Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.
Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.
Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.
Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.
Seminggu yang lalu.
[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]
Lima hari yang lalu.
[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]
Tiga hari yang lalu.
[Aku merasa sesak setiap kali masuk
“Kau sudah merasa lebih baik?” Eric mengusap-usap punggung Gwen yang tadi menangis keras di pelukannya.Eric tidak bertanya alasan di balik tangisan Gwen. Jelas dia mengenal Gwen lebih baik dari sahabatnya yang lain. Dia dan Gwen tidak hanya satu jurusan, tapi juga satu ruangan saat di Universitas.Mereka akrab. Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Sekilas terlihat, mereka serasi.“Maaf, membuatmu bingung.” Gwen menunduk. Kacau, kalut dan berantakan.Dia ingat bagaimana sejak pagi terkurung di ruangan Zeev hingga sore hari. Meski tak ada sesuatu yang salah, tapi Gwen merasa tertekan berada satu ruang bersama pria itu.Ketika semua penghuni kantor benar-benar bubar di sore hari, baru lah Zeev bersedia membiarkannya meninggalkan ruangan itu.Sepanjang perjalanan menuju halte, mendadak Gwen merindukan sosok Alexi yang
Eric dan Gwen saling melepas diri. Tapi Eric tidak membiarkan Gwen merasa malu karena perbuatan mereka. Dia kembali mendekap Gwen dengan lembut.“Eric ... a-aku ....” Gwen terdiam. Tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia hanya memegang erat lengan Eric yang memeluknya.“Tak apa, Gwen. Anggap ini sebuah kehangatan yang kuberikan dari rasa nyaman selama lima belas tahun bersama.” Eric mencium dengan pelan dan hati-hati di puncak kepala Gwen.“Jangan tinggalkan aku karena hal ini, hanya kau sahabat pria pertama yang paling kusayangi,” gumam Gwen. Perlahan air matanya menetes.“Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Lagi-lagi Eric memberi kehangatan di hati Gwen dengan mencium keningnya. “Ayo, kita ke kamarku. Kuberi kau pakaian ganti,” ajak Eric.Kedua mata Gwen membulat, dengan menggigil dia menatap Eric penuh curiga. Eric yang juga menggigil, langsung merangkul Gwen dengan tawa, menyer
Eric menggeleng. Meski sempat keheranan dengan pertanyaan balik dari Gwen, dia tetap bersedia menjawab dengan jujur. “Aku tidak menyesali semua yang telah terjadi semalam. Malah aku bersedia mengulanginya lagi sekarang.”Wajah Gwen bersemu merah di pagi hari yang cukup dingin ini. Dia bersembunyi di dada Eric yang putih dan kurus. Membenamkannya di sana. Ada sisa wangi parfum maskulin yang melekat di kulit Eric, membuat Gwen betah mengendusnya.“Lalu kau? Apa kau menyesalinya?” tanya Eric lagi, dia penasaran, bahkan rasanya berdebar menunggu jawaban dari wanita dalam dekapannya ini. Juga berharap, agar Gwen tidak mendengar degup jantungnya saat ini.“Tidak. Jujur, kukira aku akan menyesal. Ternyata tidak, karena aku menyukai perasaan ini.” Gwen berkata dengan jujur dan polosnya.Wajah Eric bersemu. Tentu saja Gwen tidak menyadari apa lagi melihatnya. Cepat-cepat Eric mendekap tubuh Gwen dengan lebih erat lagi.
Mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Jupiter dan Inez, tidak lah terlalu sulit. Karena Misca ikut ambil bagian dalam hal ini. Ibu setengah abad lebih itu, mempersiapkan dengan teliti dan sebaik mungkin pesta pernikahan Putra sulungnya.Meski banyak kalangan yang terkejut akan pernikahan mendadak ini, pesta mereka berakhir dengan meriah. Penuh kegembiraan palsu dari Jupiter maupun Inez.Bahkan ketiga sahabat pengantin—Alexi, Eric, dan Gwen—ikut hadir meramaikan pesta, meski mereka tak pernah tahu rencana rapi di balik pernikahan dua sejoli yang kerap terlihat seperti kucing dan tikus itu.Di benak masing-masing sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung. Tapi mereka memilih bungkam dan tak ingin ambil pusing mengenai hal itu.Terutama Gwen yang mengetahui segalanya. Dia justru merasa mungkin ini pilihan yang tepat. Jadi Gwen hanya perlu berlega hati akan keputusan yang telah diambil ol
“Aakhh!” Jupiter berteriak ketika melihat dirinya tidak mengenakan apa pun bersama Inez di atas ranjang, pagi harinya, setelah melewati malam menyenangkan.“Jangan berisik!” Inez balas berteriak. “Kau lupa kita sudah menikah?”“Ada sesuatu yang salah, ini tidak benar!” Tidak peduli pada ucapan fakta dari Inez, Jupiter menyibak sedikit selimutnya untuk mencari-cari sesuatu.Mulutnya kembali mengeluarkan teriakan, kali ini karena bercak darah di atas seprei merah muda yang mereka tiduri bersama.“Apa yang telah kulakukan?” Begitu frustrasi, Jupiter menjambak rambutnya berulang kali.“Tentu saja malam pertama suami istri. Apa kau ingin menyangkal dan menjadi korban di sini?” Dengan sikap tidak peduli, Inez mengeluarkan dirinya dari balik selimut, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya.“Hei, hei ... apa yang kau lakukan? Pakai bajumu!” teriak Jupiter sembari mengalihkan pandan
Eric terkejut ketika Delila Restaurant miliknya dikunjungi oleh Gwen. Wanita cantik itu ibarat tamu istimewa untuk Eric.“Hei, Gwen,” sapa Eric. Sejak insiden keran air di wastafel yang patah, Eric begitu suka jika mereka saling bersentuhan.Bermodal karena persahabatan yang terjalin cukup lama, Eric—akhir-akhir ini—jika bertemu Gwen, pasti akan memeluk dan mengusap-ngusap punggungnya dengan sayang.Tidak terkecuali sore ini. Gwen hampir kewalahan dan bingung melihat Eric memeluknya dengan erat.“Sahabatku yang paling cantik, kau mau pesan apa?” Eric berbasi-basi, tapi tangannya sudah mengacak rambut Gwen.Separuh dari pengunjung Delila Restaurant, melihat Eric dan Gwen yang bertingkah layaknya pasangan tengah di mabuk asmara.Siapa yang akan percaya bahwa mereka hanya sahabat lima belas tahun selama ini? Yah, meski ada hal luar biasa lain yang terjadi, baik Eric maupun
“Ibuku ke mana?” tanya Jupiter ketika langkah kaki mengantarkannya di depan meja makan, tempat Inez duduk melamun. “Hei ... kau dengar aku?” Jupiter melambai-melambaikan tangannya di depan wajah Inez yang tidak mempedulikan kepulangannya.Inez melengos, dia pikir, wajar jika kemarahan menganggunya akhir-akhir ini, tepat setelah mereka menikah. Bukan tanpa sebab, Inez merasa seperti mengharapkan kehangatan di ranjang mereka, sementara Jupiter berteriak dan menyalahkan keadaan ketika terbangun dalam kondisi tanpa pakaian bersamanya di ranjang.“Dasar aneh! Bodoh! Harusnya aku yang berteriak! Kenapa justru dia yang berlagak jadi korban,” umpat Inez dalam hati. Dia bergegas menuju kamar dan membanting pintu.Jupiter yang bingung, semakin bingung ketika melihat masakan di atas meja. Dia sama sekali tidak berani mengatakan ini sebuah hasil masakan yang layak disantap.Me
Gwen mengangguk cepat tanpa ragu. Tentu itu mengejutkan bagi Eric. Tapi dia membuang sejenak perasaan itu, rasa terkejut itu. Dia hanya ingin menyatukan bibir mereka.Gwen mendekat, Eric melakuan hal yang sama. ‘Perang’ di antara mereka berdua dimulai. Masing-masing bergerak tidak ingin kalah. Semua terjadi begitu cepat di kantor Eric.Selama dia menjadi pemilik Delila Restaurant, tidak pernah sekalipun Eric membiarkan wanita masuk selain pelayan restoran yang ingin melaporkan tentang hasil atau keluhan mengenai pekerjaan.Tapi saat ini, bukan hanya masuk, Eric membiarkan Gwen melangkah lebih jauh. Sangat jauh, hingga menyatu ke dalam dirinya. Eric bingung, tapi dia berjanji akan melawan perasaan yang tumbuh pada Gwen.Eric tidak ingin memusnahkan rasa nyamannya sebagai seorang sahabat dalam dirinya. Sebisa mungkin, dia ingin menyeimbangkan hal itu.*****Keadaan bayi Ro
Malam hari ini terasa panas dan gerah, membuat keringat mengucur deras dari tubuh Lola yang berlari keluar taksi dengan terburu-buru menuju ruang bersalin sebuah Rumah Sakit kecil, yang ada di pinggiran kota.Bibirnya komat-kamit merapalkan permohonan untuk keselamatan sahabatnya. Lola ingat betapa beruntungnya, dia akan bisa ikut menyaksikan persalinan sahabatnya, mengingat tadi saat dihubungi, Lola sedang memasukkan pakaian ke koper karena dia akan ikut penerbangan pulang pagi, esoknya.Ini bukan minggu keempat puluh, tapi sahabat Lola terpaksa akan melakukan persalinan secara prematur malam ini, di usia kandungan kurang dari tiga puluh tujuh minggu.Sebelum masuk, Lola menjumpai terlebih dulu pria yang sudah duduk menunggunya di kursi panjang lorong Rumah Sakit, tidak jauh dari ruang bersalin.“Kapan kau tiba?” Lola masih terengah, menatap heran pada pria yang terlihat pura-pura tenang dibalik wajah gugupnya.Padahal Lola menghubungi pria ini saat di
Suasana kediaman Zacky Van Dick terlihat sunyi dari luar, namun keadaan di ruang keluarga, tidak begitu.“Sayang, lihat ini!” teriak Alexi dengan histeris, dia dalam posisi berjongkok dan berjaga-jaga untuk menangkap tubuh mungil di depannya yang sedang berdiri bergoyang-goyang, belum sempurna.Zanna muncul dengan apron menutupi bagian depan tubuhnya, dia tersenyum dan bertepuk tangan sambil menyemangati keduanya.“Sayang, kau hebat, teruskan!” Zanna mencium sekilas pipi Alexi, lalu dia kembali ke dapur.Alexi semakin bersemangat ketika bayi Rosalie yang sudah berusia hampir delapan bulan, memanggilnya ribut dengan sebutan ‘Papa’ yang belum jelas, terkadang dia menunjuk-nunjuk ke arah dapur.“Kau ingin Mamamu?” Alexi mencium gemas kedua pipi Putrinya, menggendong bayi Rosalie dan membawanya ke dapur.Alexi mengejutkan Zanna yang sedang mencuci sayuran, sedikit terpekik, Zanna berbalik, dan memeluk keduanya.“Sayang, sepertinya ... Rose mengi
Enam bulan setelah Gwen pergi dan Jupiter yang kembali dari koma.Inez terburu-buru keluar dari butiknya. Dia tergesa karena akan ada janji temu dengan psikiater Emmie dua belas menit lagi. Belakangan, setiap malam dia selalu mimpi buruk, ya, tidak buruk juga, karena bayangan tubuh tinggi tegap itu terus membuat Inez penasaran.Dia hadir dalam mimpi Inez, tanpa menunjukkan wajahnya. Setiap kali terbangun, Inez akan merasakan kesedihan yang begitu mendalam tanpa sebab. Bahkan dia sampai menangis meraung untuk bisa mendapatkan kelegaan di hatinya.Terkadang, beberapa kali, tanpa sadar, Inez berdiri di ujung balkon seolah dia akan melompat jatuh dari lantai empat. Nyaris mati, Inez berpikir untuk menemui psikiater dengan rutin. Tatapannya yang kosong seolah mengingatkannya akan sebuah kehilangan yang teramat menyakitkan, dan berakhir pada kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil.Sibuk dengan pikirannya, Inez seketika sadar
Langit mendung dengan gerimis tipis mewarnai pagi hari ini. Gwen berusaha bangun lebih cepat, jam empat lewat sebelas menit, hanya untuk lari dari ruangan Eric tanpa ketahuan.Dapur dan seluruh sudut restoran sepi. Gwen mendorong pintu dapur dengan hati-hati. Rupanya di luar, langit benar-benar masih terlihat seperti malam hari.Semua lampu-lampu jalan menyala terang. Begitupun dengan penerangan di setiap rumah dan toko. Gwen menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Delila Restaurant dengan senyum tipis yang sekejap.Terburu-buru, dia melangkah. Membuang SIM Card ponselnya ke tong sampah, lalu menghilang di jalanan kecil bagian samping bangunan pertokoan untuk menghilangkan jejaknya dari Eric.Gwen pulang ke rumah, tidak lagi menemukan bangkai tikus di depan pintu. Jadi dia masuk, dan menyiapkan semua pakaian di atas ranjang, lalu satu persatu, menyusunnya ke koper dengan hati-hati dan cepat.Menurut perkiraannya—jika tepat—Eric akan ter
Meski bingung akan maksud ucapan Gwen, Eric mematung dan mencoba sedikit untuk memahaminya yang sedang dalam kondisi tidak baik.“Itu artinya?”“Kau boleh mendekat,” kata Gwen pelan, menurunkan selimutnya sampai batas mulut, “tapi lepaskan kemejamu. Sisakan kaus dalamnya saja.”Eric tersenyum. Dipikiran Eric, ini sesuatu yang unik dan tergolong biasa dia lakoni bersama Gwen.Eric melepas kemeja hitamnya, menyisakan kaus dalam bewarna senada, lalu mendekat perlahan pada Gwen yang masih dalam posisi berbaring miring ke arahnya.Gwen duduk setelah Eric tiba di tepi sofa, mengendus sekilas tanpa disadari Eric, kemudian tersenyum senang. Aroma parfum dan keringat Eric menyatu, dan dia suka itu.“Bagaimana?” Eric ragu-ragu. Dia berpikir harusnya dia tidak mendengarkan Gwen dan tetap bergabung dengan busa melimpah atau di bawah shower saat ini.“Peluk aku,” gumam Gwen, tidak merenta
Sore hari yang kelabu dengan angin dingin menusuk kulit, menjauhkan tubuh Gwen dari selimut.Gwen tidak menginginkan selimut yang sudah dibawakan oleh Beth. Sebenarnya, pelayan ramah itu tahu, Eric akan kecewa jika dia tidak menjaga Gwen dengan baik, ketika Eric sudah meminta tolong dan percaya padanya.Alasan Gwen meninggalkan selimut itu di bawah kakinya, bukan karena dia sedang ingin diperhatikan lebih dari sekedar memberikan selimut, tapi karena dia tidak menyukai aromanya.Pewangi dan pelembut pakaian yang menebarkan aroma campuran susu dan beras, membuat Gwen membenci selimut itu. Walau tidak menyebabkan rasa mual, tetap saja dia sempat menutup hidung saat menggunakannya, sebelum berakhir di bawah kakinya.“Pakailah selimutmu, Gwen.” Beth muncul dengan nampan berisi semangkuk sup sayur dan segelas air putih hangat, yang diletakkannya terburu-buru karena Beth ingin segera menyelimuti Gwen.“Tidak, jangan Beth. Aku tidak menyukai aroma selimutnya,”
Eric dan Alexi duduk saling berhadapan di kantin Rumah Sakit, karena kedua Ibu dari sahabat mereka yang memintanya.Misca dan Renata kompak menyuruh Eric juga Alexi untuk keluar makan siang, sebelum mereka melewatkan semua itu dengan perut kosong, karena menunggu kedua sahabat mereka yang belum juga terbangun dari koma.“Belum ada keterangan pasti tentang kecelakaan mereka, selain karena mengalami kecelakaan di jalan bebas hambatan, hujan cukup deras hampir tengah malam, dan Piter tidak memasang dashcam di mobilnya,” kata Eric, mencoba memberitahu Alexi yang terlihat penasaran, meski tidak lagi bertanya apapun setelah Eric memberi jawaban singkat tanpa kepastian di ruangan Jupiter dan Inez tadi.“Semalam memang hujan turun sangat deras, aku tidak bisa membayangkan pada apa yang menimpa mereka berdua. Benar-benar mengejutkan.”“Kau benar. Saat ini, kita tidak tahu apapun. Jadi sangat sulit menduganya.” Eric hanya m
Gwen terbangun karena aroma telur orak-arik, avacado toast, dan susu putih hangat. Bukan menyesap harumnya yang memenuhi ruangan, Gwen justru merasa mual.Dia nyaris tersandung, saat buru-buru ke kamar mandi karena memang tidak tahan dengan aroma menu yang diletakkan oleh Beth sekitar tujuh menit sebelum Gwen terbangun, atas perintah Eric.Dan menu sarapan itu juga Eric yang memintanya. Dia memilihkan menu sarapan pagi yang tepat, tapi sepertinya tidak untuk kondisi Gwen saat ini.Gwen menduga sesuatu yang tidak biasa terjadi dengan tubuhnya. Menahan rasa khawatir yang menguap hingga memunculkan hawa dingin di tengkuk, Gwen meraba perutnya yang rata.Mengusap perlahan dengan gerakan memutar. Adakah kehidupan baru di dalam sana? Mendadak, wajah pucat Eric yang selalu tersenyum lembut padanya, mulai berputar ulang, kilasan demi kilasan, bak sebuah film dengan adegan yang diperlambat.Ini gawat!Percintaan terakhir mereka bahkan terjadi beberap
Tatapan tak percaya memenuhi raut wajah Inez. Dia bahkan meratapi tingkahnya malam ini dalam hati. Memalukan!Dan terlambat untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Seperti saat dia yang selalu berhasil memancing dengan cara elegan, layaknya rubah betina mengelabui mangsa.“Kau selalu terbiasa berprasangka buruk padaku, Piter.”“Yah, wajar. Setiap kali kau bertindak di luar kebiasaanmu, sesuatu yang buruk pasti terjadi,” sindir Jupiter, mengangkat bahu, dan sebelah alisnya.“Sepadan dengan apa yang aku dapatkan setelahnya. Jadi tak masalah,” sahut Inez, tak pernah ingin kalah dalam berdebat.Jupiter berdecak kesal, “Kau gila!” Kemudian menggeleng takjub, lalu memutar kemudi dan bergerak menjauhi pusat kota yang bercuaca dingin malam ini.Karena tidak ingin mendengarkan keluhan Jupiter tentang perubahan sikapnya, Inez memilih untuk tidur. Berpura-pura tidur jika dia tidak bisa melakukannya.Andai mungkin, dia juga ingin kembali bersikap no