Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya.
"Hoek.."
“Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!"
Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa.
"Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan.
Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan."
"Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia segera menyelimuti Jonathan dan mengambil minyak kayu putih di laci meja.
"Mau apa kamu?" Jonathan berteriak panik saat Hana membuka bajunya. Hana mengangkat alisnya melihat reaksi Jonathan seperti akan diperkosa saja. Sangat berlebihan.
Tanpa menjawab, Hana melanjutkan aksinya dengan menyingkap baju Jonathan sampai sebatas leher. Ia segera mengoles minyak kayu putih di sekitar perut Jonathan. "Sepertinya bapak masuk angin."
"Tidak mungkin setiap hari aku masuk angin."
"Benarkah? Hm, Penyakit macam apa ya yang sedang bapak alami ini? Sepertinya parah sekali sampai mual-mual setiap hari."
Jonathan memutar kedua matanya jengah, "Sudah berapa kali aku katakan. Ini bukan penyakit!" teriaknya kesal.
"Saya hanya khawatir saja." Hana mengdengkus. Setiap kali ia berbicara sesuatu yang tidak enak di telinga Jonathan, pria itu pasti akan menimpalnya dengan teriakan atau bentakan. Hana merasa sikap Jonathan sangat aneh akhir-akhir ini. Seperti sikap seorang ibu hamil yang sangat sensitif.
"Oh, My ..."
Hana dan Jonathan serempak menoleh ke arah pintu. Disana terdapat Billy yang sedang membulatkan matanya sambil membekap mulutnya, tidak percaya atas apa yang sedang ia lihat ini.
"Guys! What the hell is this?! Apa kalian habis bercinta?" tanya Billy seraya berjalan masuk.
Hana sontak mengangkat tangannya dari perut Jonathan. Mungkin karena inilah Billy menjadi salah paham. Posisi tubuhnya seperti seorang wanita yang hendak menggoda pria saja.
"Kami tidak—"
"Ya, kami baru saja selesai dan akan melanjutkannya sebentar lagi. Dan kedatanganmu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu telah menghancurkan segalanya!" potong Jonathan sebelum Hana berkata.
"Benarkah? Yes! Aku berhasil menghentikan kegiatan kotor kalian," pekik Billy senang, "setidaknya aku masih punya satu kebaikan untuk masuk ke surga.”
Jonathan melotot. sepertinya adik bungsunya ini sangat senang karena berhasil menghentikan aktivitas kakaknya. "Cepat katakan apa maumu?!" seru Jonathan tidak tahan berlama-lama menatap wajah sumringah Billy.
Billy terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Bisa pinjam kartu debitmu? Saldoku sudah habis," mohonnya dengan nada memelas.
"Untuk apa?!"
"Aku ingin membeli sesuatu untuk pacarku yang akan berulang tahun seminggu lagi," jawab Billy.
"Pacar?" Jonathan mengernyit, "pacar yang mana lagi? Bukankah kamu sudah putus dengan semua jalang-jalangmu itu?"
"Ya, tapi kali ini berbeda. She is special."
Jonathan mendengkus, "Dasar tidak bermodal!" ucapnya lalu meraih dompet di atas nakas. Ia memberikan salah satu kartunya kepada Billy. "Sekarang cepat pergi dan jangan ganggu kami!"
Billy tersenyum, "Terima kasih, brother. Aku akan menggantinya suatu hari nanti," Billy menatap Hana. "Hana, kamu mau tidak keluar malam ini sama saya?" tanya Billy tiba-tiba.
Hana terkejut. Ia melirik Jonathan singkat yang sudah memberikan signal dari matanya untuk menolak. Ia lalu kembali menatap Billy. "Maaf saya tidak bisa," tolak Hana dengan rasa bersalah. Di sampingnya Jonathan sudah memekik girang dalam hati.
"Ayolah, masa semalam saja tidak bisa?" Billy berusaha membujuknya.
"Kamu tidak mendengarnya tadi? Dia tidak bisa!" sentak Jonathan. "Lagipula malam ini Hana akan menemaniku ke sebuah acara."
Billy membuang napas kasar. Ia lalu menatap Hana, "Baiklah, kalau begitu bagaimana dengan besok malam?" tanyanya lagi.
"Besok malam juga tidak bisa."
"Besok malamnya lagi?"
"Dia sibuk."
"Besoknya lagi?"
"Dia akan menemaniku ke suatu tempat."
"Aku meminta jawaban darinya bukan darimu, " protes Billy.
"Why? Aku berhak menentukan schedule nya karena ..." Jonathan tiba-tiba menarik lengan Hana posesif, "she is mine!"
"Argh! Fine!" Akhirnya Billy menyerah dan segera beranjak keluar. Tidak tahan dengan sikap menyebalkan kakaknya barusan.
"Kita akan kemana malam ini, Pak?" tanya Hana.
"Ke ulang tahun pernikahan temanku." balas Jonathan.
***
"..love you so bad, love you so bad. Neol wihae yeppeun geojiseul bijeonae. Love you so mad, love you so mad. Nal—"
"Luna! Berhenti bernyanyi kalau tidak kamu akan membakar rambut Nona Hana," teriak Melisa yang tengah sibuk memilah pakaian untuk Hana di lemari.
Luna terkekeh, "Mianhe (Maaf). Tadi khilaf sih. Maklum, otak Luna isinya BTS terus," ucapnya lalu kembali fokus pada tatanan rambut Hana.
Hana hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah Luna. "Luna, berapa usiamu?" tanyanya.
"Eh? Nona tanya usia saya?" tanya Luna kembali memastikan.
"Iya."
"Usia saya delapan belas tahun."
"Benarkah? Kalau begitu usia kita sama. Jadi tidak usah memanggilku dengan sebutan nona atau semacamnya itu."
Luna tertawa kecil, "Tidak bisa begitu. Nona kan majikan saya di sini. Saya tidak enak memanggil Nona begitu. Nanti Pak Jonathan mengamuk," kekehnya.
"Tapi aku akan senang jika kalian memanggilku seperti itu. Derajatku sama seperti kalian, bahkan bisa dikatakan lebih rendah," gumam Hana. Ya, bagaimana tidak ia sebut rendahan. Ia hanyalah pemuas nafsu Jonathan. Bahkan derajat seorang pembantu lebih tinggi dari pelacur rendahan sepertinya.
"Jangan merendahkan diri seperti itu, Nona. Bagaimanapun juga anda tetap majikan kami," sahut Luna disertai senyuman di wajahnya. Mendengar hal itu, Hana hanya bisa memaksakan senyuman di bibirnya.
***
Jonathan dan Hana memasuki ballroom hotel dimana acara sahabat lamanya berlangsung. Jonathan sengaja menarik tangan Hana dan mengaitkannya di lengannya. "Jangan gugup," bisik Jonathan di telinga Hana. "Oh, ya, jangan sampai kamu memanggilku dengan embel-embel Pak atau Bapak. Nanti aku dikira membawa anak bukannya pasangan."
Hana mengangguk paham lalu menghela napas sejenak, menghilangkan rasa gugupnya karena baru pertama kali ini ia ke pesta yang dihadiri banyak orang. Hana mengeratkan cengkramannya pada lengan Jonathan. Tatapan-tatapan itu lagi. Hana membenci dilihat banyak orang.
"Tenang, mereka tidak mengejekmu. Mereka hanya sedang kagum melihat penampilanmu," bisik Jonathan lembut.
"Benarkah?"
"Hm ..."
Jonathan membawa Hana ke salah satu meja tamu yang sudah disiapkan. Hana mengedarkan pandangannya. Melirik orang-orang yang sedang berlalu-lalang.
"Hey, Dude!" Jonathan tersentak ketika merasa sebuah sentuhan kasar di bahunya. Ia segera menoleh ke belakang, sebuah senyuman mengembang dari wajah Jonathan.
"Hey," sapanya balik lalu berpelukan ala pria dengan pria itu. "Selamat atas ulang tahun pernikahanmu yang ke lima. Semoga langgeng dengan istrimu."
"Thank's," sahut pria itu.
Beberapa saat kemudian, pria itu lalu menarik bangku di samping Jonathan.
"Aku pikir kamu tidak akan datang." ucap pria itu.
"Dan seperti yang kamu lihat, ternyata aku datang," timpal Jonathan.
Pria itu mengalihkan pandangannya Pada sosok Hana. "Wow, ini yang baru lagi ya?" tanyanya.
"Begitulah," kekeh Jonathan.
Pria itu ikut terkekeh lalu mengulurkan sebelah tangannya kepada Hana. "Rian. Sahabatnya Jonathan," sambut pria itu ramah.
Hana membalas uluran tangannya. "Hana," balasnya lembut.
"Kami sudah bersahabat sejak di Harvard. Dia juniorku. Sayangnya otak Jonathan tidak setinggi Harvard," beri tahu Rian lalu menguraikan jabatan tangannya. Hana hanya bisa mengangguk seraya tersenyum kecil karena sebenarnya ia tidak paham dengan ucapan pria yang bernama Rian tersebut.
"Sudahlah, dia tidak akan tertarik dengan itu," sahut Jonathan dan Rian hanya bisa tertawa pelan. "Ngomong-ngomong, dimana istrimu? Aku tidak melihatnya.”
"Ada. Dia sedang menjaga si kecil yang nakal, berlarian kesana dan kemari mengganggu orang yang sedang berpesta."
Jonathan tertawa, "Dia sama nakalnya denganmu. Btw, apa adikmu juga hadir?"
"Hm. Tentu saja dia hadir bersama anak istrinya. Itu mereka." Rian menunjuk sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak tersebut yang tengah duduk di meja yang agak jauh dari mereka.
Jonathan mengikuti arah telunjuk Rian. "Istrinya cantik ya," gumamnya. Hal itu tak lepas dari pendengaran Hana. Ia menoleh ke arah keluarga yang tengah duduk di meja ujung sana. Wanita itu memang terlihat cantik. Hana menghela napas. Entah kenapa ia merasa minder berada di lingkungan yang dipenuhi wanita-wanita cantik ini.
"Istriku lebih cantik," timpal Rian.
Jonathan hanya bisa tertawa, "Baiklah baiklah. Istri kalian berdua memang cantik. Tuhan begitu baik, memberikan istri cantik dan sabar kepada pria brengsek seperti kalian."
"Itu namanya takdir. Tuhan menciptakan manusia untuk saling melengkapi. Itulah mengapa aku selalu mencintai istriku meski dia banyak kekurangan."
"Ya ampun, mellow sekali. Aku terharu," canda Jonathan.
Rian terkekeh, "Jadi kapan kamu akan menikah?" godanya.
Jonathan memutar kedua matanya, "Tolong jangan bahas itu di sini. Aku sensitif sekali mendengar hal itu."
Rian tertawa dan segera berdiri, "Aku hanya bercanda saja. Kalau begitu aku pergi dulu. Masih banyak tamu yang harus ku sapa. Have fun, Dude!" Usai berkata demikian, Rian langsung melenggang pergi meninggalkan Jonathan dan Hana berdua.
***
Usai dari pesta, Jonathan tidak langsung mengajak Hana pulang. Ia membawa Hana masuk ke sebuah kamar hotel. Tentu saja Jonathan sedang ingin melakukan yang 'iya-iya', karena kalau mereka melakukannya di rumah, banyak setan-setan yang akan mengganggu aktivitas mereka.
Jonathan menindih tubuh Hana di atas kasur. Ciuman demi ciuman ia daratkan pada bibir dan leher Hana. Hana mendesah akibat remasan di payudaranya. Jonathan gemas sekali dengan buah dada Hana yang kian membesar itu. And he loves it!
Ia menangkup wajah Hana, matanya saling bertemu dengan mata Hana, napas keduanya saling bertabrakan. "Hana …," bisiknya serak.
"Ya?"
"Aku rasa ada yang salah dengan diriku." Jonathan menatap mata Hana begitu dalam dan lembut.
"Maksud Bapak?"
"Kamu tidak menyadarinya? Aku perlahan berubah dari diriku yang sebenarnya. Kamu tahu karena siapa?"
Hana menggeleng.
"Karena kamu," jawab Jonathan begitu lembut lalu kembali memagut bibir Hana dengan mesra.
Ya, Jonathan sangat menyadari hal itu. Banyak sekali hal yang berubah dari dirinya setelah bertemu dengan Hana. Jonathan merasa dirinya sekarang menjadi lebih jinak dari dulu. Dan lagi yang membuatnya tidak paham sekarang, sejak kapan ia bisa berbicara se-nonformal ini dengan Hana? Jonathan yang awalnya dingin dan beku perlahan mulai mencair. Ia merasa ada warna baru yang sangat mencolok dan terang dalam hidupnya setelah kehadiran Hana.
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo
Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara."Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal
Sudah tiga hari semenjak Jonathan menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hana. Dan sampai hari ini, dia tidak pernah lagi menjenguk dan menampakkan wajahnya di depan Hana. Dia benar-benar pergi dari hidup Hana, meninggalkan bekas luka yang masih terasa sampai sekarang. Hati Hana terluka bagai disayat-sayat secara paksa.Setelah semua yang dilalui, dia dengan teganya pergi begitu saja dengan alasan tak ingin menyakiti lagi. Nyatanya apa yang menurutnya baik itulah yang membuat Hana semakin tersakiti.Jonathan bodoh— tidak. Hana yang bodoh. Sudah tahu ia tidak layak dicintai, namun masih berani mengharapkan cinta dari lelaki yang berbeda kasta dengannya. Rasakan sendiri akibatnya!Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan suara gemerisik plastik membuat lamunan Hana sontak terhenti. Ia menoleh pada seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.Billy berjalan menghampiri Hana dengan menenteng dua plastik. "Aku membawakanmu bubur a
Usai meminta izin ke toilet, Billy langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Hana. Sebenarnya bukan itu tujuannya.Dan berdirilah ia disini. Di lorong-lorong yang panjang dan cahayanya tampak temaram. Billy menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menunggu seseorang datang. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki seseorang. Billy menegakkan tubuhnya saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya dengan balutan jas nya yang rapi."Kenapa kamu memintaku ke sini? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Jonathan begitu ia telah berhadapan dengan Billy.Billy mengangguk. "Aku ingin menanyakan kepastian hubunganmu dengan Hana."Jonathan menghela napas berat sejenak lalu menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap langit-langit gedung itu."Bil.""Hm?""Kamu tahu situasiku, kan?"Billy terdiam sejenak. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku mengerti. Berada
Hana berlari kembali ke kamarnya setelah tak tahan mendengar apa yang dikatakan Catherine. Tubuhnya yang lemah merosot jatuh ke lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan-tahan kini tak sanggup lagi dibendung. Hana menangis hebat di balik pintu kamarnya. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Setelah Vanesha menghinanya, sekarang Catherine yang ia anggap sebagai Dewi kebaikan ternyata ikut merendahkannya.Hana tak kuat lagi. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik oleh pisau yang sangat tajam. Tak ada yang bisa dipercaya disini. Hana merindukan ibunya dan Windy. Hanya mereka yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus.Hana segera bangkit dan berjalan ke arah meja. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja tersebut lalu duduk di tepi kasur. Hana menelfon ibunya. Setelah beberapa saat, terdengar suara Fatma di seberang sana."Halo, Hana? Ada apa menelpon malam-malam begini?""Ibu...""Iya?""Aku merindukan, Ibu." Hana berusa
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba
Semua mata tertuju pada wanita yang tengah melangkah masuk ke dalam gedung itu.Mata elangnya menatap lurus ke depan. Dengan langkah kaki yang tegas, ia tampak akan memakan semua orang yang menatap ke arahnya. Ia tampak tidak asing, tapi ekspresi dan penampilannya yang modis membuatnya tampak berbeda kali ini.Semua karyawan sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang ini. Pimpinan mereka, Florentina Hana, yang selama ini diketahui telah menghilang dan dikabarkan meninggal tanpa sebab, ternyata masih hidup.Media menjadi heboh dengan kemunculan CEO Deloxa itu. Sebagian dari orang-orang yang berada di dalam gedung itu tampak takut, ada pula yang heboh dan segera mengabadikan momen itu lalu mengunggahnya ke sosial media.Hana melewati kerumunan manusia yang sedang memotret dirinya itu. Tatapan tajam ia lemparkan pada mereka. "Apa kalian ingin dipecat?" Para karyawan langsung berhenti mengambil gambar dan tampak menundukkan kepala."Saya aka
Jari-jari Jonathan meremas setir mobil dengan kuat. Ia tampak gelisah. Bayangan wanita yang melewatinya tadi sore benar - benar menghantui kepalanya. Mungkinkah Hana masih hidup? Lalu siapa wanita di peti yang ia tangisi itu? Ya, Tuhan … ini semua benar-benar gila!"Apa yang sedang papa Jonathan pikirkan?" tanya Axel di sampingnya.Jonathan menoleh, menatap anaknya itu. "Axel, apa kamu percaya dengan keajaiban?"Axel mengangkat alisnya, "Keajaiban?"Jonathan mengangguk."Hm. Axel percaya. Mama selalu mengatakan; tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak," jawab anak itu polos.Jonathan terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Apa Axel percaya jika mereka yang telah meninggal bisa hidup kembali?""Itu bisa saja, Papa.""Apa Axel percaya jika mama Hana telah meninggal?" tanya Jonathan lagi."Kenapa papa Jonathan tiba-tiba bertanya seperti itu?" sahut Axel penasaran.Jonathan menggeleng,
"Ada apa, Papa?" tanya Axel kepada Jonathan yang menggantungkan kalimatnya.Jonathan terkesiap. Ia menatap Axel, "Papa hanya … tadi ..." Ia menoleh lagi ke arah wanita itu. Dia berlari menjauh dari mereka. Wanita itu seperti sedang ketakutan. Apakah yang ia lihat barusan adalah hantu? Atau ia sedang bermimpi? Wajahnya benar-benar mirip.Tidak, itu pasti bukan Hana. Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia pikir itu hanya halunasinya saja karena terlalu sering memikirkan Hana. Hana yang ia kenal telah meninggal."Papa Jonathan?"Jonathan tersadar dari lamunannya."Ada apa? Kenapa papa Jonathan hanya diam? Ayo kita pergi dari sini. Axel ingin pulang.""Axel," cegah Jonathan karena hendak berkata, "Axel tunggu sebentar di sini ya. Papa akan kembali lagi dalam lima menit." Usai berkata demikian Jonathan langsung berlari secepat mungkin mengejar jejak wanita tadi. Ia sudah kepalang penasaran.Jonathan berlari sembari mengedarkan matanya