Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana.
Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain.
"Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada.
Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum.
"Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum.
Hana menganggukkan kepalanya kaku.
Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah dengan panduan internet. Tapi sebelum itu semua kamu harus punya modal percaya diri terlebih dahulu. Karena kalau kamu tidak percaya diri, ya percuma saja. Kamu tidak akan bersinar."
Hana manggut-manggut. Setelah beberapa saat, ia pun memutar tubuhnya ke arah Catherine. "Em, Cath … anu, em … Apa kamu tidak keberatan untuk mengajariku berdandan?" tanya Hana ragu.
Catherine terkekeh, "Kamu itu calon adik iparku, tentu saja aku akan dengan senang hati mengajarimu."
Hana tercekat untuk beberapa saat. Adik ipar?
"Nanti malam akan diadakan pesta ulang tahun ibuku. Kamu harus datang bersama Billy. Cobalah berkreasi dengan wajahmu seperti yang telah aku ajarkan. Aku yakin semua lelaki akan terpikat melihat penampilanmu." Catherine lalu menyerahkan sebuah kartu undangan kepada Hana.
Hana menerima benda tersebut dengan hati yang dilema karena masih terngiang ucapan Catherine tadi. Adik ipar. Hati kecilnya terus memprotes hal tersebut.
"Aku tidak mau tahu, nanti malam kalian harus datang. Oke?" paksa Catherine.
Hana menghela napas panjang. "Baiklah."
Catherine memekik girang. "Yeay, aku sudah tidak sabar menunggu malam tiba."
Hana hanya membalas dengan senyuman yang dipaksa.
"Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai bertemu nanti malam." Catherine lalu melenggang pergi.
***
Hana mulai mempraktikkan apa yang telah diajarkan oleh Catherine kepadanya. Ia memulainya dengan maskara terlebih dahulu. Bulu matanya yang lentik cukup memudahkannya untuk memakai maskara.
Hana tersentak mendengar suara pintu kamarnya yang tiba-tiba terbuka. Untung saja cairan hitam itu tidak belepotan di area matanya. Ia meletakkan benda tersebut lalu menoleh ke arah pintu.
"Jonathan?"
Jonathan tersenyum ke arah Hana lalu menutup pintu dan menguncinya. Ia sudah bertelanjang dada namun masih memakai bawahan. Hana sontak menelan ludahnya melihat pemandangan menggiurkan tersebut. Ya, memangnya siapa yang tidak akan tergoda melihat dada bidang dan perut kotak-kotak milik Jonathan? Tubuhnya yang atletis membuat semua wanita yang meliriknya ingin segera berada di bawahnya. Dan Hana beruntung karena telah merasakan nikmatnya tubuh Jonathan.
Hana menggelengkan kepalanya, Astaga, apa yang sebenarnya kupikirkan? Kenapa otakku bisa memikirkan hal yang tidak-tidak di siang bolong seperti ini? Virus mesum Jonathan sepertinya sudah menular kepadaku.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Jonathan sembari berjalan mendekat ke arah Hana.
"A– aku sedang ... mencoba untuk berdandan." Hana merasa gugup karena Jonathan tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang dan menatapnya curiga.
"Berdandan?" tanya Jonathan heran. Ia melirik beberapa kosmetik yang tergeletak di atas meja rias Hana.
"I-i ... iya."
"Untuk apa kamu berdandan? Tidak ada yang akan tertarik dengan wajahmu," ucap Jonathan sarkastis.
Hana menggigit bibir bawahnya, merasa takut dengan tatapan nyalang Jonathan. "Aku hanya ingin mencoba-coba saja."
"Tidak boleh!"
Hana tercekat. Menatap Jonathan dengan pandangan sedih. "Kenapa?"
"Aku bilang tidak ya tidak!" ucap Jonathan murka.
"Jonathan, aku mohon … kamu tidak tahu betapa bosannya aku di rumah ini. Kamu mengurungku dan tidak pernah membebaskanku keluar rumah. Aku hanya ingin menghilangkan rasa jenuhku dengan mencoba hobi yang baru." Hana menatap Jonathan dengan pupil yang sudah membesar, seperti anak anjing yang meminta dikasihani.
"Tidak."
"Jonathan ..."
"Kamu tidak boleh berdandan Hana," ucap Jonathan gusar lalu berjalan menuju kasur. "Kamu tidak tahu betapa berbahayanya dirimu jika melakukan hal itu."
"Apa maksudmu?"
Jonathan duduk di tepi kasur. Ia menatap Hana. "Intinya tidak boleh. Itu akan menjadi musibah yang besar bagi kaum lelaki yang melihatmu."
Hana mendengkus. Tidak paham sama sekali dengan ucapan Jonathan yang tidak nyambung dengan arah pembicaraannya. Dia hanya ingin belajar berdandan, kenapa sampai disangkut-pautkan ke dalam musibah? Memangnya bencana apa yang akan terjadi jika Hana berdandan? Berlebihan sekali.
"Kamu sudah cukup menarik seperti itu," puji Jonathan. "Sekarang, ayo beri jatah aku dulu."
Hana membulatkan matanya, "Sekarang?"
"Hm. Sekarang. Masa tahun depan? Keriputan nanti," kekeh Jonathan lalu melorotkan celananya dan berbaring di atas kasur.
"Tapi ini masih siang."
Jonathan berdecak, "Apa masalahnya? Siang, sore, malam itu sama saja. Tidak ada aturan waktu dalam melakukan seks."
"Ta- tapi, Catherine ..."
"Tenang saja. Dia sudah pulang," timpal Jonathan. "Tunggu apa lagi, Hana? Cepat hapus riasanmu yang aneh itu. Matamu jadi kelihatan besar sebelah."
"Tapi bagaimana dengan orang-orang di rumah? Bagaimana jika mereka mendengar."
"Siapa yang kamu maksud? Billy?" Jonathan tersenyum sinis. "Aku menyuruhnya membeli susu di peternakan sapi."
Hana membulatkan matanya, "Su-susu?"
"Hm, Kemungkinan akan memakan waktu cukup lama karena aku memintanya untuk memerah susu sapinya langsung dari kandangnya."
"Ta- tapi ..."
"Sampai kapan kamu akan menunda-nunda lagi, Hana?! Aku sudah tidak tahan," protes Jonathan mulai tak sabar.
"Baik. Tunggu sebentar." Hana mulai menghapus riasannya.
Jonathan menghela napas gusar. "Bicara tentang susu aku jadi ingin minum susu."
"Kamu sedang mengidam ya?" tanya Hana. Ia lalu berjalan ke arah Jonathan. "Seleramu seperti ibu hamil saja."
Jonathan mengendikkan bahunya cuek. "Entahlah. Selera makanku jadi berubah akhir-akhir ini." Lalu melirik buah dada Hana, Jonathan tiba-tiba tersadar akan sesuatu.
"Hana?"
"Hm?"
"Payudaramu terlihat membesar akhir-akhir ini."
Hana melirik ke bawah, ke arah payudaranya. Lalu ia menatap Jonathan, "Benarkah? Aku tidak menyadarinya. Apakah terlihat seperti itu?"
Jonathan mengangguk. "Dulu ukurannya bahkan tidak sebesar buah lemon. Sekarang hampir sebesar jeruk bali."
Hana melotot. Wajahnya mulai memerah karena malu. Ia menatap kesal pada Jonathan. "Memangnya itu karena ulah siapa?"
Jonathan terkekeh. "Oh, iya ya. Aku yang membuatnya sebesar itu. Sekarang ayo cepat berbaring, kita akan membuatnya besar seperti buah semangka," canda Jonathan lalu disusul suara ledakan tawa yang keras.
***
Jonathan segera membuka matanya saat mendengar suara deringan ponselnya. Tangannya yang panjang segera meraih benda pipih tersebut di atas nakas di samping tempat tidur. Tanpa melihat nama pemanggil, Jonathan langsung mengangkat ponsel tersebut dan menempelkannya di telinganya. "Halo," jawabnya serak.
"Hm ... iya."
"Iya, Mom. Aku akan segera ke sana."
"Hm, bye." Jonathan segera memutuskan sambungan dan bangun dari posisi tidurnya. Ia melirik ke sampingnya. Hana masih terlelap akibat percintaan mereka yang panas tadi siang.
Jonathan menyingkap anak rambut yang menghalangi wajah Hana. Ia terlihat damai saat sedang tidur. Ia menatap wajah polos itu dalam hening. Yang terdengar hanyalah suara dengkuran halus yang begitu tenang. Tiba-tiba terbersit perasaan bersalah dalam benak Jonathan. Bagaimana bisa wanita secantik ini ia kotori dengan kehidupannya yang liar? Dari semua wanita kenapa hanya Hana yang mampu membuat Jonathan merasakan perasaan takut akan kehilangan? Saat Hana berdekatan dengan pria lain, sesuatu dalam diri Jonathan langsung berteriak murka dan ingin menghajar pria yang mendekati Hana.
Jonathan tidak tahu apa itu cinta. Tapi setiap kali Hana tersenyum dan tertawa lepas, Jonathan tak bisa mengendalikan detak jantungnya yang menggebu-gebu. Kata orang saat kamu sedang berdebar-debar karena senyuman seseorang, itu berarti kamu sedang jatuh cinta dengannya. Apakah benar jika Jonathan jatuh cinta dengan Hana?
Entahlah. Jonathan masih bingung dengan perasaannya. Karena jujur saja sebelumnya ia tidak pernah merasakan jatuh cinta dan tidak pernah berniat.
Jonathan menghela napas sejenak. Ia melirik jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Ia harus bersiap-siap untuk menjemput Catherine dan menuju ke pesta. Jonathan segera menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya dengan Hana. Jonathan turun dari ranjang dengan langkah pelan dan hati-hati. Ia takut akan membangunkan Hana yang terlihat kelelahan. Jonathan segera memakaikan pakaiannya. Ia hendak beranjak keluar, namun sebelum itu...
Jonathan berjalan mendekat ke samping tempat tidur. Ia menatap Hana dengan wajah bersalah. "Maafkan aku," bisiknya lalu mengecup kening Hana lembut.
***
Sambil mendengar lagu di dalam mobil, Jonathan menyempatkan diri untuk bercermin di kaca depan. Menyisir rambutnya dengan jari, memeriksa rahangnya apakah masih ada bulu-bulu kecil? Dan tidak ada. Semuanya sudah beres. Wajah Jonathan sudah bersih dan tampan. Wangi juga oke. Penampilannya juga sudah tidak diragukan lagi. Tinggal menunggu Catherine keluar dari apartemennya saja.
Tak lama kemudian, munculah wanita yang sedari tadi ditunggu-tunggu. Jonathan terpukau. Catherine terlihat sangat cantik.
"Hey," sapa Catherine saat sudah masuk ke mobil. Jonathan mengikis senyum.
"Hey. You look so beautiful,"
puji Jonathan.Catherine mengulas senyum. "Dan kamu juga terlihat sangat tampan," puji Catherine balik. Matanya tak bisa berhenti mengagumi ketampanan Jonathan dibalik jas hitamnya. Ibunya tidak salah memilih jodoh untuknya. Catherine sangat menyukai pria ini. Mereka berdua saling tertawa untuk beberapa saat setelah saling bertatapan.
"Kamu siap berangkat?" tanya Jonathan kemudian.
"Yeah, I’m ready," seru Catherine semangat.
***
"Oh, My princess."
Vanesha menyambut kedatangan Jonathan dan Catherine dengan senyuman yang hangat. Lebih tepatnya menyambut ramah calon menantunya. "Kamu terlihat luar biasa," puji Vanesha sembari menatap kagum Catherine dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.Catherine tertawa kecil. "Terima kasih Mom. Mommy lebih cantik dari siapapun disini," balas Catherine.
Vanesha tertawa. "Kamu bisa saja. Jonathan beruntung sekali memiliki calon istri sepertimu, Cath," ucap Vanesha sembari mencuri-curi pandang ke arah Jonathan.
"Tidak, Mom. Aku yang beruntung karena memiliki calon suami sepertinya."
"Aw, kamu terlalu merendahkan diri, Sayang. Inilah kenapa Mommy selalu mengagumimu."
Jonathan menghela napas panjang. Ia diabaikan di sini. Vanesha benar-benar memperlakukan Catherine seperti anaknya sendiri.
Setelah lama berbincang, Vanesha akhirnya pergi dan berbincang dengan tamu lainnya. Catherine menghampiri Jonathan yang sedari tadi menunggunya. "Maaf membuatmu lama menunggu."
Jonathan terkekeh, "Santai saja. Aku sudah terbiasa diabaikan Mommy. Sepertinya dia sangat menyukaimu, Cath."
Catherine tertawa, "Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu tidak menyukaiku?"
Jonathan tertawa. "Tentu saja aku menyukaimu."
"Ah, benarkah?" catherine mulai malu. Ia memukul lengan Jonathan manja. Jonathan tersenyum "Ayo, aku harus bertemu dengan ibumu," ajaknya kemudian. Catherine mengangguk lalu menyelipkan tangannya pada lengan Jonathan.
***
Hana terdiam seorang diri di atas ranjang. Ia tadinya sudah mandi dan memakai gaun yang bagus untuk ke pesta. Namun pesan dari Jonathan yang baru saja masuk terpaksa membuatnya harus menelan kecewa.
Aku melihat surat undangan di atas mejamu. Aku peringatkan. Jangan coba-coba untuk keluar malam ini! Aku akan selalu memantaumu. Jika kamu melanggar, lihat saja nanti akibatnya.
Padahal Hana ingin sekali ke pesta itu. Hana sedih dan kecewa. Catherine juga pasti akan sangat kecewa jika Hana tidak datang. Ia sudah terlanjur berjanji dengan wanita itu.
Hana menoleh ke arah pintu. Ia membulatkan matanya. "Billy?"
Billy melangkah masuk ke dalam kamar Hana dengan napas terengah-engah. "Dimana si keparat itu?" tanya Billy dengan wajah masam.
Hana segera berdiri dan menghampiri Billy. "Dia tidak ada. Ada apa dengan wajahmu? Dan ..." Hana bergidik mencium bau yang tak sedap muncul dan asalnya dari Billy. "Kenapa kamu bau sekali, Bil?" tanya Hana sembari menjepit hidungnya.
"Aku habis dari peternakan sapi. Jonathan brengsek! Dia menyuruhku memerah susu langsung dari sapinya. Katanya dia ingin meminumnya langsung saat aku sudah tiba di sini. Sekarang dia sudah menghilang begitu saja."
"Kenapa kamu mau melakukan itu?" tanya Hana heran.
"Dia berjanji akan meminjamkan kartu debitnya kepadaku. Itulah kenapa aku mau melakukannya." Billy mendengkus sebal. Ia benar-benar kesal. Jonathan telah menipunya.
Billy memperhatikan penampilan Hana dari bawah hingga ke atas. "Kamu mau kemana?"
"Tadinya aku akan ke pesta. Tapi Jonathan melarangku ke sana," jawab Hana lesu.
"Pesta?" Billy mengernyitkan keningnya.
"Iya. Catherine mengundangku ke pesta ulang tahun ibunya."
Billy membelalak dan tersadar seketika. Ia berkacak pinggang. "Cih! Jadi mereka benar-benar tidak mengundangku?! Dasar ipar kurang ajar!" bentak Billy. Ia lalu menatap Hana. "Hana, ayo kita ke pesta itu."
Hana membelalak, "Apa? Ke pesta itu? Tapi Jonathan akan ..."
"Jangan takut dengan Jonathan. Tenang saja, ada aku."
"Tapi ..."
"Tidak apa-apa. Kamu tunggu sebentar ya. Aku mandi dulu," potong Billy lalu berlari keluar dari kamar Hana.
***
"Selamat ulang tahun, Nyonya Mirabella," sapa Jonathan ramah. Wanita paruh baya berpenampilan elegan itu tersenyum hangat, lalu menyambut kedatangan menantunya itu dengan pelukan singkat.
"Terima kasih telah datang. Kamu terlihat sangat tampan, Nak," balas Wanita itu.
"Terima kasih. Nyonya juga terlihat sangat cantik," puji Jonathan.
Mirabella tersenyum lalu menatap putrinya yang tengah berdiri di samping Jonathan. "Kamu tampak bahagia hari ini, Cath."
Catherine tertawa, "Tentu saja, Mom. Seharian bersamanya membuatku bahagia.
Kami LDR Empat tahun karena aku harus kuliah di Amerika dan itu sangat menyiksa."Mirabella mengangguk "Baiklah, nikmati pesta malam ini dengan bersenang-senang!"
Catherine tersenyum. "Tentu saja." Ia menatap Jonathan. "Ayo berdansa," ajaknya. Dan Jonathan menganggukkan kepalanya, setuju.
Saat sudah sampai di lantai dansa, semua mata terus tertuju pada Jonathan dan Catherine. Mereka layaknya bintang yang bersinar malam ini. Sambil berdansa, Catherine terus mendongak, menatap wajah Jonathan. "Kamu tahu? Aku merasa seperti putri di dalam dongeng sekarang. Karena kamu terlihat seperti pangeran di mataku."
Jonathan mengulas senyum, "Terima kasih. Kamu tahu? Inilah kenapa aku menerima perjodohan ini. Aku tahu kamu adalah wanita yang bisa menyenangkan hatiku."
Semburat malu terpancar dari wajah Catherine. "Kamu terlalu banyak memujiku. Aku jadi ingin cepat-cepat menikahimu."
Jonathan hanya menanggapi ucapan Catherine dengan senyuman. Namun senyumannya itu langsung berhenti kala matanya tak sengaja menangkap sosok di seberang sana yang tengah menatap ke arahnya.
Jonathan menegang. Apa yang sedang dilakukan Hana di sini?! Hatinya tiba-tiba panas melihat Billy berdiri di sampingnya sembari menarik pinggang Hana posesif.
"Brengsek!" umpat Jonathan tiba-tiba.
Catherine mengernyit heran. Di tengah suasana romantis ini Jonathan tiba-tiba mengeluarkan kata-kata kasar. Ada apa dengannya? "Kamu kenapa, Jonathan?"
Jonathan kembali menatap Catherine. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Cath," sanggahnya sambil sesekali melirik ke arah sana. Hatinya semakin panas saat Billy dan Hana sudah berdiri di lantai dansa. Semua tatapan beralih pada pasangan Billy dan Hana.
Catherine sadar akan hal itu dan segera menghentikan gerakan kakinya. Ia menoleh ke arah sana. Catherine tersenyum. "Itu Billy dan Hana. Bukankah mereka terlihat serasi?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Jonathan. Tatapan emosinya masih tertuju ke arah sana. Catherine melihat perubahan wajah Jonathan.
"Jonathan—"
"Maafkan aku, Cath. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan sekarang juga." Jonathan lalu melangkah pergi menyusuri pasangan yang tengah menjadi sorotan di sana.
***
Hana dan Billy sampai di ruang dansa setelah menyapa para undangan lainnya. Diantaranya merupakan teman-teman Billy. Rata-rata dari mereka mengagumi penampilan wanita yang datang bersama Billy, yaitu Hana. Tentu saja Billy bangga. Hana di sini sebagai kekasihnya. Dia akan mengenalkan kekasihnya itu pada dunia.
Billy menarik pinggang Hana saat wanita itu terus menatap pilu pada Jonathan dan Catherine yang tengah berdansa di sana.
"Jangan melihat kalau hal itu hanya akan membuat hatimu sakit," bisik Billy.
Hana tersentak kala Billy membawanya tengah-tengah lantai dansa. Mereka menjadi pusat perhatian. Hana malu. Ia menundukkan kepalanya. "Billy. Aku ... aku tidak ..."
"Tenang saja, Hana. Ayo kita buat sebuah pertunjukan yang menggegerkan dunia." Billy meraih tangan Hana dan kedua kakinya menuntun langkah Hana mengikuti ritme dan irama musik.
Billy terlihat menikmati sementara Hana mulai gelisah dilihat banyak orang dan salah satu diantaranya adalah Jonathan.
Hana mencoba untuk mengimbangi langkahnya dan mengikuti gerakan kaki Billy. Sesungguhnya ia tidak pernah berdansa, tapi seiring berjalannya waktu, Hana mulai terbiasa.
"Kamu tidak membaca pesanku?!" Hana dan Billy sontak menghentikan langkahnya saat mendengar suara berat itu.
"Jonathan?" Hana melepaskan cengkraman tangannya pada Billy.
Jonathan menatap tajam pada Billy. "Kita akan selesaikan ini nanti, Bill." Lalu menarik paksa tangan Hana dan membawanya keluar dari pesta. Semua orang menatap aneh pada mereka. Termasuk Vanesha yang juga sedari tadi menyaksikan hal tersebut.
***
Jonathan membuka pintu hotel dengan scanner lalu mendorong Hana secara kasar ke dalam. Hana menangis diperlakukan seperti ini tapi Jonathan tidak peduli. Ia membanting Hana hingga tubuh wanita itu jatuh menimpa kasur.
Hana menangis sejadi-jadinya. "Jonathan … maafkan aku …," isaknya.
"Kamu keras kepala, Hana! Kamu tidak membaca pesanku?!" tukas Jonathan sembari melonggarkan ikat pinggangnya.
"Maafkan aku. Aku salah. Maafkan aku," mohon Hana tak berdaya.
"Kamu harus diberi pelajaran!" Jonathan melorotkan bawahannya dan mengambil ikat pinggangnya sembari berjalan mendekat ke arah Hana. "Buka pakaianmu!" titah Jonathan.
Hana yang masih menangis terpaksa membuka pakaiannya dengan cepat karena takut. Ia sekarang dalam keadaan telanjang.
"Menghadap ke arah sana!" perintah Jonathan lagi. Hana langsung menuruti perkataan Jonathan dan memposisikan tubuhnya seperti yang diinginkan Jonathan.
Plak! Jonathan tiba-tiba mencambuk bokong Hana dengan ikat pinggangnya. Hana membuka mulutnya, menjerit sejadi-jadinya.
"Jangan menangis! Ini karena kesalahanmu sendiri!" berang Jonathan. Hana berusaha membungkam mulutnya meski air matanya terus mengalir.
Plak!
Hana kembali menggigit bibir bagian dalamnya saat merasakan siksaan di sekitar tubuhnya.
Plak!
Hana menjerit. "Jonathan …! Maafkan aku."
"Diam! Jangan bersuara kecuali ku.suruh."
Plak!
Dan akhirnya Hana hanya bisa menangis dalam diam merasakan siksaan itu. Jonathan lalu membuang ikat pinggangnya lalu mendorong tubuh Hana hingga posisinya telungkup.
Tanpa berpikir panjang, Jonathan langsung memasukkan miliknya ke dalam dan menghujam Hana dengan kasar. Rintihan Hana tidak dipedulikan oleh Jonathan.
"Ini akibatnya jika kamu berani membangkang perintahku, Hana." Jonathan mempercepat gerakannya dengan ritme yang sangat cepat hingga tiba-tiba Hana jatuh terkulai lemas.
"Sial! Sampai disini saja kemampuanmu? Kamu sudah menye—"
Ucapan Jonathan terhenti seketika kala merasakan sesuatu yang mengalir deras di area penyatuan. Jonathan membelalak. Ia segera mengeluarkan miliknya dengan cepat.
"Ya Tuhan, Hana!" Jonathan memekik kaget saat melihat darah terus mengalir dari tempat penyatuan.
Darah! Itu darah!
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo
Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara."Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal
Sudah tiga hari semenjak Jonathan menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hana. Dan sampai hari ini, dia tidak pernah lagi menjenguk dan menampakkan wajahnya di depan Hana. Dia benar-benar pergi dari hidup Hana, meninggalkan bekas luka yang masih terasa sampai sekarang. Hati Hana terluka bagai disayat-sayat secara paksa.Setelah semua yang dilalui, dia dengan teganya pergi begitu saja dengan alasan tak ingin menyakiti lagi. Nyatanya apa yang menurutnya baik itulah yang membuat Hana semakin tersakiti.Jonathan bodoh— tidak. Hana yang bodoh. Sudah tahu ia tidak layak dicintai, namun masih berani mengharapkan cinta dari lelaki yang berbeda kasta dengannya. Rasakan sendiri akibatnya!Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan suara gemerisik plastik membuat lamunan Hana sontak terhenti. Ia menoleh pada seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.Billy berjalan menghampiri Hana dengan menenteng dua plastik. "Aku membawakanmu bubur a
Usai meminta izin ke toilet, Billy langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Hana. Sebenarnya bukan itu tujuannya.Dan berdirilah ia disini. Di lorong-lorong yang panjang dan cahayanya tampak temaram. Billy menyandarkan punggungnya ke dinding sambil menunggu seseorang datang. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki seseorang. Billy menegakkan tubuhnya saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya dengan balutan jas nya yang rapi."Kenapa kamu memintaku ke sini? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Jonathan begitu ia telah berhadapan dengan Billy.Billy mengangguk. "Aku ingin menanyakan kepastian hubunganmu dengan Hana."Jonathan menghela napas berat sejenak lalu menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap langit-langit gedung itu."Bil.""Hm?""Kamu tahu situasiku, kan?"Billy terdiam sejenak. Lalu beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku mengerti. Berada
Hana berlari kembali ke kamarnya setelah tak tahan mendengar apa yang dikatakan Catherine. Tubuhnya yang lemah merosot jatuh ke lantai. Air mata yang sedari tadi ditahan-tahan kini tak sanggup lagi dibendung. Hana menangis hebat di balik pintu kamarnya. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Setelah Vanesha menghinanya, sekarang Catherine yang ia anggap sebagai Dewi kebaikan ternyata ikut merendahkannya.Hana tak kuat lagi. Hatinya terasa seperti dicabik-cabik oleh pisau yang sangat tajam. Tak ada yang bisa dipercaya disini. Hana merindukan ibunya dan Windy. Hanya mereka yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus.Hana segera bangkit dan berjalan ke arah meja. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja tersebut lalu duduk di tepi kasur. Hana menelfon ibunya. Setelah beberapa saat, terdengar suara Fatma di seberang sana."Halo, Hana? Ada apa menelpon malam-malam begini?""Ibu...""Iya?""Aku merindukan, Ibu." Hana berusa
Jonathan berlari keluar dari rumah menggunakan payungnya. "Sial. Kemana sebenarnya wanita itu," umpatnya ditengah derasnya hujan. Ia sedang mencari Hana. Semenjak pagi tadi— seusai sarapan, wanita itu langsung pergi dan menghilang dari pandangan Jonathan. Semua penghuni rumah juga mengatakan bahwa mereka tidak melihat Hana. Termasuk Billy yang baru saja pulang entah dari mana."Semoga dia tidak kenapa-napa." Jonathan dengan raut khawatir menoleh ke kiri dan ke kanan. Ia segera beranjak keluar dari halaman rumah lalu berjalan di sekitar kompleks perumahan.Rasa gelisah menghantui benaknya saat curah hujan kian membesar. Waktu kian berlalu, sudah dua jam Jonathan mencari Hana, namun sampai sekarang ia masih belum menemukannya. Ia berjalan lagi, mengenyahkan niatnya untuk berhenti dan pulang saja. Setidaknya Jonathan harus menemukannya dan memastikan kondisi wanita itu baik-baik saja.Dan saat ia menoleh ke kiri, tak jauh dari tempat ia berada, seorang wanita
Sore itu, Jonathan terdiam dan termenung di atas kasurnya. Matanya menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa sekarang. Jiwanya seakan melayang, hatinya merana akibat keputusan bodoh yang pernah ia buat."Apa aku harus menyesal?" gumamnya pelan dalam keheningan.Jonathan merogoh sakunya dan mengeluarkan kalung yang telah ia buang hari ini. Benar, Jonathan tak sanggup melakukannya. Ia hampir kehilangan akal sehatnya saat kalung itu tenggelam termakan air. Dalam kurun waktu semenit ia berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil benda itu. Seperti orang gila, ia bahkan tak tanggung-tanggung untuk masuk ke dalam got yang kotor dan keruh demi mencari kalung itu.Jonathan menatap kalung itu lamat-lamat. "... atau membiarkanmu pergi? Karena bersamaku hanya akan membuatmu tersiksa," ucapnya lirih sembari mengelus permukan benda itu dengan lembut. Tapi membayangkan kepergian Hana membuat dadanya terasa sesak.Ternyata
Seperti biasa, suasana makan malam keluarga Rutter selalu saja hening. Yang terdengar hanyalah dentingan sendok dan garpu serta piring. Semenjak Jonathan dan Catherine menikah, kediaman Jonathan menjadi sepi. Seperti tidak ada warna terang. Hanya gelap."Cath ..." Akhrinya Vanesha bersuara memecahkan keheningan."Iya,Mom?"sahut Catherine sopan."Apa kamu tidak pernah berpikir untuk melakukan program bayi tabung? Mommymempunyai kenalan yang merupakan seorang dokter.Mommyyakin dia bisa membantumu."Catherine tampak menundukkan kepala. Tidak menyangka Vanesha akan mengatakan sesuatu yang akan menyinggung perasaannya. Setelah beberapa saat kemudian, Catherine lalu mengangkat kepalanya dan menatap wajah mertuanya itu. Ia menyunggingkan senyumannya. "Tidak,Mom.Aku dan Jonathan akan tetap berusaha."Vanesha menghela napas, "Tapi ini sudah tujuh tahun semenjak pernikahan kalian.
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba
Semua mata tertuju pada wanita yang tengah melangkah masuk ke dalam gedung itu.Mata elangnya menatap lurus ke depan. Dengan langkah kaki yang tegas, ia tampak akan memakan semua orang yang menatap ke arahnya. Ia tampak tidak asing, tapi ekspresi dan penampilannya yang modis membuatnya tampak berbeda kali ini.Semua karyawan sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang ini. Pimpinan mereka, Florentina Hana, yang selama ini diketahui telah menghilang dan dikabarkan meninggal tanpa sebab, ternyata masih hidup.Media menjadi heboh dengan kemunculan CEO Deloxa itu. Sebagian dari orang-orang yang berada di dalam gedung itu tampak takut, ada pula yang heboh dan segera mengabadikan momen itu lalu mengunggahnya ke sosial media.Hana melewati kerumunan manusia yang sedang memotret dirinya itu. Tatapan tajam ia lemparkan pada mereka. "Apa kalian ingin dipecat?" Para karyawan langsung berhenti mengambil gambar dan tampak menundukkan kepala."Saya aka
Jari-jari Jonathan meremas setir mobil dengan kuat. Ia tampak gelisah. Bayangan wanita yang melewatinya tadi sore benar - benar menghantui kepalanya. Mungkinkah Hana masih hidup? Lalu siapa wanita di peti yang ia tangisi itu? Ya, Tuhan … ini semua benar-benar gila!"Apa yang sedang papa Jonathan pikirkan?" tanya Axel di sampingnya.Jonathan menoleh, menatap anaknya itu. "Axel, apa kamu percaya dengan keajaiban?"Axel mengangkat alisnya, "Keajaiban?"Jonathan mengangguk."Hm. Axel percaya. Mama selalu mengatakan; tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak," jawab anak itu polos.Jonathan terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Apa Axel percaya jika mereka yang telah meninggal bisa hidup kembali?""Itu bisa saja, Papa.""Apa Axel percaya jika mama Hana telah meninggal?" tanya Jonathan lagi."Kenapa papa Jonathan tiba-tiba bertanya seperti itu?" sahut Axel penasaran.Jonathan menggeleng,
"Ada apa, Papa?" tanya Axel kepada Jonathan yang menggantungkan kalimatnya.Jonathan terkesiap. Ia menatap Axel, "Papa hanya … tadi ..." Ia menoleh lagi ke arah wanita itu. Dia berlari menjauh dari mereka. Wanita itu seperti sedang ketakutan. Apakah yang ia lihat barusan adalah hantu? Atau ia sedang bermimpi? Wajahnya benar-benar mirip.Tidak, itu pasti bukan Hana. Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia pikir itu hanya halunasinya saja karena terlalu sering memikirkan Hana. Hana yang ia kenal telah meninggal."Papa Jonathan?"Jonathan tersadar dari lamunannya."Ada apa? Kenapa papa Jonathan hanya diam? Ayo kita pergi dari sini. Axel ingin pulang.""Axel," cegah Jonathan karena hendak berkata, "Axel tunggu sebentar di sini ya. Papa akan kembali lagi dalam lima menit." Usai berkata demikian Jonathan langsung berlari secepat mungkin mengejar jejak wanita tadi. Ia sudah kepalang penasaran.Jonathan berlari sembari mengedarkan matanya