Nohan berjalan dengan perasaan senang, dan tak perlu waktu lama ia sudah sampai di depan toilet siswa. "Akhirnya aku bisa bebas untuk sementara waktu," monolog Nohan dengan perasaan gembira. Ya sebelum sosok dengan hoodie abu-abu menghadangnya, menatapnya penuh kebencian. Dev, ya bukan lagi Jay dan gerombolannya. Tapi Dev, yang entah mengapa begitu membenci Nohan. Padahal Nohan tidak pernah mengobrol, ataupun membuat masalah dengannya, jangankan mengobrol Nohan bahkan tidak pernah satu kelas dengan Dev. Tapi semesta seolah selalu membuat Nohan jadi penjahatnya, seolah menciptakan kebencian-kebencian di hati orang pada Nohan, entahlah. Nohan benar-benar membenci hidupnya. "Apa kau sengaja melakukannya, Nohan? Kau sengaja?" tanya Dev dengan nada meninggi. Nohan terdiam, wajahnya bingung bukan kepalang. Apa? Apa yang dilakukan Nohan memangnya? "Hahaha... aku tidak tahu kalau kau sejahat itu, tapi ternyata keputusanku untuk memukulmu kemarin itu tidak salah! Kau memang sejahat it
Nohan sudah hendak membersihkan toilet siswa, saat tiba-tiba namanya dipanggil dari arah pintu oleh seseorang. "Nohan!"Nohan menoleh, dan melihat Mr. Henry berdiri di sana menatapnya. "Ada yang bisa kubantu, Mr. Henry?" tanya Nohan bergegas mendekat pada Mr. Henry. Mr. Henry menggeleng sebagai jawaban, "Tidak ada, Nohan! Hanya saja kau dipanggil ke ruang BK oleh Mr. Adam!" jelas Mr. Henry dengan wajah seriusnya. Apa ini perihal polisi? Apa ini yang menyebabkan Dev mengamuk padanya? Ya sepertinya begitu. Nohan menganggukkan kepalanya, "Baiklah aku akan segera kesana, Mr. Henry!" saut Nohan sopan. Mr. Henry juga mengangguk, dan hendak melangkah pergi. Tetapi entah mengapa mendadak berhenti kembali, dan menoleh pada Nohan. "Bertahanlah, Nohan!" kata Mr. Henry tersenyum seolah menyemangati Nohan. Nohan ikut tersenyum meski itu tipis. Setelahnya Mr. Henry benar-benar melengang pergi meninggalkan Nohan. "Apa aku harus kesana? Apa ini pilihan yang tepat?" tanya Nohan pada dirinya
Hari berikutnya, saat Nohan hendak berangkat ke sekolah. Saat itu juga Paman Khamdi mengatakan sesuatu, yang membuatnya terdiam cukup lama."Aku tahu sesuatu telah membuatmu jadi begini, Nohan! Jika kau ingin menyerah, nanti setelah pulang sekolah katakan saja padaku!" kata Paman Khamdi tersenyum ramah. Nohan menganggukkan kepalanya, "Terima kasih, Paman Khamdi!" saut Nohan tersenyum. "Pergilah! Dan hati-hati di jalan, jangan lupa untuk belajar dengan rajin!" kata Paman Khamdi saat Nohan mencium punggung tangannya, tanda ia berpamitan hendak berangkat ke sekolah. Nohan menengok ke sana kemari, tetapi kemudian ia berhenti kala suara Paman Khamdi menginterupsinya. "Mr. Dharma sedang sakit, Nohan! Jadi pergilah, nanti aku akan menyampaikan salammu padanya!" kata Paman Khamdi tersenyum hangat. Nohan mengangguk patuh, "Baiklah, Paman! Kalau begitu aku pergi, selamat pagi!" pamit Nohan yang segera berlari keluar pekarangan rumah. "Selamat pagi! Hati-hati!" balas Paman Khamdi sembari b
Nohan mendesis marah, tangannya terkepal makin kuat. "Kau marah?" ejek Jay memandang Nohan remeh. "Hanya marah saja tapi tidak bisa melawan kami, sungguh percuma!" ejek Ray yang masih berdiri di depan Nohan. Nohan memandangi Ray dengan perasaan jengkel luar biasa, ia menatapnya tajam. Dan tanpa pernah ada yang menduganya, detik itu juga Nohan mendorong Ray hingga terjatuh begitu saja. Nohan bahkan langsung memukul Ray yang dalam posisi telentang, ia memukulnya secara membabi buta. Bugh...Aku membencimu. Bugh...Ini balasan untuk orang tidak waras sepertimu. Bugh...Aku membencimu hingga ke urat nadiku. Bughh..."HEI ANSOS!" teriak Jay menggelegar, ia berusaha menarik Nohan agar berhenti memukul Ray. Tetapi Nohan sudah kehilangan ketakutannya, keberaniannya kembali meluap membuatnya tak takut apapun risikonya. Bugh...Mati saja kau. Bughh...Aku membencimu melebihi apapun di dunia ini. Bugh...Jio dan Ren yang melihat situasi makin tak terkendali mendekat. Ray sudah tak
"Kemana anak itu ya, Tuhan?" monolog Mr. Adam bertanya-tanya.Nohan, Dev, dan Edy sudah berada di dalam gudang sekolah. Ketiganya berusaha mengendalikan deru napas masing-masing, jangan sampai terdengar keras. Mereka masih bernapas tergesa-gesa lantaran baru saja saling memukul. Edy melongok ke jendela, dan menatap Dev mengatakan bahwa Mr. Adam baru saja pergi. Kini ketiga anak manusia itu sudah berdiri saling berhadapan, saling menatap sengit bak musuh bebuyutan. "Kita selesaikan kali ini!" tegas Dev yang diangguki oleh Edy. Nohan hanya menyeringai mendengarnya. Kalian berdualah yang akan selesai. Batin Nohan penuh dendam. "Kau! Dasar pecundang!" ejek Dev dan mulai melancarkan pukulan ke arah Nohan, yang sayangnya meleset. Bugh...Nohan balas memukul Dev, dan tepat mengenai pangkal hidungnya membuat Dev meringis menahan sakit. Dev mundur sementara, kemudian Edy maju menyerang Nohan. Bugh...Belum sempat melayangkan pukulan, Nohan sudah menonjoknya terlebih dahulu. Dan kali i
Hari berikutnya saat Nohan hendak berangkat sekolah, Paman Khamdi mengajaknya duduk sebentar di teras rumah. "Duduklah, Nohan! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu setelah aku mendengar ceritamu semalam," kata Paman Khamdi tersenyum hangat seperti biasanya. Nohan tersenyum, dan menganggukkan kepala. Buru-buru ia duduk di sebelah Paman Khamdi--di kursi anyaman rotan. "Ada apa, Paman?" tanya Nohan yang sudah duduk bersebelahan dengan Paman Khamdi. Paman Khamdi menarik napasnya dalam, lalu tersenyum menatap Nohan. "Nohan! Kau telah berhasil melenyapkan mereka berdua, maka kau juga harus melenyapkan empat berikutnya!" kata Paman Khamdi serius, "Kau harus bisa melenyapkan mereka dalam waktu tiga puluh hari, atau jika kau mampu melakukannya jauh lebih cepat, itu jauh lebih baik, Nak!" lanjutnya menepuk bahu Nohan. Nohan terdiam cukup lama."Tapi kenapa?" tanya Nohan penasaran. Ia merasa kenapa harus? Kenapa harus melenyapkan mereka? Kenapa harus melenyapkan Jay, Jio, Ray, dan Ray? Ken
Nohan pada akhirnya mau tak mau harus menceritakannya pada Mr. Adam. "Aku mengalami perundungan, Mr. Adam," cerita Nohan membuat Mr. Adam terkejut, memandangi Nohan tak percaya. Tetapi ia memilih diam, dan membiarkan Nohan melanjutkan ceritanya. Nohan menarik napasnya dalam, "Mereka berempat adalah pelakunya, mereka menghancurkan hidupku, mimpiku, segala hal yang kupunya! Aku membenci mereka, Mr. Adam! Mereka sering memukulku, menyiramku dengan sesuatu yang menjijikkan, bahkan jika bisa mungkin mereka akan membunuhku," cerita Nohan dengan wajah serius, "Aku sungguh ingin melawan mereka, tapi selalu saja keberanianku menghilang, aku tidak tahu dia kemana. Dan pada akhirnya aku menjadi manusia yang lemah.""Aku tidak bisa melawan mereka, Mr. Adam. Selama bertahun-tahun, hingga akhirnya kemarin aku bisa melakukannya, aku melawan Ray, membuatnya jatuh ke lantai dan kupukul dia. Lalu karena Jio memukulku dari belakang, aku kehilangan fokus. Ren dan Jay akhirnya membawa Ray ke UKS, dan s
Nohan terkesiap melihat siapa yang berdiri di hadapannya--yang baru saja memanggilnya. "A-Ayah?" Seseorang itu tersenyum lebar, dan merentangkan tangannya meminta dipeluk. Nohan terdiam cukup lama, wajahnya basah air mata. "Nohan! Ayah di sini," seseorang itu bersuara lagi, tersenyum lebar dan makin lebar merentangkan tangan. Sungguh ini ayahnya? Sungguh, Tuhan? Ternyata benar, ternyata benar bahwa Nohan memang sangat mirip dengan ayahnya. Wajahnya sangat mirip, seperti duplikat yang sengaja diciptakan Tuhan. "Ayah?" Seseorang itu mengangguk, sampai ketika Nohan berjalan mendekat--hendak memeluknya. Saat itu semuanya hilang, seseorang itu dan senyumannya, rentangan tangannya, dan suaranya--semuanya hilang dalam seketika. Nohan terdiam, jadi Nohan berhalusinasi? Jadi ayahnya tidak sungguhan datang barusan? Kenapa, Tuhan? Kenapa barusan tidak sungguhan terjadi? Nohan kembali jatuh terduduk, ia menatap kosong sekeliling, dengan kedua tangan memegang erat buku bersampul hitam, y
Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh
Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a
Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya
Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re
Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d
Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d
Nohan menoleh, dan matanya seketika memicing tajam melihat siapa, yang berdiri di sebelah ibunya. Berani-beraninya dia datang menjengukku. Batin Nohan merasa kesal luar biasa. "Nohan?" panggil ibunya dengan suara lembut.Nohan tak mengindahkan panggilan itu, tatapan tajamnya tak mau sekadar mengalih dari sosok lelaki, yang berdiri di sebelah ibunya dengan senyum hangat mengembang. Sungguh aku membencimu, kau telah membuat ayahku pergi. Karena ayahku pergi dari hidupku, karenamu ayahku hilang tak bisa ditemukan. Aku membencimu, karena kau merebut ibuku, aku membencimu karena kau menciptakan jarak antara Ayah dan ibuku. Kau penjahat. Batin Nohan dengan kedua tangan terkepal erat. "Aku tidak mau melihatnya! Aku membencinya!" sentak Nohan masih memandang lelaki paruhbaya, yang sudah lama ia benci. Nohan membenci lelaki itu, hingga tiap pulang ke rumah. Ia tidak pernah menganggapnya ada, bahkan dalam dunia yang ia buat sendiri. Ia menciptakan bahwa di rumah hanya ada ia dan ibunya, sem
Nohan sudah kembali tidur di brankarnya, setelah tadi perawat menyuntikan obat tidur, lantaran Nohan meraung-raung tak terkendali. "Maafkan aku, Nohan!" kata Ibu Nohan mengusap wajah putranya penuh sayang, "Maaf, maaf karena aku kau jadi begini, Nohan! Maafkan aku," lanjutnya sembari menggenggam tangan kanan Nohan. Ia menatap wajah putra satu-satunya itu, ia menatapnya lama. Sampai bayang-bayang lelaki di masa lalunya berkelebat--Ayah Nohan. Ibu Nohan makin menangis sesenggukkan, menyadari ia telah salah memisahkan mereka berdua; Nohan dan ayahnya. Aku bukan hanya gagal menjadi Ibu, tapi aku telah menjadi penjahat, aku begitu jahat telah memisahkan Nohan dengan Dama ayahnya. Aku bahkan telah menyakiti Dama begitu dalam, aku terlalu egois, hingga tanpa sadar menyakiti kalian berdua, memisahkan kalian berdua. Batin Ibu Nohan memandangi Nohan dengan air mata, yang membasahi wajahnya. Tangannya terulur kembali mengusap wajah damai Nohan, lalu tangisnya kembali mengeras ketika mengusap
Hari berikutnya Nohan sudah sadar, hanya saja ia tidak ingin mengatakan apapun. Lebih tepatnya diam membisu sejak mengingat bahwa ia membunuh seseorang, ya Nohan mengingatnya. Membuatnya merasa bersalah telah membunuh seseorang itu. "Nohan!"Panggilan dari Paman Khamdi tak membuat Nohan menoleh, ataupun sekadar menyauti lelaki paruhbaya, yang tak lain tak bukan adalah dokternya. Dokter yang berusaha membantunya sembuh dari skizofrenia, dan alter ego yang makin mengerikan dalam dirinya. Nohan ternyata selama ini telah kehilangan kemampuannya, ia kehilangan kemampuannya untuk membedakan mana halusinasi mana kenyataan. Ya Nohan tidak menyadari itu. "Ada yang ingin menemuimu, Nohan!" kata Paman Khamdi yang sama sekali tak digubris oleh Nohan.Remaja lelaki itu hanya diam, tatapannya kosong memandang ke arah jendela rumah sakit yang menyita seluruh perhatiannya. "Permisi! Apa aku boleh masuk?" izin seseorang, yang barusan dibicarakan Paman Khamdi. Paman Khamdi mengangguk, pada perempu