Hari itu, Gina mengantar Maria, ibu kandungnya, ke rumah sakit untuk memeriksakan mata. Saat menunggu Maria yang sedang berada di dalam klinik, tak jauh dari tempat duduknya, Gina melihat seorang wanita tua terjatuh karena tersandung. Tanpa berpikir panjang, Gina segera menghampiri dan menolongnya. Wanita itu adalah Helena, mantan ibu mertuanya yang tak pernah ia duga akan ditemuinya di situ. Namun, Helena sama sekali tidak menyadari bahwa wanita yang menolongnya itu adalah menantunya sendiri, Alexa, yang ia percayai telah meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Hal itu terjadi karena perubahan drastis pada wajah dan penampilan Alexa, yang kini dikenal sebagai Gina. "Terima kasih sudah menolongku," kata Helena dengan senyum tulus. "Tidak apa-apa, Tante. Senang bisa membantu," jawab Gina dengan suara yang lembut. Helena tertegun sejenak mendengar suara Gina. "Nama kamu siapa?" tanya Helena, matanya memandang Gina penuh penasaran. "Nama saya Gina," jawab Gina. Saat mendenga
Gina duduk di ruang tamunya yang megah, melihat pemandangan kota yang terbentang di bawah kaki bukit tempat apartemennya berada. Pikirannya melayang-layang, memikirkan ajakan yang baru saja ia terima. Helena, mantan ibu mertuanya, mengundangnya untuk makan malam di rumahnya. Tentu saja, Helena tidak tahu bahwa wanita yang ia undang adalah menantunya yang telah dinyatakan meninggal. "Sebuah kesempatan yang sempurna," pikir Gina sambil tersenyum dingin. Ia menatap bayangannya di cermin besar di ruang tamu, wajah yang sudah berubah berkat operasi dan perawatan medis yang canggih. Namun, suara, sikap, dan tatapan mata itu, semuanya masih milik Alexa, yang kini hidup sebagai Gina. Maria, ibu kandungnya, muncul dari dapur dengan secangkir teh. "Kau tampak berpikir keras, sayang. Apa yang ada di pikiranmu?" Gina mengangkat pandangannya dan tersenyum. "Aku hanya memikirkan rencana besar kita, Mama," jawabnya. "Dan tampaknya, takdir memihak kita. Helena mengundangku makan malam di rumahn
Kevin tidak bisa berhenti memikirkan Gina. Sepanjang malam setelah makan malam di rumah orang tuanya, dia terus merasakan sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Setiap kata yang keluar dari mulut Gina, setiap gerakan, bahkan cara dia tertawa—semua itu terasa begitu akrab. Bagaimana mungkin seseorang yang baru dikenalnya bisa begitu mengingatkan pada Alexa, wanita yang pernah dicintainya, namun dinyatakan meninggal dalam kecelakaan tragis?Keesokan harinya di kantornya, Kevin duduk di kursi kerjanya, memandangi layar komputer tanpa benar-benar melihat apapun. Pikirannya terus melayang ke sosok Gina. "Ini gila," pikirnya. "Aku tidak mungkin membandingkan dia dengan Alexa. Gina adalah orang yang berbeda. Dia penyelamat perusahaan kami, dan aku seharusnya fokus pada itu."Namun, semakin ia mencoba mengabaikan perasaannya, semakin kuat perasaan itu kembali. Di dalam hati kecilnya, Kevin merasakan ada yang tidak beres. Dan rasa penasaran itu mulai tumbuh menjadi sesua
Setelah malam makan malam yang canggung di rumah Helena, Gina mulai merencanakan langkah selanjutnya dengan lebih tenang dan terstruktur. Baginya, ini bukan hanya soal mendekati Kevin, melainkan membangun permainan panjang yang membuat seluruh keluarganya terperangkap dalam jaring yang telah ia tenun dengan rapi. Gina tahu bahwa untuk menghancurkan Kevin sehancur-hancurnya, ia harus melibatkan seluruh keluarganya, menenun rasa cinta, kepercayaan, dan ketergantungan—lalu merobek semua itu pada saat yang paling menyakitkan.Gina melangkah keluar dari mobilnya di depan kantor Kevin. Hari ini, ia diundang untuk bertemu Kevin dan timnya guna membahas potensi kerja sama investasi lebih lanjut. Baginya, ini adalah kesempatan sempurna untuk menguji sejauh mana Kevin mulai memperhatikannya dan untuk meneguhkan posisinya di perusahaan. Setiap langkah yang ia ambil, setiap gerakan yang ia buat, semuanya direncanakan dengan cermat. Dalam setiap tatapan dan senyum yang ia berikan, tersembunyi niat
Kevin duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang tergeletak di meja. Sudah berhari-hari ia mencoba menghubungi Gina, tetapi hasilnya tetap sama—nomor teleponnya tak bisa dihubungi, dan pesan-pesan yang ia kirim hanya berakhir tanpa balasan. Rasa cemas mulai merambat di hatinya. Gina pergi mendadak, memberitahunya bahwa ia ada urusan bisnis di luar kota. Namun, kini semua terasa janggal. Tak ada satu pun rekan kerja Gina yang tahu di mana ia berada, dan bahkan orang-orang di kantornya seolah tak mengenal keberadaannya."Gina, di mana kamu?" Kevin bergumam pelan, matanya kembali melirik layar ponsel yang mati.Tak seorang pun bisa menjawabnya. Lebih dari sekadar kekhawatiran tentang keberadaan Gina, Kevin merasa dirinya mulai kehilangan arah. Sosok Gina yang biasa bersamanya tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Bagian tersulit adalah, meskipun ia punya kekuasaan dan kekayaan yang bisa ia gunakan untuk melacak siapa saja, keluarga Gina, Maira dan Albert, tak tersentuh oleh kemampuannya
Kehidupan Gina di luar negeri berjalan damai bersama putrinya, Keiva, namun di balik ketenangan itu, ada rencana besar yang sedang dijalankan oleh Maira dan Albert, orang tua kandung Gina. Mereka sudah lama menginginkan Gina untuk menikah lagi, bukan hanya demi masa depan Gina dan Keiva, tetapi juga untuk memperkuat ikatan bisnis keluarga. Gina tahu betul, seperti halnya dulu saat ia masih menjadi Alexa, bahwa keluarganya selalu menomorsatukan bisnis dan kekuasaan di atas segalanya.Gina, yang kini hidup dengan identitas barunya, tak pernah berharap akan kembali ke dalam lingkaran perjodohan. Namun, keadaan berubah ketika Maira mengumumkan bahwa mereka sudah memilih seorang pria yang dianggap cocok untuknya. Gani, seorang pria muda tampan dengan reputasi bisnis yang cemerlang, merupakan pilihan yang tidak hanya disetujui oleh kedua orang tuanya, tetapi juga dianggap sebagai pasangan yang sempurna untuk mengisi kehidupan Gina."Dia sempurna untukmu, Gina. Gani adalah lelaki yang baik,
Pagi itu, Gina duduk di tepi ranjangnya, mengawasi Keiva yang masih tertidur lelap. Pikirannya berkecamuk. Pernikahan dengan Gani semakin dekat, tapi ada sesuatu yang terus menghantui benaknya. Kevin. Gina tahu bahwa perasaan untuk Kevin mungkin tak akan pernah benar-benar hilang, meskipun sekarang ia telah memilih jalur yang berbeda. Namun, rencana balas dendamnya terhadap Kevin semakin jelas di kepalanya.Dengan langkah mantap, Gina berjalan ke ruang tamu dan menghubungi Gani lewat telepon. Setelah beberapa nada sambung, suara hangat Gani terdengar.“Gina, ada apa? Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Gani penuh perhatian.Gina menghela napas, mencoba merangkai kata-kata. "Gani, aku perlu berbicara denganmu soal sesuatu yang penting."Di seberang telepon, Gani terdiam sesaat sebelum menjawab, “Apa itu? Apapun yang kau butuhkan, aku akan selalu mendukungmu.”"Ini tentang masa laluku...," Gina mulai berbicara dengan hati-hati. "Aku harus kembali ke Indonesia sebentar. Ada hal yang b
Malam itu, suasana di dalam apartemen Gina terasa hening namun penuh ketegangan. Kevin duduk di sisi ranjang, masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Gina, yang dulu ia kenal sebagai Alexa, kini berdiri di hadapannya dengan sikap tenang, seolah menguasai seluruh ruangan. “Gina…” suara Kevin bergetar sedikit, “Apa ini sungguh-sungguh? Kau benar-benar mau kita kembali bersama?”Gina menatapnya dengan senyum tipis, lalu duduk di sampingnya. Ia mengangguk pelan, matanya memancarkan ketenangan yang tak biasa. “Ya, Kevin. Aku telah memikirkannya lama. Mungkin kita salah paham dulu, tapi kini aku tahu, kamu adalah satu-satunya orang yang bisa memberiku rasa aman, juga untuk Keiva.”Kevin merasakan hatinya dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Rasa bersalah dan penyesalan yang selama ini menghantuinya seolah mulai menguap. Gina yang dulu ia kejar-kejar kini kembali, dan bukan hanya itu, dia bahkan bersedia menerimanya kembali. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Apa ya