Inez tertawa keras, meski sudah mengetahui bahwa Eric bukanlah pria menggebu akan cinta dan hasrat terpendam, tetap saja Inez senang memancing amarah Eric.
“Di antara sekian banyak pria kaya, mengapa harus Eric Fagan? Oh, ya ampun!” tawa Inez hampir menyerupai kekehan Nenek sihir.
“Kenapa? Apa aku tak pantas untuk itu?” Eric terlihat tersinggung. “Saat aku merasa beruntung kau yang menjadi saudara tiriku, kenapa kau justru mengeluh?”
“Jangan salah sangka dulu, Eric. Aku hanya merasa bersalah jika seperti kenyataan dan keadaannya seperti ini.”
“Haa ...” Eric mendengus, ia tersenyum miring, alias sinis, “untuk apa kau merasa bersalah? Bukan kau yang sepakat untuk menikah dengan Ayahku.”
“Bukan itu, Eric,” geleng Inez. Ada senyum manis menggoda darinya yang sengaja ia peruntukan untuk sang sahabat, “karena itu kau, aku jadi semakin sulit untuk berbuat ulah.”
“Berbuat ulah? Kali ini apa lagi?”
“Aku ingin mencoba bermain-main dengan Kakak tiriku, jika itu bukan kau. Tapi karena ternyata Eric Fagan lah Kakak tiriku, belum apa-apa, aku sudah menciut,” jelas Inez dengan tawa penuh semangat.
Eric mengumpat tak jelas. Ia merasa kesal karena ternyata Inez tidak pernah berubah. Selalu gemar mencari masalah dalam hidupnya. Berbanding terbalik, justru sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang sebisa mungkin—harus—menjauhi masalah.
Hidup lurus penuh ketenangan, itulah yang biasa Eric jalani. Bukannya tak pernah bermasalah, tapi Eric selalu dengan cepat mengatasi semua yang menganggu hidupnya. Tapi kali ini, ia bingung, tidak akan mungkin dia menyingkirkan Inez dan Ibunya begitu saja. Mereka berdua tidak sepenuhnya bersalah.
“Hei! Apa yang kau pikirkan?” Inez menghardik pelan sang sahabat.
“Aku tak tahu. Hanya sedikit kesal, mungkin.”
“Jawaban macam apa itu. Tapi cobalah untuk mengerti posisi Ayahmu, Eric. Dia membutuhkan seseorang untuk menjaga dan menemani dirinya di hari tua.
Sedangkan kau, memilih meninggalkan rumah sejak empat tahun lalu, hidup sendiri, seolah tidak memiliki keluarga.” Inez sengaja menyudutkan Eric.
“Aku ... memiliki alasan yang jelas untuk itu, Inez. Lagi pula, Anak Ayah bukan hanya diriku, ada Elsa yang lebih bisa ia andalkan. Aku rasa bukan itu alasannya,” sanggah Eric.
“Lalu, apa alasannya menurutmu?” Inez terlihat penasaran.
Eric memicingkan kedua mata penuh curiga ke arah Inez. “Apa kau tidak pernah bertanya pada Ibumu?”
Inez menggeleng sembari mengangkat bahu.
“Ayahku memang sudah lama mencintai Ibumu, bahkan mungkin, sebelum Ibuku tiada.”
Inez mendadak menginjak rem, beruntung jalanan tidak padat, karena malam hari, biasanya jalan menuju istana baru Inez terbilang sepi.
King and Queen Residence. Semua orang dari penjuru kota jelas paham, bahwa memiliki hunian di sana pastilah hanya mimpi belaka, apa lagi untuk seseorang seperti Inez. Karena para penghuninya cuma terisi orang-orang terkaya dari yang paling kaya.
“Kenapa kau mendadak berhenti?” Eric terlihat kesal dengan mata membulat sempurna, tertuju pada Inez yang tertawa pelan.
Inez menyampingkan tubuhnya menghadap Eric, setelah mobil terparkir di pinggir jalanan sepi.
“Kau serius mengenai hal itu?”
“Kenapa? Kau terkejut? Merasa terpukul?” ejek Eric. Ia merasa heran jika seorang Anak perempuan yang biasanya tak memiliki rahasia apa pun di dalam hubungan antara Ibu dan Anak, justru berakhir seperti wanita di hadapannya ini. Tak tahu apa-apa.
“Bukan begitu. Yang kuingat, satu-satunya pria dalam hidup Ibu, hanyalah mendiang Ayahku. Ibu tidak pernah terlibat hubungan apa pun dengan pria lain. Sejujurnya, aku juga terkejut saat Ibuku menerima tawaran Ayahmu,” jelas Inez dengan raut wajah serius. Dia sungguh-sungguh kali ini.
“Pikiranmu terlalu dangkal,” tuduh Eric. Ia terlihat menghina Inez melalui tatapannya.
“Ya, aku tidak senang berpikir terlalu dalam. Hanya terus sibuk berbuat ulah.” Inez tersenyum lebar, memamerkan gigi-giginya yang tidak begitu tersusun rapi. Tapi cukup putih dan bersih.
“Teruslah begitu, selagi kau memiliki tenaga yang besar untuk menyelesaikan sendiri kekacauan yang kau buat. Tapi ingat ...” Eric mengacungkan jari telunjuknya, “jangan pernah libatkan aku meski kini kita bersaudara.”
Inez mengangguk mengerti. Wajahnya terlihat serius menanggapi ucapan berupa setengah ancaman dari Eric.
“Bagus, gadis pintar.” Eric tersenyum senang. Mengingat fakta bahwa di antara ketiga sahabat yang lain, hanya dirinya lah yang sedikit mampu mengendalikan Inez si pembuat onar.
“Apa kau berencana untuk memberitahu yang lain?” tanya Inez.
“Siapa? Gwen, Lexi, dan Piter?”
“Hem, mungkin kau berencana memberitahu mereka tentang hubungan persaudaraan aneh kita,” tawa Inez kembali muncul.
“Tidak, tidak. Aku rasa tidak perlu. Kau tahu, selama hampir lima belas tahun kita semua bersahabat, tidak ada satu pun dari kita yang terlalu paham dan peduli urusan pribadi masing-masing,” tolak Eric.
“Ya. Kau benar. Aku bahkan tidak pernah tahu siapa saja kekasihmu, alasan kenapa sampai detik ini Lexi tidak bisa menerima Zanna Van Dick, di mana Gwen bekerja setelah keluar dari perusahan industri, juga tentang Piter.
Ya, aku tak tahu apa pun tentang kehidupan pribadinya, kecuali satu hal, dia masih senang menggoda wanita bersuami,” jelas Inez setengah tertawa. Hari ini dia menjadi banyak tertawa karena adanya Eric.
“Itulah kenapa aku juga berniat terus mempertahankan persahabatan ini hingga akhir hayat.” Eric tersenyum, ada raut bahagia yang terpancar jelas.
“Aku setuju untuk hal itu, bahkan mungkin, jika kita semua sudah menikah dan memiliki Anak, ada baiknya saling menjodohkan Anak-Anak kita satu sama lain,” usul Inez dengan semangat yang memenuhi seluruh gerak tubuhnya.
“Oh, tidak.” Eric lagi-lagi mendengus. “Aku tidak berniat untuk itu.”
“Hei, sifat sombongmu itu menyakiti hatiku,” protes Inez memasang wajah cemberut.
“Maksudku bukan begitu.”
“Lalu apa maksudmu? Bukankah kau tidak berniat menjodohkan Anakmu kelak dengan Anakku?”
“Hei, pembicaraan macam apa ini?” Eric berdecak bosan. “Maksudku, aku tidak berniat untuk menikah, apa lagi sampai memiliki Anak,” jelas Eric.
“Hah? Kau gila?” Inez berseru keras dengan rasa tidak percaya yang cukup tinggi.
“Tidak,” geleng Eric, “aku tidak gila. Hanya tak ingin membuang-buang waktuku dengan wanita, itu saja.”
Inez menghela napas, menggeleng, kembali pada posisi bersiap untuk mengemudikan mobil pemberian Ayah tirinya. “Kau sama sekali tidak berubah. Kurasa kau memang bukan pria normal, Eric.”
Eric tertawa keras. Ia jelas paham jika Inez dan semua orang menganggapnya pria yang tidak normal.
Tapi saat melihat dan mendengar Inez benar-benar mengucapkan pandangannya seperti itu, membuat Eric merasa tertantang.
“Kau sungguh merasa aku pria yang tidak normal?”
Inez mengangguk tanpa ragu. “Jelas terlihat seperti itu di usiamu yang sekarang ini, Eric. Maaf, tapi kau sedikit aneh.”
“Kau ingin membuktikannya?”
Inez masih menyetir dengan santai, ia sama sekali tidak menanggapi perkataan Eric. Juga tak paham pada maksud dan tujuan Eric.
“Maksudmu?”
“Mari kita buktikan apakah aku pria tidak normal dan aneh seperti yang kau katakan atau aku pria yang lihai mengambil hati wanita,” tantang Eric dengan senyum manis, bukan sinis.
“Caranya?” Inez mulai kebingungan. Sesekali ia menoleh di sela-sela menyetir.
“Kau tak tahu caranya? Kukira kau paling ahli untuk urusan seperti ini.”
“Ya, terkadang aku bisa saja menjadi amatir dalam situasi tertentu. Lalu bagaimana caranya?” Inez masih saja penasaran.
Eric tersenyum. Merasa si pembuat onar mulai terpancing.
“Mari tidur bersama dan buktikan kebenarannya.”
Bersambung.
“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi.Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania deng
Sepeninggal Misca dari rumahnya, Jupiter kalang kabut. Ia berjalan mondar-mandir di kamar. Menjambak rambutnya sambil memutar otak, memaksa berpikir jernih di bawah tekanan dan ancaman Misca.Sudah lewat tengah malam, tapi Jupiter tidak merasa harus sungkan menghubungi satu nama itu. Ia segera meraih ponsel dari sakunya dan menunggu panggilan dijawab.“Halo?” Suara di seberang.“Aku menganggu tidurmu?”“Tidak. Aku masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan. Jadi ada apa?”“Aku ingin bertemu.”“Besok setelah jam kantorku selesai, bagaimana?”“Aku tidak bisa menunggu ...” Jupiter mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas pangkuan, “bisakah kita bertemu sekarang?”“Sekarang? Ini sudah hampir pukul dua belas malam, Piter.”“Yap. Aku tahu, tapi aku butuh kau sekarang. Aku ingin mengajakmu bicara hal penting.” Suara percaya diri Jupiter terde
“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.“Tentu saja tidak.”“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.Seminggu yang lalu.[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]Lima hari yang lalu.[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]Tiga hari yang lalu.[Aku merasa sesak setiap kali masuk
Malam hari ini terasa panas dan gerah, membuat keringat mengucur deras dari tubuh Lola yang berlari keluar taksi dengan terburu-buru menuju ruang bersalin sebuah Rumah Sakit kecil, yang ada di pinggiran kota.Bibirnya komat-kamit merapalkan permohonan untuk keselamatan sahabatnya. Lola ingat betapa beruntungnya, dia akan bisa ikut menyaksikan persalinan sahabatnya, mengingat tadi saat dihubungi, Lola sedang memasukkan pakaian ke koper karena dia akan ikut penerbangan pulang pagi, esoknya.Ini bukan minggu keempat puluh, tapi sahabat Lola terpaksa akan melakukan persalinan secara prematur malam ini, di usia kandungan kurang dari tiga puluh tujuh minggu.Sebelum masuk, Lola menjumpai terlebih dulu pria yang sudah duduk menunggunya di kursi panjang lorong Rumah Sakit, tidak jauh dari ruang bersalin.“Kapan kau tiba?” Lola masih terengah, menatap heran pada pria yang terlihat pura-pura tenang dibalik wajah gugupnya.Padahal Lola menghubungi pria ini saat di
Suasana kediaman Zacky Van Dick terlihat sunyi dari luar, namun keadaan di ruang keluarga, tidak begitu.“Sayang, lihat ini!” teriak Alexi dengan histeris, dia dalam posisi berjongkok dan berjaga-jaga untuk menangkap tubuh mungil di depannya yang sedang berdiri bergoyang-goyang, belum sempurna.Zanna muncul dengan apron menutupi bagian depan tubuhnya, dia tersenyum dan bertepuk tangan sambil menyemangati keduanya.“Sayang, kau hebat, teruskan!” Zanna mencium sekilas pipi Alexi, lalu dia kembali ke dapur.Alexi semakin bersemangat ketika bayi Rosalie yang sudah berusia hampir delapan bulan, memanggilnya ribut dengan sebutan ‘Papa’ yang belum jelas, terkadang dia menunjuk-nunjuk ke arah dapur.“Kau ingin Mamamu?” Alexi mencium gemas kedua pipi Putrinya, menggendong bayi Rosalie dan membawanya ke dapur.Alexi mengejutkan Zanna yang sedang mencuci sayuran, sedikit terpekik, Zanna berbalik, dan memeluk keduanya.“Sayang, sepertinya ... Rose mengi
Enam bulan setelah Gwen pergi dan Jupiter yang kembali dari koma.Inez terburu-buru keluar dari butiknya. Dia tergesa karena akan ada janji temu dengan psikiater Emmie dua belas menit lagi. Belakangan, setiap malam dia selalu mimpi buruk, ya, tidak buruk juga, karena bayangan tubuh tinggi tegap itu terus membuat Inez penasaran.Dia hadir dalam mimpi Inez, tanpa menunjukkan wajahnya. Setiap kali terbangun, Inez akan merasakan kesedihan yang begitu mendalam tanpa sebab. Bahkan dia sampai menangis meraung untuk bisa mendapatkan kelegaan di hatinya.Terkadang, beberapa kali, tanpa sadar, Inez berdiri di ujung balkon seolah dia akan melompat jatuh dari lantai empat. Nyaris mati, Inez berpikir untuk menemui psikiater dengan rutin. Tatapannya yang kosong seolah mengingatkannya akan sebuah kehilangan yang teramat menyakitkan, dan berakhir pada kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil.Sibuk dengan pikirannya, Inez seketika sadar
Langit mendung dengan gerimis tipis mewarnai pagi hari ini. Gwen berusaha bangun lebih cepat, jam empat lewat sebelas menit, hanya untuk lari dari ruangan Eric tanpa ketahuan.Dapur dan seluruh sudut restoran sepi. Gwen mendorong pintu dapur dengan hati-hati. Rupanya di luar, langit benar-benar masih terlihat seperti malam hari.Semua lampu-lampu jalan menyala terang. Begitupun dengan penerangan di setiap rumah dan toko. Gwen menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Delila Restaurant dengan senyum tipis yang sekejap.Terburu-buru, dia melangkah. Membuang SIM Card ponselnya ke tong sampah, lalu menghilang di jalanan kecil bagian samping bangunan pertokoan untuk menghilangkan jejaknya dari Eric.Gwen pulang ke rumah, tidak lagi menemukan bangkai tikus di depan pintu. Jadi dia masuk, dan menyiapkan semua pakaian di atas ranjang, lalu satu persatu, menyusunnya ke koper dengan hati-hati dan cepat.Menurut perkiraannya—jika tepat—Eric akan ter
Meski bingung akan maksud ucapan Gwen, Eric mematung dan mencoba sedikit untuk memahaminya yang sedang dalam kondisi tidak baik.“Itu artinya?”“Kau boleh mendekat,” kata Gwen pelan, menurunkan selimutnya sampai batas mulut, “tapi lepaskan kemejamu. Sisakan kaus dalamnya saja.”Eric tersenyum. Dipikiran Eric, ini sesuatu yang unik dan tergolong biasa dia lakoni bersama Gwen.Eric melepas kemeja hitamnya, menyisakan kaus dalam bewarna senada, lalu mendekat perlahan pada Gwen yang masih dalam posisi berbaring miring ke arahnya.Gwen duduk setelah Eric tiba di tepi sofa, mengendus sekilas tanpa disadari Eric, kemudian tersenyum senang. Aroma parfum dan keringat Eric menyatu, dan dia suka itu.“Bagaimana?” Eric ragu-ragu. Dia berpikir harusnya dia tidak mendengarkan Gwen dan tetap bergabung dengan busa melimpah atau di bawah shower saat ini.“Peluk aku,” gumam Gwen, tidak merenta
Sore hari yang kelabu dengan angin dingin menusuk kulit, menjauhkan tubuh Gwen dari selimut.Gwen tidak menginginkan selimut yang sudah dibawakan oleh Beth. Sebenarnya, pelayan ramah itu tahu, Eric akan kecewa jika dia tidak menjaga Gwen dengan baik, ketika Eric sudah meminta tolong dan percaya padanya.Alasan Gwen meninggalkan selimut itu di bawah kakinya, bukan karena dia sedang ingin diperhatikan lebih dari sekedar memberikan selimut, tapi karena dia tidak menyukai aromanya.Pewangi dan pelembut pakaian yang menebarkan aroma campuran susu dan beras, membuat Gwen membenci selimut itu. Walau tidak menyebabkan rasa mual, tetap saja dia sempat menutup hidung saat menggunakannya, sebelum berakhir di bawah kakinya.“Pakailah selimutmu, Gwen.” Beth muncul dengan nampan berisi semangkuk sup sayur dan segelas air putih hangat, yang diletakkannya terburu-buru karena Beth ingin segera menyelimuti Gwen.“Tidak, jangan Beth. Aku tidak menyukai aroma selimutnya,”
Eric dan Alexi duduk saling berhadapan di kantin Rumah Sakit, karena kedua Ibu dari sahabat mereka yang memintanya.Misca dan Renata kompak menyuruh Eric juga Alexi untuk keluar makan siang, sebelum mereka melewatkan semua itu dengan perut kosong, karena menunggu kedua sahabat mereka yang belum juga terbangun dari koma.“Belum ada keterangan pasti tentang kecelakaan mereka, selain karena mengalami kecelakaan di jalan bebas hambatan, hujan cukup deras hampir tengah malam, dan Piter tidak memasang dashcam di mobilnya,” kata Eric, mencoba memberitahu Alexi yang terlihat penasaran, meski tidak lagi bertanya apapun setelah Eric memberi jawaban singkat tanpa kepastian di ruangan Jupiter dan Inez tadi.“Semalam memang hujan turun sangat deras, aku tidak bisa membayangkan pada apa yang menimpa mereka berdua. Benar-benar mengejutkan.”“Kau benar. Saat ini, kita tidak tahu apapun. Jadi sangat sulit menduganya.” Eric hanya m
Gwen terbangun karena aroma telur orak-arik, avacado toast, dan susu putih hangat. Bukan menyesap harumnya yang memenuhi ruangan, Gwen justru merasa mual.Dia nyaris tersandung, saat buru-buru ke kamar mandi karena memang tidak tahan dengan aroma menu yang diletakkan oleh Beth sekitar tujuh menit sebelum Gwen terbangun, atas perintah Eric.Dan menu sarapan itu juga Eric yang memintanya. Dia memilihkan menu sarapan pagi yang tepat, tapi sepertinya tidak untuk kondisi Gwen saat ini.Gwen menduga sesuatu yang tidak biasa terjadi dengan tubuhnya. Menahan rasa khawatir yang menguap hingga memunculkan hawa dingin di tengkuk, Gwen meraba perutnya yang rata.Mengusap perlahan dengan gerakan memutar. Adakah kehidupan baru di dalam sana? Mendadak, wajah pucat Eric yang selalu tersenyum lembut padanya, mulai berputar ulang, kilasan demi kilasan, bak sebuah film dengan adegan yang diperlambat.Ini gawat!Percintaan terakhir mereka bahkan terjadi beberap
Tatapan tak percaya memenuhi raut wajah Inez. Dia bahkan meratapi tingkahnya malam ini dalam hati. Memalukan!Dan terlambat untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Seperti saat dia yang selalu berhasil memancing dengan cara elegan, layaknya rubah betina mengelabui mangsa.“Kau selalu terbiasa berprasangka buruk padaku, Piter.”“Yah, wajar. Setiap kali kau bertindak di luar kebiasaanmu, sesuatu yang buruk pasti terjadi,” sindir Jupiter, mengangkat bahu, dan sebelah alisnya.“Sepadan dengan apa yang aku dapatkan setelahnya. Jadi tak masalah,” sahut Inez, tak pernah ingin kalah dalam berdebat.Jupiter berdecak kesal, “Kau gila!” Kemudian menggeleng takjub, lalu memutar kemudi dan bergerak menjauhi pusat kota yang bercuaca dingin malam ini.Karena tidak ingin mendengarkan keluhan Jupiter tentang perubahan sikapnya, Inez memilih untuk tidur. Berpura-pura tidur jika dia tidak bisa melakukannya.Andai mungkin, dia juga ingin kembali bersikap no