"Maaf! Dia dipanggil Mr. Jusuf ke ruang TU," kata seseorang barusan.
"Baiklah! Tidak masalah!" saut Jay dalam hati merasa kesal.
Seseorang itu adalah satpam sekolahan, yang memang Nohan benci.
Nohan mendesis pelan, ia berusaha bangkit dengan susah payah. Jay dan tiga kawannya hanya menatapnya remeh, sementara itu satpam sekolahan membantu Nohan bangkit.
Nohan tanpa aba-aba menyingkirkan lengan satpam itu darinya, ia kemudian mengatakan sesuatu yang membuat empat perundungnya terdiam--tak paham apa yang dimaksud oleh Nohan.
"Jangan sok peduli padaku, Pak! Kau tidak jauh beda dari mereka!" tegas Nohan dan segera melengang pergi dengan satu tangan, yang memegangi perut.
Keempat perundung; Jay, Jio, Ren, dan Ray juga ikut pergi. Mereka memilih ke kantin sembari menunggu kembalinya Nohan dari ruang TU.
"Apa yang terjadi padamu, Nohan?" tanya Mr. Jusuf menatap Nohan tepat di wajahnya, "Siapa yang melakuka
Byurr...Tanpa Nohan duga dari arah belakang, Jay menyiramnya dengan seember air yang dicampur es batu. Nohan terkejut, dan hampir saja berteriak.Dingin rasanya benar-benar sangat dingin."Menyenangkan mandi air dinginnya, Ansos?" cerca Ray menatap remeh Nohan."Tentu saja menyenangkan!" saut Jio yang mendekat pada Nohan, dan tanpa perasaan ia menyiramkan sebotol soda berwarna cokelat tua ke atas kepala Nohan.Byurr..."Wah wah! Sangat menyenangkan ya," saut Jay menyeringai, kini ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.Nampaklah sebotol susu yang Nohan yakini itu susu basi--seperti biasanya.Byurr..."Selamat menikmati susu basi yang dicampur terasi, Nohan!" kata Jay menyeringai, diikuti tawa jahat oleh Jio dan Ray.Ren hanya diam memandangi tajam Nohan."Kau mau memberikan pukulanmu, Ren?" tanya Ray seolah menawarkan Nohan menjadi samsak untuk Ren. 
Nohan sudah masuk ke salah satu bilik toilet, tapi kemudian ia sadar belum membawa seragam gantinya. Nohan harap masih ada seragam yang tersisa di lokernya. Jangan sampai seperti tahun lalu, seragam Nohan sudah habis dipotong-potong bak kain perca. Yang entah siapa pelakunya. Tapi Nohan yakin itu pasti Jay dan kawan-kawannya. "Kau perlu seragamnya, Nak?" Sungguh Nohan benar-benar ingin berteriak di depan muka satpam ini, tetapi Nohan ingat. Bahwa semenyebalkan apapun orang tua harus tetap dihormati. Begitu kata ibunya. Nohan menghela napas, "Tidak, terima kasih!" sautnya dengan wajah datar. Berikutnya Nohan berjalan menuju lokernya, yang memang tak jauh dari toilet. Buru-buru Nohan membuka lokernya, dan ia segera bernapas lega saat seragamnya masih utuh, meski itu seragam olahraga. Ya setidaknya Nohan bisa berganti seragam tanpa perlu pulang ke rumah. "Mungkin kau perlu punya teman, Nak!" Nohan tak peduli, dan pura-pura tak mendengar. Ia memilih melangkah kembali ke toile
Di meja depan Ray yang satu kelompok dengan Jay, Ren, dan Jio sudah memasang kaca mata pelindung. Pun ketiga kawannya.Ray terlihat yang paling senang saat pelajaran Kimia dimulai, remaja itu senang membuat kekacauan di laboratorium. Sebetulnya bukan hanya Ray, tapi Jay, Jio, dan Ren juga.Bahkan satu kelas ini, kecuali Nohan tentunya.Mereka semua sengaja melakukan kekacauan di laboratorium, mengingat tiap pelajaran Kimia saat itulah jadwal piket Nohan. Mereka sengaja mengacaukan laboratorium, yang pada akhirnya membuat Nohan harus pulang terlambat lantaran membersihkan lab sendirian.Tentu saja sendirian, semua siswa yang satu jadwal piket dengannya telah diancam oleh Jay agar tak membantu Nohan, atau mereka juga akan jadi sasaran perundungan.Mereka memang jahat, mereka tidak jauh beda dari Jay dan kawan-kawannya.Monster-monster itu pasti akan beraksi mengacaukan laboratorium dengan sengaja. Batin Noha
Nohan menatap tajam Jio, yang menggebrak meja parktikumnya, membuat beberapa gelas tabung, dan pipet berbahan kaca jatuh ke lantai--yang tentunya kini berubah jadi kepingan tak berarti lagi.Pyarr...Jio tertawa jahat, diikuti tepukkan tangan oleh Jay, dan Ray. Sementara Ren hanya menatap datar ke arah sana."Bagus, Jio! Katakan padanya, bahwa jadwal piketnya hari ini! Dan tidak akan mudah untuk membereskannya," kata Jay tersenyuk menyeringai, bak monster kejam.Ray menyeringai tajam, menatap satu persatu meja di belakangnya."Jangan ada yang melapor pada guru, atau kalian akan jadi gantinya si ansos!" peringat Ray menatap tajam satu persatu meja di belakangnya.Semuanya kembali fokus pada pekerjaan masing-masing--melaksanakan praktikum yang disuruh Mr. Danes.Nohan mendesis kesal, tangannya terkepal makin kuat saja."Kau marah, Ansos?"Apa kau perlu menanyakannya? Batin No
Nohan menarik napasnya dalam, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa mungkin akan jauh lebih baik jika ia jujur, barang kali Mr. Adam mau percaya padanya. Meski dalam hati Nohan ragu akan hal itu."Bagaimana, Nohan?" tanya Mr. Adam menatap Nohan penuh tanya.Nohan sudah meyakinkan dirinya, bahwa ini terakhir kalinya ia mengatakannya, dan jika tak dipercayai. Maka selanjutnya Nohan tidak akan berharap apa-apa lagi."Jay, Jio, Ren, dan Ray yang membuatku begini! Wajahku begini juga karena mereka!" kata Nohan sembari memandangi ekspresi Mr. Adam yang terdiam cukup lama.Aku tahu Mr. Adam pasti tak percaya. Batin Nohan."Tapi, Nohan? Kau sungguh... "Lihat? Memang seharusnya kau tidak pernah berharap pada manusia, Nohan. Mereka hanya memberikan angan-angan saja, mereka hanya mempercayai apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka dengar melalui cerita.Andai saja Nohan merekamnya, tapi bagaimana
"Kenapa kau melakukannya, Rokan?" tanya Nohan menatap datar seseorang, yang tengah berusaha melepaskan tali dari lehernya. Suara jatuh itu ternyata suara kursi, yang ditendang oleh seseorang, yang amat Nohan kenali. Ia adalah Rokan si ketua kelas. Rokan tengah berusaha melepas ikatan di lehernya. Jadi sepertinya Rokan ingin melenyapkan dirinya sendiri, tapi tidak berani. Ya sepertinya begitu. "To-tolong a-aku!" suara Rokan terdengar tercekat, pelahan wajah yang matanya senantiasa terbingkai kaca mata itu mulai agak pucat. "Kau ingin mati, Rokan?" tanya Nohan datar mendongak, menatap Rokan. Gelengan diberikan Rokan dengan susah payah. "Kau sudah melakukannya, Rokan! Jadi tidak bisa menggagalkannya, minta tolong saja pada Jay!" kata Nohan datar. Tolong dia, Nohan. Batin Nohan bersuara. Sebetulnya aku tidak rela kau menolongnya, Nohan. Mengingat kelakuannya yang buruk sebagai ketua kelas. Tapi tolonglah dia, aku takut dia nanti malah akan menuduhmu menjadi penyebabnya membunuh d
"Kau terkejut? Sungguh? Hahah ... kau mengira pulangmu akan sedamai itu, Nohan? Haha mimpi yang indah," cerca seseorang barusan menatap Nohan remeh.Nohan mendesis kesal, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat."Apa maumu?" tanya Nohan memandang tajam seseorang di hadapannya.Nohan tidak tahu siapa nama seseorang di depannya, yang ia tahu seseorang di depannya saat ini adalah orang yang sama, saat di bus; si hoodie abu-abu."Kau tidak mau berkenalan denganku lebih dulu?" tanya seseorang itu menyeringai, Nohan diam saja tak berniat meladeninya."Baiklah aku akan memperkenalkan diriku sendiri, aku Dev!" seseorang itu memperkenalkan diri dengan memasang wajah menyeringai.Nohan hanya diam, ia menatap tajam seseorang yang katanya bernama Dev. Sungguh Nohan tak peduli akan namanya, ia bahkan tak berminat berkenalan dengannya."Kurasa aku perlu menyelesaikan masalah kita, Nohan!" katanya dengan nada taj
Nohan terdiam, ia menatap lama sungai yang arusnya makin deras itu. Ila benar-benar melompat, dan entahlah Nohan pikir itu pilihannya. Jadi bukan salah Nohan kalau ia tak mencegah Ila melompat.Ila yang memutuskan untuk memilih melompat, Ila yang memutuskan untuk pergi dari dunia ini, Ila yang memutuskan menghukum dirinya sendiri.Untuk apa mencegahnya? Percuma. Yang hancur bukan tubuhnya, tetapi jiwanya.Nohan menghela napas, kemudian ia mendongak menatap langit."Semoga saja Ila tidak tenggelam, dia hanya hanyut dan tersangkut di batang pohon, lalu ditemukan warga sekitar sungai!" kata Nohan berdoa pada Tuhan.Nohan tidak bisa mencegah keinginan Ila, karena pada dasarnya Nohan juga ingin pergi dari dunia ini. Hanya saja ia takut melakukannya, ia tak seberani Ila."Kau tidak pulang, Nak?"Nohan tertawa jengkel dalam hati mendengar suara itu. Suara yang pemiliknya adalah penyebab Ila melakukan
Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh
Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a
Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya
Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re
Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d
Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d
Nohan menoleh, dan matanya seketika memicing tajam melihat siapa, yang berdiri di sebelah ibunya. Berani-beraninya dia datang menjengukku. Batin Nohan merasa kesal luar biasa. "Nohan?" panggil ibunya dengan suara lembut.Nohan tak mengindahkan panggilan itu, tatapan tajamnya tak mau sekadar mengalih dari sosok lelaki, yang berdiri di sebelah ibunya dengan senyum hangat mengembang. Sungguh aku membencimu, kau telah membuat ayahku pergi. Karena ayahku pergi dari hidupku, karenamu ayahku hilang tak bisa ditemukan. Aku membencimu, karena kau merebut ibuku, aku membencimu karena kau menciptakan jarak antara Ayah dan ibuku. Kau penjahat. Batin Nohan dengan kedua tangan terkepal erat. "Aku tidak mau melihatnya! Aku membencinya!" sentak Nohan masih memandang lelaki paruhbaya, yang sudah lama ia benci. Nohan membenci lelaki itu, hingga tiap pulang ke rumah. Ia tidak pernah menganggapnya ada, bahkan dalam dunia yang ia buat sendiri. Ia menciptakan bahwa di rumah hanya ada ia dan ibunya, sem
Nohan sudah kembali tidur di brankarnya, setelah tadi perawat menyuntikan obat tidur, lantaran Nohan meraung-raung tak terkendali. "Maafkan aku, Nohan!" kata Ibu Nohan mengusap wajah putranya penuh sayang, "Maaf, maaf karena aku kau jadi begini, Nohan! Maafkan aku," lanjutnya sembari menggenggam tangan kanan Nohan. Ia menatap wajah putra satu-satunya itu, ia menatapnya lama. Sampai bayang-bayang lelaki di masa lalunya berkelebat--Ayah Nohan. Ibu Nohan makin menangis sesenggukkan, menyadari ia telah salah memisahkan mereka berdua; Nohan dan ayahnya. Aku bukan hanya gagal menjadi Ibu, tapi aku telah menjadi penjahat, aku begitu jahat telah memisahkan Nohan dengan Dama ayahnya. Aku bahkan telah menyakiti Dama begitu dalam, aku terlalu egois, hingga tanpa sadar menyakiti kalian berdua, memisahkan kalian berdua. Batin Ibu Nohan memandangi Nohan dengan air mata, yang membasahi wajahnya. Tangannya terulur kembali mengusap wajah damai Nohan, lalu tangisnya kembali mengeras ketika mengusap
Hari berikutnya Nohan sudah sadar, hanya saja ia tidak ingin mengatakan apapun. Lebih tepatnya diam membisu sejak mengingat bahwa ia membunuh seseorang, ya Nohan mengingatnya. Membuatnya merasa bersalah telah membunuh seseorang itu. "Nohan!"Panggilan dari Paman Khamdi tak membuat Nohan menoleh, ataupun sekadar menyauti lelaki paruhbaya, yang tak lain tak bukan adalah dokternya. Dokter yang berusaha membantunya sembuh dari skizofrenia, dan alter ego yang makin mengerikan dalam dirinya. Nohan ternyata selama ini telah kehilangan kemampuannya, ia kehilangan kemampuannya untuk membedakan mana halusinasi mana kenyataan. Ya Nohan tidak menyadari itu. "Ada yang ingin menemuimu, Nohan!" kata Paman Khamdi yang sama sekali tak digubris oleh Nohan.Remaja lelaki itu hanya diam, tatapannya kosong memandang ke arah jendela rumah sakit yang menyita seluruh perhatiannya. "Permisi! Apa aku boleh masuk?" izin seseorang, yang barusan dibicarakan Paman Khamdi. Paman Khamdi mengangguk, pada perempu