”Sena, maafkan aku. Aku tepaksa harus melakukan ini. Aku tidak punya pilihan lain.” Pria berambut panjang berwarna putih itu menghunuskan mata pedangnya ke dada wanita itu.
Wanita itu hanya pasrah menerima luka di dadanya. Air matanya bercucuran. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia bersumpah kepada pria itu.
”Demi langit jika aku kembali bereinkarnasi aku akan membalasmu Ryu..”
********
”Hah! Mimpi itu lagi.” Vinia terbangun dari tidurnya. Sekejur tubuhnya dipenuhi air asin yang keluar dari pori-pori kulitnya.
Hal yang paling menakutkan baginya adalah tidur. Setiap kali ia tertidur mimpi yang sama akan selalu menghantuinya.
”Huh. Mengapa harus memimpikan itu lagi sih.” Gerutu Vinia sembari bangkit dari ranjang dan pergi keluar kamar.
Ia melangkahkan kakinya dengan gontai ke dapur. Di sana ia melihat ibunya sedang memasak sarapan untuk mereka. Vinia mengambil gelas dari rak dan menuangkan air kedalamnya. Kemudian ia habiskan air itu sekali teguk.
”Ibu, mengapa aku memimpikan hal sama setiap malamnya?” Tanya Vinia.
Nyonya Sanjaya melirik anak gadisnya yang duduk di kursi. Sebuah senyuman tergambar di wajahnya. Lalu dengan lembut ia menjawab Vinia.
”Sayang, mimpi itu adalah bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin karena kamu sering begadang menulis novel kamu itu.” Nyonya Sanjaya menggelengkan kepalanya.” Kamu masih saja menulis. Lupakan tentang menulis. Carilah pekerjaan yang layak.”
Vinia mengernyitkan keningnya. ”Ibu menulis sudah seperti jiwaku. Tidak bisa dipisahkan.”
”Lalu apa yang kau dapat dari menulis? Bukankah sudah banyak yang menolak tulisanmu. Lalu untuk apa masih bertahan. Cek..cek... Lihat gadis keras kepala ini. Bermimpi menjadi penulis terkenal. Tapi cerita yang dibuatnya saja pasaran.” Omel nyonya Sanjaya.
Vinia meletakkan kakinya ke atas meja dan melipat tangannya di depan dada. Ia terlihat kesal dengan yang dikatakan ibunya barusan.
”Seharusnya ibu mendukung aku. Ini malah mematahkan semangatku.”
Nyonya Sanjaya memukul kaki Vinia dengan sendok nasi. ”Kau seorang wanita. Duduklah yang sopan.”
Vinia merasa kesal dengan ibunya. Ia menurunkan kakinya dari meja dengan suara hentakan yang keras. Ia bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan Nyonya Sanjaya. Sontak itu membuat Nyonya sanjaya semakin marah .
”Vinia....” Nyonya Sanjaya berteriak.
Tapi Vinia tidak peduli dan meneruskan langkahnya.
”Dasar gadis kurang ajar. Lihat saja nanti aku akan memberimu pelajaran sampai kau meminta ampun.” Ia menggerutu dengan sikap anak gadisnya itu.
Vinia Griselda adalah seorang gadis berusia 29 tahun. Impiannya adalah menjadi penulis. Sudah banyak hasil tulisannya ia kirim ke berbagai penerbit. Namun semuanya menolak. Alasannya sangat klasik pasaran dan tidak menarik. Tapi itu tidak menyurutkan semangatnya.
Saat ia melewati ruang depan, ia melihat sebuah koran milik ayahnya yang terletak di atas meja. Bukan korannya yang menarik perhatiannya. Tapi, iklan yang terpajang di sudut bawah.
Dicari penulis berbakat. Kirimkan karya anda dan dapatkan peluang diterbitkan. Segera antar sekarang juga ke Kingdom Publishing. Berlaku hari ini.
Demikian pengumuman yang dibaca Vinia. Matanya berbinar secerah cahaya matahari. Baginya itu seperti menemukan harta Karun. Jelas saja ia tidak melewatkan kesempatan itu.
”Ini kesempatan untuk aku. Penulis masa depan aku datang.” Ia berbicara kegirangan dan berlari ke kamarnya.
Setelah selesai membersihkan diri dan sedikit berdandan, ia keluar dari kamar membawa sekumpulan kertas yang di kliping di tangannya.
”Ibu aku keluar dulu. Kalian sarapan saja tanpa aku.” Ujarnya sambil merapikan rambutnya yang terurai.
”Hei.. kau mau kemana? Sarapan dulu.” Ajak Nyonya Sanjaya.
”Aku sedang buru-buru Bu. Aku mau ke Kingdom Publishing.” Jawab Vinia.
”Kau masih belum menyerah dengan tulisan mu itu. Ya sudah tersarah kau saja.” Nada Nyonya Sanjaya terdengar ketus.
Nyonya Sanjaya sebenarnya merasa kasihan dengan putrinya itu. Seluruh waktunya ia habiskan untuk menulis. Tapi tulisannya tak pernah dihargai. Ia selalu menyuruh Vinia untuk berhenti dan memulai pekerjaan baru. Namun sekalipun tak pernah di hiraukan. Bagi Vinia menulis adalah hasrat jiwanya. Sedari kecil ia sudah menanamkan dalam hatinya bahwa menjadi penulis adalah impian masa depannya.
Vinia berjalan kaki sembari bersenandung di sepanjang jalan. Sesekali langkahnya terhenti oleh seorang anak yang jatuh dari sepeda. Dengan cekatan Vinia menolong anak itu.
”Kalau bersepeda harus hati-hati. Kan sakit kalau jatuh.” Ucap Vinia lembut.
Anak kecil itu tersenyum. ” Terima kasih kak. Kakak baik sekali mau menolong aku. ”
Tangan Vinia mengelus kepala anak itu. ”Ya sudah. Kakak pergi dulu ya. Sedang buru-buru nih.” Pungkasnya sembari berlari.
Setelah 30 menit lamanya ia berjalan sampai juga ia di depan gedung Kingdom Publishing. Sebelum memasuki gedung, Vinia melipat tangannya dan memanjatkan doa.
”Tuhan, semoga kali ini aku berhasil.” Pintanya dalam hati.
Namun seharusnya ia tidak datang ke Kingdom publishing. Ia tidak tahu apa yang menantinya di dalam sana. Dengan perasaan yang tenang ia menghampiri resepsionis yang sedari tadi sibuk mengumpulkan kertas yang berserakan di mejanya.
”Permisi mbak. Saya mau ngantar proposal saya mbak.” Ia bertutur dengan santun. Padahal bila di rumah ia seperti preman pasar.
Wanita itu seketika menghentikan kegiatannya. ”Iya mbak. Mbak masuk aja ke dalam ruangan editor. Ruangannya di sebelah kanan ya.”
Setalah berterima kasih dengan resepsionis itu, Vinia pergi keruangan yang di tunjuk wanita tadi. Dengan hati-hati ia mengetuk pintu.
”Silakan masuk.” Kata seorang pria dari dalam ruangan.
Kemudian Vinia masuk kedalam. Di dalam seorang pria paruh baya duduk di balik meja. Vinia merasa aneh dengan ruangan itu. Semua perabotannya terasa antik dan asing. Pria itu tertegun melihat Vinia. Ia perhatikan setiap inci dari kepala hingga kaki. Jelas saja itu membuat Vinia risih.
”Apa di wajahku ada sesuatu yang mengganggumu?” Tanyanya dengan nada ketus.
Pria itu kaget dengan pertanyaannya. Mungkin ia berpikir Vinia terlalu berani menanyakan itu.
”Silakan duduk. Aku tidak menduga kau akan berkata seperti itu. Biasanya orang akan bersikap ramah untuk menunjukkan kualitas dirinya.” Ia tersenyum.
”Maaf jika itu mengusikmu pak. Tapi aku tidak suka di perhatikan seperti itu.” Balas Vinia tegas.
Kemudian pria itu mengulurkan tangannya meminta naskah yang dibawanya. Lembaran demi lembaran kertas ia buka. Vinia menunggu dengan gelisah. Sesekali ia menggoyangkan kakinya. Takut menerima penolakan lagi.
”Ceritanya jelek. Pasaran. Dan kurang menarik menurutku.” Ujar pria itu.
Vinia bahkan tidak terkejut mendengar itu. Itu adalah perkataan yang biasa dia dengar dari yang sudah menolak naskahnya.
"Tapi, aku ingin kau menulis sebuah kalimat untukku. Mungkin aku bisa mempertimbangkan naskah milikmu. Bagaimana ?” Ia menimpali.
Vinia mengernyitkan alisnya. Sekelumit pertanyaan muncul dibenaknya. Ia merasa ragu dengan tawarannya. Semua penerbit yang sudah ia datangi tak pernah memintanya untuk menulis seperti itu. Setelah bergelut sekian detik dengan pikirannya. Vinia mengiyakan tawaran dari pria itu.
”Baiklah. Aku mau. Lalu apa yang harus aku tulis?” Tanyanya sembari mengambil pena dan kertas.
Pria itu tersenyum dan memberikan sebuah pena yang terbuat dari logam. Permukaan nya dihiasi ukiran aneh dan dilapisi emas. Saat Vinia menyentuhnya, ia merasa seperti mengenali pena itu. Seperti ada ikatan dalam antara dirinya dengan pena emas itu.
”Kau ingin aku menulis dengan pena ini?”
Pria itu mengangguk. ”Ya. Tulislah di kertas itu sang pemilik telah kembali, bukalah pintu untukku.” Perintah pria itu.
Vinia pun melakukannya. Ia tulis kembali kalimat yang diucapkan pria itu.
Sang pemilik telah kembali, bukalah pintu untukku.
Aneh. Setiap huruf berterbangan di udara. Perlahan dinding mulai menghilang. Mereka melayang di ruangan gelap. Sebuah lingkaran putih muncul dan menyedot mereka berdua masuk kedalamnya.
”Aku di mana?” Vinia membuka lebar matanya dan memperhatikan ke sekelilingnya. Ia berkali-kali mengucek matanya. Seakan tidak percaya dengan yang di lihatnya. Mereka mendarat di hutan yang gelap dan terlihat misterius. Suasananya sangat mencekam. Ia tidak pernah tahu bahwa sekarang dia berada di dimensi lain. Dunia yang dihuni oleh para abadi. ”Hei... Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau membawaku kemari? Aku ingin pulang. Bawa aku kembali.” Vinia menunjuk pria itu dengan kesal. Ia hampir saja memukul pria itu dengan tinjunya. Pria itu malah tersenyum. ”Selamat datang kembali nona Sena.” Ia membungkuk memberi penghormatan. Vinia semakin bingung. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Semua terlalu nyata untuk di pahami. Dengan sedikit marah ia memaki pria itu. ” Sena? Aku Vinia bukan Sena. Dasar penipu. Penculik." Vinia menarik kerah baju pria itu. " Cepat buka lagi lingkaran itu. Aku mau pulang." Suara kerasnya memecah keheningan d
Sementara itu jauh dari kerajaan Nirwana, sebuah Puri berdiri diatas gunung Naga. Itu adalah tempat pengasingan bagi dewa yang melakukan kesalahan fatal. Seorang pria terlihat sedang bermain dengan seekor Jinx hewan peliharaannya. Jinx salah satu hewan ajaib menyerupai harimau putih bersayap yang ukurannya setinggi pria itu. Dia adalah sang dewa perang Aslan Falan yang juga saudara dari sang kaisar Ryu Damian. Seorang dewa kecil tiba-tiba menghampirinya yang membuat ia menghentikan kegiatannya. ”Tuan, hamba mendengar kabar sedang ada keributan di istana awan.” Pria itu adalah Reyes dewa kecil yang menjaga gunung Naga. ”Istana awan? Aku tidak peduli apa yang terjadi disana. Aku sudah lama memutuskan hubungan dengan istana awan. Jangan melaporkan hal yang tidak penting padaku.” Balas Aslan sambil mengusap bulu halus hewan kesayangannya. Reyes tersenyum menanggapi perkataan Aslan. ”Aku yakin Tuan akan peduli dengan berita ini. Ku dengar si tua Heris kembal
Dahulu Ryu Damian dan Aslan Falan memiliki hubungan yang baik. Sebagaimana abang pada adiknya. Aslan selalu melindungi Ryu. Kemana pun Aslan akan pergi, Ryu selalu mengikutinya. Aslan selalu bersikap ramah dan hangat. Sedangkan Ryu sedingin es dan angkuh. Suatu hari, Kaisar kerajaan Nirwana Dewa Ares mengatakan akan mencari penerus tahta. Energinya selama ratusan ribu tahun mulai menipis. "Heris, aku sudah menghabiskan ratusan ribu tahun memimpin para dewa. Kini energiku mulai menyusut. Aku ingin bermeditasi memulihkan energiku." Ujar Kaisar Ares. "Tapi, yang mulia itu akan memakan waktu puluhan ribu tahun. Jika yang mulia bermeditasi, hamba khawatir para dewa yang lainnya akan leluasa menggunakan kekuatannya." Balas dewa Heris sembari membungkukkan badannya. "Aku akan mencari penerusku." Ungkap Kaisar Ares. "Tapi, Yang mulia.." Dewa Heris menyanggah perkataan Kaisar Ares. "Lihatlah ke atas langit. Kau lihat kilauan cahaya kilat itu? L
Ryu Damian meninggalkan Vinia di sana. Sorot matanya terpancar kesedihan yang tidak bisa digambarkan sesakit apa rasanya. Setiap melihat Vinia, kenangan indah saat bersama Sena dulu, selalu merasuki benaknya. Ryu masih mengingat setiap detil saat awal ia mulai mengejar Sena. Meskipun ia tahu, Aslan dan Sena saat itu sedang menjalin hubungan. *** "Jadi, ini alasan dia sering turun ke bumi? Sepertinya ia menyukai peri itu. Sangat tidak menarik. wanita hanya penghalang saja. Dewa terkuat seperti aku tidak butuh wanita." Ryu Damian mengintai dari balik pohon, melihat Aslan dan Sena sedang bercumbu mesra di tepi danau biru. Ryu tetap berada di sana untuk waktu yang lama. Entah mengapa rasa penasarannya seakan menahan Ryu untuk tetap memperhatikan mereka. Terkadang ia mencibir dan juga tertawa melihat pemandangan itu. Hingga, saat Sena melihat ke arah pohon tempat Ryu bersembunyi, Ryu tertegun melihat sorot mata coklat Sena. Bagi Ryu, itu seperti men
”Huh! Kaisar sombong. Seandainya kau bukan Kaisar, aku pasti sudah menghajarmu. Bajuku jadi basah semua.” Ia melirik bajunya yang masih melekat di badan. Kemudian Vinia keluar dari kolam air panas. Duduk di bawah pohon sakura yang tumbuh dekat kolam. ”Sial! Sekarang aku tidak punya satu pun pakaian. Aku bakal masuk angin jika kuyup begini. Di mana aku bisa mendapatkan baju yang baru? Aku tidak mengenal siapapun di sini.” Vinia terdiam sejenak memikirkan bagaimana ia mendapatkan pakaian yang kering dan hangat. Sesekali ia memeluk dirinya sendiri yang kedinginan ditiup angin. Lalu ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Sepenjang koridor itu terasa senyap tak ada siapapun. Ia bingung harus meminta tolong kepada siapa. Namun, Vinia menghentikan langkahnya pada saat ia melewati sebuah kamar dengan pintu besar berukiran burung Phoenix. Ia memandang ke kanan dan ke kiri. Mengamati situasi sekitar.
Dalam benak Vinia, ia harus menemukan Dewi Hara. Ia tidak mau sepanjang hari memakai pakaian yang lebih terlihat seperti gorden di tubuhnya. Ia berjalan menuju taman mencari sosok Dewi itu, akan tetapi di sana ada banyak Dewi dan dewa. Ia tidak tahu yang mana satu di antara mereka Dewi Hara. Pandangnya tertuju kepada sosok lelaki paruh baya yang tengah bermain catur bersama dewa yang lainnya. Ia menyeringai begitu mengetahui lelaki itu adalah Dewa Heris. Vinia berjalan perlahan mendekati Heris. Sepertinya ia berniat untuk menjahili Dewa itu. Beberapa pasang mata memperhatikan Vinia dengan tatapan yang takjub tak sedikit juga yang saling berbisik mencibir Vinia. Rupanya pakaian yang ia kenakan menarik perhatian mereka. Semua penghuni dunia itu tahu, baju itu milik sang Kaisar. Tentu saja, hanya Ryu Damian yang memakai pakaian dengan corak phoenix di punggungnya. ”Sepertinya ia habis tidur dengan Kaisar.” Bisik salah satu De
”Kau masih hidup?” Tanya Dewi itu kaget.Dulu ia dan Sena pernah berseteru karena sang Kaisar lebih memilih Sena dibandingkan dirinya. Ia masih mengingat jelas bagaimana Ryu memperlakukannya seperti kotoran. Sementara terhadap Sena ia selalu bersikap baik.”Tentu saja aku masih hidup. Maksudmu apa mengatakan itu?” Balas Vinia.Heris segera menarik Dewi Hara menjauh dari Vinia. Kemudian ia berbicara berbisik.”Dia bukan Sena. Hanya seseorang yang mirip saja.” Ujar Heris.Lalu Dewi Hara menyapu pandangannya ke arah Vinia. ”Tapi, itu nyaris sempurna. Seperti kembarannya saja.”Mereka berdua mengangguk dan serampak melirik Vinia. Kemudian Dewi Hara tersenyum saat berjalan mendekati Vinia.”Sepertinya aku salah mengenali orang. Maaf telah membuatmu tidak nyaman. Tapi pak
Ryu melirik dengan tatapan yang dingin dan sedikit senyum. Tidak terkejut dengan perkataan Vinia. Lalu ia membalas Vinia dengan datar. Seolah itu bukanlah hal yang penting. ”Sepetinya Hara memperlakukanmu dengan baik.” Sindir Ryu, ia mengalihkan pandangannya ke taman. ”Baik katamu? Cih! Harusnya aku tidak mempercayai kata-katamu. Huh!” Vinia mengangkat kepalanya, berjalan meninggalkan Ryu. Pakaian yang ia gunakan terlalu besar, saat Vinia hendak melangkah tanpa sengaja kakinya memijak pakaiannya sendiri yang membuatnya terjungkal ke depan. Malu. Sudah pasti. Ryu yang melihat itu tersenyum sinis. Lalu tiba-tiba berbicara kepada Heris. ”Heris, apakah kau pernah dengar cerita hewan yang ceroboh?” tanya Ryu datar. Heris segera mengiyakan pertanyaan Ryu. ”Ya, aku pernah dengar itu, yang mulia.” balas Heris. ”
”Merindukanku, huh?”Sosok itu adalah Kaisar Ryu. Ia tersenyum tipis menatap Vinia yang terkejut dengan kehadirannya. Vinia segera melepaskan rangkulan Kaisar Ryu sesaat setelah mereka menapaki lantai.Tymus tertawa lebar, tebakannya benar. Lalu ia berbicara lantang tanpa ada rasa hormat sedikit pun.”Ryu, aku tahu kau akan datang. Ternyata kau sangat mengkhawatirkan manusia ini,” kekeh Tymus.Kaisar Ryu menyahut Tymus dengan dingin, suaranya terdengar lembut namun setajam belati, ”kau punya urusan denganku, bukan dengannya. Sedikit saja kau melukai dia, aku akan mengurungmu kembali ke dalam kristal penangkap jiwa.””Kulihat, kau sudah berubah. Tidak sedingin dulu. Hanya tatapanmu saja yang masih sama. Memandang r
”Mengapa kau tidak mencegahnya?” tanya Ryu dengan penekanan nada yang sedikit keras. ”Maafkan keteledoran hamba, Yang Mulia. Saat hamba sedang bertarung dengan Tymus, rupanya dia tidak sendirian. Seseorang bersamanya yang membawa Vinia. Lalu ia berpesan, 'jika ingin mendapatkan gadis itu kembali, suruh si Brengsek Ryu yang menemui aku' begitulah yang dia katakan, Kaisar,” Heris menirukan perkataan Tymus, ia sempat ragu-ragu untuk mengatakan 'brengsek', namun kini ia puas. Walau itu adalah ucapan dari Tymus, Heris senang seakan itu adalah kata-katanya sendiri. Hal yang seharusnya ia katakan sedari dulu. Ryu mengernyitkan keningnya dan berpikir. Ia sangat penasaran mengapa Tymus harus membawa Vinia sedangkan Tymus sendiri tidak tahu menahu hubungan Ryu dan Vinia. ”Ada banyak orang yang lebih berarti untuk di s
Suasana hati Ryu sedang buruk. Bahkan saat para dayang-dayang yang memberinya hormat saat berpapasan di koridor, ia bentak sesuka hati. Ryu memang dingin, namun sikapnya hari ini sangat buruk. Para penghuni istana awan sangat memahami perubahan sikapnya itu. Sepertinya akan ada hujan badai. Seikat Edelweiss itu mampu membuat amarah Ryu meledak.Heris hendak ke pergi istana samudera, ke rumah para siren, bangsa duyung. Pertemuan untuk membahas perdamaian dengan istana awan. Dahulu sang pemimpin Siren, Tymus Dien dikurung Ryu dalam sebuah bola kristal penangkap jiwa. Kenakalan Ryu pada masa itu, membuat seluruh penghuni alam itu resah. Para Siren menuntut Ryu untuk membayar ganti rugi dan tentu saja, Heris yang bertanggung jawab.Heris bertemu dengan Ryu di koridor itu, namun saat Heris memberinya salam, Ryu mengacuhkannya seakan ia transparan. Heris merasa a
Vinia segera melepaskan rangkulan Dewa itu. Menampar wajahnya yang bak porselen itu. ”Kurang ajar. Beraninya kau menyentuhku.” Bentak Vinia geram. Lalu pria itu berlutut di depan Vinia melebarkan telapak tangannya, seikat bunga Edelweis kering muncul di genggamannya. Matanya memerah ketika mengingat kembali kenangan bunga itu, butiran bening menetes dari pelupuk matanya, jatuh membasahi Edelweis yang kering itu. Seketika kuntumnya kembali mekar dan segera seperti baru dipetik. ”Kau pernah memberikan bunga ini kepadaku ketika di lembah Bloom Forest. Di antara semua bunga, kau paling menyukai ini. Kau bilang ini melambangkan cinta yang abadi. Aromanya tak pernah pudar seperti cintaku padamu. Kendatipun kau tak mengenali aku, tetapi aku selalu mengenalimu.” Kilas balik ingatan Vinia berputar-putar di benaknya. Kadang ia melihat Padang bunga, sepasang kekasih yang berke
Ryu melirik dengan tatapan yang dingin dan sedikit senyum. Tidak terkejut dengan perkataan Vinia. Lalu ia membalas Vinia dengan datar. Seolah itu bukanlah hal yang penting. ”Sepetinya Hara memperlakukanmu dengan baik.” Sindir Ryu, ia mengalihkan pandangannya ke taman. ”Baik katamu? Cih! Harusnya aku tidak mempercayai kata-katamu. Huh!” Vinia mengangkat kepalanya, berjalan meninggalkan Ryu. Pakaian yang ia gunakan terlalu besar, saat Vinia hendak melangkah tanpa sengaja kakinya memijak pakaiannya sendiri yang membuatnya terjungkal ke depan. Malu. Sudah pasti. Ryu yang melihat itu tersenyum sinis. Lalu tiba-tiba berbicara kepada Heris. ”Heris, apakah kau pernah dengar cerita hewan yang ceroboh?” tanya Ryu datar. Heris segera mengiyakan pertanyaan Ryu. ”Ya, aku pernah dengar itu, yang mulia.” balas Heris. ”
”Kau masih hidup?” Tanya Dewi itu kaget.Dulu ia dan Sena pernah berseteru karena sang Kaisar lebih memilih Sena dibandingkan dirinya. Ia masih mengingat jelas bagaimana Ryu memperlakukannya seperti kotoran. Sementara terhadap Sena ia selalu bersikap baik.”Tentu saja aku masih hidup. Maksudmu apa mengatakan itu?” Balas Vinia.Heris segera menarik Dewi Hara menjauh dari Vinia. Kemudian ia berbicara berbisik.”Dia bukan Sena. Hanya seseorang yang mirip saja.” Ujar Heris.Lalu Dewi Hara menyapu pandangannya ke arah Vinia. ”Tapi, itu nyaris sempurna. Seperti kembarannya saja.”Mereka berdua mengangguk dan serampak melirik Vinia. Kemudian Dewi Hara tersenyum saat berjalan mendekati Vinia.”Sepertinya aku salah mengenali orang. Maaf telah membuatmu tidak nyaman. Tapi pak
Dalam benak Vinia, ia harus menemukan Dewi Hara. Ia tidak mau sepanjang hari memakai pakaian yang lebih terlihat seperti gorden di tubuhnya. Ia berjalan menuju taman mencari sosok Dewi itu, akan tetapi di sana ada banyak Dewi dan dewa. Ia tidak tahu yang mana satu di antara mereka Dewi Hara. Pandangnya tertuju kepada sosok lelaki paruh baya yang tengah bermain catur bersama dewa yang lainnya. Ia menyeringai begitu mengetahui lelaki itu adalah Dewa Heris. Vinia berjalan perlahan mendekati Heris. Sepertinya ia berniat untuk menjahili Dewa itu. Beberapa pasang mata memperhatikan Vinia dengan tatapan yang takjub tak sedikit juga yang saling berbisik mencibir Vinia. Rupanya pakaian yang ia kenakan menarik perhatian mereka. Semua penghuni dunia itu tahu, baju itu milik sang Kaisar. Tentu saja, hanya Ryu Damian yang memakai pakaian dengan corak phoenix di punggungnya. ”Sepertinya ia habis tidur dengan Kaisar.” Bisik salah satu De
”Huh! Kaisar sombong. Seandainya kau bukan Kaisar, aku pasti sudah menghajarmu. Bajuku jadi basah semua.” Ia melirik bajunya yang masih melekat di badan. Kemudian Vinia keluar dari kolam air panas. Duduk di bawah pohon sakura yang tumbuh dekat kolam. ”Sial! Sekarang aku tidak punya satu pun pakaian. Aku bakal masuk angin jika kuyup begini. Di mana aku bisa mendapatkan baju yang baru? Aku tidak mengenal siapapun di sini.” Vinia terdiam sejenak memikirkan bagaimana ia mendapatkan pakaian yang kering dan hangat. Sesekali ia memeluk dirinya sendiri yang kedinginan ditiup angin. Lalu ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Sepenjang koridor itu terasa senyap tak ada siapapun. Ia bingung harus meminta tolong kepada siapa. Namun, Vinia menghentikan langkahnya pada saat ia melewati sebuah kamar dengan pintu besar berukiran burung Phoenix. Ia memandang ke kanan dan ke kiri. Mengamati situasi sekitar.
Ryu Damian meninggalkan Vinia di sana. Sorot matanya terpancar kesedihan yang tidak bisa digambarkan sesakit apa rasanya. Setiap melihat Vinia, kenangan indah saat bersama Sena dulu, selalu merasuki benaknya. Ryu masih mengingat setiap detil saat awal ia mulai mengejar Sena. Meskipun ia tahu, Aslan dan Sena saat itu sedang menjalin hubungan. *** "Jadi, ini alasan dia sering turun ke bumi? Sepertinya ia menyukai peri itu. Sangat tidak menarik. wanita hanya penghalang saja. Dewa terkuat seperti aku tidak butuh wanita." Ryu Damian mengintai dari balik pohon, melihat Aslan dan Sena sedang bercumbu mesra di tepi danau biru. Ryu tetap berada di sana untuk waktu yang lama. Entah mengapa rasa penasarannya seakan menahan Ryu untuk tetap memperhatikan mereka. Terkadang ia mencibir dan juga tertawa melihat pemandangan itu. Hingga, saat Sena melihat ke arah pohon tempat Ryu bersembunyi, Ryu tertegun melihat sorot mata coklat Sena. Bagi Ryu, itu seperti men