Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.
Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan tengah memeluknya, Hana merasa nyaman dan senang.
Suara nada dering ponsel berbunyi. Hana meraih benda pipih tersebut yang tergeletak di atas nakas. Hana tersenyum saat melihat nama penelepon yang tertera di layar. Itu Ibunya. Jonathan membelikan ponsel untuk Fatma saat mereka ke desa beberapa minggu yang lalu. Sebenarnya Hana tidak pernah menyangka Jonathan akan bertindak sejauh ini.
"Halo, Ibu?" sapa Hana.
"Halo, Hana … apa kabar?"
Hana tersenyum dan berjalan ke arah jendela lalu membuka tirai jendela dengan sebelah tangannya. "Aku baik-baik saja, Bu." jawabnya sambil menatap ke luar, menikmati pemandangan dari luar. "Ibu sendiri? Bagaimana kabarnya?"
"Ibu baik-baik saja di sini."
"Syukurlah. Hana senang Ibu baik-baik saja di sana."
"Iya, Nak. Oh iya, selamat ulang tahun ya. Maaf jika selama ini Ibu belum bisa membahagiakanmu."
Hana tersentak. Ulang tahun? Ah benar. Hari ini ia genap sembilan belas tahun. Astaga! Bagaimana bisa ia melupakan hari dimana ia dilahirkan ke dunia ini?
"Kamu kerja yang baik ya disana. Ingat selalu akan Tuhan. Jangan lupa untuk selalu berbuat baik dan sopan. Doa Ibu selalu menyertaimu."
Hana mengulas senyum, "Iya, Bu. Terima kasih atas nasehatnya. Hana sayang Ibu."
Terdengar suara kekehan di seberang sana. "Iya, Ibu juga menyayangimu. Sudah dulu ya, Ibu mau jahit baju dulu. Nanti sore sudah harus diantar."
"Iya, Bu. Aku matikan ya," balas Hana lembut.
"Hm."
Hana memutuskan panggilan.
"Siapa?"
Hana tersentak mendengar suara Jonathan. Ia menoleh ke arah pria itu. "Kamu sudah bangun?" Oh, iya. Hana juga sudah mulai terbiasa memanggil Jonathan dengan sebutan kamu. Hal ini dikarenakan Jonathan selalu memarahinya jika ia terus saja memanggil pria itu dengan embel-embel 'Pak atau Bapak'. Jonathan memaksanya untuk tidak berbicara formal.
Jonathan berdecak. Pertanyaan bodoh. "Tadi siapa yang telfon?"
"Oh, tadi ibu yang telfon."
Jonathan mengangguk paham. Ia lalu menyibakkan selimutnya dan turun dari ranjang. Mengambil baju kaosnya yang terlempar di bawah ranjang dan memakainya. Hana cukup agresif semalam, buktinya saja baju dan celana Jonathan bisa berserakan di lantai. Tapi Jonathan senang, Hana sudah mulai berkembang.
"Kamu mandilah terlebih dahulu. Setelah itu turun sarapan. Aku akan kembali ke kamarku," ucap Jonathan. Hana mengangguk patuh.
Jonathan hendak melangkahkan kakinya pergi, namun niatnya terhenti sejenak. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap Hana. "Kamu suka perhiasan?" tanyanya tiba-tiba.
"Ya?" sahut Hana kaget.
Jonathan berdecak. "Perhiasan. Seperti kalung, emas, gelang dari mutiara asli, atau cincin berlian?"
Hana menelan salivanya susah. Untuk apa Jonathan menanyakan barang-barang mahal itu?
"Cepat katakan. Aku tidak punya waktu!" seru Jonathan sensi.
"Eh? Ka- kalung … iya kalung," jawab Hana gelagapan, "tapi untuk apa—"
"Cepat mandi!" potong Jonathan sebelum Hana menyelesaikan ucapannya. Hana mengangguk patuh lalu meraih handuknya dan bergegas ke kamar mandi. Setelah Hana menghilang dari pandangannya, Jonathan pun melangkah keluar dari kamar.
***
Jonathan berlari kecil menuruni undakan tangga rumahnya. Penampilannya cukup keren hari ini. tampaknya ia akan ke suatu tempat.
Saat Jonathan membuka pintu depan, tubuhnya tiba-tiba mematung melihat sosok wanita cantik yang sudah berdiri di hadapannya sekarang dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Long time no see, calon suami," sambut wanita itu dengan wajah berbinar.
"Catherine?" Jonathan masih tidak menyangka dengan sosok yang dilihatnya barusan. "Ini ...Catherine? Catherine Jovanka?"
"Yeah!" pekik wanita itu dengan wajah berbinar lalu menghambur ke pelukan Jonathan. Jonathan shock dan tidak tahu harus berkata apa. Ia membalas pelukan Catherine dengan wajah yang sulit untuk ditebak.
"I miss you so much," bisik Catherine sembari mengeratkan pelukannya.
"Yeah … i miss you too," balas Jonathan pelan lalu menguraikan pelukan.
Catherine tampak bahagia. Ia memperhatikan penampilan Jonathan dari atas rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum kagum, "Kamu terlihat semakin tampan saja," pujinya.
Jonathan mengikis senyum, "Terima kasih. Kamu juga terlihat semakin cantik dan … seksi?"
Wajah Catherine bersemu merah mendengar ucapan Jonathan barusan. "Kamu bisa saja." Ia memukul dada Jonathan manja.
Jonathan terkekeh. "Aku pikir kamu akan kesini seminggu lagi. Ternyata kamu datang sebelum itu."
"Pasti mommy Vanesha ya yang memberitahumu?"
"Benar."
"Sudah kuduga dia akan melakukan itu. karena itulah aku datang sebelum waktunya. Supaya menjadi sebuah kejutan untukmu. Kalau kamu sudah tahu bukan kejutan namanya."
Jonathan mengangguk. "Ah, begitu ya."
"Kenapa? Apa kamu tidak senang dengan kedatanganku?" tanya Catherine.
"Tentu saja aku senang."
"Tidak, kamu tidak senang. Buktinya wajahmu tidak se-senang perkataanmu." Catherine mencebikkan bibirnya.
"Aku senang, Catherine. Sangat senang. Hanya saja aku terlalu shock. Kamu tidak memberitahuku tentang kedatanganmu. Aku perlu mempersiapkan diri," jelas Jonathan.
Catherine masih cemberut. "Aku tidak bisa mempercayaimu."
Jonathan menghela napas. "Apa yang harus ku lakukan agar kamu bisa mempercayaiku?" tanya Jonathan.
"Umm ..." Catherine tampak berpikir. "Kiss me?" Catherine menunjuk bibirnya.
Jonathan memperhatikan sekelilingnya lalu menatap Catherine. "Oke. Hanya itu?"
Catherine mengangguk.
"Itu mudah." Jonathan lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Catherine singkat. Hanya menempelkan bibir. Karena Jonathan tidak berniat untuk memberikan yang lebih. Namun saat ia hendak melepaskan bibirnya, tangan Catherine tiba-tiba menahan kepala Jonathan agar tetap dalam posisi seperti ini. Jonathan membulatkan matanya. Catherine membuka mulutnya dan lidah wanita itu membelai-belai bibir Jonathan yang masih terkatup rapat.
***
Hana sudah selesai mandi dan memakai baju. Ia juga sudah memakai parfum yang dibelikan Jonathan saat mereka berbelanja di mall. Hana memerhatikan pantulan wajahnya di cermin. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. sebenarnya Hana jarang memperhatikan wajah dan penampilannya. Tapi melihat replika wajahnya di cermin, Hana sadar akhir-akhir ini wajahnya tampak memutih dan bersih. Usai berkaca, Hana segera beranjak keluar dari kamar untuk turun sarapan, sesuai dengan perintah Jonathan.
Saat Hana sampai di lantai bawah, ia hendak berbelok ke dapur. Namun langkahnya terhenti saat ekor matanya menangkap bayangan dua orang di sekitar pintu depan. Hana menoleh ke sumber objek tersebut dengan segera.
Deg!
Ia membulatkan matanya. disana… Jonathan… berciuman dengan wanita asing. Hana bersembunyi di balik dinding. Jantungnya berdebar kencang. Rasa kecewa mulai menjalar di dada. Hana memejamkan matanya. Mungkinkah ia sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan ia sekarang juga! Hana sulit menerima ini. Sekali lagi, ia mengintip ke depan untuk memastikan kembali. Dan ketika matanya kembali menangkap pemandangan itu, goyahlah sudah dirinya. Ternyata ia tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Jonathan tengah berciuman dengan wanita yang Hana sendiri tak tahu siapa. Mungkinkah itu wanita yang dijodohkan dengan Jonathan? Apa mereka akan segera menikah? Ini berarti Hana tidak akan bisa menghabiskan waktu dengan Jonathan lagi. Sungguh, hati kecil Hana ingin memprotes. Sulit sekali untuk menerima ini semua.
Tapi sekali lagi. Ia harus menyadari keberadaanya. Ia bukanlah siapa-siapa. Hana membungkam mulutnya dengan tangan, mencegah dirinya untuk tidak bersuara. Matanya mulai panas, siap mengeluarkan cairan bening. Hana menggeleng, tidak tidak. Ini salah. Ia tidak mungkin merasakan apa yang dinamakan sakit hati.
Sadarlah Hana. Kamu tidak berhak sakit hati. Bukankah dari awal kamu sudah memperingatkan dirimu sendiri untuk tidak memendam rasa kepadanya? Lihat sendiri akibatnya. Kamu bukan siapa-siapa baginya, hapus tangisanmu, dan hentikan perasaanmu sebelum kamu merasakan sakit yang lebih dalam. Batin Hana menguatkan diri.
***
"Cari tahu tentang gadis bernama Hana," titah Vanesha sembari memegang gelas berisikan wine-nya.
"Siap, Nyonya. Akan saya lakukan perintah anda," sahut seorang pria muda dengan pakaian serba hitam itu.
Vanesha tersenyum. "Bagus. Semakin cepat kamu mendapatkan informasinya, semakin cepat pula kamu mendapatkan bayarannya."
Pria tersebut mengangguk patuh lalu memakai topi hitamnya dan berdiri, bersiap untuk beranjak pergi. "Apa ada perintah lagi, Nyonya?" tanya pria itu kembali memastikan.
"Tidak ada. Sekarang kamu boleh pergi," ucap Vanesha tegas. Pria tersebut mengangguk lalu melangkah pergi dari hadapan Vanesha. Sebuah seringaian misterius terbit dari bibir Vanesha. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
***
Hana duduk termenung di atas kasurnya. Kejadian tadi pagi terus berkeliaran di kepalanya. Ia sudah berusaha keras untuk melupakannya, tapi tetap saja susah. Yang ada ia semakin mengingatnya. Dan ketika ia mengingatnya, semakin sesak pula dadanya. Sungguh, ini merupakan kado ulang tahun yang menyakitkan.
Terdengar suara pintu yang terbuka. Hana segera menyeka bekas air matanya agar tidak ketahuan habis menangis. Hana tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Jonathan.
"Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun, Hana. Selamat ulang tahun …"
Hana tersentak. Itu bukan suara Jonathan. Itu suara Billy! Hana segera menoleh dan terkejut saat Billy membawakan sebuah kue dengan lilin angka sembilan belas menyala di atasnya. Pria itu berjalan mendekati Hana dengan mengikis senyum manisnya.
Hana terharu. Ternyata masih ada yang mengingat hari ulang tahunnya "Billy, kamu ..."
"Tiup lilin dulu baru berbicara," kekeh Billy sambil menyodorkan kue tersebut. Hana tersenyum kecil lalu meniup lilin yang ada.
"Eh, kamu lupa make a wish," pekik Billy sembari menepuk jidatnya dengan sebelah tangan.
Hana melongo, tidak paham dengan kata-kata asing yang baru saja dilontarkan Billy. Melihat ekspresi Hana, Billy pun menjelaskan. "Ah, kamu tidak paham ya? Make a wish itu doa atau harapan sebelum meniup lilin." Billy tersenyum. "Sepertinya aku harus menjadi guru bahasa inggrismu. Apa kamu mau merekrutku?" canda Billy.
Hana menggeleng. "Aku tidak tertarik dengan bahasa asing."
"Hm, baiklah." Billy meletakkan kue di atas nakas, samping tempat tidur. Ia menatap Hana "Tunggu sebentar ya," pintanya lalu bergegas ke luar kamar. Beberapa menit kemudian, Billy kembali ke kamar dengan memeluk sebuah kotak kado berukuran besar. Hana menutup mulutnya dengan tangan, tidak menyangka Billy akan bertindak sejauh ini. Billy membuka kado jumbo itu perlahan.
"Tada!!!" teriaknya sumringah. Ternyata isi dari kotak tersebut adalah sebuah boneka beruang besar berwarna ungu.
Hana membulatkan matanya. "Billy ..."
"Selamat ulang tahun, Hana. Selamat atas berkurangnya umurmu untuk hidup di dunia ini," kekeh Billy lalu menyerahkan boneka tersebut kepada Hana.
Hana hanya bisa tertawa di sela tangis harunya. Ia menerima boneka tersebut dan langsung memeluknya. "Terima kasih, Billy. Apa yang kamu berikan ini terlalu besar bagiku. Aku akan membalasnya nanti."
Billy mengulum senyum. "Tentu kamu harus membalasnya. Aku akan menagihnya nanti," balas Billy. Hana mengangguk. Billy mendekat dan mengacak-acak puncak kepala Hana gemas. "Seandainya saja kamu bukan ..."
Hana sontak mendongak. "Ya?"
Billy menggeleng. "Bukan apa-apa. Ya sudah, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik dan jangan menangis terus," pamit Billy lalu beranjak keluar tanpa melihat ke belakang.
Usai kepergian Billy, Hana terus menatap boneka itu. Ada rasa penasaran saat Billy mengucapkan kata-kata yang menggantung tadi. Hana meletakkan boneka tersebut di samping tempat tidurnya. Ia akan tidur saja malam ini. Jonathan juga tak menampakkan batang hidungnya hingga sekarang. Mungkin sedang pergi dengan wanita tadi. Pikir Hana dalam hati.
Hana memejamkan matanya. Mengenyahkan semua pikiran yang menyiksanya.
Memangnya apa yang Hana harapkan di hari spesialnya ini? Hadiah dari Jonathan? ia tertawa miris dalam hati. Itu tidak akan pernah terjadi.
***
Hana merasakan guncangan dalam tidurnya. Ia membuka matanya dengan terpaksa. Hana tersadar. Ini bukan kamarnya! Lalu dimana dia? Terdengar suara deru mesin di luar. Hana bangkit dari tempat tidur lalu menatap ke luar jendela.
Hana membuka mulutnya lebar. Astaga, dia sekarang sedang berada di laut! Seketika ia panik lalu berlari keluar dari kamar megah ini.
Angin laut di malam hari menerpa wajah Hana begitu ia sampai di luar. Rasa takut kian menyelimuti saat ia tidak menemukan siapa-siapa. Ya, Tuhan! dimana ini? kenapa ia bisa berada di sini?
Hana mulai mengingat-ingat. Tadi setelah Billy meninggalkan kamarnya, ia langsung tidur. Berarti, ini hanyalah mimpi. Ya, Hana yakin ia hanya bermimpi. Ia menampar wajahnya beberapa kali agar ia segera bangun dari mimpi aneh ini.
"Berhenti menyiksa dirimu."
Hana membalikkan badannya saat mendengar suara rendah yang tak lagi asing itu. Hana tercekat saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya. Beberapa detik, Hana sempat terkesima. Pantulan sinar lampu yang menerpa pakaian Jonathan yang serba putih membuatnya tampak bercahaya. Ditambah lagi ketika pria itu sedang menatapnya dalam, membuat jantung Hana berdegup kencang.
"Jonathan?”
Ketika Jonathan sudah berdiri dekat dengan Hana, ia langsung menarik pinggang wanita itu hingga tubuh keduanya saling bersentuhan. Hana menelan salivanya dengan susah payah. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya pelan dengan kedua bola mata saling memandang mata pria di hadapannya ini.
"Aku menculikmu."
Hana masih tak paham. "Apa maksudmu? Dan kenapa kita bisa berada di sini?"
"Kita sedang berlayar di atas laut. Menggunakan yacht," jelas Jonathan.
Hana mengernyitkan dahinya. Ia masih tak bisa mengerti sama sekali dengan situasi seperti ini.
"Lalu apa sebenarnya tujuanmu membawa—"
“Selamat ulang tahun,” sela Jonathan tiba-tiba. Hana tercekat dan membelalakkan matanya saat ia merasakan sentuhan tangan Jonathan di lehernya. Sebuah kalung liontin yang tampak begitu cantik dan indah dilingkarkan di lehernya.
"Selamat ulang tahun, My precious woman," bisik Jonathan di telinga Hana.
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo
Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara."Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal
Sudah tiga hari semenjak Jonathan menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hana. Dan sampai hari ini, dia tidak pernah lagi menjenguk dan menampakkan wajahnya di depan Hana. Dia benar-benar pergi dari hidup Hana, meninggalkan bekas luka yang masih terasa sampai sekarang. Hati Hana terluka bagai disayat-sayat secara paksa.Setelah semua yang dilalui, dia dengan teganya pergi begitu saja dengan alasan tak ingin menyakiti lagi. Nyatanya apa yang menurutnya baik itulah yang membuat Hana semakin tersakiti.Jonathan bodoh— tidak. Hana yang bodoh. Sudah tahu ia tidak layak dicintai, namun masih berani mengharapkan cinta dari lelaki yang berbeda kasta dengannya. Rasakan sendiri akibatnya!Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan suara gemerisik plastik membuat lamunan Hana sontak terhenti. Ia menoleh pada seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.Billy berjalan menghampiri Hana dengan menenteng dua plastik. "Aku membawakanmu bubur a
Usai meminta izin ke toilet, Billy langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Hana. Sebenarnya bukan itu tujuannya.Dan berdirilah ia disini. Di lorong-lorong yang panjang dan cahayanya tampak temaram. Billy menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menunggu seseorang datang. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki seseorang. Billy menegakkan tubuhnya saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya dengan balutan jas nya yang rapi."Kenapa kamu memintaku ke sini? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Jonathan begitu ia telah berhadapan dengan Billy.Billy mengangguk. "Aku ingin menanyakan kepastian hubunganmu dengan Hana."Jonathan menghela napas berat sejenak lalu menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap langit-langit gedung itu."Bil.""Hm?""Kamu tahu situasiku, kan?"Billy terdiam sejenak. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku mengerti. Berada
Hana berlari kembali ke kamarnya setelah tak tahan mendengar apa yang dikatakan Catherine. Tubuhnya yang lemah merosot jatuh ke lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan-tahan kini tak sanggup lagi dibendung. Hana menangis hebat di balik pintu kamarnya. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Setelah Vanesha menghinanya, sekarang Catherine yang ia anggap sebagai Dewi kebaikan ternyata ikut merendahkannya.Hana tak kuat lagi. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik oleh pisau yang sangat tajam. Tak ada yang bisa dipercaya disini. Hana merindukan ibunya dan Windy. Hanya mereka yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus.Hana segera bangkit dan berjalan ke arah meja. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja tersebut lalu duduk di tepi kasur. Hana menelfon ibunya. Setelah beberapa saat, terdengar suara Fatma di seberang sana."Halo, Hana? Ada apa menelpon malam-malam begini?""Ibu...""Iya?""Aku merindukan, Ibu." Hana berusa
Jonathan berlari keluar dari rumah menggunakan payungnya. "Sial. Kemana sebenarnya wanita itu," umpatnya ditengah derasnya hujan. Ia sedang mencari Hana. Semenjak pagi tadi— seusai sarapan, wanita itu langsung pergi dan menghilang dari pandangan Jonathan. Semua penghuni rumah juga mengatakan bahwa mereka tidak melihat Hana. Termasuk Billy yang baru saja pulang entah dari mana."Semoga dia tidak kenapa-napa." Jonathan dengan raut khawatir menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia segera beranjak keluar dari halaman rumah lalu berjalan di sekitar kompleks perumahan.Rasa gelisah menghantui benaknya saat curah hujan kian membesar. Waktu kian berlalu, sudah dua jam Jonathan mencari Hana, namun sampai sekarang ia masih belum menemukannya. Ia berjalan lagi, mengenyahkan niatnya untuk berhenti dan pulang saja. Setidaknya Jonathan harus menemukannya dan memastikan kondisi wanita itu baik-baik saja.Dan saat ia menoleh ke kiri, tak jauh dari tempat ia berada, seorang wanita
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba
Semua mata tertuju pada wanita yang tengah melangkah masuk ke dalam gedung itu.Mata elangnya menatap lurus ke depan. Dengan langkah kaki yang tegas, ia tampak akan memakan semua orang yang menatap ke arahnya. Ia tampak tidak asing, tapi ekspresi dan penampilannya yang modis membuatnya tampak berbeda kali ini.Semua karyawan sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang ini. Pimpinan mereka, Florentina Hana, yang selama ini diketahui telah menghilang dan dikabarkan meninggal tanpa sebab, ternyata masih hidup.Media menjadi heboh dengan kemunculan CEO Deloxa itu. Sebagian dari orang-orang yang berada di dalam gedung itu tampak takut, ada pula yang heboh dan segera mengabadikan momen itu lalu mengunggahnya ke sosial media.Hana melewati kerumunan manusia yang sedang memotret dirinya itu. Tatapan tajam ia lemparkan pada mereka. "Apa kalian ingin dipecat?" Para karyawan langsung berhenti mengambil gambar dan tampak menundukkan kepala."Saya aka
Jari-jari Jonathan meremas setir mobil dengan kuat. Ia tampak gelisah. Bayangan wanita yang melewatinya tadi sore benar - benar menghantui kepalanya. Mungkinkah Hana masih hidup? Lalu siapa wanita di peti yang ia tangisi itu? Ya, Tuhan … ini semua benar-benar gila!"Apa yang sedang papa Jonathan pikirkan?" tanya Axel di sampingnya.Jonathan menoleh, menatap anaknya itu. "Axel, apa kamu percaya dengan keajaiban?"Axel mengangkat alisnya, "Keajaiban?"Jonathan mengangguk."Hm. Axel percaya. Mama selalu mengatakan; tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak," jawab anak itu polos.Jonathan terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Apa Axel percaya jika mereka yang telah meninggal bisa hidup kembali?""Itu bisa saja, Papa.""Apa Axel percaya jika mama Hana telah meninggal?" tanya Jonathan lagi."Kenapa papa Jonathan tiba-tiba bertanya seperti itu?" sahut Axel penasaran.Jonathan menggeleng,
"Ada apa, Papa?" tanya Axel kepada Jonathan yang menggantungkan kalimatnya.Jonathan terkesiap. Ia menatap Axel, "Papa hanya … tadi ..." Ia menoleh lagi ke arah wanita itu. Dia berlari menjauh dari mereka. Wanita itu seperti sedang ketakutan. Apakah yang ia lihat barusan adalah hantu? Atau ia sedang bermimpi? Wajahnya benar-benar mirip.Tidak, itu pasti bukan Hana. Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia pikir itu hanya halunasinya saja karena terlalu sering memikirkan Hana. Hana yang ia kenal telah meninggal."Papa Jonathan?"Jonathan tersadar dari lamunannya."Ada apa? Kenapa papa Jonathan hanya diam? Ayo kita pergi dari sini. Axel ingin pulang.""Axel," cegah Jonathan karena hendak berkata, "Axel tunggu sebentar di sini ya. Papa akan kembali lagi dalam lima menit." Usai berkata demikian Jonathan langsung berlari secepat mungkin mengejar jejak wanita tadi. Ia sudah kepalang penasaran.Jonathan berlari sembari mengedarkan matanya