topeng si Pembunuh   Bab 3. Seseorang Misterius

    "Aleen—AW! ASTAGA!" Aleena hampir menganga setelah melayangkan tendangan ke seseorang di samping. Rupanya seseorang yang menciptakan suara ketukan langkah lain dari belakang adalah Azka. Aleena memandang bingung Azka yang mengelus tulang kakinya bekas tendangan Aleena. Karena kekesalannya memuncak, lantas Aleena menggeplak pundak Azka. "Sialan kamu, Azka! Kenapa sih harus kayak tadi, ha?! Kamu pikir itu lucu? Menyenangkan ya bikin orang lain takut?" Bagaimana Aleena tidak kesal kalau Azka tiba-tiba muncul di sela suasana sunyi lorong koridor ini. Aleena sedang berjalan sendirian, seharusnya Azka tidak mengejutkannya seperti itu! Di sampingnya, Azka meringis. "Aduh, tenaga sumo..." "Apa?!" Aleena meninggikan suara. "Makanya jangan macam-macam! Tanganmu itu loh gatal sekali ke leherku!" Menegakkan tubuh, Azka berdecak. "Iya, iya, maaf. Namanya juga iseng." Aleena mendecak. "Namanya juga iseng," cibirnya mengulang jawaban Azka. Pandangannya beralih ke de

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19

Bab terbaru

  • Topeng si Pembunuh   Bab 9: Menyadap Percakapan

    "Apa kamu sudah menemukan target selanjutnya?" Di tengah ruangan sepetak dengan pencahayaan remang-remang, suara dari rekaman terdengar. Menggema bagai suara hantu. Tidak ada cahaya putih terang, hanya cahaya dari dua layar komputer menyala yang menampilkan baris-baris data algoritma. Orang awam tidak akan mungkin bisa paham. Namun tidak untuk Azka. Satu layar komputer di depan mata Azka menunjukkan ruang lobi laundry. Tempat resepsionis menyambut para pengunjung. Namun yang menjadi perhatian Azka bukan ruangan itu. Dua pria yang berdiri saling berhadapan. Menyamping dari kamera kecil yang beberapa saat lalu sengaja dipasang Azka pada meja resepsionis. Azka tidak tahu siapa pria itu. Hanya pria yang berdiri di sisi kiri. Ia adalah Kevin. "Aku sudah menemukan, tapi maaf jumlahnya tidak bisa sesuai keinginannmu." Azka mengerutkan kening. Dieratkan earpiece—alat kecil di telinga untuk mendengar rekaman sadapan—untuk mendengarkan lebih saksama. Sementara tangan kiri Azka yang terb

  • Topeng si Pembunuh   Bab 8: Jejak Bukti Pada Hoodie

    Azka benar-benar seseorang yang berpikir di luar dugaan!Sedari mereka keluar dari ruangan tempat ekstrakurikuler Teater Jiwa berlatih—dengan Azka yang menggenggam dua plastik berisi pakaian kotor tentu saja, Aleena menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin dilakukan Azka. Padahal Aleena merencanakan ingin melihat isi dari ruangan tempat ganti baju. Namun karena kedatangan Azka secara mendadak membuat rencananya batal. Sekarang Aleena sudah tiba di tempat laundry khusus yang disediakan kampus untuk mahasiswa atau mahasiswi asrama. Di depan mereka Ferdian sudah meletakkan dua kantung plastik hitam berukuran sedang dan membiarkan petugas laundry mengambil itu. “Sebenarnya kau ingin melakukan apa?” Aleena bertanya dengan berbisik sangat pelan, mengantisipasi agar Ferdian tidak mendengar. Azka hanya melihat sekilas ke arah Aleena, dan tersenyum kecil. “Lihat saja.”Belum sempat Aleena membalas lagi, Ferdian sudah membalik

  • Topeng si Pembunuh   Bab 7. Klub Teater Jiwa

    “Semalam saya tidak mencatat pengunjung luar yang datang, Mbak. Hanya ada empat kegiatan ekstrakurikuler berjalan. Dua di antara empat itu memang mengenakan setelan hoodie abu-abu dan hitam. Saya hanya tidak melihat ada keluar ataupun masuk. Sepertinya semua anggota ekstrakurikuler melaksanakan kegiatan di dalam gedung ini.”. Kalimat yang diucapkan si penjaga meja resepsionis berputar di kepala Aleena selama kedua kakinya melangkah menyusuri lorong koridor. Kedua mata Aleena tegas menatap ke depan, melalui beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang memandangnya penuh pertanyaan. Namun Aleena tidak memedulikan sekeliling. Aleena masih tidak bisa mencerna kalimat si penjaga. Bagaimana bisa dia tidak melihat ada yang keluar atau masuk kalau rekaman kamera CCTV jelas-jelas merekam ada seseorang melakukan itu? Berulang kali Aleena pikirkan sampai rasanya di kepalanya sekarang muncul kotak-kotak kemungkinan yang menggambarkan kejadian secara terpisah.

  • Topeng si Pembunuh   Bab 6. Bibit Kecurigaan

    Kelas mata kuliah terakhir sudah selesai. Sejak ditunjukkan rekaman CCTV oleh Azka, Aleena memutuskan untuk membuat mind-mapping(¹) secara diam-diam. Di kepalanya sudah tersusun rencana untuk mendatangi lokasi yang berada dalam rekaman CCTV. Aleena sungguh-sungguh tidak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Sosok pria misterius yang mengikuti dirinya dan Azka dua malam kemarin membayangi pikiran Aleena. Mengapa pria itu mengikuti mereka? Aleena tidak merasa mengganggu siapa pun. Kalaupun memang seseorang itu berniat macam-macam, mengapa langkahnya ragu-ragu saat ingin mendekati ruangan persembunyian Aleena dan Azka? Kalau saja keberadaan si pria misterius itu tidak tertangkap kamera CCTV, maka Aleena tidak akan ingin menelusuri. Masalahnya, Aleena merasa kalau pria misterius itu ada keterkaitan dengan foto-foto yang ditemukan di dalam kotak. Bayangkan. Tiga foto polaroid dari salah satu kotak yang dikirimkan entah siapa menunjukkan wilayah Fakultas Kedokteran

  • Topeng si Pembunuh   Bab 5. Rekaman CCTV dan Rumor Bisnis Rahasia

    Satu-satunya hal yang paling mengganggu Aleena sekarang adalah ketiga foto polaroid di tangannya. Hari ini ia memang berniat untuk menelisik gedung fakultas apa yang ada di foto ini, maka ketiga foto itu sengaja dibawa ke kampus. Namun meskipun Aleena sudah memerhatikan—bahkan sampai penjelasan dari sang Dosen masuk telinga kanan keluar telinga kiri, tetap saja otaknya tidak bisa mencapai pemahaman bangunan apa ini. Masalahnya foto polaroid di tangan Aleena difilter BMW: hitam cukup tebal dengan agak keabu-abuan di beberapa titik. Jangan salahkan Aleena karena tidak bisa menebak gedung bangunan fakultas apa. Seluruh gedung di kampusnya nyaris serupa dari bentuk bangunan, ketinggian, warna. Hanya dibedakan melalui bentuk pucuk gedung, dan masalahnya Aleena tidak hafal bentuk-bentuk pucuk gedung seluruh fakultas. "Bentuk jendela yang nggak ada garis memecah empat... papan kayu di atas bangunan... jumlah anak tang—" "Aleena!" Langkah Aleena yang menyusuri lorong

  • Topeng si Pembunuh   Bab 4. Isi Kotak dan Azka yang Cemas

    Aleena membuang napas kasar untuk kesekian kalinya. Suara erangan Aleena keluar bersamaan tubuhnya ditegakkan dengan kedua tangan diangkat ke udara, merenggangkan otot-otot. Bunyi tulang sempat membuat tersentak terkejut. Rasa pegal di pinggang sepertinya sungguh sudah melewati batas. Sepulang dari kampus, ia langsung mengerjakan tugas-tugas dari Prof. Kim yang sungguh kelewat tidak punya nurani. "Ah... sudahlah. Nggak usah pikirin apa-apa." Perempuan itu menggumam sambil menggelengkan kepala. Dalam kondisi mata terpejam, Aleena mencoba menjernihkan pikiran. Selama beberapa saat itu ia mengatur ritme napas serta detak jantung. Aleena membiarkan perasaan lega mengalir menjalarkan ketenangan. Beban di dadanya seolah menguap hitungan sekejap. Kalau begini, kan, Aleena bisa tertidur nyenyak. Ting. Pandangan Aleena menengok ke layar ponsel yang menyala, lalu sedikit melonjongkan leher untuk mengecek tampilan pada layar. Sebuah notifikasi pesan muncul menampakk

  • Topeng si Pembunuh   Bab 3. Seseorang Misterius

    "Aleen—AW! ASTAGA!" Aleena hampir menganga setelah melayangkan tendangan ke seseorang di samping. Rupanya seseorang yang menciptakan suara ketukan langkah lain dari belakang adalah Azka. Aleena memandang bingung Azka yang mengelus tulang kakinya bekas tendangan Aleena. Karena kekesalannya memuncak, lantas Aleena menggeplak pundak Azka. "Sialan kamu, Azka! Kenapa sih harus kayak tadi, ha?! Kamu pikir itu lucu? Menyenangkan ya bikin orang lain takut?" Bagaimana Aleena tidak kesal kalau Azka tiba-tiba muncul di sela suasana sunyi lorong koridor ini. Aleena sedang berjalan sendirian, seharusnya Azka tidak mengejutkannya seperti itu! Di sampingnya, Azka meringis. "Aduh, tenaga sumo..." "Apa?!" Aleena meninggikan suara. "Makanya jangan macam-macam! Tanganmu itu loh gatal sekali ke leherku!" Menegakkan tubuh, Azka berdecak. "Iya, iya, maaf. Namanya juga iseng." Aleena mendecak. "Namanya juga iseng," cibirnya mengulang jawaban Azka. Pandangannya beralih ke de

  • Topeng si Pembunuh   Bab 2. Penemuan Mayat di Kampus

    Ada dua hal di daftar paling atas hal yang amat dibenci Aleena: (1) Terlambat Bangun, (2) Bertemu Azka. Hari ini sial sekali. Ia terbangun pukul tujuh kurang lima belas menit, sedangkan mata kuliahnya dimulai pukul tujuh tepat. Maka di sinilah Aleena, berlari tergesa-gesa membawa tas ransel seraya membenahi almamater di tubuh. Kepanikan begitu kentara dari pancaran raut wajah dan sorot mata perempuan itu. Napasnya sudah terengah-engah ketika berhenti di pinggir jalan hendak menyebrang. Tatapan Aleena pasrah saat memandang lalu lintas hari ini padat sekali. Ia berkacak pinggang seraya mendesis panjang. "Sshh... sial. Kenapa harus ramai sekali, sih?" Aleena menunggu dengan gelisah sambil mengetuk-ngetukkan alas sepatu ke aspal. Tatapannya was-was mencari celah menyebrang. "Ayo dong, cepet... cepet... nanti terlambat." Berulang kali bibir Aleena menggumamkan rapalan doa. Semakin melihat kendaraan begitu padat hingga tidak ada celah untuk menyebrang, Aleena m

  • Topeng si Pembunuh   Bab 1. Kotak-kotak Misterius

    Di sebuah ruangan sepetak, satu-satunya penerangan hanya sinar laptop. Seseorang bertudung jaket hitam sibuk bersenandung lembut. Suaranya menggema di antara kesunyian dalam ruangan. Sepasang matanya terpejam menikmati suara senandungnya sendiri. Sudah lima belas menit berlalu layar laptop menyala. Ada sebuah gambar jeda video yang menampilkan seorang perempuan mengenakan pakaian minim—baju ketat tanpa lengan mengekspos bahu mulus sekaligus tulang selangka—meneguk sebuah minuman alkohol dengan posisi setengah terbaring ke arah kiri dan tangan kiri menopang tubuhnya. Suara isak tangis seorang perempuan menggema di sunyi senyap ruangan. Sumbernya dari telepon rumah yang tak jauh dari seseorang bertudung ini. "K-kau... kau tidak bisa berbuat... macam-macam denganku," ujar perempuan itu di sela isaknya. "Oh, ya?" Senyuman miring merasa tertantang melengkung. "Makanya itu, aku sangat penasaran sekali untuk—" "Tidak! Tidak! Kumohon..." Seseorang bertudung ini t

DMCA.com Protection Status