“Tentu saja aku akan menceraikan Anna, sesegera mungkin.”
“Jangan bercanda, Lexi!”
“Apa kau berpikir semua perasaanku padamu juga candaan?” Suara Alexi meninggi, membuat urat-urat di lehernya menegang. Kedua matanya memancarkan kekecewaan.
“Alexi Millard, apa kau sudah kehilangan kewarasanmu? Anna baru saja melahirkan seorang Putri, darah dagingmu. Semudah itu kau ingin meninggalkannya?”
“Itu sebuah kesalahan. Aku bahkan tak yakin, bayi itu Anakku atau bukan!”
“Kau ...” Gwen menahan amarah, ia tahu bahwa jalan yang terlalu berisiko telah ia pilih, tapi dirinya juga seorang wanita yang harus memikirkan perasaan Anna saat ini.
“Kami hanya sekali melakukannya dan itu karena kecerobohanku.” Alexi menunduk, tak berani menatap Gwen. “Itu sebuah kesalahan besar.”
“Lalu karena itu kau tak yakin bahwa bayi itu Anakmu?”
“Ya, aku sangat tidak yakin.”
“Kemungkinan bisa saja terjadi, Lexi.”
“Tidak ada kebetulan dalam hidupku, Gwen.” Mata Alexi berkilat penuh amarah, ia terlihat frustrasi karena Gwen tidak berniat mendukung rencananya.
Gwen menghela napas pasrah, sulit berdebat dengan Alexi yang menyangkal kemungkinan padahal ia menyadari pasti, bahwa pria ini tidak lah sebodoh remaja belasan tahun yang tak paham bahwa melakukan hubungan suami istri tidak perlu sampai berkali-kali untuk bisa hamil.
Gwen percaya pada satu kemungkinan itu. Dia yakin, bayi mereka adalah Anak kandung Alexi. Bibi Martha—pengurus rumah tangga di keluarga Van Dick—yang dulunya adalah tetangga di rumah lama Gwen, pernah menuturkan, bagaimana Zanna Van Dick, begitu menginginkan Alexi.
Perjodohan dengan alasan klasik, memang selalu terdengar berlebihan, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi Alexi Millard dua setengah tahun yang lalu. Menikahi Putri satu-satunya dari keluarga Van Dick yang memberi pinjaman milyaran pada Ayah Alexi—Allan Millard—yang kini menghilang bak ditelan bumi.
Bisnis Allan Millard benar-benar habis total dengan sisa hutang yang masih menumpuk. Alexi satu-satunya keluarga tersisa, harus melunasi hutang sang Ayah dalam kurun waktu dua bulan. Nasib sial benar-benar sedang memayungi hidup Alexi saat itu.
Mau tak mau, karena tidak dapat melunasi hutang dalam waktu sesingkat itu, Alexi terpaksa menerima tawaran Zacky Van Dick—Ayah Anna—untuk menikahi Putri cantiknya. Zacky juga senang membuat orang-orang terdekat Alexi menderita, sehingga pria berlesung pipi ini selalu merasa tertekan.
“Baiklah, terserah apa pendapatmu. Tapi kuharap kau pikirkan lagi sebelum semuanya menjadi penyesalan di akhir cerita,” himbau Gwen.
“Tidak akan ada penyesalan. Itulah yang kuinginkan,” bantah Alexi. Penuh keyakinan.
“Kau membuatku terlihat buruk, Lexi,” gumam Gwen. Ia menggeleng pelan.
“Bukan kau, tapi aku. Tidak masalah. Karena aku ingin mewujudkan impian kecilku yang belum tercapai.”
“Impian kecil?”
“Kau tidak ingin tahu?” goda Alexi.
Gwen mengangguk, ia menatap Alexi, menunggu bibir Alexi memberitahunya.
“Tapi ... lakukan ini dulu,” tunjuk Alexi ke salah satu pipinya, tersenyum dengan kedipan mata, ada lesung pipi yang tercipta di sana.
Gwen tertawa pelan, lagi-lagi menghela napas. “Sepertinya kau tertular Piter, Lexi.”
“Karena itu Piter, aku tidak terlalu cemburu. Untung saja. Jika tidak ...” Alexi meletakkan satu jari telunjuk di leher dan menggeseknya berulang kali dengan gerakan maju mundur.
Gwen tersenyum kecut. Jika tidak, Alexi pasti akan menebas leher pria yang berani mendekati Gwen. Entah kenapa Gwen tak kesal apa lagi marah. Seolah Gwen membiarkan Alexi terobsesi pada dirinya.
“Ayo cepat ...” rengek Alexi, kini pipinya sudah ia dekatkan ke bibir Gwen.
Dengan perasaan penuh cinta, Gwen mengecup kedua pipi Alexi. Meski pria itu hanya menginginkan sebelah pipi yang tersentuh bibir Gwen, nyatanya, Gwen memberi lebih.
“Sekarang cepat katakan,” desak Gwen. Mendorong pundak Alexi dengan perlahan.
“Aku ingin menikahimu,” ungkap Alexi.
Kedua mata Gwen berkaca-kaca, ia berusaha menyembunyikan kegembiraannya. Takut itu hanya kebahagiaan semu.
“Itu impianmu?” Gwen ragu-ragu.
Alexi mengangguk yakin. “Tak ada hal yang lebih kuinginkan selain menikah dan membangun keluarga kecil bersamamu.”
Gwen memeluk Alexi. Membiarkan dirinya tetap menggunakan jubah mandi yang membuat Alexi kini tersentak. Ia menginginkan Gwen, tapi wanita ini selalu menolak.
Alexi merasa Gwen selalu berhasil membuatnya menderita. Memancing, tapi tak pernah bertanggung jawab atas perbuatannya pada diri Alexi yang terlanjur gelisah.
“Jika kau tidak menggunakan pakaianmu sekarang, aku jamin sedetik kemudian, aku tak bisa menahannya lagi.”
Gwen segera melepas pelukan eratnya. Wajahnya bersemu merah, ia menjadi salah tingkah.
“Sekarang keluarlah, tunggu aku di meja makan,” perintah Gwen sambil membalik arah tubuh Alexi, mendorong punggungnya menjauhi kamar.
*****
“Ada angin apa yang membawamu ingin pulang ke rumah?” Inez melirik pria putih pucat di sampingnya yang terus sibuk berselancar di dunia maya melalui ponselnya.
“Hanya ingin,” sahutnya dengan sebelah bahu terangkat. Tangan dan kedua mata tak lepas dari benda pintar di hadapannya itu.
“Ayahmu sudah mulai membaik, tapi kakinya masih belum bisa digerakkan.”
“Aku sudah tahu.”
Inez menoleh sekilas, sedikit terperangah. “Sungguh?”
“Ibumu yang memberitahuku tadi.”
“Aaa ...” Inez mengangguk, ia teringat ketika saat di kafe tadi, pria ini sempat sibuk dengan ponselnya.
“Maaf ....”
“Untuk apa?” Inez tak mengalihkan pandangan dari pria yang menumpang di mobilnya ini.
“Untuk segalanya.”
“Itu keputusan Ayahmu dan Ibuku. Tak masalah jika mereka saling sepakat untuk bersama.”
“Kau bisa menerima semua itu?”
“Tentu saja,” angguk Inez, “Ayahmu memberikan keuntungan yang luar biasa untukku dan Ibu. Aku tak tahu apakah ada orang lain yang mampu menolak kesepakatan dengan Tuan Edwin Fagan?”
“Beruntung sekali orang itu adalah kau, salah satu sahabatku.”
“Benarkah? Kenapa begitu?”
“Jika tidak, tentu saja aku akan merencanakan pembunuhan diam-diam terhadapmu.”
“Jangan bercanda, Eric,” tawa Inez geli, ia tahu sahabatnya ini senang mengatakan hal gila.
“Aku tidak bercanda,” sanggah Eric dengan suara datar, terpancar ekspresi serius dari wajah putih pucat dan mulus miliknya.
Tawa Inez segera menghilang, ia berdeham sebagai bentuk menetralkan kecanggungan suasana di antara mereka. Inez sadar, lima belas tahun bersahabat, baru kali ini Eric terlihat berbeda.
“Yah, kau benar. Betapa beruntungnya aku. Tapi apa kau tetap ingin mencoba membunuhku?” goda Inez.
Bukan Inez Gianina namanya, jika ia tak berani menantang maut.
“Yah, dari pada itu, mungkin aku butuh pelampiasan dalam bentuk hal lain.” Eric tersenyum sinis.
“Apa aku perlu menjadi pelayanmu?”
“Pelayan?” Kening Eric mengerut. “Pelayan apa yang kau maksud?”
“Yah, bisa jadi kau menginginkan aku menyiapkan makan siangmu selama sebulan,” tawar Inez.
“Oh, tidak. Masakanmu sama sekali tak enak. Aku hanya menyukai masakan Gwen,” tolak Eric dengan wajah menunjukkan kengerian.
“Hei ... apa-apaan ekspresimu itu? Apa masakanku semengerikan yang kau kira?”
“Yang jelas tidak, Inez! Tawarkan hal yang lebih menguntungkan padaku.”
“Hmm ... bagaimana dengan memberi kau kemudahan untuk memiliki akses keluar masuk hotel bersama wanita-wanita cantik dari penjuru dunia? Kau bisa menikmati dan merasakan perbedaan dari tiap wanita berbeda negara yang menemanimu.” Tawaran menggiurkan itu, langsung ditolak Eric dengan gelengan kuat.
“Tidak, tidak. Aku membenci wanita penghibur!”
Bersambung.
Inez tertawa keras, meski sudah mengetahui bahwa Eric bukanlah pria menggebu akan cinta dan hasrat terpendam, tetap saja Inez senang memancing amarah Eric.“Di antara sekian banyak pria kaya, mengapa harus Eric Fagan? Oh, ya ampun!” tawa Inez hampir menyerupai kekehan Nenek sihir.“Kenapa? Apa aku tak pantas untuk itu?” Eric terlihat tersinggung. “Saat aku merasa beruntung kau yang menjadi saudara tiriku, kenapa kau justru mengeluh?”“Jangan salah sangka dulu, Eric. Aku hanya merasa bersalah jika seperti kenyataan dan keadaannya seperti ini.”“Haa ...” Eric mendengus, ia tersenyum miring, alias sinis, “untuk apa kau merasa bersalah? Bukan kau yang sepakat untuk menikah dengan Ayahku.”“Bukan itu, Eric,” geleng Inez. Ada senyum manis menggoda darinya yang sengaja ia peruntukan untuk sang sahabat, “karena itu kau, aku jadi semakin sulit untuk berbuat ulah.”“Berbuat ulah? Kali ini apa
“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi.Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania deng
Sepeninggal Misca dari rumahnya, Jupiter kalang kabut. Ia berjalan mondar-mandir di kamar. Menjambak rambutnya sambil memutar otak, memaksa berpikir jernih di bawah tekanan dan ancaman Misca.Sudah lewat tengah malam, tapi Jupiter tidak merasa harus sungkan menghubungi satu nama itu. Ia segera meraih ponsel dari sakunya dan menunggu panggilan dijawab.“Halo?” Suara di seberang.“Aku menganggu tidurmu?”“Tidak. Aku masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan. Jadi ada apa?”“Aku ingin bertemu.”“Besok setelah jam kantorku selesai, bagaimana?”“Aku tidak bisa menunggu ...” Jupiter mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas pangkuan, “bisakah kita bertemu sekarang?”“Sekarang? Ini sudah hampir pukul dua belas malam, Piter.”“Yap. Aku tahu, tapi aku butuh kau sekarang. Aku ingin mengajakmu bicara hal penting.” Suara percaya diri Jupiter terde
“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.“Tentu saja tidak.”“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Malam hari ini terasa panas dan gerah, membuat keringat mengucur deras dari tubuh Lola yang berlari keluar taksi dengan terburu-buru menuju ruang bersalin sebuah Rumah Sakit kecil, yang ada di pinggiran kota.Bibirnya komat-kamit merapalkan permohonan untuk keselamatan sahabatnya. Lola ingat betapa beruntungnya, dia akan bisa ikut menyaksikan persalinan sahabatnya, mengingat tadi saat dihubungi, Lola sedang memasukkan pakaian ke koper karena dia akan ikut penerbangan pulang pagi, esoknya.Ini bukan minggu keempat puluh, tapi sahabat Lola terpaksa akan melakukan persalinan secara prematur malam ini, di usia kandungan kurang dari tiga puluh tujuh minggu.Sebelum masuk, Lola menjumpai terlebih dulu pria yang sudah duduk menunggunya di kursi panjang lorong Rumah Sakit, tidak jauh dari ruang bersalin.“Kapan kau tiba?” Lola masih terengah, menatap heran pada pria yang terlihat pura-pura tenang dibalik wajah gugupnya.Padahal Lola menghubungi pria ini saat di
Suasana kediaman Zacky Van Dick terlihat sunyi dari luar, namun keadaan di ruang keluarga, tidak begitu.“Sayang, lihat ini!” teriak Alexi dengan histeris, dia dalam posisi berjongkok dan berjaga-jaga untuk menangkap tubuh mungil di depannya yang sedang berdiri bergoyang-goyang, belum sempurna.Zanna muncul dengan apron menutupi bagian depan tubuhnya, dia tersenyum dan bertepuk tangan sambil menyemangati keduanya.“Sayang, kau hebat, teruskan!” Zanna mencium sekilas pipi Alexi, lalu dia kembali ke dapur.Alexi semakin bersemangat ketika bayi Rosalie yang sudah berusia hampir delapan bulan, memanggilnya ribut dengan sebutan ‘Papa’ yang belum jelas, terkadang dia menunjuk-nunjuk ke arah dapur.“Kau ingin Mamamu?” Alexi mencium gemas kedua pipi Putrinya, menggendong bayi Rosalie dan membawanya ke dapur.Alexi mengejutkan Zanna yang sedang mencuci sayuran, sedikit terpekik, Zanna berbalik, dan memeluk keduanya.“Sayang, sepertinya ... Rose mengi
Enam bulan setelah Gwen pergi dan Jupiter yang kembali dari koma.Inez terburu-buru keluar dari butiknya. Dia tergesa karena akan ada janji temu dengan psikiater Emmie dua belas menit lagi. Belakangan, setiap malam dia selalu mimpi buruk, ya, tidak buruk juga, karena bayangan tubuh tinggi tegap itu terus membuat Inez penasaran.Dia hadir dalam mimpi Inez, tanpa menunjukkan wajahnya. Setiap kali terbangun, Inez akan merasakan kesedihan yang begitu mendalam tanpa sebab. Bahkan dia sampai menangis meraung untuk bisa mendapatkan kelegaan di hatinya.Terkadang, beberapa kali, tanpa sadar, Inez berdiri di ujung balkon seolah dia akan melompat jatuh dari lantai empat. Nyaris mati, Inez berpikir untuk menemui psikiater dengan rutin. Tatapannya yang kosong seolah mengingatkannya akan sebuah kehilangan yang teramat menyakitkan, dan berakhir pada kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil.Sibuk dengan pikirannya, Inez seketika sadar
Langit mendung dengan gerimis tipis mewarnai pagi hari ini. Gwen berusaha bangun lebih cepat, jam empat lewat sebelas menit, hanya untuk lari dari ruangan Eric tanpa ketahuan.Dapur dan seluruh sudut restoran sepi. Gwen mendorong pintu dapur dengan hati-hati. Rupanya di luar, langit benar-benar masih terlihat seperti malam hari.Semua lampu-lampu jalan menyala terang. Begitupun dengan penerangan di setiap rumah dan toko. Gwen menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Delila Restaurant dengan senyum tipis yang sekejap.Terburu-buru, dia melangkah. Membuang SIM Card ponselnya ke tong sampah, lalu menghilang di jalanan kecil bagian samping bangunan pertokoan untuk menghilangkan jejaknya dari Eric.Gwen pulang ke rumah, tidak lagi menemukan bangkai tikus di depan pintu. Jadi dia masuk, dan menyiapkan semua pakaian di atas ranjang, lalu satu persatu, menyusunnya ke koper dengan hati-hati dan cepat.Menurut perkiraannya—jika tepat—Eric akan ter
Meski bingung akan maksud ucapan Gwen, Eric mematung dan mencoba sedikit untuk memahaminya yang sedang dalam kondisi tidak baik.“Itu artinya?”“Kau boleh mendekat,” kata Gwen pelan, menurunkan selimutnya sampai batas mulut, “tapi lepaskan kemejamu. Sisakan kaus dalamnya saja.”Eric tersenyum. Dipikiran Eric, ini sesuatu yang unik dan tergolong biasa dia lakoni bersama Gwen.Eric melepas kemeja hitamnya, menyisakan kaus dalam bewarna senada, lalu mendekat perlahan pada Gwen yang masih dalam posisi berbaring miring ke arahnya.Gwen duduk setelah Eric tiba di tepi sofa, mengendus sekilas tanpa disadari Eric, kemudian tersenyum senang. Aroma parfum dan keringat Eric menyatu, dan dia suka itu.“Bagaimana?” Eric ragu-ragu. Dia berpikir harusnya dia tidak mendengarkan Gwen dan tetap bergabung dengan busa melimpah atau di bawah shower saat ini.“Peluk aku,” gumam Gwen, tidak merenta
Sore hari yang kelabu dengan angin dingin menusuk kulit, menjauhkan tubuh Gwen dari selimut.Gwen tidak menginginkan selimut yang sudah dibawakan oleh Beth. Sebenarnya, pelayan ramah itu tahu, Eric akan kecewa jika dia tidak menjaga Gwen dengan baik, ketika Eric sudah meminta tolong dan percaya padanya.Alasan Gwen meninggalkan selimut itu di bawah kakinya, bukan karena dia sedang ingin diperhatikan lebih dari sekedar memberikan selimut, tapi karena dia tidak menyukai aromanya.Pewangi dan pelembut pakaian yang menebarkan aroma campuran susu dan beras, membuat Gwen membenci selimut itu. Walau tidak menyebabkan rasa mual, tetap saja dia sempat menutup hidung saat menggunakannya, sebelum berakhir di bawah kakinya.“Pakailah selimutmu, Gwen.” Beth muncul dengan nampan berisi semangkuk sup sayur dan segelas air putih hangat, yang diletakkannya terburu-buru karena Beth ingin segera menyelimuti Gwen.“Tidak, jangan Beth. Aku tidak menyukai aroma selimutnya,”
Eric dan Alexi duduk saling berhadapan di kantin Rumah Sakit, karena kedua Ibu dari sahabat mereka yang memintanya.Misca dan Renata kompak menyuruh Eric juga Alexi untuk keluar makan siang, sebelum mereka melewatkan semua itu dengan perut kosong, karena menunggu kedua sahabat mereka yang belum juga terbangun dari koma.“Belum ada keterangan pasti tentang kecelakaan mereka, selain karena mengalami kecelakaan di jalan bebas hambatan, hujan cukup deras hampir tengah malam, dan Piter tidak memasang dashcam di mobilnya,” kata Eric, mencoba memberitahu Alexi yang terlihat penasaran, meski tidak lagi bertanya apapun setelah Eric memberi jawaban singkat tanpa kepastian di ruangan Jupiter dan Inez tadi.“Semalam memang hujan turun sangat deras, aku tidak bisa membayangkan pada apa yang menimpa mereka berdua. Benar-benar mengejutkan.”“Kau benar. Saat ini, kita tidak tahu apapun. Jadi sangat sulit menduganya.” Eric hanya m
Gwen terbangun karena aroma telur orak-arik, avacado toast, dan susu putih hangat. Bukan menyesap harumnya yang memenuhi ruangan, Gwen justru merasa mual.Dia nyaris tersandung, saat buru-buru ke kamar mandi karena memang tidak tahan dengan aroma menu yang diletakkan oleh Beth sekitar tujuh menit sebelum Gwen terbangun, atas perintah Eric.Dan menu sarapan itu juga Eric yang memintanya. Dia memilihkan menu sarapan pagi yang tepat, tapi sepertinya tidak untuk kondisi Gwen saat ini.Gwen menduga sesuatu yang tidak biasa terjadi dengan tubuhnya. Menahan rasa khawatir yang menguap hingga memunculkan hawa dingin di tengkuk, Gwen meraba perutnya yang rata.Mengusap perlahan dengan gerakan memutar. Adakah kehidupan baru di dalam sana? Mendadak, wajah pucat Eric yang selalu tersenyum lembut padanya, mulai berputar ulang, kilasan demi kilasan, bak sebuah film dengan adegan yang diperlambat.Ini gawat!Percintaan terakhir mereka bahkan terjadi beberap
Tatapan tak percaya memenuhi raut wajah Inez. Dia bahkan meratapi tingkahnya malam ini dalam hati. Memalukan!Dan terlambat untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Seperti saat dia yang selalu berhasil memancing dengan cara elegan, layaknya rubah betina mengelabui mangsa.“Kau selalu terbiasa berprasangka buruk padaku, Piter.”“Yah, wajar. Setiap kali kau bertindak di luar kebiasaanmu, sesuatu yang buruk pasti terjadi,” sindir Jupiter, mengangkat bahu, dan sebelah alisnya.“Sepadan dengan apa yang aku dapatkan setelahnya. Jadi tak masalah,” sahut Inez, tak pernah ingin kalah dalam berdebat.Jupiter berdecak kesal, “Kau gila!” Kemudian menggeleng takjub, lalu memutar kemudi dan bergerak menjauhi pusat kota yang bercuaca dingin malam ini.Karena tidak ingin mendengarkan keluhan Jupiter tentang perubahan sikapnya, Inez memilih untuk tidur. Berpura-pura tidur jika dia tidak bisa melakukannya.Andai mungkin, dia juga ingin kembali bersikap no