Anna melepaskan pelukannya dan berganti memegang tangan Edgar. "Aku tidak peduli jika harus menjadi korban dari kelainanmu, Ed. Itu lebih baik daripada kau mencari wanita lain untuk melampiaskan hasratmu yang tidak tuntas padaku. Jangan menahannya lagi, Ed." Membayangkan Edgar tidur dengan wanita lain karena tidak ingin menyakiti Anna saja sudah membuat Anna merinding. Jangan sampai itu terjadi! "Badanku terasa lengket dan aku ingin mandi. Tolong bantu aku berjalan, Ed. Aku masih merasa nyeri di bawah sana." Seperti yang orang-orang katakan, ketika selaput dara wanita robek untuk pertama kalinya oleh seorang pria, rasanya sangat menyakitkan! Anna sudah merasakan itu sekarang. "Maaf," lirih Edgar. Lagi-lagi Edgar meminta maaf dan menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi pada Anna. Set! Dalam sekejap, Edgar menggendong Anna di depan dada. Pria itu membawa Anna masuk ke dalam kamar mandi dan menyiapkan air hangat di bathtub. "Aku sudah menyiapkan semuanya. Nikmat
"Hn, aku suami yang sangat mencintai istrinya." Edgar tersenyum tipis. "Maaf karena merepotkanmu." "Aku maafkan karena kau suamiku." Karena pria lebih kuat daripada wanita, Edgar lebih cepat pulih dari demamnya setelah meminum obat dan dikompres beberapa kali. "Demamnya sudah turun. Kurasa kau sudah bisa bergerak bebas, Ed." "Kau salah, aku masih sedikit lemas. Jika saja aku mendapat sebuah ciuman, mungkin tenagaku akan kembali." Bisa-bisanya Edgar bercanda setelah sembuh dari demam, namun Anna bersyukur karena suaminya sudah sehat kembali, bahkan sudah bisa membuat lelucon konyol. Cup! Sebuah kecupan ringan mendarat di bibir Edgar, membuat pria itu tak bisa menahan seringainya. Entah mengapa dia rindu dengan suasana seperti ini, suasana yang penuh cinta dan kemesraan. Hatinya merasa bersalah karena tidak berkata jujur pada Anna mengenai kelainan yang berasal dari trauma masa lalunya. "Sepertinya aku tidak mengatakan kecupan, tapi ciuman. Jadi, yang barusan tidak dihitung k
"Ed, jangan begitu!" Anna mencoba menenangkan Edgar agar tidak berbicara yang aneh-aneh pada ibunya sendiri. "Ibu tidak mengerti kenapa kau jadi sensitif seperti ini. Memangnya salah jika Ibu ingin tahu kegiatan kalian saat di apartemen?" Sebenarnya Anna sedikit bingung dengan kegiatan yang dimaksud Lucia, mertuanya. Padahal semua yang mereka lakukan tidak jauh berbeda saat sebelum mereka menikah, terkecuali tidur bersama. "Baiklah! Aku mengizinkan Ibu menginap di sini, tapi jangan menganggu Anna. Anna perlu banyak istirahat dan waktu luang untuk belajar, dia masih kuliah." Lucia tersenyum lembut. Dia bangga pada Edgar karena memperlakukan istrinya dengan baik. Sepertinya Anna sangat berharga untuk putra sulungnya itu. "Ah! Apa kalian sudah makan makan? Ibu memasak banyak hari ini." Anna sempat mengira kalau tas yang dibawa mertuanya adalah pakaian ganti, namun ternyata isinya makanan! Karena Anna dan Edgar mengalami demam di hari yang sama, mereka tidak sempat memasak dan han
Anna masih mengingat ucapan Kevin saat acara makan malam di kediaman Dominic. Saat itu Kevin mengatakan bahwa Edgar memiliki penyakit akibat trauma masa lalunya dan meminta Anna untuk membantu menyembuhkannya.Sebelumnya Anna berpikir kalau Edgar memiliki penyakit kronis, namun ternyata penyakit yang di maksud Kevin adalah sebuah kelainan seksual."Anna, apa yang kau pikirkan?"Edgar menepuk pelan bahu Anna hingga lamunannya buyar."A-apa? Aku hanya sedang berpikir bagaimana caranya agar hamil anak kembar," ujar Anna berbohong."Anak kembar?" Ucap Edgar dan Lucia serempak.Untuk mengalihkan pembicaraan, Anna sontak berdiri dan membereskan piring-piring kotor di atas meja."Kalian sudah selesai makan? Kalau begitu aku akan membereskannya."Anna kemudian membawa piring-piring kotor itu ke dalam wastafel dan mencucinya hingga bersih. Dia sengaja membuat dirinya sibuk agar terhindar dari pembicaraan sepu
Pukul 07.15 pagi, baik Anna maupun Edgar sudah rapi dengan penampilan mereka. Anna memiliki jadwal kuliah di pagi hari, sedangkan Edgar adalah dosen bergelar profesor yang menjadi salah satu pengajar di kelas Anna. Oleh sebab itu, mereka selalu berangkat bersama menuju kampus. "Kita sarapan di luar saja, waktunya sudah tidak cukup!" Anna melihat jam tangan di pergelangan tangannya. "Hn. Terserah padamu, Sayang." Keluar dari kamar, Anna terkejut karena Lucia tengah merapikan meja makan. Di sana sudah tersedia banyak sekali menu sarapan. Tampaknya ibu mertuanya sudah bangun lebih dahulu dan memasak. "Ibu? Apa Ibu yang memasak semua ini? Harusnya Ibu beristirahat saja, kami bisa sarapan di luar nanti." Anna merasa tidak enak hati karena telah merepotkan Lucia yang notabene-nya adalah tamu di apartemennya dan Edgar. Seharusnya Anna yang menyiapkan sarapan, bukan ibu mertuanya. "Tidak apa-apa. Lagi pula, Ibu ak
"Kenapa? Bukankah wajahnya tampan?" "C'mon, Grace. Wajahnya terlalu mirip dengan Edgar meskipun Edgar lebih tampan!" Grace mengerutkan dahinya. "Maksudmu, kau tidak menyukai orang yang wajahnya mirip Profesor Edgar? Lalu bagaimana jika anakmu nanti mirip dengan suamimu?" Jika anaknya mirip dengan Edgar, tentu saja itu kabar baik. Lagi pula, Edgar adalah suami sekaligus calon ayah untuk anak-anaknya nanti, mana mungkin Anna membenci wajah anaknya yang mirip seperti sang ayah. Ucapan Grace sungguh tidak masuk akal! "Grace, aku tidak tahu kalau kau sebodoh itu! Tentu saja aku akan bahagia jika anak masa depanku memiliki wajah seperti Edgar!" "Ah, benar. Profesor Edgar 'kan suamimu." Larut dalam obrolan mereka, Anna dan Grace sampai tidak sadar kalau mata kuliah paginya telah berakhir. Mereka bahkan sampai tidak mencatat apa pun dalam buku karena sibuk membicarakan Kevin dan Edgar. "Baiklah ... karena waktu mengajar sud
Sampai di kafe sebrang kampus, Anna dan Grace sontak memesan makanan yang biasa mereka pesan. Kafe itu memang sudah menjadi langganan mereka sehingga pelayan pun tahu apa yang akan mereka pesan tanpa memberikan buku menu."Kau bilang kau lapar! Tapi ketika makanan sudah ada di hadapanmu, kau malah sibuk memainkan ponsel!""Kau makan saja lebih dulu, Grace. Aku sedang bertukar pesan dengan Edgar."Grace tampak kesal karena sikap Anna yang terlalu menunjukkan bahwa dia mencintai sang suami. Temannya itu memang sudah menjadi budak cinta!"Anna, sejujurnya ada yang ingin aku beritahukan padamu."Tidak biasanya Grace serius begitu, Anna sampai teralihkan dari ponselnya."Kenapa serius sekali? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?"Grace menggigit bibir bawahnya. "Tante Lucia menyuruhku untuk mengawasimu dan Profesor Edgar," terangnya.Sebelum melanjutkan ceritanya, Grace menatap mata Anna, takut jika temann
Sebenarnya Anna menemui Edgar karena ingin bertanya perihal wanita tua yang sempat dia temui dengan Grace. Mungkinkah Edgar mengenal wanita tua itu? Sampai di depan pintu ruangan Edgar, Anna tidak langsung masuk ke dalam, melainkan mengintip sedikit dari celah pintu gang sedikit dibukanya. Dilihatnya Edgar tengah sibuk berkutik dengan lembaran-lembaran kertas putih dan laptopnya. Pria itu mengenakan kacamata bulat yang biasa dipakai saat sedang bekerja. Setelah melihat situasi ruangan tersebut, Anna masuk dengan langkah pelan dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Karena Edgar terlalu sibuk, pria itu bahkan tidak menyadari kehadiran Anna yang sudah ada di belakang kursinya. Anna melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Edgar dari belakang. "Kau sibuk sekali!" "Hn?!" Tampaknya Edgar benar-benar terkejut karena pelukan Anna yang tiba-tiba. Pria itu sedikit tersentak dan hampir membenturkan kepalanya dengan Anna. "Maaf, apa kau terkejut?" Edgar membuka kacamata dan menarik