"Bu-buka?" gagap Anna, "Ed, kurasa ... aku bisa melakukannya sendiri. Bukankah kau harus pergi mengajar di kampus hari ini?"Sangat memalukan jika Anna harus melepas pakaian agar lukanya diobati oleh Edgar. Meskipun niat Edgar baik, namun tetap saja Anna merasa malu. "Aku berubah pikiran. Lebih baik aku libur mengajar hingga kau sembuh. Mana mungkin aku membiarkan istriku yang sedang terluka sendirian di apartemen."Pekerjaan memang penting, namun kesehatan Anna lebih penting dari pekerjaan. Apalagi Anna terluka akibat dirinya saat sedang mabuk. Sebagai seorang pria dan suami, Edgar harus bertanggung jawab atas perbuatannya kepada Anna. Tidak ingin berdebat, akhirnya Anna pasrah membuka pakaiannya di hadapan Edgar. Hanya pakaian atas yang Anna lepas, kecuali bra yang masih melekat di tubuhnya. "Kau mempermainkan aku?" Edgar mengerutkan dahi ketika melihat Anna yang tampak malu-malu menutupi tubuh atasnya yang hanya memakai bra. "Lepaskan semuanya! Termasuk celana dan pakaian dalamm
Kejadian kemarin memang sedikit mencurigakan, pasalnya Kevin dan Edgar tiba-tiba meminta untuk pulang sekembalinya dari toilet. Namun, Grace tidak tahu apa masalahnya! "Bukan apa-apa. Sebaiknya kau segera masuk kelas, Grace."Grace menyipitkan matanya ke arah Kevin. Mengapa Kevin mengalihkan pembicaraan? Apakah kejadian kemarin sangat rahasia sehingga tidak bisa sembarangan dibicarakan? "Jika Anda tidak ingin memberitahu saya maka saya tidak akan bertanya lagi. Tapi, sebagai gantinya Anda harus kencan kedua dengan saya. Hari ini!"Lebih cepat lebih baik, bukan? Lagi pula, Grace hanya meminta tiga kali kencan dengan Kevin. Kencan pertama, mereka sudah melakukannya kemarin dan sekarang Grace berniat untuk menagih kencan keduanya. "Baiklah, aku setuju."***Duduk santai di balkon, Anna mengecek ponselnya yang baru saja dihidupkan. "Ya Tuhan! Ponselku dipenuhi dengan nama Grace!"Ada lebih dari sepuluh panggilan tak terjawab dan lima pesan masuk dari Grace. Tampaknya Grace sangat meng
Polisi? Mengapa orang yang bertugas melayani negara bisa berada di depan apartemennya? Apalagi mereka menyebutkan nama Edgar. Anna tertegun sejenak karena kedatangan mereka. "Edgar Dominic adalah suami saya. Memangnya ada apa?"Apakah Edgar terlibat hal berbahaya sehingga polisi datang mencarinya? Tapi, Edgar tidak mungkin melakukan hal itu. Jika Edgar benar-benar melakukannya pun, dia pasti akan melakukannya tanpa meninggalkan jejak. "Tolong panggilkan suami Anda, kami ingin bertemu.""T-tunggu sebentar!" Dengan perasaan kalut, Anna meninggalkan kedua polisi itu sebentar untuk memanggil Edgar. Dia memasuki ruangan kerja di mana suaminya berada. "Ed ...," lirih Anna, "ada polisi yang mencarimu. Bisakah kau ke luar sebentar?""Polisi?" Edgar menaikkan satu alisnya ke atas. Anna tahu jika Edgar bingung karena Anna pun merasakan hal yang sama. "Iya, mereka ada di depan apartemen kita."Mengatakan itu, Anna dan Edgar berjalan beriringan menemui polisi yang mencari Edgar. Entah apa ya
Anna mengira jika Edgar hanya bertemu Venna saja dan tanpa terjadi hal seperti pelecehan. Pertemuannya dengan Venna sudah sangat membuat Edgar syok, tapi ternyata wanita itu juga melakukan hal tidak senonoh kepada suaminya. "Tapi Pak, Edgar bukan orang yang membunuh Venna!" kukuh Anna."Tenanglah, Nona. Suami Anda memang salah satu tersangka, tapi dia bisa bebas dari tuduhan jika memiliki alibi yang kuat." Polisi itu mengetuk-ngetuk meja berulang kali seperti sebuah kebiasaan. "Edgar Dominic, ada di mana kau saat pukul dua pagi?"Tampaknya Venna dibunuh pukul dua pagi, waktu yang nyaman untuk tidur dan mengurung diri di dalam selimut. Namun, pada waktu itu Edgar dan Anna tengah bergumul di ranjang. "Saya ada di apartemen bersama istri saya." Edgar mengatakannya tanpa ragu. Sekarang tinggal Anna yang menyetujui alibinya agar polisi bisa segera melepas tuduhan Edgar. Wajah Anna memanas ketika pikirannya tiba-tiba mengingat kejadian semalam. Meskipun Edgar di bawah pengaruh alkohol da
Malam pun tiba, baik Anna maupun Edgar sama-sama tengah menikmati waktu sebelum tidurnya dengan menonton televisi. Ditemani teh hangat dan beberapa camilan, mereka menyaksikan acara komedi yang sedang ramai dibicarakan. Anna mengambil remot di atas meja dan memindahkan saluran televisi ke saluran berita. 'Pelaku pembunuhan wanita paruh baya telah menyerahkan diri. Kini, polisi sedang melakukan pemeriksaan terhadap pelaku sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam penjara. Pelaku mengakui-' "Sepertinya ini berita mengenai Venna. Syukurlah karena pelakunya menyerahkan diri." Perasaan Anna lega setelah melihat berita tersebut. Itu artinya Edgar dan Kevin tidak melakukan kejahatan. "Tapi aku kasihan pada pria itu. Jika dugaanku benar, sepertinya pria itu korban dari pelecehan Venna dan dia membunuh Venna adalah untuk membela diri. Bagaimana menurutmu, Ed?" Itu hanya spekulasi Anna. Karena Venna seorang kriminal yang sedikit tidak waras, dia pasti tidak takut untuk melakukan kejahatan unt
Anna menerima buku catatan dari Wendy, dia tersenyum puas ketika melihat isi buku itu penuh dengan materi kuliah yang Anna lewatkan kemarin. "Terima kasih. Ternyata kau sangat pandai merangkum materi-materi penting, ya?" Ternyata Wendy bukan hanya sombong dan pandai berbohong, namun wanita itu juga memiliki otak yang lumayan pintar. Selain memberikan buku catatan, Wendy bahkan menyelesaikan tugas yang seharusnya dikerjakan Anna dengan baik. "Sudah 'kan? Kalau begitu aku akan pergi!" Tanpa menunggu jawaban Anna, Wendy langsung pergi sambil mengibaskan rambutnya ke udara. "Lihatlah gayanya," gumam Anna ketika punggung Wendy semakin menjauh. Keputusan Anna untuk memanfaatkan Wendy ternyata adalah keputusan bagus. Anna berpikir, jika dia tidak masuk kuliah, dia bisa menyuruh Wendy menggantikannya untuk masuk dan mengikuti materi yang diajarkan. Namun, pikiran itu segera ditepis oleh Anna. "Ey! Kau tidak boleh begitu, Anna. Wendy juga harus mengikuti materi kuliahnya sendiri."
Anna terkekeh, dia tiba-tiba mengingat betapa canggungnya dia dengan Edgar saat kencan pertama. Waktu itu Edgar yang lebih banyak berbicara, pria itu bahkan melakukan hal yang tidak terduga dengan mencium Anna di tempat umum. Perlahan Anna mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia baru saja berjalan beberapa langkah dengan Grace, namun tiba-tiba kepalanya terasa pusing seperti ada sesuatu yang menghantam kepalanya dengan keras. Tubuhnya terhuyung-huyung, jika tangannya tidak berpegangan pada tiang di sampingnya, mungkin Anna akan jatuh karena kehilangan keseimbangan. "Ada apa denganmu? Kau terlihat pucat sekali," tanya Grace. "Kepalaku tiba-tiba jadi pusing. Aku juga lemas."Padahal tadi Anna baik-baik saja, namun dia sekarang tiba-tiba berubah menjadi lemas tak berdaya. Entah apa yang terjadi, yang jelas dia butuh istirahat. Anna berjalan dengan dibantu Grace, dia dipapah secara perlahan-lahan hingga sampai di bangku panjang yang ada di taman kampus. "Kurasa kita harus memberitahu
"By the way, bukankah kita ada jadwal kuliah pagi? Tapi karena kondisimu sedang tidak baik, kau bisa membolos kuliah. Sedangkan aku ... haruskah aku ikut membolos? Aku akan di sini, menunggumu di rumah sakit.""Tidak! Kau harus masuk kuliah, Grace. Ah, maksudnya kita berdua akan masuk kuliah hari ini."Karena Anna sudah mengetahui penyebab sakitnya, dia berpikir untuk tidak melewatkan materi kuliah lagi. Lagi pula, dia hanya hamil muda dan bukannya mengidap penyakit mematikan. Dia hanya perlu berhati-hati dan menghindari kegiatan yang bisa membuatnya lelah karena bisa membahayakan janin.Perlahan Anna turun dari ranjang pasien, dia dan Grace pergi dari rumah sakit setelah membayar tagihan pemeriksaan dengan uang yang ada di dompet."Anna, kurasa kita terlambat."Anna dan Grace berdiri di depan pintu kelas. Di balik pintu itu, seorang dosen yang terkenal kejam tengah mengajarkan materi kepada para mahasiswa. Dosen itu tidak memiliki rasa ampun
Setelah Grace mengaku pada Anna pada hari itu, Anna memutuskan kontak dengan Grace dan tidak ingin menemuinya lagi. Grace memang teman baiknya, namun Grace sudah mengkhianati Anna dan sudah menyebabkan Anna keguguran secara tidak langsung. Sekarang Anna tengah berlatih berjalan dengan bantuan Edgar. Sudah hampir dua minggu dia melakukannya dan dia sudah bisa berdiri sendiri serta berjalan tiga hingga lima langkah. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik," ucap Edgar seraya mengelus kepala Anna. Satu hari setelah keguguran, Edgar memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dia sudah bukan seorang dosen lagi. Sekarang dia memilih fokus dari jabatannya sebagai direktur dan merawat Anna sendiri di rumah. Ya, lagi pula, pekerjaannya sebagai direktur bisa dikerjakan di rumah dan tanpa harus pergi ke perusahaan. Edgar menggendong Anna dan mendudukannya kembali di kursi roda. "Aku ingin ke kamar," ucap Anna. "Baiklah, Istriku." Sejurus kemudian Edgar mendoron
Dua minggu telah berlalu ... Wendy yang menyebabkan Anna keguguran dihukum skors selama tiga bulan. Meskipun Edgar belum puas dengan hukuman itu, namun dia tidak bisa menambah hukumannya lagi karena tidak memiliki wewenang di kampus. Anna sudah keluar dari rumah sakit. Namun, dia belum berbicara sedikit pun bak orang yang bisu. Anna pun kehilangan cara berjalannya. Dokter mengatakan jika Anna mengalami hal itu karena terlalu syok dan stress berat. Setiap malam setelah Anna tidur, Edgar minum alkohol hingga mabuk di dapurnya sendirian. Dia menangis tatkala melihat Anna yang seperti boneka hidup. Tak mengatakan apa pun dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan suatu alat. Sekarang, Edgar sedang bersama Anna di taman. Dia membawa Anna jalan-jalan menggunakan kursi roda untuk menghirup udara segar. "Anna, bukankah bunganya sangat cantik? Jika aku memetiknya, apa kau mau menerimanya?" ucap Edgar. Anna bergeming. Dia diam saja karena memang tidak ingin mengatakan apa pun. Namun, dalam hat
Selang beberapa waktu, ambulans datang dan membawa Anna ke rumah sakit terdekat. Edgar dan Kevin ikut menemani, tetapi tidak dengan Grace. Padahal Grace adalah teman baik Anna. Anna dilarikan ke ICU karena sedang dalam keadaan darurat. Sudah lama sejak dokter memeriksanya, namun belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya sang dokter muncul dengan raut wajah yang kurang baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Edgar segera. "Istri Anda baik-baik saja, namun bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan karena benturan yang cukup keras hingga menyebabkan pendarahan.""Maksud Dokter, istri saya keguguran?" Edgar memastikan perkataan sang dokter. "Benar. Saat saya memeriksanya pun, bayi dalam kandungannya sudah sangat lemah."Edgar kehilangan kata-kata, begitu juga dengan Kevin. Mereka syok mendengar berita buruk ini, namun Anna pasti lebih syok dan sedih mendengarnya. "Dok, saya ingin menemui istri saya,"
Di forum kampus, ada seseorang tanpa nama yang membongkar rahasia Wendy. Karena hal itu, Wendy menjadi ramai dibicarakan. Tatapan-tatapan intimidasi pun diberikan kepada Wendy setiap kali dia berjalan. Wendy, membuka forum kampus dan membaca postingan tersebut. Judulnya 'Kebohongan Besar Wendy'. Di sana tertulis, 'Wendy hanya orang miskin yang berpura-pura kaya di depan teman-temannya. Dia memakai barang mahal dari hasil meminta paksa kepada ayahnya yang hanya pekerja kantoran. Bahkan, ayahnya sudah dipecat karena perilaku kasarnya terhadap seseorang.'Setelah membaca semuanya, rahang Wendy mengeras dan tangannya mengepal. Dia tahu siapa pelaku yang menyebar rahasianya. Siapa lagi kalau bukan Anna! Dengan hati yang penuh amarah, Wendy sontak mencari keberadaan Anna. Dia tak menyangka jika Anna akan mengkhianatinya seperti itu. Padahal Anna berjanji akan menjaga rahasianya jika dia menuruti semua perintahnya. "Awas kau, ya! Jika aku hancur, kau pun harus hancur, Anna!" geram Wendy.
Keesokan harinya, Anna menunggu kedatangan Grace di gerbang kampus. Sudah hampir 15 menit dia menunggu, namun Grace belum menampakkan dirinya sama sekali. Ketika Anna sudah bosan menunggu dan hendak pergi, Grace tiba-tiba turun dari taksi langganannya dengan wajah yang tidak bersemangat. Meskipun begitu, Anna tetap menyapanya dengan riang dan berharap jika temannya itu kembali bersemangat. "Grace!" panggil Anna sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Grace sempat melihat Anna dalam sepersekian detik, namun segera memalingkan wajah. 'Apa dia tidak melihatku, ya? Mungkin aku harus memanggilnya lagi!' pikir Anna kemudian. "Grace! Aku di sini!" panggil Anna lagi dengan suara tak kalah kencang. Nihil. Grace sama sekali tidak menjawab panggilan Anna seperti biasanya.Saat Grace berjalan melewati Anna, dia tiba-tiba berhenti sejenak dan berbisik, "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendirian hari ini."Setelah mengatakan itu, Grace pun melanjutkan jalannya tanpa menoleh sedikit pun ke
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih
Edgar tampak gelisah saat sedang menyetir. Bukannya dia tidak ingin mencegah Anna pergi tadi, namun karena dia pun harus mendinginkan kepalanya dulu agar tidak meledak-ledak. Biasanya jika Anna marah, dia akan pergi ke rumah orang tuanya atau rumah Grace. Berhubung Grace masih belum pulang kuliah, jadi Anna pasti asa di rumah orang tuanya. Menekan bel, Edgar sontak masuk ke dalam rumah orang tua Anna setelah dibukakan pintu. "Anna ... apa dia ada di sini?" ucap Edgar sedikit gusar. Tidak sopan memang jika dia tiba-tiba menanyakan keberadaan istrinya hingga tidak menyapa kedua mertuanya terlebih dahulu. Ya, lagi pula, dia sedang panik sekarang. "Anna sudah pergi sejak 30 menit yang lalu. Apa Nak Edgar tidak berpapasan dengannya di jalan?" lirih Olivia. Shit! Tampaknya Edgar terlambat. Kalau sudah seperti ini, tentu saja dia harus pulang ke apartemennya lagi. Dia takut jika Anna mencari keberadaannya. Tanpa pamit, Edgar pun segera melesat dengan mobilnya menuju arah pulang. Dia m
"Loh? Tumben kamu ke sini, Nak," ucap Olivia saat melihat Anna sudah ada di depan rumah. Kepalanya menoleh ke belakang Anna seperti mencari sesuatu. Olivia sendiri sedang merawat kebun kecilnya yang ada di halaman depan, dia tak menyangka jika putrinya akan datang secara tiba-tiba. "Kamu datang sendiri? Ke mana suamimu?" sambung Olivia. Dia tidak melihat Edgar, melainkan seekor anj*ng yang dibawa Anna. Helaan napas pun keluar dari mulut Anna. Dia sedang tidak ingin membicarakan Edgar, emosinya masih belum reda. "Jangan membicarakan dia, Bu. Aku sedang emosional hari ini," ungkap Anna. Untuk seorang wanita yang pernah mengandung bayi, tentu saja Olivia paham dengan situasi Anna. Ibu hamil memang selalu emosional dan perasaannya sensitif. Ya, mungkin saja Anna sedang mengalami hal itu. Ah, Olivia merasa kasihan kepada Edgar karena menjadi korban emosional Anna. "Anna, ayo masuk ke dalam. Kebetulan Ibu masak banyak hari ini, mungkin karena Ibu punya firasat kalau kau akan datang k
Mendengar teriakan Anna yang mengeluarkan kata kasar, Edgar sontak terbangun dari tidurnya. Dia juga terkejut karena mobilnya tiba-tiba direm secara mendadak oleh Anna. "Ada apa? Aku baru saja mendengarmu mengumpat," tanya Edgar yang kebingungan. Anna menghela napas panjang. "Itu, ada anj*ing yang berhenti di tengah jalan saat aku menyetir. Untung saja tidak tertabrak."Meskipun Anna yakin kalau dia tidak menabrak seekor anj*ng, namun dia tetap jarus memastikannya dengan mata kepalanya sendiri. Anna keluar dari mobil dan berjalan ke arah depan. Dia melihat seekor anak anj*ng berbulu putih tengah duduk di depan mobilnya. "Sepertinya anj*ing ini lepas dari pemiliknya," ucap Anna setelah menggendong anak anj*ng tersebut dan melihat kalung yang terpasang di lehernya. "Apa kau mau membawanya pulang?" tanya Edgar yang baru turun dari mobil. "Hn, aku akan membawa pulang."Lagi pula, Anna merasa kasihan jika anak anj*ng itu ditinggal begitu saja di jalanan. Untuk sementara waktu, Anna a