"Kau terkejut? Sungguh? Hahah ... kau mengira pulangmu akan sedamai itu, Nohan? Haha mimpi yang indah," cerca seseorang barusan menatap Nohan remeh.
Nohan mendesis kesal, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Apa maumu?" tanya Nohan memandang tajam seseorang di hadapannya.
Nohan tidak tahu siapa nama seseorang di depannya, yang ia tahu seseorang di depannya saat ini adalah orang yang sama, saat di bus; si hoodie abu-abu.
"Kau tidak mau berkenalan denganku lebih dulu?" tanya seseorang itu menyeringai, Nohan diam saja tak berniat meladeninya.
"Baiklah aku akan memperkenalkan diriku sendiri, aku Dev!" seseorang itu memperkenalkan diri dengan memasang wajah menyeringai.
Nohan hanya diam, ia menatap tajam seseorang yang katanya bernama Dev. Sungguh Nohan tak peduli akan namanya, ia bahkan tak berminat berkenalan dengannya.
"Kurasa aku perlu menyelesaikan masalah kita, Nohan!" katanya dengan nada taj
Nohan terdiam, ia menatap lama sungai yang arusnya makin deras itu. Ila benar-benar melompat, dan entahlah Nohan pikir itu pilihannya. Jadi bukan salah Nohan kalau ia tak mencegah Ila melompat.Ila yang memutuskan untuk memilih melompat, Ila yang memutuskan untuk pergi dari dunia ini, Ila yang memutuskan menghukum dirinya sendiri.Untuk apa mencegahnya? Percuma. Yang hancur bukan tubuhnya, tetapi jiwanya.Nohan menghela napas, kemudian ia mendongak menatap langit."Semoga saja Ila tidak tenggelam, dia hanya hanyut dan tersangkut di batang pohon, lalu ditemukan warga sekitar sungai!" kata Nohan berdoa pada Tuhan.Nohan tidak bisa mencegah keinginan Ila, karena pada dasarnya Nohan juga ingin pergi dari dunia ini. Hanya saja ia takut melakukannya, ia tak seberani Ila."Kau tidak pulang, Nak?"Nohan tertawa jengkel dalam hati mendengar suara itu. Suara yang pemiliknya adalah penyebab Ila melakukan
"Kau! Dasar berandal kecil!" kesal si lelaki itu, ia menatap nyalang Nohan.Nohan bangkit dari duduknya, ia sudah berdiri menatap sama nyalangnya dengan musuh di depannya.Kau harus melepaskan ketakutanmu, Nohan. Buang semuanya. Otak Nohan bersuara cukup lantang, membuat kepala Nohan agak pening.Tanpa menunggu lama, ketika si celana jeans biru mendekat. Nohan menyergapnya, membuat lelaki itu jatuh terlentang. Nohan menindih lelaki itu, ia menusukkkan pisau lipat digenggamannya tepat di mana jantung lelaki itu berada, di dada kirinya.Tsaah...Darah segar mengucur dari dada lelaki itu, dan teriakannya menggema di telinga Nohan.Pisau lipat itu tertusuk di sana cukup lama, sampai Nohan tersadar ketika teriakan musuh di hadapannya perlahan menghilang digantikan suara hujan, yang makin menderas.Nohan bangkit dari posisinya, ia menatap kedua tangannya yang gemetaran--darah merah segar menempel di kedua
Nohan makin terdiam. Bagaimana orang ini tahu namanya? Nohan tahu ia tak seterkenal itu, kecuali dikenal sebagai pecundang, ansos, dan si lemah. "Kau siapa?" tanya Nohan datar, ia sudah kepalang lelah malam ini. Ditambah hujan turun makin deras saja, membuat suhu tubuh Nohan makin menurun.Seseorang itu melepas penutup wajah dan topi fedora, yang melekat padanya. Nohan bisa melihat wajahnya, juga rambutnya berwarna hitam pekat. Seseorang yang ternyata lelaki itu tersenyum menatap Nohan. Nohan hanya diam, ia merasa tak mengenal orang di hadapannya ini. Tapi entah mengapa orang ini, seperti mengenal dirinya saja. "Apa aku mengenalmu, Pak?" tanya Nohan kini berusaha sopan. Seseorang itu hanya mengulurkan tangannya--mengajak Nohan berjabat tangan atau mungkin lebih tepatnya berkenalan. "Panggil aku Paman Khamdi!" katanya tersenyum sumringah. Dan tepat setelahnya, suara petir menyambar begitu keras. Ctarrr...Detik itu juga Nohan terjatuh, ia kehilangan kesadarannya. "Maafkan a
Beberapa menit berlalu, Nohan terbangun dengan perasaan pusing luar biasa. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, memegangi kepalanya, dan menatap bingung sekeliling yang terasa amat asing baginya.Dimana ini? Apa ini rupa neraka?Ya Nohan telah membunuh orang, Tuhan pasti akan memasukkannya ke neraka. Tapi mengapa tidak panas? Bahkan neraka ini lebih mirip rumah besar bergaya klasik.Nohan bangkit dari posisi duduknya, ia berjalan mendekat ke arah lukisan di tembok, yang tak jauh dari situ.Lukisan atau foto? Entahlah Nohan tak tahu, itu sekilas terlihat seperti foto, tapi juga seperti lukisan yang menggunakan cat akrilik."Kau perlu sesuatu?"Nohan berjingkit kaget saat melihat sosok lelaki baya, dengan jubah hitam besar yang tersenyum menatapnya."Apa aku sedang bermimpi?" tanya Nohan sembari menepuk wajahnya, guna menyadarkannya dari mimpi. Ya jika ini memang mimpi.Lelaki baya
Malam sudah makin larut, Nohan masih berdiam diri di luar. Lebih tepatnya ia berdiri di balkon kamar, yang saat ini katanya miliknya."Apa sungguh hidupku akan berubah?" monolog Nohan menatap langit yang gelap, tak ada satupun bintang di sana. Meski hujan sudah reda beberapa saat yang lalu."Nohan! Maaf aku menganggumu, tapi kau mau bercerita padaku?" suara Paman Khamdi terdengar dari seberang.Jadi kamar Nohan bersebelahan dengan kamar Paman Khamdi, kebetulan yang bagus balkon mereka jadi satu.Nohan hanya diam, sampai Paman Khamdi kini berdiri di sebelahnya."Aku tahu harimu berat, Nohan! Tapi ceritalah padaku, siapa tahu dengan bercerita beratnya sedikit meringan!" kata Paman Khamdi dengan tatapan jauh menerawang entah kemana.Nohan menghela napas, ia kehilangan percaya diri tiap kali hendak bercerita pada orang lain.Ia takut tidak dipercayai lagi, mengingat ibunya juga tak mau percaya pad
"Masuk, Ansos! Jangan membuat bus ini jadi terlambat hanya karena kebodohanmu!" tegas seseorang barusan, yang tak lain adalah Jay.Ya Jay, Nohan merasa ia bermimpi melihat Jay naik bus ke sekolah.Sejak kapan monster berjubah manusia ini mau naik bus? Sejak kapan? Tolong pukul kepala Nohan jika sekarang adalah mimpi.Nohan benar-benar memukul kepalanya sendiri.Plakkk...Jay yang duduk tak jauh dari pandangan Nohan tertawa jahat."Mendadak kau ingin membenarkan posisi otakmu atau bagaimana, Ansos?" cercanya memandang remeh Nohan.Nohan mendesis marah, tangannya seketika terkepal begitu saja. Mendadak ia teringat semua hal yang terjadi kemarin, semua hal mengerikan termasuk ia yang telah membunuh seorang pemabuk muda."Masuk! Apa kau tidak dengar, Ansos!" kali ini suara Ren terdengar, dan Nohan makin terkejut.Ternyata bukan hanya Jay, tetapi ketiga kawannya juga ada di sini. Ray,
Nohan hanya berjalan menunduk, ketika empat monster di depannya berjalan dengan penuh percaya diri. "Nohan!"Nohan berhenti melangkah ketika namanya dipanggil, Jay dan kawan-kawannya sudah berjalan jauh jadi tak mendengar panggilan itu. Nohan menghadap ke arah orang yang memanggilnya, ternyata Mr. Abri sang guru mata pelajaran Biologi. "Ada yang bisa kubantu, Mr. Abri?" tanya Nohan sopan. Mr. Abri terlihat kesusahan membawa dua kotak besar, yang entah isinya apa. Tanpa menunggu jawaban Mr. Abri, Nohan segera mendekat dan mengangkat salah satu kotak yang dibawa Mr. Abri. "Ya aku ingin memintamu untuk membantuku membawa ini, Nohan!" timpal Mr. Abri tersenyum hangat, sebelum ia melihat wajah Nohan yang lebam. "Nohan!" panggil Mr. Abri menatap Nohan terkejut, bahkan hampir menjatuhkan kotak di tangannya, "Wajahmu, bagaimana itu bisa terjadi, Nohan?" tanya Mr. Abri menatap khawatir Nohan. Nohan terdiam, ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Sebab Nohan tahu, dan ia yakin Mr.
Nohan berjalan dengan perasaan senang, dan tak perlu waktu lama ia sudah sampai di depan toilet siswa. "Akhirnya aku bisa bebas untuk sementara waktu," monolog Nohan dengan perasaan gembira. Ya sebelum sosok dengan hoodie abu-abu menghadangnya, menatapnya penuh kebencian. Dev, ya bukan lagi Jay dan gerombolannya. Tapi Dev, yang entah mengapa begitu membenci Nohan. Padahal Nohan tidak pernah mengobrol, ataupun membuat masalah dengannya, jangankan mengobrol Nohan bahkan tidak pernah satu kelas dengan Dev. Tapi semesta seolah selalu membuat Nohan jadi penjahatnya, seolah menciptakan kebencian-kebencian di hati orang pada Nohan, entahlah. Nohan benar-benar membenci hidupnya. "Apa kau sengaja melakukannya, Nohan? Kau sengaja?" tanya Dev dengan nada meninggi. Nohan terdiam, wajahnya bingung bukan kepalang. Apa? Apa yang dilakukan Nohan memangnya? "Hahaha... aku tidak tahu kalau kau sejahat itu, tapi ternyata keputusanku untuk memukulmu kemarin itu tidak salah! Kau memang sejahat it
Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh
Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a
Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya
Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re
Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d
Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d
Nohan menoleh, dan matanya seketika memicing tajam melihat siapa, yang berdiri di sebelah ibunya. Berani-beraninya dia datang menjengukku. Batin Nohan merasa kesal luar biasa. "Nohan?" panggil ibunya dengan suara lembut.Nohan tak mengindahkan panggilan itu, tatapan tajamnya tak mau sekadar mengalih dari sosok lelaki, yang berdiri di sebelah ibunya dengan senyum hangat mengembang. Sungguh aku membencimu, kau telah membuat ayahku pergi. Karena ayahku pergi dari hidupku, karenamu ayahku hilang tak bisa ditemukan. Aku membencimu, karena kau merebut ibuku, aku membencimu karena kau menciptakan jarak antara Ayah dan ibuku. Kau penjahat. Batin Nohan dengan kedua tangan terkepal erat. "Aku tidak mau melihatnya! Aku membencinya!" sentak Nohan masih memandang lelaki paruhbaya, yang sudah lama ia benci. Nohan membenci lelaki itu, hingga tiap pulang ke rumah. Ia tidak pernah menganggapnya ada, bahkan dalam dunia yang ia buat sendiri. Ia menciptakan bahwa di rumah hanya ada ia dan ibunya, sem
Nohan sudah kembali tidur di brankarnya, setelah tadi perawat menyuntikan obat tidur, lantaran Nohan meraung-raung tak terkendali. "Maafkan aku, Nohan!" kata Ibu Nohan mengusap wajah putranya penuh sayang, "Maaf, maaf karena aku kau jadi begini, Nohan! Maafkan aku," lanjutnya sembari menggenggam tangan kanan Nohan. Ia menatap wajah putra satu-satunya itu, ia menatapnya lama. Sampai bayang-bayang lelaki di masa lalunya berkelebat--Ayah Nohan. Ibu Nohan makin menangis sesenggukkan, menyadari ia telah salah memisahkan mereka berdua; Nohan dan ayahnya. Aku bukan hanya gagal menjadi Ibu, tapi aku telah menjadi penjahat, aku begitu jahat telah memisahkan Nohan dengan Dama ayahnya. Aku bahkan telah menyakiti Dama begitu dalam, aku terlalu egois, hingga tanpa sadar menyakiti kalian berdua, memisahkan kalian berdua. Batin Ibu Nohan memandangi Nohan dengan air mata, yang membasahi wajahnya. Tangannya terulur kembali mengusap wajah damai Nohan, lalu tangisnya kembali mengeras ketika mengusap
Hari berikutnya Nohan sudah sadar, hanya saja ia tidak ingin mengatakan apapun. Lebih tepatnya diam membisu sejak mengingat bahwa ia membunuh seseorang, ya Nohan mengingatnya. Membuatnya merasa bersalah telah membunuh seseorang itu. "Nohan!"Panggilan dari Paman Khamdi tak membuat Nohan menoleh, ataupun sekadar menyauti lelaki paruhbaya, yang tak lain tak bukan adalah dokternya. Dokter yang berusaha membantunya sembuh dari skizofrenia, dan alter ego yang makin mengerikan dalam dirinya. Nohan ternyata selama ini telah kehilangan kemampuannya, ia kehilangan kemampuannya untuk membedakan mana halusinasi mana kenyataan. Ya Nohan tidak menyadari itu. "Ada yang ingin menemuimu, Nohan!" kata Paman Khamdi yang sama sekali tak digubris oleh Nohan.Remaja lelaki itu hanya diam, tatapannya kosong memandang ke arah jendela rumah sakit yang menyita seluruh perhatiannya. "Permisi! Apa aku boleh masuk?" izin seseorang, yang barusan dibicarakan Paman Khamdi. Paman Khamdi mengangguk, pada perempu