Kevin melangkah masuk ke ruang kunjungan penjara dengan hati yang berat. Wajahnya tampak tegang, penuh penyesalan. Di depannya, Alex duduk dengan tangan terikat pada meja besi, matanya tajam menatap Kevin. Ruangan itu dingin, suasananya sepi, hanya terdengar suara pelan dari penjaga yang berjaga di pintu. Kevin menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk di seberang Alex.Alex tersenyum sinis. "Akhirnya kau datang juga," katanya dengan suara rendah, namun jelas terdengar dendam di balik kata-katanya.Kevin merasa seperti tercekik. "Aku... Aku datang untuk mendengar semuanya, Alex," katanya sambil menundukkan kepala. "Aku ingin tahu kebenarannya, siapa dalang di balik semua ini. Katakan Alex"Alex mendengus. "Kau salah tuduh? Aku memang yang membuat Nora tiada dalam kecelakaan itu. Tapi itu kulakukan agar Nora tak menghancurkan hidupmu Itu yang ingin aku katakan? Dialah yang menghancurkan hidupmu, Kevin! Aku kehilangan segalanya karena kau. Kau tahu siapa yang sebenarnya menghancu
Kevin meninggalkan ruang kunjungan penjara dengan langkah berat, seolah-olah setiap langkahnya menambah beban di pundaknya. Kata-kata Alex terus terngiang di telinganya, menggema seperti mantra yang tak henti-hentinya mengoyak hatinya. Rasa penyesalan yang mendalam menguasai dirinya, seiring dengan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dia yakini selama ini hanyalah sebuah ilusi yang dipelihara oleh kebohongan.Sesampainya di rumah, Kevin disambut oleh keheningan yang menyesakkan. Rumah megah yang biasanya terasa nyaman kini seperti menyerap semua kegelisahannya. Ibunya, Ny. Helena, duduk di ruang tamu dengan wajah yang pucat dan mata yang lelah. Ketika Kevin masuk, Ny. Helena menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan — campuran antara marah, kecewa, dan luka yang dalam. "Akhirnya kau pulang," kata Ny. Helena dengan suara serak. Kevin bisa merasakan sakit dalam setiap katanya. "Aku dengar kau pergi menemui Alex."Kevin menelan ludah, mengangguk pelan. "Ya, Ma. Aku ingin mendengar
Kevin keluar dari rumah dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ada tekad kuat untuk menebus kesalahannya terhadap Alexa, namun di sisi lain, ada ketakutan dan kecemasan yang menekan. Setelah perbincangan dengan orang tuanya, Kevin sadar bahwa usahanya untuk memperbaiki keadaan bukanlah hal yang mudah. Ia harus melawan bayangan masa lalunya dan menghadapi kenyataan pahit bahwa kepercayaan yang ia tanamkan pada Nora telah menghancurkan segalanya. Hari-hari setelah kunjungannya ke penjara terasa seperti siksaan. Berita tentang kecelakaan Alexa dan ketiadaan jasadnya telah menjadi bahan perbincangan di mana-mana, termasuk di kantor perusahaan keluarga Kevin. Sejak berita itu tersebar, saham perusahaan mulai mengalami penurunan yang signifikan. Para investor merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian yang mengelilingi kehidupan pribadi Kevin dan bagaimana itu bisa mempengaruhi kepemimpinan perusahaan. Di kantor, Kevin merasakan suasana yang tidak biasa. Ruang rapat yang biasa
Kevin mulai merasa hidupnya terhimpit dari berbagai arah. Berita mengenai kecelakaan Alexa, hilangnya jasad, dan penurunan saham perusahaan membuatnya terjepit dalam situasi yang semakin sulit. Pertemuannya dengan Nora tak membuahkan hasil. Meski ia bertekad untuk mengungkapkan kebenaran, Nora masih menutup mulut rapat-rapat. Sementara itu, tekanan dari para investor semakin menambah berat beban di pundaknya.Di tengah kekacauan ini, sebuah kabar mengejutkan datang dari sekretarisnya, Mira. "Pak Kevin, ada investor baru yang ingin berinvestasi dalam jumlah besar," ucap Mira dengan nada antusias. "Namanya Pak Surya. Dia dan istrinya baru saja kembali dari luar negeri dan tertarik dengan perusahaan kita."Kevin merasakan sedikit harapan di tengah kekalutan. "Surya? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Apakah kamu sudah meneliti latar belakangnya?"Mira mengangguk. "Ya, Pak. Mereka memiliki portofolio investasi yang sangat mengesankan di luar negeri, terutama di sektor teknolo
Kevin tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang terus membebani pikirannya. Ada sesuatu tentang Gina yang mengganggunya—cara dia berbicara, suaranya yang akrab, bahkan ekspresinya saat tersenyum mengingatkan Kevin pada seseorang yang seharusnya sudah tidak ada lagi di hidupnya. Tapi, bagaimana mungkin? Alexa sudah meninggal. Kecelakaan itu sudah terjadi berminggu-minggu yang lalu, dan Kevin telah menerima kenyataan bahwa dia tidak akan pernah melihat istrinya lagi. Namun, setiap kali Gina berbicara, Kevin merasa terlempar ke masa lalu, seperti ada bayangan Alexa yang muncul di depannya.Di satu sisi, kehadiran Gina membawa kelegaan. Investasi dari keluarga Surya mulai memperbaiki situasi perusahaan yang kacau. Saham perusahaan naik kembali, kepercayaan investor perlahan-lahan pulih, dan Kevin bisa bernapas sedikit lebih lega. Namun, di sisi lain, kehadiran Gina membuat Kevin merasa tidak nyaman. Pikirannya terus dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab.Suatu pagi, Kevin memutusk
Kevin berdiri di rooftop gedung kantornya, membiarkan angin sore yang dingin berembus di sekelilingnya. Pikirannya melayang jauh, menelusuri kenangan yang semakin hari semakin menyakitkan. Bayangan Alexa kembali mengisi benaknya, membuat hatinya terasa semakin berat. Wajahnya yang dulu selalu ceria, senyum yang pernah menenangkan jiwa Kevin, kini hanya menjadi bayang-bayang yang menghantui. “Alexa...,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin. Ia memejamkan matanya, mengingat kembali semua perlakuannya pada wanita itu. Alexa yang selalu disalahkan, yang menjadi sasaran kemarahannya tanpa sebab, yang tak pernah dihargai. Ia teringat bagaimana Alexa menangis saat memberi tahu tentang keguguran mereka. Rasa tidak pedulinya membuatnya kehilangan kesempatan untuk menebus semua kesalahannya. Dan kini, rasa sesal itu menghantamnya, membuat dadanya terasa sesak.Kevin membuka matanya, menatap langit yang mulai gelap. "Aku bodoh," katanya kepada dirinya sendiri, menggelengkan kep
Kevin melanjutkan menyesap kopi tersebut, merasakan kehangatan yang menyebar di tenggorokannya. Setiap tegukan membawa kembali kenangan tentang Alexa, membuatnya merasa seolah-olah Alexa ada di dekatnya. Rasa kopi yang hangat dan kaya ini seperti sebuah pelukan lembut yang membangkitkan nostalgia, mengaitkan setiap momen dengan kenangan tentang cinta dan kesalahan yang telah ia buat. Perasaan nostalgia menyelimutinya, menambah berat rasa bersalah yang sudah ada.“Kenapa kau...” Kevin mulai bertanya, tetapi suaranya terputus. Ia merasakan kesedihan yang mendalam, seolah beban hidupnya semakin berat. “Kenapa kau membuat kopi ini?”Gina menatap Kevin dengan mata penuh empati, meski ada kesan dingin yang tersembunyi di baliknya. “Saya tahu Anda sedang mengalami masa sulit. Kadang, hal-hal kecil seperti ini bisa membuat perbedaan, meskipun mungkin tidak menyelesaikan masalah,” jawabnya lembut.Kevin mengangguk, merasakan sedikit kelegaan. Kopi itu memang membawa rasa yang sangat familiar,
Malam itu, setelah meninggalkan Kevin di rooftop, Gina melangkah cepat menuju pintu keluar, menghindari pandangan mata siapa pun. Di dalam benaknya, semua ingatan yang terkubur mulai terangkat kembali. Kamar yang gelap dan pengap, suara-suara asing yang berbicara dengan nada tegas, dan perasaan ketakutan yang membekukan hati. Gina menggigit bibirnya, menahan rasa marah yang mulai membara.Sesampainya di jalanan yang sepi, Gina memanggil taksi dan memberitahu sopir untuk menuju ke sebuah alamat yang jauh dari pusat kota, di pinggiran tempat yang sepi dan terpencil. Tempat itu adalah rumah mewah milik papa angkatnya. Sepanjang perjalanan, Gina mengingat kembali semua yang terjadi. Dia, yang dulu dikenal sebagai Alexa, hidup bahagia sebagai seorang anak tunggal dalam keluarga yang sederhana. Hingga suatu hari, dia diculik oleh seorang pria asing yang mengaku sebagai teman baik keluarganya. Pria itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai papa angkat, merubah identitasnya menjadi Gina, d