“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.
“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.
Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.
“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.
Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi.
Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.
Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania dengan dua lantai. Tidak perlu diragukan lagi bagaimana luas dan mewahnya rumah keluarga Fagan.
Penghuni rumah berarsitektur era delapan puluhan ini, hanya terdiri dari Inez, Renata—Ibu Inez—dan Edwin Fagan. Sedangkan Elsa Fagan—Kakak Eric—memutuskan untuk tinggal bersama sang suami di luar negeri.
Wanita tiga puluh enam tahun itu hanya sekali dalam setahun datang berkunjung untuk menjenguk Edwin. Tidak merasa keberatan sama sekali dengan pernikahan sang Ayah.
Hubungannya dengan Eric masih sama. Tak pernah akur dan memilih saling memusuhi dalam diam.
Eric berjalan memasuki rumah yang sudah empat tahun ia tinggalkan. Tidak ada yang berubah, kecuali beberapa tanaman hias yang semakin banyak tersusun di setiap ruangan.
Eric yakin karena kehadiran Renata di rumah ini, menciptakan sesuatu yang baru, menggeser semua kebiasaan lama mendiang Ibunya—Delila—yang sudah meninggal sekitar lima tahun lalu.
Wajar, Eric paham akan hal itu. Tidak ada kesedihan berlarut-larut. Bagi yang masih hidup harus terus melanjutkan perjalanan hidupnya, menunggu giliran untuk mati.
“Kau ingin menemui Ayahmu?” Inez menoleh ke belakang, melihat Eric yang masih terus memandangi keadaan rumahnya.
“Mungkin Ayah sudah tidur, besok pagi saja,” tolak Eric ketika sadar jam di pergelangan tangannya menunjukkan angka sebelas lewat sembilan menit.
Membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam dari King and Queen Residence, ke tempat mereka tadi sore merayakan hari jadi persahabatan di salah satu kafe pinggir kota.
“Baiklah, sampai besok, Eric.” Inez berjalan menuju lantai dua kamarnya.
“Hem, kuharap kau tidak sengaja lupa untuk menyiapkan satu jawaban, besok.”
Inez melambai sambil lalu, tidak ingin menanggapi. Setelah dipikir-pikir, ia sadar satu hal yang pasti. Eric tidak pernah melampaui batas. Dia hanya menggertak dan tidak berani melakukan apa pun.
Eric sudah berdiri tercengang saat tiba di lantai dua dengan Inez yang berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya, ya, kamar Eric empat tahun yang lalu.
“Hei, apa-apaan ini? Dari tiga kamar di lantai dua ini, kenapa kau memakai kamarku?” bentak Eric. Jari telunjuknya menunjuk ke semua kamar kosong yang ada di sekitar mereka.
“Hanya ingin,” sahut Inez sekenanya. Ia tidak peduli dan mulai lelah dengan Eric yang terlihat menyebalkan malam ini setelah gertakannya yang konyol.
Inez membuka pintu kamar yang tidak ia kunci. Lagi pula, untuk apa dia mengunci kamar yang tidak akan di masuki oleh orang lain, di rumah besar dengan hanya tiga orang penghuni.
Eric ikut masuk begitu saja, tidak peduli pada tatapan Inez yang langsung tercengang dengan mulut ternganga lebar.
“Wah, tidak berubah!” pekik Eric dengan terkejut. Ia tidak menyangka bahwa isi kamarnya, seperti lemari, tempat tidur, televisi, dan barang lainnya tetap pada tempatnya. “Kau sungguh tidak berencana untuk mengubah isi kamarku, hmm?”
Inez diam, enggan menjawab. Sejujurnya ia ingin sekali memindahkan semua barang milik Eric. Tapi Renata melarangnya. Menurut Renata, jika Inez menginginkan kamar Eric, dia harus menerima risiko untuk tidur dengan barang-barang Eric tanpa harus mengeluarkannya dari situ.
“Kau tak boleh mematikan kenangan Eric di kamar ini. Jika kau tidak setuju, pilih kamar lain yang tersedia banyak untukmu.”
Itulah kalimat Renata ketika ia bersikeras menginginkan kamar Eric untuk di tempatinya.
“Jadi ... apa kau tidak merasa risih tidur di ranjangku?” tanya Eric dengan tangan terlipat di depan dada, ia duduk di tepi ranjang.
“Kenapa harus risih? Aku memiliki riwayat hubungan yang baik selama lima belas tahun denganmu, lagi pula, seprainya juga sudah kuganti.”
Eric mengusap ranjang yang berseprai merah muda itu. Ia tersenyum hambar menatap Inez.
“Mau tidur bersama malam ini?” ajak Eric.
“Kau gila? Jika kau ingin tidur di kamar ini, silahkan saja. Aku akan tidur di kamar lain.” Mata Inez seperti memancarkan kilatan kemarahan. Ia melotot pada Eric yang sedang menahan tawa.
Tawa Eric pecah ketika Inez membanting pintu kamar. Dengan perasaan kesal setengah hidup dan matinya, ia berjalan menghentak kaki menuju kamar di sudut lantai dua.
“Kukira aku akan memiliki saudara tiri yang bisa kuajak bermain. Kenapa justru dia yang mempermainkanku?” hardik Inez pada dinding kamar yang tak paham pada apa yang dibicarakan Inez.
*****
Klik!
Jupiter menghidupkan lampu ruang tamu dan terkejut saat melihat sang Ibu—Misca—sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada, di salah satu sofa.
“Ibu?” Jupiter mendekati Misca. “Kenapa tidak mengabariku jika ingin berkunjung?”
“Memangnya ada waktu khusus untuk mengunjungi Anakku sendiri? Aku tidak sempat mengabarimu.” Dengan ketus, Misca menatap tajam pada Jupiter.
Jupiter menghela napas, ia tidak bisa menang melawan Ibunya. Apa lagi, wanita berumur akhir lima puluhan ini, sangat keras dalam mendidik Anak. Meski Jupiter pada akhirnya, selalu melakukan perlawanan diam-diam terhadap Misca.
“Kapan kau akan menikah?” Misca sudah berdiri tepat di hadapan Jupiter.
“Bu ... tenanglah, usiaku masih tiga puluh satu tahun. Masih sangat muda,” tawa Jupiter berusaha menenangkan Misca yang selalu membahas hal sama sejak setahun terakhir, di setiap kali pertemuan mereka.
“Apa katamu?” Kedua alis Misca terangkat. “Aku sudah tahu kelakuanmu selama ini, Piter. Kau gemar bermain-main bersama banyak wanita. Pilih salah satu. Atau aku akan menjodohkanmu dengan Yasmine!” Tegas dan keras, Misca melotot marah pada Jupiter.
“Bu ... tolong jangan Yasmin,” rengek Jupiter, “membayangkannya saja aku tidak sudi.”
“Apa yang kurang dari Yasmin? Dia sehat, cantik, dan kaya. Lalu apa yang kau mau?”
“Yang jelas tidak jika itu Yasmin, Bu.” Jupiter menggeleng.
Sehat berarti tubuh tambun dengan timbunan lemak di sana-sini, cantik yang hadir karena polesan hasil lipstik merah cabai dengan bedak tebal, melebihi warna putih di leher Yasmin. Kaya? Ya, tentu. Yasmin memang Anak tunggal pewaris perusahaan tambang milik Ayahnya.
“Baiklah. Bukan Yasmin tapi wanita pilihanmu. Ingat, dua minggu dari sekarang, atau aku akan memaksamu dengan berbagai cara untuk menikahi Putri pewaris perusahaan tambang itu!”
Bersambung.
Sepeninggal Misca dari rumahnya, Jupiter kalang kabut. Ia berjalan mondar-mandir di kamar. Menjambak rambutnya sambil memutar otak, memaksa berpikir jernih di bawah tekanan dan ancaman Misca.Sudah lewat tengah malam, tapi Jupiter tidak merasa harus sungkan menghubungi satu nama itu. Ia segera meraih ponsel dari sakunya dan menunggu panggilan dijawab.“Halo?” Suara di seberang.“Aku menganggu tidurmu?”“Tidak. Aku masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan. Jadi ada apa?”“Aku ingin bertemu.”“Besok setelah jam kantorku selesai, bagaimana?”“Aku tidak bisa menunggu ...” Jupiter mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas pangkuan, “bisakah kita bertemu sekarang?”“Sekarang? Ini sudah hampir pukul dua belas malam, Piter.”“Yap. Aku tahu, tapi aku butuh kau sekarang. Aku ingin mengajakmu bicara hal penting.” Suara percaya diri Jupiter terde
“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.“Tentu saja tidak.”“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p
Ponsel di genggaman Zanna sedikit bergetar, seirama dengan detak jantungnya yang bertalu-talu.Ia menggulir setiap pesan dari pemilik nama ‘Gwen Himeka’ yang ditulis jelas oleh suaminya, tanpa ditutupi sedikit pun.Begitu juga dengan semua chatting mereka berdua yang tidak dihapus oleh Alexi, meski sudah lewat beberapa bulan ke belakang.Kedua mata Zanna seakan panas dan dadanya seketika sesak. Banyak balasan pesan Alexi untuk Gwen, berhasil membuat hatinya yang dulu kuat tak peduli apa pun, mendadak remuk redam menahan perih.Seminggu yang lalu.[Gwen, kau di mana? Aku menunggu di kamarmu. Kenapa kau belum kembali? Akan kutunggu, jadi cepatlah kembali]Lima hari yang lalu.[Tetaplah semangat. Kau adalah wanitaku yang tangguh dan kuat. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku selalu ada di sisimu, sayang]Tiga hari yang lalu.[Aku merasa sesak setiap kali masuk
“Kau sudah merasa lebih baik?” Eric mengusap-usap punggung Gwen yang tadi menangis keras di pelukannya.Eric tidak bertanya alasan di balik tangisan Gwen. Jelas dia mengenal Gwen lebih baik dari sahabatnya yang lain. Dia dan Gwen tidak hanya satu jurusan, tapi juga satu ruangan saat di Universitas.Mereka akrab. Saling mengerti dan memahami satu sama lain. Sekilas terlihat, mereka serasi.“Maaf, membuatmu bingung.” Gwen menunduk. Kacau, kalut dan berantakan.Dia ingat bagaimana sejak pagi terkurung di ruangan Zeev hingga sore hari. Meski tak ada sesuatu yang salah, tapi Gwen merasa tertekan berada satu ruang bersama pria itu.Ketika semua penghuni kantor benar-benar bubar di sore hari, baru lah Zeev bersedia membiarkannya meninggalkan ruangan itu.Sepanjang perjalanan menuju halte, mendadak Gwen merindukan sosok Alexi yang
Malam hari ini terasa panas dan gerah, membuat keringat mengucur deras dari tubuh Lola yang berlari keluar taksi dengan terburu-buru menuju ruang bersalin sebuah Rumah Sakit kecil, yang ada di pinggiran kota.Bibirnya komat-kamit merapalkan permohonan untuk keselamatan sahabatnya. Lola ingat betapa beruntungnya, dia akan bisa ikut menyaksikan persalinan sahabatnya, mengingat tadi saat dihubungi, Lola sedang memasukkan pakaian ke koper karena dia akan ikut penerbangan pulang pagi, esoknya.Ini bukan minggu keempat puluh, tapi sahabat Lola terpaksa akan melakukan persalinan secara prematur malam ini, di usia kandungan kurang dari tiga puluh tujuh minggu.Sebelum masuk, Lola menjumpai terlebih dulu pria yang sudah duduk menunggunya di kursi panjang lorong Rumah Sakit, tidak jauh dari ruang bersalin.“Kapan kau tiba?” Lola masih terengah, menatap heran pada pria yang terlihat pura-pura tenang dibalik wajah gugupnya.Padahal Lola menghubungi pria ini saat di
Suasana kediaman Zacky Van Dick terlihat sunyi dari luar, namun keadaan di ruang keluarga, tidak begitu.“Sayang, lihat ini!” teriak Alexi dengan histeris, dia dalam posisi berjongkok dan berjaga-jaga untuk menangkap tubuh mungil di depannya yang sedang berdiri bergoyang-goyang, belum sempurna.Zanna muncul dengan apron menutupi bagian depan tubuhnya, dia tersenyum dan bertepuk tangan sambil menyemangati keduanya.“Sayang, kau hebat, teruskan!” Zanna mencium sekilas pipi Alexi, lalu dia kembali ke dapur.Alexi semakin bersemangat ketika bayi Rosalie yang sudah berusia hampir delapan bulan, memanggilnya ribut dengan sebutan ‘Papa’ yang belum jelas, terkadang dia menunjuk-nunjuk ke arah dapur.“Kau ingin Mamamu?” Alexi mencium gemas kedua pipi Putrinya, menggendong bayi Rosalie dan membawanya ke dapur.Alexi mengejutkan Zanna yang sedang mencuci sayuran, sedikit terpekik, Zanna berbalik, dan memeluk keduanya.“Sayang, sepertinya ... Rose mengi
Enam bulan setelah Gwen pergi dan Jupiter yang kembali dari koma.Inez terburu-buru keluar dari butiknya. Dia tergesa karena akan ada janji temu dengan psikiater Emmie dua belas menit lagi. Belakangan, setiap malam dia selalu mimpi buruk, ya, tidak buruk juga, karena bayangan tubuh tinggi tegap itu terus membuat Inez penasaran.Dia hadir dalam mimpi Inez, tanpa menunjukkan wajahnya. Setiap kali terbangun, Inez akan merasakan kesedihan yang begitu mendalam tanpa sebab. Bahkan dia sampai menangis meraung untuk bisa mendapatkan kelegaan di hatinya.Terkadang, beberapa kali, tanpa sadar, Inez berdiri di ujung balkon seolah dia akan melompat jatuh dari lantai empat. Nyaris mati, Inez berpikir untuk menemui psikiater dengan rutin. Tatapannya yang kosong seolah mengingatkannya akan sebuah kehilangan yang teramat menyakitkan, dan berakhir pada kondisi kejiwaannya menjadi tidak stabil.Sibuk dengan pikirannya, Inez seketika sadar
Langit mendung dengan gerimis tipis mewarnai pagi hari ini. Gwen berusaha bangun lebih cepat, jam empat lewat sebelas menit, hanya untuk lari dari ruangan Eric tanpa ketahuan.Dapur dan seluruh sudut restoran sepi. Gwen mendorong pintu dapur dengan hati-hati. Rupanya di luar, langit benar-benar masih terlihat seperti malam hari.Semua lampu-lampu jalan menyala terang. Begitupun dengan penerangan di setiap rumah dan toko. Gwen menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Delila Restaurant dengan senyum tipis yang sekejap.Terburu-buru, dia melangkah. Membuang SIM Card ponselnya ke tong sampah, lalu menghilang di jalanan kecil bagian samping bangunan pertokoan untuk menghilangkan jejaknya dari Eric.Gwen pulang ke rumah, tidak lagi menemukan bangkai tikus di depan pintu. Jadi dia masuk, dan menyiapkan semua pakaian di atas ranjang, lalu satu persatu, menyusunnya ke koper dengan hati-hati dan cepat.Menurut perkiraannya—jika tepat—Eric akan ter
Meski bingung akan maksud ucapan Gwen, Eric mematung dan mencoba sedikit untuk memahaminya yang sedang dalam kondisi tidak baik.“Itu artinya?”“Kau boleh mendekat,” kata Gwen pelan, menurunkan selimutnya sampai batas mulut, “tapi lepaskan kemejamu. Sisakan kaus dalamnya saja.”Eric tersenyum. Dipikiran Eric, ini sesuatu yang unik dan tergolong biasa dia lakoni bersama Gwen.Eric melepas kemeja hitamnya, menyisakan kaus dalam bewarna senada, lalu mendekat perlahan pada Gwen yang masih dalam posisi berbaring miring ke arahnya.Gwen duduk setelah Eric tiba di tepi sofa, mengendus sekilas tanpa disadari Eric, kemudian tersenyum senang. Aroma parfum dan keringat Eric menyatu, dan dia suka itu.“Bagaimana?” Eric ragu-ragu. Dia berpikir harusnya dia tidak mendengarkan Gwen dan tetap bergabung dengan busa melimpah atau di bawah shower saat ini.“Peluk aku,” gumam Gwen, tidak merenta
Sore hari yang kelabu dengan angin dingin menusuk kulit, menjauhkan tubuh Gwen dari selimut.Gwen tidak menginginkan selimut yang sudah dibawakan oleh Beth. Sebenarnya, pelayan ramah itu tahu, Eric akan kecewa jika dia tidak menjaga Gwen dengan baik, ketika Eric sudah meminta tolong dan percaya padanya.Alasan Gwen meninggalkan selimut itu di bawah kakinya, bukan karena dia sedang ingin diperhatikan lebih dari sekedar memberikan selimut, tapi karena dia tidak menyukai aromanya.Pewangi dan pelembut pakaian yang menebarkan aroma campuran susu dan beras, membuat Gwen membenci selimut itu. Walau tidak menyebabkan rasa mual, tetap saja dia sempat menutup hidung saat menggunakannya, sebelum berakhir di bawah kakinya.“Pakailah selimutmu, Gwen.” Beth muncul dengan nampan berisi semangkuk sup sayur dan segelas air putih hangat, yang diletakkannya terburu-buru karena Beth ingin segera menyelimuti Gwen.“Tidak, jangan Beth. Aku tidak menyukai aroma selimutnya,”
Eric dan Alexi duduk saling berhadapan di kantin Rumah Sakit, karena kedua Ibu dari sahabat mereka yang memintanya.Misca dan Renata kompak menyuruh Eric juga Alexi untuk keluar makan siang, sebelum mereka melewatkan semua itu dengan perut kosong, karena menunggu kedua sahabat mereka yang belum juga terbangun dari koma.“Belum ada keterangan pasti tentang kecelakaan mereka, selain karena mengalami kecelakaan di jalan bebas hambatan, hujan cukup deras hampir tengah malam, dan Piter tidak memasang dashcam di mobilnya,” kata Eric, mencoba memberitahu Alexi yang terlihat penasaran, meski tidak lagi bertanya apapun setelah Eric memberi jawaban singkat tanpa kepastian di ruangan Jupiter dan Inez tadi.“Semalam memang hujan turun sangat deras, aku tidak bisa membayangkan pada apa yang menimpa mereka berdua. Benar-benar mengejutkan.”“Kau benar. Saat ini, kita tidak tahu apapun. Jadi sangat sulit menduganya.” Eric hanya m
Gwen terbangun karena aroma telur orak-arik, avacado toast, dan susu putih hangat. Bukan menyesap harumnya yang memenuhi ruangan, Gwen justru merasa mual.Dia nyaris tersandung, saat buru-buru ke kamar mandi karena memang tidak tahan dengan aroma menu yang diletakkan oleh Beth sekitar tujuh menit sebelum Gwen terbangun, atas perintah Eric.Dan menu sarapan itu juga Eric yang memintanya. Dia memilihkan menu sarapan pagi yang tepat, tapi sepertinya tidak untuk kondisi Gwen saat ini.Gwen menduga sesuatu yang tidak biasa terjadi dengan tubuhnya. Menahan rasa khawatir yang menguap hingga memunculkan hawa dingin di tengkuk, Gwen meraba perutnya yang rata.Mengusap perlahan dengan gerakan memutar. Adakah kehidupan baru di dalam sana? Mendadak, wajah pucat Eric yang selalu tersenyum lembut padanya, mulai berputar ulang, kilasan demi kilasan, bak sebuah film dengan adegan yang diperlambat.Ini gawat!Percintaan terakhir mereka bahkan terjadi beberap
Tatapan tak percaya memenuhi raut wajah Inez. Dia bahkan meratapi tingkahnya malam ini dalam hati. Memalukan!Dan terlambat untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Seperti saat dia yang selalu berhasil memancing dengan cara elegan, layaknya rubah betina mengelabui mangsa.“Kau selalu terbiasa berprasangka buruk padaku, Piter.”“Yah, wajar. Setiap kali kau bertindak di luar kebiasaanmu, sesuatu yang buruk pasti terjadi,” sindir Jupiter, mengangkat bahu, dan sebelah alisnya.“Sepadan dengan apa yang aku dapatkan setelahnya. Jadi tak masalah,” sahut Inez, tak pernah ingin kalah dalam berdebat.Jupiter berdecak kesal, “Kau gila!” Kemudian menggeleng takjub, lalu memutar kemudi dan bergerak menjauhi pusat kota yang bercuaca dingin malam ini.Karena tidak ingin mendengarkan keluhan Jupiter tentang perubahan sikapnya, Inez memilih untuk tidur. Berpura-pura tidur jika dia tidak bisa melakukannya.Andai mungkin, dia juga ingin kembali bersikap no