Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu.
"Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.
Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula.
"Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"
Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat.
"Jangan takut, ayo ikut aku," ajak Jonathan.
Hana gelagapan. Jantungnya tiba-tiba berdetak tidak karuan. Hana tidak tahu apa penyebab debaran jantungnya tersebut. Mungkinkah karena ia sebentar lagi akan menaiki benda tersebut atau efek dari tindakan Jonathan barusan-yang tiba-tiba menggenggam tangannya? Jonathan memang kerap kali melakukan hal itu tanpa meminta izin Hana terlebih dahulu. Tapi kali ini sentuhannya terasa ... berbeda.
Jonathan menuntun Hana masuk ke dalam helikopter. Hana membuka mulutnya saat baru saja menginjakkan kaki ke dalam helikopter. Pandangannya mengedar menjelajahi isi dari kendaraan ini. "Wah ..." Hana menutup mulutnya, kagum dengan apa yang disaksikan oleh matanya sekarang.
"Keren, bukan?" pamer Jonathan di belakang Hana. Hana menyahut dengan mengangguk-anggukkan kepala. Jonathan menutup pintu dan berjalan mendahului Hana. Jonathan mendaratkan bokongnya pada salah satu kursi empuk tersebut.
"Ini helikopter termahal yang pernah saya beli. Harganya mungkin sepuluh kali lipat lebih mahal dari harga dirimu," ucap Jonathan iseng menantikan reaksi Hana.
Pada detik berikutnya, Jonathan terkekeh melihat ekspresi Hana setelah mendengar ucapannya barusan. Wajah Hana mulai terlihat sendu. Bersiap akan menangis. "Ya, ampun. Kamu cengeng sekali. Tadi saya hanya bercanda saja. Kamu itu pelacur kecil yang berharga bagi saya. Duduk sini." Jonathan menepuk pahanya pelan. Memberitahu Hana agar duduk di pangkuannya. Ia terlihat seperti seorang ayah yang membujuk anak gadisnya sekarang.
Sambil berjalan, Hana menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Tingkahnya seperti anak kecil. Dan itu membuat Jonathan gemas. Hana-pun duduk di pangkuan Jonathan, seperti yang disuruh oleh pria itu barusan.
Jonathan melingkarkan tangannya pada pinggang Hana. "Kamu ini, badan sudah segede ini tapi tingkah masih seperti anak kecil. Terkadang saya merasa tidak enak saat kita sedang bercinta." Jonathan tertawa kecil. "Saya merasa seperti om-om pedofil."
"Pe- pedofil?" Hana mulai tidak paham dengan kata-kata yang baru ia dengar.
Jonathan berdecak. "Yang sering main di ranjang sama anak-anak dibawah umur." Jonathan menghela napas. "Syukurlah kamu sudah lebih dari 17 tahun. Jadi kamu tidak termasuk anak-anak lagi."
"Kalau saya bukan anak-anak, jadi saya ini apa?" tanya Hana dengan polosnya.
"Tentu saja tempat untuk memproduksi anak." Jonathan terkekeh.
Hana memegang pipinya yang sudah bersemu merah. Tentu saja ia paham dengan maksud Jonathan. Melihat semburat malu yang terpancar dari raut Hana membuat Jonathan tersenyum puas. Ia berhasil menggoda Hana. Hana berdeham sejenak, menghilangkan kegugupannya.
"Umm, Pak," panggil Hana tiba-tiba.
"Hm?"
"Kalau saya boleh tahu, usia bapak berapa?" tanya Hana dengan nada sangat sopan.
"28 tahun." Jonathan menantikan reaksi Hana.
Hana menganggukkan kepalanya, paham.
Jonathan mengernyit, "Kamu tidak kaget?" Dia pikir Hana akan berteriak kaget saat mengetahui usianya.
Hana menggeleng, "Dilihat dari wajah Bapak, saya sudah mengira kalau usia Bapak kira-kira akan segitu. Bahkan tadi saya pikir usia Bapak 30-an"
Jonathan melotot, "Sembarangan kalau bicara. Memangnya wajah saya setua itu?!" ucapnya kesal dan dibalas dengan kekehan kecil Hana.
Jonathan menghela napas. "Memang benar ya, pandangan orang kampung dan orang kota itu sangat berbeda. Nyatanya orang-orang di Jakarta selalu berpikir bahwa usia saya ini masih dibawah dua puluh lima tahun. Yah.. kira-kira masih cocoklah kalau pacaran sama remaja usia kamu."
Hana menggaruk kepalanya. Sepertinya orang-orang itu mengalami gangguan penglihatan.
"Hana," panggil Jonathan lembut.
"Hm?"
"Bisa tidak kamu tidak usah memanggil saya dengan sebutan Bapak? Saya kan bukan bapak-bapak. Belum beristri. Belum punya anak."
Hana mengerjapkan matanya. "Lalu saya harus panggil Bapak dengan sebutan apa?"
"Panggil biasa saja. Seperti orang lain sering memanggil saya."
"Jojo?" tanya Hana mengada-ngada.
Jonathan melotot. "Jojo?! Kamu pikir saya atlet bulu tangkis Indonesia? Panggil saja Jonathan."
"Oh, oke, Pak. Eh, Jo-na-than," jawab Hana ragu.
Jonathan tersenyum lalu mengusap lembut rambut hitam Hana. "Saya merasa lebih baik setelah mendengarnya."
"Pak." Tiba-tiba Hana menyadari sesuatu.
"Apa?"
"Kita sudah terbang?"
"Sudah."
"Hah?!" Hana membelalak, "sejak kapan?"
"Lima belas menit yang lalu," sahut Jonathan.
"Aaaaa!!" Hana berteriak takut lalu memeluk Jonathan dengan erat. Wajahnya ia benamkan pada dada bidang Jonathan. Sementara itu Jonathan tergelak di tempat melihat tingkah Hana yang sangat lucu dan menggemaskan baginya.
***
"Bapak tunggu di mobil?" tanya Hana saat mobil Jonathan sudah terparkir di pinggir jalan dengan jarak sekitar lima belas meter dari rumahnya.
Jonathan berdecak. "Bapak lagi, bapak lagi."
"Eh, Jo- Jonathan. Mau tunggu disini?"
Jonathan menggeram. "Apa terlalu susah mengatakan aku-kamu?" Dia memutar kedua matanya jengah.
"Eh?" Hana menggaruk tengkuknya.
"Sudahlah! Cepat temui ibumu. Waktumu tidak banyak," titah Jonathan disertai rasa jengkel. "Tiga puluh menit. Kamu hanya punya waktu setengah jam. Setelah itu langsung kembali, mengerti?"
"Iya, Pak." Hana sumringah lalu melangkah keluar dari mobil dan berlari menuju ke rumahnya.
"Ibu!" Hana berteriak begitu sampai di depan rumahnya. Fatma buru-buru keluar dari rumah ketika mendengar suara anak perempuannya. Hana langsung menghambur kepelukan Fatma yang berdiri di ambang pintu.
"Hana." Fatma membalas pelukan Hana sembari menangis terharu. "Bagaimana kamu bisa ke sini?" tanya Fatma.
"Itu tidak penting. Sekarang aku hanya ingin peluk ibu sepuas-puasnya. Aku kangen ibu," balas Hana manja.
"Ibu juga kangen sama kamu, Nak."
Hana melepaskan pelukan. "Dimana Windy?"
"Dia lagi di sekolah," jawab Fatma sembari menyeka cairan bening di sudut matanya karena momen mengharukan tadi. Hana menghela napas. Adiknya itu ternyata masih semangat untuk ke sekolah. Hana yakin tidak lama lagi perut Windy pasti akan membesar dalam hitungan beberapa bulan lagi. Argh, bagaimana cara Hana mengatasinya nanti?
“Ayo, masuk dulu, "ajak Fatma. "Ibu sedang merebus ubi. Kesukaan kamu."
Wajah Hana sontak berbinar. Ia segera berlari masuk ke dapur, mendahului Fatma.
"Kamu sudah dapat pekerjaan di sana?" tanya Fatma sambil melirik putrinya yang terlihat lahap menyantap makanan di meja.
Hana tersedak teh hangat yang baru saja ia minum. Ah, iya. Ia berbohong kepada ibunya dengan mengatakan alasan pergi ke Jakarta adalah untuk mencari pekerjaan. Hana merasa bersalah karena telah membohongi ibunya.
"Sudah, Bu." bohong Hana lagi.
Fatma membelalak senang, "Benarkah? Kamu bekerja apa di sana?"
Hana gelagapan. Tidak tahu mau menjawab apa. "Eh, itu … Aku … kerja di … di tempat penjahit! Iya, di tempat penjahit," jawabnya berusaha meyakinkan ibunya.
Fatma menghela napas lega. "Syukurlah, Ibu kira kamu akan menjadi pembantu, atau semacamnya itu. Kemarin ibu sempat menonton sinetron bersama ibu-ibu lainnya di tv umum depan sana. Banyak sekali majikan yang menyiksa pembantunya hanya karena hal sepele."
Hana terkekeh mendengar ucapan Fatma. "Ibu ada-ada saja. Tidak semua majikan itu jahat. Masih banyak yang mempunyai hati."
"Hm ... Ibu hanya khawatir saja, Nak. Ibu harap kehidupanmu di sana dapat berjalan dengan baik dan lancar."
"Amin," sahut Hana.
***
"Jadi, disini kamu sering menenangkan diri?" tanya Jonathan. Ia dan Hana sedang duduk berdua di bawah pohon besar sambil menghadap ke arah utara di mana proyek-proyek Jonathan sedang berjalan. Ya, setelah mengantar Hana ke rumah ibunya, wanita itu memohon kepada Jonathan agar membawanya ke bukit ini. Ke tempat favorit Hana.
"Hm…," sahut Hana tanpa mau mengalihkan pandangannya.
Jonathan mengehela napas. "Memangnya apa yang spesial dari tempat ini?" Susah susah perjalanan yang mereka lalui menuju ke sini dan hanya disuguhkan pemandangan yang tidak menarik seperti ini? Sungguh tidak adil. Protes Jonathan dalam hati.
"Dulu tempat ini tidak seperti ini," jawab Hana membuka suara.
Jonathan mengangkat alisnya, "Memangnya dulu tempat ini seperti apa?"
Hana menunjuk ke arah galian batu bara yang kian membesar itu. "Dulu, tempat itu masih datar. Macam-macam tanaman masih menghias di atasnya. Kalau dipandang dari atas sini terlihat sangat indah dan menyejukkan hati."
Jonathan memandangi objek yang dibicarakan oleh Hana barusan. Semuanya itu adalah hasil dari pekerjaannya.
Cukup lama Jonathan termenung dan berpikir, ia lalu menatap Hana. "Apa kamu sangat menyukai tempat ini?"
Dengan pandangan masih lurus ke depan, Hana mengikis senyuman di bibirnya. "Lebih dari sekedar menyukai, aku mencintai tempat ini."
"Untuk apa menyia-nyiakan hidup dengan hanya menikmati dan tidak memanfaatkan apa yang sudah tersedia selama ini? Bukankah tugas manusia memang untuk memanfaatkan apa yang telah diberikan alam?" tanya Jonathan heran.
"Benarkah?" Hana tersenyum tipis, "orang-orang mungkin berpikir begitu. Tapi bagiku.. alam adalah ujian dari Tuhan. Tuhan ingin tahu seberapa baiknya kita merawat alam, Tuhan ingin mengukur kesabaran dan nafsu manusia dalam memanfaatkan hasil alam. Tuhan ingin tahu seberapa pedulinya kita terhadap ciptaannya yang lain. Dan masih banyak lagi ujian dari Tuhan melalui alam untuk manusia."
Jonathan terdiam seribu bahasa. Mulutnya bungkam tak berani berbicara. Ia menatap wajah Hana dari samping.
Jonathan memegang dadanya yang berdegup kencang. "Apa yang sudah kamu perbuat terhadap hati saya?" gumam Jonathan pelan, cukup pelan namun masih bisa terdengar oleh telinga Hana.
Hana sontak menoleh. "Ya?"
Alih-alih menjawab, Jonathan malah menggeser tubuhnya hingga menjadi lebih dekat dengan Hana. Jonathan meraih dagu Hana. Matanya menatap sepasang netra coklat yang juga menatapnya itu.
"Kamu ini apa?" tanya Jonathan lembut.
"Apa?" Hana tidak paham dan balik bertanya dengan nada sangat lembut dan pelan.
"Kamu ini manusia asli kan? Bukan malaikat?" tanya Jonathan semakin mengikis jarak di antara keduanya. Hana memejamkan matanya pelan saat napas hangat Jonathan menerpa wajahnya. Ia tahu Jonathan pasti akan menciumnya segera.
Jonathan tersenyum. Ternyata Hana sudah mulai mengerti dengan keinginan Jonathan. Jonathan mencium bibir Hana lembut, sangat lembut hingga Hana langsung terbuai. Tangannya refleks menangkup rahang Jonathan.
Jonathan mendorong pelan tubuh Hana dan merebahkannya ke tanah dengan beralaskan dedaunan kering. Jonathan kembali mencium Hana dengan posisinya di atas tubuh Hana.
"Kamu tidak keberatan jika kita melakukannya di sini?" bisik Jonathan.
Tanpa menunggu waktu lebih lama, Hana langsung menganggukkan kepalanya, memberi izin kepada Jonathan. Jonathan tersenyum lalu kembali mencium dan memagut bibir Hana.
***
Jonathan dan Hana sampai di Jakarta pada malam hari. Jonathan membawa mobilnya masuk ke tempat parkir rumahnya. Jonathan mengernyit melihat sebuah mobil pajero sport berwarna putih sudah terparkir rapi di samping mobil-mobilnya yang lain.
"Ada apa, Pak? Eh, Jonathan?" tanya Hana saat melihat ekspresi heran Jonathan.
"Tidak apa-apa," sahut Jonathan.
Jonathan dan Hana-pun melangkah keluar dari mobil dan segera berjalan menuju ke rumah. Jonathan menekan bel berkali-kali.
"Apa tidak ada orang di rumah?" tanya Hana.
"Tidak mungkin mereka tidak ada. Semua pembantu pasti ada di dalam," sahut Jonathan.
Ia kembali menekan-nekan tombol bel untuk kesekian kalinya hingga terdengar derap langkah dari dalam rumah.
"Kenapa— Mommy?" Jonathan tersentak kala melihat seseorang yang baru saja membukakan pintu baginya. "Mom?"
"Dari mana saja? Kenapa seharian ini Mommy tidak melihatmu di rumah ini?" tanya wanita paruh baya itu.
"Ak– aku ... kerja, Mom," jawab Jonathan beralasan.
"Bekerja dengan membawa seorang wanita asing?!" Tiba-tiba mata elang wanita itu melirik sinis pada Hana. Hana tersentak. Ia yang tadinya takut akibat aura yang terpancar dari wanita tua itu, menjadi semakin takut. Bulu kuduk Hana langsung merinding saat bertatapan langsung dengan wanita itu. Tampangnya bahkan lebih menakutkan dari hantu.
"Katakan. Siapa wanita ini?
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo
Setelah dokter dan para petugas lainnya keluar dari ruangan, Jonathan memberanikan diri untuk mendekati Hana. Langkahnya kecil dan ragu. Jonathan takut. Ia takut Hana tidak akan sudi melihatnya lagi. "Hana?" panggilnya pelan setelah berada di samping tempat tidur wanita itu.Hana sontak menoleh ke arah Jonathan. Wanita itu terdiam beberapa saat setelah bertatapan langsung dengan Jonathan. Hening. Suasana menjadi lengang. Bahkan Jonathan-pun tak berani untuk membuka suara."Ini dimana?" tanya Hana tiba-tiba. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Jonathan tersentak, ia tidak menyangka Hana akan berbicara dengannya setelah apa yang dialami wanita itu. Dengan langkah berani ia mendekati Hana. "Kamu sedang berada di rumah sakit," jawabnya.Hana tersentak. "Rumah sakit? Memangnya apa …," ucapan Hana terhenti kala mengingat rasa sakit di daerah sensitifnya pada saat itu. Ia menatap Jonathan. Lama kelamaan wajahnya berubah sendu, "jangan melakukan hal
Sudah tiga hari semenjak Jonathan menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hana. Dan sampai hari ini, dia tidak pernah lagi menjenguk dan menampakkan wajahnya di depan Hana. Dia benar-benar pergi dari hidup Hana, meninggalkan bekas luka yang masih terasa sampai sekarang. Hati Hana terluka bagai disayat-sayat secara paksa.Setelah semua yang dilalui, dia dengan teganya pergi begitu saja dengan alasan tak ingin menyakiti lagi. Nyatanya apa yang menurutnya baik itulah yang membuat Hana semakin tersakiti.Jonathan bodoh— tidak. Hana yang bodoh. Sudah tahu ia tidak layak dicintai, namun masih berani mengharapkan cinta dari lelaki yang berbeda kasta dengannya. Rasakan sendiri akibatnya!Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan suara gemerisik plastik membuat lamunan Hana sontak terhenti. Ia menoleh pada seorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.Billy berjalan menghampiri Hana dengan menenteng dua plastik. "Aku membawakanmu bubur a
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba
Semua mata tertuju pada wanita yang tengah melangkah masuk ke dalam gedung itu.Mata elangnya menatap lurus ke depan. Dengan langkah kaki yang tegas, ia tampak akan memakan semua orang yang menatap ke arahnya. Ia tampak tidak asing, tapi ekspresi dan penampilannya yang modis membuatnya tampak berbeda kali ini.Semua karyawan sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang ini. Pimpinan mereka, Florentina Hana, yang selama ini diketahui telah menghilang dan dikabarkan meninggal tanpa sebab, ternyata masih hidup.Media menjadi heboh dengan kemunculan CEO Deloxa itu. Sebagian dari orang-orang yang berada di dalam gedung itu tampak takut, ada pula yang heboh dan segera mengabadikan momen itu lalu mengunggahnya ke sosial media.Hana melewati kerumunan manusia yang sedang memotret dirinya itu. Tatapan tajam ia lemparkan pada mereka. "Apa kalian ingin dipecat?" Para karyawan langsung berhenti mengambil gambar dan tampak menundukkan kepala."Saya aka
Jari-jari Jonathan meremas setir mobil dengan kuat. Ia tampak gelisah. Bayangan wanita yang melewatinya tadi sore benar - benar menghantui kepalanya. Mungkinkah Hana masih hidup? Lalu siapa wanita di peti yang ia tangisi itu? Ya, Tuhan … ini semua benar-benar gila!"Apa yang sedang papa Jonathan pikirkan?" tanya Axel di sampingnya.Jonathan menoleh, menatap anaknya itu. "Axel, apa kamu percaya dengan keajaiban?"Axel mengangkat alisnya, "Keajaiban?"Jonathan mengangguk."Hm. Axel percaya. Mama selalu mengatakan; tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak," jawab anak itu polos.Jonathan terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Apa Axel percaya jika mereka yang telah meninggal bisa hidup kembali?""Itu bisa saja, Papa.""Apa Axel percaya jika mama Hana telah meninggal?" tanya Jonathan lagi."Kenapa papa Jonathan tiba-tiba bertanya seperti itu?" sahut Axel penasaran.Jonathan menggeleng,
"Ada apa, Papa?" tanya Axel kepada Jonathan yang menggantungkan kalimatnya.Jonathan terkesiap. Ia menatap Axel, "Papa hanya … tadi ..." Ia menoleh lagi ke arah wanita itu. Dia berlari menjauh dari mereka. Wanita itu seperti sedang ketakutan. Apakah yang ia lihat barusan adalah hantu? Atau ia sedang bermimpi? Wajahnya benar-benar mirip.Tidak, itu pasti bukan Hana. Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia pikir itu hanya halunasinya saja karena terlalu sering memikirkan Hana. Hana yang ia kenal telah meninggal."Papa Jonathan?"Jonathan tersadar dari lamunannya."Ada apa? Kenapa papa Jonathan hanya diam? Ayo kita pergi dari sini. Axel ingin pulang.""Axel," cegah Jonathan karena hendak berkata, "Axel tunggu sebentar di sini ya. Papa akan kembali lagi dalam lima menit." Usai berkata demikian Jonathan langsung berlari secepat mungkin mengejar jejak wanita tadi. Ia sudah kepalang penasaran.Jonathan berlari sembari mengedarkan matanya