Malam itu, setelah meninggalkan Kevin di rooftop, Gina melangkah cepat menuju pintu keluar, menghindari pandangan mata siapa pun. Di dalam benaknya, semua ingatan yang terkubur mulai terangkat kembali. Kamar yang gelap dan pengap, suara-suara asing yang berbicara dengan nada tegas, dan perasaan ketakutan yang membekukan hati. Gina menggigit bibirnya, menahan rasa marah yang mulai membara.Sesampainya di jalanan yang sepi, Gina memanggil taksi dan memberitahu sopir untuk menuju ke sebuah alamat yang jauh dari pusat kota, di pinggiran tempat yang sepi dan terpencil. Tempat itu adalah rumah mewah milik papa angkatnya. Sepanjang perjalanan, Gina mengingat kembali semua yang terjadi. Dia, yang dulu dikenal sebagai Alexa, hidup bahagia sebagai seorang anak tunggal dalam keluarga yang sederhana. Hingga suatu hari, dia diculik oleh seorang pria asing yang mengaku sebagai teman baik keluarganya. Pria itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai papa angkat, merubah identitasnya menjadi Gina, d
Malam itu, Gina—yang dulunya dikenal sebagai Alexa—duduk di ruang tamu apartemennya dengan mata tajam yang menatap ke arah komputer. Satu persatu, dia mempelajari dokumen-dokumen keuangan yang dia peroleh dari jurnalis, melacak jejak uang yang menunjukkan bahwa Victor, "papa angkat" yang telah menculiknya bertahun-tahun lalu, terlibat dalam berbagai transaksi ilegal. Namun, Gina tidak terburu-buru untuk menyerahkan semua bukti ini kepada pihak berwenang. Dia memiliki rencana yang lebih besar, rencana yang akan membuat Victor jera dan menanggung setiap dosa yang telah diperbuatnya.Gina menghubungi ayah kandungnya, Albert, dan ibunya, Maria, yang baru-baru ini dia temukan kembali. Mereka adalah keluarga kaya yang berpengaruh, dan mereka segera bersedia membantu Gina dalam misinya. Dengan dukungan mereka, Gina mulai mengendalikan semua perusahaan yang pernah dimiliki Victor, satu per satu. Setiap kesepakatan, setiap transaksi, dan setiap hubungan bisnis yang dulu dipelihara Victor kini
Kevin meremas ponselnya dengan keras, telinganya masih berdering dari percakapan terakhirnya dengan Victor. Suara Victor yang lemah dan pasrah saat memberitahu bahwa semua uang sudah dikembalikan, dan status Alexa telah dihapuskan sepenuhnya, membuat darahnya mendidih. Sesuatu tidak masuk akal. Alexa tidak mungkin mati. Tidak setelah semua yang dia rasakan—firasaannya yang kuat, intuisi yang mengatakan bahwa Alexa masih hidup. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk membuatnya percaya pada kematian Alexa. Sambil menggebrak meja di depannya, Kevin berdiri dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. “Victor,” gumamnya dengan nada penuh amarah, “aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Alexa tidak mungkin mati. Kau tidak akan mengembalikan uang itu tanpa alasan yang kuat.” Dia meraih telepon lagi, menekan nomor Victor dengan tangan gemetar. Ketika panggilan terhubung, Kevin tidak membuang waktu. “Victor,” suaranya tegas, “aku ingin kau katakan kepadaku, siapa yang memaksa ka
Hari itu, Gina mengantar Maria, ibu kandungnya, ke rumah sakit untuk memeriksakan mata. Saat menunggu Maria yang sedang berada di dalam klinik, tak jauh dari tempat duduknya, Gina melihat seorang wanita tua terjatuh karena tersandung. Tanpa berpikir panjang, Gina segera menghampiri dan menolongnya. Wanita itu adalah Helena, mantan ibu mertuanya yang tak pernah ia duga akan ditemuinya di situ. Namun, Helena sama sekali tidak menyadari bahwa wanita yang menolongnya itu adalah menantunya sendiri, Alexa, yang ia percayai telah meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Hal itu terjadi karena perubahan drastis pada wajah dan penampilan Alexa, yang kini dikenal sebagai Gina. "Terima kasih sudah menolongku," kata Helena dengan senyum tulus. "Tidak apa-apa, Tante. Senang bisa membantu," jawab Gina dengan suara yang lembut. Helena tertegun sejenak mendengar suara Gina. "Nama kamu siapa?" tanya Helena, matanya memandang Gina penuh penasaran. "Nama saya Gina," jawab Gina. Saat mendenga
Gina duduk di ruang tamunya yang megah, melihat pemandangan kota yang terbentang di bawah kaki bukit tempat apartemennya berada. Pikirannya melayang-layang, memikirkan ajakan yang baru saja ia terima. Helena, mantan ibu mertuanya, mengundangnya untuk makan malam di rumahnya. Tentu saja, Helena tidak tahu bahwa wanita yang ia undang adalah menantunya yang telah dinyatakan meninggal. "Sebuah kesempatan yang sempurna," pikir Gina sambil tersenyum dingin. Ia menatap bayangannya di cermin besar di ruang tamu, wajah yang sudah berubah berkat operasi dan perawatan medis yang canggih. Namun, suara, sikap, dan tatapan mata itu, semuanya masih milik Alexa, yang kini hidup sebagai Gina. Maria, ibu kandungnya, muncul dari dapur dengan secangkir teh. "Kau tampak berpikir keras, sayang. Apa yang ada di pikiranmu?" Gina mengangkat pandangannya dan tersenyum. "Aku hanya memikirkan rencana besar kita, Mama," jawabnya. "Dan tampaknya, takdir memihak kita. Helena mengundangku makan malam di rumahn
Kevin tidak bisa berhenti memikirkan Gina. Sepanjang malam setelah makan malam di rumah orang tuanya, dia terus merasakan sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Setiap kata yang keluar dari mulut Gina, setiap gerakan, bahkan cara dia tertawa—semua itu terasa begitu akrab. Bagaimana mungkin seseorang yang baru dikenalnya bisa begitu mengingatkan pada Alexa, wanita yang pernah dicintainya, namun dinyatakan meninggal dalam kecelakaan tragis?Keesokan harinya di kantornya, Kevin duduk di kursi kerjanya, memandangi layar komputer tanpa benar-benar melihat apapun. Pikirannya terus melayang ke sosok Gina. "Ini gila," pikirnya. "Aku tidak mungkin membandingkan dia dengan Alexa. Gina adalah orang yang berbeda. Dia penyelamat perusahaan kami, dan aku seharusnya fokus pada itu."Namun, semakin ia mencoba mengabaikan perasaannya, semakin kuat perasaan itu kembali. Di dalam hati kecilnya, Kevin merasakan ada yang tidak beres. Dan rasa penasaran itu mulai tumbuh menjadi sesua
Setelah malam makan malam yang canggung di rumah Helena, Gina mulai merencanakan langkah selanjutnya dengan lebih tenang dan terstruktur. Baginya, ini bukan hanya soal mendekati Kevin, melainkan membangun permainan panjang yang membuat seluruh keluarganya terperangkap dalam jaring yang telah ia tenun dengan rapi. Gina tahu bahwa untuk menghancurkan Kevin sehancur-hancurnya, ia harus melibatkan seluruh keluarganya, menenun rasa cinta, kepercayaan, dan ketergantungan—lalu merobek semua itu pada saat yang paling menyakitkan.Gina melangkah keluar dari mobilnya di depan kantor Kevin. Hari ini, ia diundang untuk bertemu Kevin dan timnya guna membahas potensi kerja sama investasi lebih lanjut. Baginya, ini adalah kesempatan sempurna untuk menguji sejauh mana Kevin mulai memperhatikannya dan untuk meneguhkan posisinya di perusahaan. Setiap langkah yang ia ambil, setiap gerakan yang ia buat, semuanya direncanakan dengan cermat. Dalam setiap tatapan dan senyum yang ia berikan, tersembunyi niat
Kevin duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang tergeletak di meja. Sudah berhari-hari ia mencoba menghubungi Gina, tetapi hasilnya tetap sama—nomor teleponnya tak bisa dihubungi, dan pesan-pesan yang ia kirim hanya berakhir tanpa balasan. Rasa cemas mulai merambat di hatinya. Gina pergi mendadak, memberitahunya bahwa ia ada urusan bisnis di luar kota. Namun, kini semua terasa janggal. Tak ada satu pun rekan kerja Gina yang tahu di mana ia berada, dan bahkan orang-orang di kantornya seolah tak mengenal keberadaannya."Gina, di mana kamu?" Kevin bergumam pelan, matanya kembali melirik layar ponsel yang mati.Tak seorang pun bisa menjawabnya. Lebih dari sekadar kekhawatiran tentang keberadaan Gina, Kevin merasa dirinya mulai kehilangan arah. Sosok Gina yang biasa bersamanya tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Bagian tersulit adalah, meskipun ia punya kekuasaan dan kekayaan yang bisa ia gunakan untuk melacak siapa saja, keluarga Gina, Maira dan Albert, tak tersentuh oleh kemampuannya