Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya.
Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu.
"Dia ..."
Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan.
"Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan, 'Dia pelacurku, Mom. Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom. Apalagi dia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu.
"Dia pacarku, Mom."
Hana membulatkan matanya.
Bukan, itu tadi bukan suara Jonathan. Itu suara … Billy!
Pria itu tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa senyuman sumringahnya. Hana tersentak kaget saat Billy tiba-tiba berdiri di sampingnya dan menarik pinggangnya posesif.
Sementara itu di sampingnya, Jonathan tampak menghela napas lega. Sang adik menyelamatkannya. Tapi pada detik berikutnya raut Jonathan menjadi gelap saat melirik tangan mesum Billy yang sudah bertengger pada pinggang Hana. Oke, Jonathan akan membiarkannya kali ini saja.
"Dia pacarku, Mom," sahut Billy sekali lagi. Wanita paruh baya itu tampak masih belum percaya. Ia menatap ketiga manusia di hadapannya itu dengan curiga.
"Oh, ayolah nyonya Vanesha Rutter. Hentikan kecurigaanmu terhadap wanitaku ini. Mommy bisa lihat sendiri. Wajah Jonathan terlalu tua untuk wanita secantik dan seimut ini. Hanya aku yang cocok. Bukan begitu, Honey?" Billy menyenggol Hana dengan sengaja lalu melirik Jonathan sembari terkekeh.
Mata tajam Vanesha mulai memindai
tubuh Hana dari atas hingga bawah. Terlihat sangat jelas sekali dari wajah Vanesha ketidak sukaannya akan sosok Hana."Mommy lebih menyukai wanita-wanita jalangmu yang sebelumnya. Apa seleramu sudah berubah?" tanya Vanesha.
Billy memutar kedua mata jengah, "Aku menyukai wanita sederhana ini, Mom. Dia membuatku gila hingga tidak bisa bernapas di setiap detiknya."
Hoekk! Jonathan menatap Billy jijik. Dasar lebay! batin Jonathan jengkel.
"Segera atur pertemuan keluarga. Kita akan membicarakan perihal hubungan kalian. Sepertinya kamu sangat serius dengannya," gumam Vanesha kemudian.
"Siap, Mom. Bila perlu bulan depan kita adakan pertemuan keluarga. Aku sudah tidak sabar akan hari itu."
Jonathan melotot, wajahnya sudah merah, penuh peringatan kepada Billy. Melihat wajah sang kakak, semakin gencar-lah Billy untuk menggodanya. Ia tersenyum mengejek, "Ah, aku sudah tidak sabar. Membayangkan kami sedang menikah saja sudah membuatku bahagia luar biasa. Uhg, malam pertama kami pasti akan sangat panas." Billy menggerakkan pinggangnya maju-mundur sembari melakukan gerakan menampar bokong di udara.
"Kamu belum pernah ditampar?!" akhirnya Jonathan mengeluarkan apa yang ingin dikatakannya sejak tadi. Kepalanya hampir meledak melihat tingkah Billy. "Aku akan membunuhmu jika sampai kamu menyentuhnya," tegas Jonathan.
Vanesha mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa kamu harus marah, Jonathan? Billy berhak melakukan apapun pada kekasihnya." Vanesha menatap curiga pada Jonathan dan Hana. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan. Ia bisa melihat semburat emosi yang terpancar dari wajah putra sulungnya itu.
"Yup! Tidak seharusnya kamu marah. She is mine!" tangkas Billy sembari memainkan alisnya naik-turun. Ekspresinya seperti sedang meledek Jonathan karena tak mampu berkutik. Jonathan mengepalkan kedua tangannya erat.
Vanesha tahu ada yang tidak beres. Ia akan mencari tahunya nanti.
Setelah beberapa saat kemudian, Vanesha menatap Jonathan, "Mommy kesini karena ada sesuatu yang ingin mommy bicarakan denganmu. Tidak di sini. Ayo masuk." Vanesha-pun membalikkan badannya dan melangkah ke dalam.
Sebelum menyusul langkah Vanesha, Jonathan sempat menatap Billy sebentar. "Terimakasih atas bantuanmu. Tapi kita akan membicarakan hal ini nanti setelah urusanku dengan mommy selesai."
Setelah kepergian Jonathan, Billy berdecih. "Dasar. Manusia tidak tahu terima kasih." Ia lalu melepaskan tangannya pada pinggang Hana. "Jangan khawatir. Itu tadi hanya sandiwara saja. Aku hanya ingin menolongmu dari nenek sihir itu."
"Anda mengatai ibu Anda sendiri nenek sihir?" tanya Hana heran.
Billy menghela napas. "Dia memang pantas disebut nenek sihir. Kamu belum tahu saja sifatnya bagaimana. Dia kejam. Inilah mengapa aku tidak mau tinggal serumah dengannya dan lebih memilih untuk tinggal di luar. Dia selalu melakukan sesuatu sesuka hatinya. Seperti halnya dalam dunia asmara. Dia akan mengatur rencana perjodohan dengan wanita lain. Dan itulah yang sekarang dialami oleh Jonathan. Untung saja aku bukan anak kesayangan. Poor Jonathan."
Hana mengernyit, "Perjodohan? Pak Jonathan dijodohkan?"
Billy mengangguk. "Tepat sekali. Kuharap kamu mempersiapkan hati dan mental. Ibuku akan bertindak jika kalian ketahuan olehnya. Berhati-hatilah."
***
"Apa yang ingin Mommy katakan?" tanya Jonathan setelah menghempaskan bokongnya di sofa, bersampingan dengan Vanesha namun agak jauh.
"Mommy sudah menetapkan tanggal pernikahannya. 12 Desember. Yang berarti satu bulan lagi." Vanesha tersenyum. "Tanggal yang cantik, bukan?"
Jonathan membelalak, "Apa? Kenapa dipercepat? Yang benar saja, Mom."
"Mommy tidak bercanda. Satu bulan lagi. Dan kalian akan menikah!" Vanesha menyaksikan wajah kusut sang anak, "why? Kamu keberatan?"
Jonathan membuang napas kasar. "Aku tidak keberatan. Tapi bukankah kita sudah mengadakan perjanjian sebelumnya? Aku akan menikah tapi waktu dan kapan berlangsungnya pernikahan itu harus aku sendiri yang tentukan."
"Bukankah lebih cepat lebih baik? Kalau menunggumu menetapkan tanggalnya mungkin Catherine tidak akan pernah menjadi menantu Mommy sampai Billy punya cicit," sahut Vanesha.
Jonathan mengusap wajahnya kasar. Mendengar nama Billy makin membuatnya kesal tingkat akut.
"Kenapa kamu harus mempermasalahkan ini? Biasanya kamu tidak akan peduli dan membiarkan Mommy mengatur segalanya. Apa karena..."
"Baiklah! 12 Desember." Jonathan menyela ucapan Vanesha. "Aku setuju. Pernikahannya akan dilaksanakan satu bulan lagi." Jonathan tidak ingin Vanesha menaruh curiga terhadap Hana.
Vanesha tersenyum puas. "Good, anak baik. Dua minggu lagi Catherine akan kembali dari New York. Persiapkan dirimu untuk menyambut dirinya dengan baik. Mommy akan mengatur makan malam yang romantis untuk kalian."
"Tidak usah repot-repot. Aku akan mengajaknya makan malam di rumah ini. Jadi tidak membuang-buang uang. Sekaligus dapat menghemat biaya untuk pernikahan nanti."
"No, Jonathan! Jangan terlihat seperti orang susah. Kita punya banyak uang. Dinner yang mewah tidak akan membuatmu jatuh miskin!"
"Tapi, Mom."
Vanesha menggelengkan kepalanya pelan, menandakan bahwa ucapannya tak dapat dibantah lagi. "Mommy sudah memesan tempat yang bagus dan elegan. Lagipula kalau di rumah ini terlalu banyak pengganggu. Pokoknya tidak ada bantahan, Mengerti?"
Usai berkata demikian, Vanesha segera memakai jaket bulunya yang tebal dan meraih tas miliknya yang berwarna metalik perak. Jonathan juga tidak paham dengan gaya busana Vanesha yang seperti wanita-wanita konglomerat Rusia, padahal busana itu tidak cocok digunakan di Indonesia yang cuacanya sangat berbeda dengan di sana.
"Kalau begitu Mommy pulang dulu. Ada banyak hal yang harus diurus." Vanesha hendak beranjak, namun langkahnya terhenti seketika kala mengingat sosok wanita muda tadi.
"Oh, iya. Gadis tadi siapa namanya?"
Jonathan mengangkat wajahnya, "Siapa?"
"Yang tadi bersamamu di depan pintu."
"Hana—" Jonathan menutup mulutnya seketika. Ia keceplosan! Dasar bodoh! Seharusnya ia tidak memberitahukan nama wanita itu kepada Vanesha. Ibunya itu pasti akan mengorek informasi tentang Hana dengan mudah. Bagaimana jika dia sampai mengetahui kalau Hana adalah seorang wanita miskin yang berasal dari pedesaan? Tentu ibunya itu tidak akan diam saja. Oh, tidak. Dasar Jonathan bodoh!
Vanesha mengangkat sebelah alisnya, "Ah, jadi namanya Hana." sebuah senyuman terbit dari sudut bibirnya. "Sampaikan salam Mommy kepadanya. Sepertinya tadi dia ketakutan saat melihat Mommy."
***
Billy meletakkan sebotol wine dan gelas berkaki di atas meja lalu mendaratkan bokongnya di ujung sofa. Ia menatap Jonathan yang duduk tidak jauh darinya. "Apa yang dikatakan oleh nenek sihir tadi? Ia mengancammu lagi?"
"Bukan mengancam, dia memajukan tanggal pernikahanku dengan Catherine menjadi bulan depan," sahut Jonathan sembari memijit pelipisnya, frustasi.
Billy tertawa, "Sabarlah. Ini cobaan menjadi anak sulung."
Jonathan mendelik tidak suka lalu merampas wine yang terletak di atas meja. Jonathan membuka botol tersebut dengan giginya. Lalu setelah itu meneguknya rakus, melampiaskan rasa kesal terhadap ibunya dan Billy. "Oh, iya. kita perlu meluruskan yang tadi," gumam Jonathan seraya menatap Billy.
"Apanya yang perlu diluruskan? Your penis?" ejek Billy.
"Aku serius!"
"Baiklah, baiklah. Katakan apa itu?"
Jonathan menghela napas sejenak. "Aku sangat berterimakasih karena kamu mau menolongku tadi. Tapi apa yang kamu lakukan selanjutnya sangatlah keterlaluan."
Billy mengernyitkan dahi, "Maksudmu?"
"Kamu pikir mom akan bermain-main dengan pernyataanmu yang gila tadi? Mempertemukan keluarga besar Hana dengan keluarga kita bulan depan? Kamu gila, hah?! mommy benar-benar akan menantikan hal itu, Bil! Aktingmu terlalu berlebihan!"
Billy terkekeh, "Ya sudah. Kalau sudah seperti itu mau bagaimana lagi."
"Apa maksudmu?"
"Kami akan menikah. Beres," jawab Billy santai.
"Sialan. Kamu pikir pernikahan itu main-main?"
"Aku tahu pernikahan itu bukanlah sesuatu yang main-main. Tapi aku serius. Jika memang aku harus menikahi Hana, aku akan melakukannya." Billy menjeda kalimatnya lalu menatap Jonathan lamat-lamat, "aku menyukai Hana."
Jonathan tersentak. What the ...
"Pernikahan itu harus didasarkan dengan cinta, Bil! Kamu bahkan tidak mengenal Hana dengan baik."
"Benarkah? Lalu apa kamu mencintai Catherine?" tanya Billy balik.
Jonathan memejamkan matanya, menyabarkan diri. "Itu hal yang berbeda, Bil."
"Sama saja, dude." Billy menatap Jonathan. "Bilang saja kalau kamu tidak rela Hana menikah dengan orang lain. Iya kan?"
"Bukannya tidak rela. Aku hanya tidak ingin Hana jatuh ke tangan orang yang salah." elak Jonathan.
"Itu sama saja. Sudahlah, akui saja kalau memang benar begitu, kupikir kamu harus menghentikan keegoisanmu itu. Kamu saja boleh menikah dengan orang lain. Kenapa Hana tidak boleh? Lagipula status kalian juga tidak jelas. Untuk apa meributkan sesuatu yang bukan milikmu?"
"Aku bilang tidak ya tidak!"
"Why? Memangnya kamu siapanya dia? Apa hakmu melarang adikmu yang terkena sindrom love at the first sight, ini Kak?" tanya Billy mendrama.
"Sialan, aku akan membunuhmu jika—"
"I don’t care. Kamu tahu? Semakin kamu melarangku semakin bulat pula keputusanku untuk menikahi Hana." Billy menyeringai.
Cukup. Jonathan tidak tahan. "Hana milikku, Billy! Milikku!" akhirnya Jonathan mengatakannya. Ya, Hana milik Jonathan. Sejak awal memang sudah begitu!
"Oh, benarkah?" Billy tersenyum mengejek. "Kalau begitu kontraknya sebentar lagi akan habis. Karena sebulan lagi kamu akan menikah dengan Princess Catherine," ledek Billy lalu segera berdiri. "Bye bye stupid Jo! Jangan menghalangi hubunganku dengan my lovely Hana." Billy melambaikan tangannya sengaja sebelum beranjak pergi.
"Shit!" umpat Jonathan kasar, tidak tahan dengan tingkah Billy.
Tawa Billy menggema, puas dengan reaksi kakaknya. "Sorry, Bung. Anda kurang beruntung. Saatnya mengalah dengan buaya buntung!"
***
Sudah satu jam lamanya Hana terdiam seribu bahasa di dalam bathtub bergelut dengan pikirannya. Ucapan Billy tadi terus saja menggema di dalam otaknya. Benarkah Jonathan dijodohkan? Jika memang benar seharusnya Hana merasa lega karena kabar ini. Dia bisa bebas dari Jonathan.
Tapi kenapa hatinya tiba-tiba tidak berjalan dengan semestinya? Seharusnya Hana merasa senang! Bukan malah gundah gulana seperti ini. Rasa kecewa atas kabar itu seharusnya menjadi kabar gembira bagi Hana. Hana menggeleng, ini tidak benar. Hatinya mulai tersesat ke arah yang tidak benar. Hana harus meluruskannya kembali. Dia hanyalah pemuas nafsu Jonathan. Ia tidak boleh menyukai Jonathan. Ya, jangan sampai hal itu terjadi.
Hana terkejut ketika kamar mandinya terbuka. Jonathan melangkah masuk tanpa seizin Hana.
"Pak Jonathan?" panggil Hana gugup. Bagaimana ia tidak gugup? Raut wajah pria itu tampak menggelap. Nampak sekali bahwa ia sedang dalam kondisi hati yang tidak baik. Jonathan marah. Entahlah, Hana juga tidak tahu penyebabnya apa.
Ucapan Hana tak dijawab oleh Jonathan. Ia segera menanggalkan pakaiannya hingga tubuhnya kini telah telanjang bulat. Jonathan ikut bergabung ke dalam bathtub bersama Hana.
"Kemarilah," pinta Jonathan dengan nada rendah. Hana mengangguk dan mendekat ke arah Jonathan yang tengah bersender.
Jonathan memposisikan tubuh Hana membelakanginya. Tangannya mulai meremas payudara Hana yang tampak membesar akhir-akhir ini. Jika dibandingkan dengan saat pertama kali mereka melakukannya, ukurannya mungkin bisa diandaikan seperti lemon vs batok kelapa.Sebuah erangan lolos dari bibir Hana saat jemari Jonathan menggoda putingnya dan bermain-main di sana. Jonathan mengecup daun telinga Hana dan menggigitnya pelan. Bibirnya turun pada ceruk leher Hana. Jonathan menghirup dalam aroma sabun yang menyegarkan pada tubuh Hana. Bibirnya mulai mengecup dan menggigit bagian sana. "Hibur aku," pintanya sensual.
Hana mengangguk patuh. Ia membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Jonathan. Ditatapnya dalam mata Jonathan. Terbersit rasa sakit di dalam dada Hana saat Jonathan membalas tatapannya. Ucapan Billy kembali terngiang-ngiang di kepala Hana. Pak Jonathan di jodokan. Hana gelisah. Ingin rasanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Jonathan. Memastikan apakah kabar itu benar adanya?
Tapi lagi-lagi Hana kembali tersadar akan posisinya. Ia tak berhak bertanya seperti itu. Dia bukan siapa-siapa dan ini bukanlah urusannya.
"Tunggu apa lagi?" Suara Jonathan membuyarkan lamunan Hana.
Baiklah. Hana akan melakukan apa yang menjadi tugasnya. Jonathan memejamkan matanya dan mulai menikmati sentuhan Hana. Hal itu tidak luput dari pandangan Hana. Ia bersumpah, wajah Jonathan menjadi dua kali lipat lebih tampan saat sedang memejamkan mata dan mengerang nikmat seperti sekarang ini. Dan Hana menjadi pelaku dari pemandangan yang ia kagumi ini. Mengetahui bahwa ialah pencipta suasana itu membuat Hana tersenyum senang. Ada gelenyar aneh dalam dirinya yang membuatnya ingin terus seperti ini.
Tapi tunggu, tunggu. Hana tersadar beberapa saat. Tadi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlarut dalam perasaannya. Ia harus menghentikannya. Tapi apa ini? Kupu-kupu seperti sedang beterbangan di dalam perutnya. Perasaan apa ini?
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo
Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara."Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal
Sudah tiga hari semenjak Jonathan menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hana. Dan sampai hari ini, dia tidak pernah lagi menjenguk dan menampakkan wajahnya di depan Hana. Dia benar-benar pergi dari hidup Hana, meninggalkan bekas luka yang masih terasa sampai sekarang. Hati Hana terluka bagai disayat-sayat secara paksa.Setelah semua yang dilalui, dia dengan teganya pergi begitu saja dengan alasan tak ingin menyakiti lagi. Nyatanya apa yang menurutnya baik itulah yang membuat Hana semakin tersakiti.Jonathan bodoh— tidak. Hana yang bodoh. Sudah tahu ia tidak layak dicintai, namun masih berani mengharapkan cinta dari lelaki yang berbeda kasta dengannya. Rasakan sendiri akibatnya!Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan suara gemerisik plastik membuat lamunan Hana sontak terhenti. Ia menoleh pada seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.Billy berjalan menghampiri Hana dengan menenteng dua plastik. "Aku membawakanmu bubur a
Usai meminta izin ke toilet, Billy langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Hana. Sebenarnya bukan itu tujuannya.Dan berdirilah ia disini. Di lorong-lorong yang panjang dan cahayanya tampak temaram. Billy menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menunggu seseorang datang. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki seseorang. Billy menegakkan tubuhnya saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya dengan balutan jas nya yang rapi."Kenapa kamu memintaku ke sini? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Jonathan begitu ia telah berhadapan dengan Billy.Billy mengangguk. "Aku ingin menanyakan kepastian hubunganmu dengan Hana."Jonathan menghela napas berat sejenak lalu menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap langit-langit gedung itu."Bil.""Hm?""Kamu tahu situasiku, kan?"Billy terdiam sejenak. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku mengerti. Berada
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba
Semua mata tertuju pada wanita yang tengah melangkah masuk ke dalam gedung itu.Mata elangnya menatap lurus ke depan. Dengan langkah kaki yang tegas, ia tampak akan memakan semua orang yang menatap ke arahnya. Ia tampak tidak asing, tapi ekspresi dan penampilannya yang modis membuatnya tampak berbeda kali ini.Semua karyawan sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang ini. Pimpinan mereka, Florentina Hana, yang selama ini diketahui telah menghilang dan dikabarkan meninggal tanpa sebab, ternyata masih hidup.Media menjadi heboh dengan kemunculan CEO Deloxa itu. Sebagian dari orang-orang yang berada di dalam gedung itu tampak takut, ada pula yang heboh dan segera mengabadikan momen itu lalu mengunggahnya ke sosial media.Hana melewati kerumunan manusia yang sedang memotret dirinya itu. Tatapan tajam ia lemparkan pada mereka. "Apa kalian ingin dipecat?" Para karyawan langsung berhenti mengambil gambar dan tampak menundukkan kepala."Saya aka
Jari-jari Jonathan meremas setir mobil dengan kuat. Ia tampak gelisah. Bayangan wanita yang melewatinya tadi sore benar - benar menghantui kepalanya. Mungkinkah Hana masih hidup? Lalu siapa wanita di peti yang ia tangisi itu? Ya, Tuhan … ini semua benar-benar gila!"Apa yang sedang papa Jonathan pikirkan?" tanya Axel di sampingnya.Jonathan menoleh, menatap anaknya itu. "Axel, apa kamu percaya dengan keajaiban?"Axel mengangkat alisnya, "Keajaiban?"Jonathan mengangguk."Hm. Axel percaya. Mama selalu mengatakan; tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak," jawab anak itu polos.Jonathan terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Apa Axel percaya jika mereka yang telah meninggal bisa hidup kembali?""Itu bisa saja, Papa.""Apa Axel percaya jika mama Hana telah meninggal?" tanya Jonathan lagi."Kenapa papa Jonathan tiba-tiba bertanya seperti itu?" sahut Axel penasaran.Jonathan menggeleng,
"Ada apa, Papa?" tanya Axel kepada Jonathan yang menggantungkan kalimatnya.Jonathan terkesiap. Ia menatap Axel, "Papa hanya … tadi ..." Ia menoleh lagi ke arah wanita itu. Dia berlari menjauh dari mereka. Wanita itu seperti sedang ketakutan. Apakah yang ia lihat barusan adalah hantu? Atau ia sedang bermimpi? Wajahnya benar-benar mirip.Tidak, itu pasti bukan Hana. Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia pikir itu hanya halunasinya saja karena terlalu sering memikirkan Hana. Hana yang ia kenal telah meninggal."Papa Jonathan?"Jonathan tersadar dari lamunannya."Ada apa? Kenapa papa Jonathan hanya diam? Ayo kita pergi dari sini. Axel ingin pulang.""Axel," cegah Jonathan karena hendak berkata, "Axel tunggu sebentar di sini ya. Papa akan kembali lagi dalam lima menit." Usai berkata demikian Jonathan langsung berlari secepat mungkin mengejar jejak wanita tadi. Ia sudah kepalang penasaran.Jonathan berlari sembari mengedarkan matanya