Kembalinya dari toilet. Dominique melihat Tony dan Aubrey berbincang sangat serius karena terlihat dari raut keduanya yang dengan mudah ditebak. Dia memperhatikan dari kejauhan dua insan itu yang tampak akrab tidak seperti terakhir kali yang seperti diceritakan Aubrey. Dalam hatinya terbesit kecurigaan.
"Oh, rupanya dia yang membantu Aubrey. Entahlah berapa banyak informasi yang disampaikan kepada Aubrey tentangku? Kalau yang membantu itu Tony, aku tahu siapa orang yang dipekerjakan Aubrey. Aku harus menghubungi orang tersebut untuk bertanya," gumam Dominique, kemudian menghampiri Tony dan Aubrey.Dominique pura-pura tidak mengetahui apa yang telah dilakukan Aubrey dengan Tony. Ia bersikap santai dan kembali menikmati suasana pesta. Setelah selesai semua rangkaian acara, mereka gegas pulang ke kediaman masing-masing. Dominique mengantar Aubrey ke mansionnya. Dalam perjalanan mereka hanya tersisa kesunyian dengan pikiran masing-masing."Oh iya, besok akuPagi-pagi sekali Aubrey sudah sampai di bandara Louis Armstrong. Dia akan terbang terlebih dahulu ke Los Angeles sebelum menuju Prancis. Sesaat dia tertegun dan menoleh ke belakang seperti menunggu seseorang. Kemudian, dia kembali dengan raut wajahnya seperti semula, dingin dan datar. Butuh waktu empat jam untuk sampai ke Los Angeles setelah itu bertolak menuju Prancis.Aubrey melirik ponselnya yang memperlihatkan waktu masih pukul empat pagi. Dia tidak meninggalkan pesan apa pun untuk Dominique. Orang-orang di kediaman Calandre pun tidak diberitahu secara langsung. Ia hanya meninggalkan lewat pesan bahwa ia akan pergi ke Prancis. Saat itu, semua orang masih terlelap. Mengingat acara pertunangan Aubrey yang diselenggarakan secara besar-besaran membuat semua orang begitu lelah dan terlena akan mimpi masing-masing. 'Aku akan melakukan perjalanan ke Prancis, Kek. Di sana aku akan mengikuti pagelaran seni. Mungkin untuk beberapa waktu, ponsel ini akan tidak
Aubrey memasuki kamar yang dipilih Amelia. Kebetulan mereka tidur bersama. Kamar yang dipilih Amelia sangat luas dan bagus, di sana juga terdapat taman kecil di dalamnya. Aubrey tidak berhenti berdecak kagum. "Wah, tampaknya aku akan betah tinggal di sini. Tidak akan cukup waktu hanya seminggu saja." Aubrey berkata sambil merebahkan tubuhnya di kasur. "Iya, kau juga membutuhkan uang yang banyak untuk menyewa ini semua," balas Amelia. "Itu adalah hal kecil buatku." Aubrey menyombongkan diri kemudian tertawa bersama Amelia. Setelah berbincang sebentar, Aubrey meminta beristirahat lebih dulu sebelum pergi memeriksa tempat pameran. Amelia pun mengiyakan dan pergi meninggalkan Aubrey sendiri di kamar. Udara sejuk, kasur empuk, dan suasana yang nyaman melambungkan Aubrey ke dunia mimpi. Di sana ia seperti bertemu dengan kedua orang tuanya yang hanya dikenal lewat sebuah foto. Aubrey tampak bahagia karena terlihat senyuman yang terkembang d
Dominique bangun pagi sekali. Dia mengecek ponselnya yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Saat melihat ponsel tersebut, ada raut kesedihan di wajahnya. Aubrey tidak membalas semua pesan, hanya membacanya saja. Dia melemparkan ponselnya ke atas kasur, lalu pergi mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor. Setelah selesai melakukan rutinitas pagi, dimulai dari mandi, berpakaian, dan sarapan bersama kedua orang tuanya. Dominique lalu berangkat menuju ke kantor.Sesampainya di kantor, Dominique dengan segera menyelesaikan semua pekerjaan. Rapat yang terjadwal siang hari pun dimajukan menjadi pukul sembilan. Dominique sudah tidak sabar untuk menemui orang yang membantu Aubrey menyelidiki dirinya. Ia ingin tahu apa yang diketahui Aubrey, sehingga sikapnya berubah dingin. Pasalnya dua hari terakhir mereka masih dalam suasana hangat dan romantis. Romario. Seorang detektif swasta yang cekatan dan tidak pernah meleset informasi yang didapatkan olehnya seke
"Baiklah. Kau tenang saja, selesaikan saja masalahmu," ujar Tony menenangkan sambil menepuk bahu Dominique. Dominique lalu bergegas mengurus semua pekerjaan yang belum selesai dan tinggal sedikit lagi. Sisanya, ia meminta sang sekretaris untuk berkoordinasi dengan Tony untuk beberapa hari kedepan, dari rapat dengan beberapa klien, kunjungan ke percetakan, dan evaluasi mingguan. Setelah selesai berkoordinasi dengan sekretarisnya, Dominique pulang ke mansion untuk berkemas secepat mungkin. Dominique memesan tiket pada hari itu juga untuk penerbangan terakhir. Untung saja masih ada tiket tersisa. Ia lalu gegas menuju Los Angeles untuk transit menuju Paris. Dominique berangkat dari New Orleans menuju Los Angeles pukul 16.00. Perbedaan waktu kedua kota itu adalah empat jam--lebih cepat New Orleans. Maka Dominique sampai di Los Angeles masih pukul 16.00 sedangkan di New Orleans sudah pukul 20.00.Setelah beristirahat sebentar dan makan malam, Dominiq
Sinar matahari menembus jendela memasuki setiap kamar-kamar pagi itu. Bukan saja kehangatan, tetapi keindahannya menemani siapa saja yang bangun pagi itu. Dominique gegas pergi mandi dan berpakaian. Setelah itu, dia bersiap untuk mulai mencari Aubrey. Sedangkan, Aubrey dan Amelia bangun lebih pagi dan sudah menyelesaikan sarapan mereka. Pagi itu, mereka sudah berada di aula dan melihat sampai mana persiapan acara pameran. Berbagai macam lukisan dari mahakarya ternama sudah terpasang sesuai urutan tema. Terlihat Damien yang berpakaian rapi dengan jas berwarna biru laut berjalan mendekat ke arah dimana Aubrey dan Amelia berdiri. "Selamat pagi! Bagaimana tidur kalian, nyenyak?" tanya Damien menyapa Aubrey dan Amelia. Tampaknya, ia sudah mengetahui lebih jauh tentang Aubrey. "Oh, Tuan Damien. Tentu saja tidur kami nyenyak. Fasilitas yang disediakan perusahaan sangat luar biasa," jawab Amelia. "Kau kenal pria ini, Mel?" tanya Aubrey. "Oh
Beberapa saat sebelum kejadian di aula. Dominique keluar dari kamarnya dan mulai bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya. Namun, sepagi itu dia mencari hasilnya masih nihil. Dominique mencoba mendinginkan pikirannya. Ia pergi ke restoran untuk mengisi perutnya terlebih dahulu. Sambil menikmati sarapan, ia terus menyusun rencana kemana akan mencari Aubrey. Saat sedang menikmatinya hidangannya, Dominique mendengar obrolan beberapa penyewa hotel sedang membicarakan pameran lukisan yang akan diselenggarakan di Le Bristol pagi itu. Ia lalu menanyakan perihal yang didengar kepada karyawan hotel. Setelah mendapatkan informasi, dengan senyum mengembang Dominique gegas menuju aula pameran. Seketika senyum lebar di bibir Dominique menghilang melihat pemandangan yang tidak mengenakkan hati di hadapannya. Wanita yang dia cintai dan beberapa saat lalu mengabaikannya sedang bercengkrama bahagia bersama pria lain. Gejolak yang dirasakan tubuhnya membuat Dominique gelap mat
Hari sudah mulai malam. Aubrey meninggalkan Amelia yang masih berada di Aula. Pikiran yang menumpuk sedari tadi ia tepiskan demi lancarnya acara. Karena itu, ia terlihat kelelahan baik fisik maupun mental. Bunyi pantofel bergema di selasar Le Bristol. Aubrey berdiri di depan pintu lift yang akan naik. Dengan perlahan ia memijat keningnya yang terasa pening dan perlahan menghela napas. Dalam hatinya terbesit kecewa yang begitu dalam akan sikap Dominique. Apalagi setelah kejadian pagi tadi, tidak sedikit pun Dominique pergi mencari dirinya untuk menjelaskan semua. "Aubrey," ucap seseorang yang menyadarkan Aubrey dari lamunannya. "Hai, Tuan Damien.""Damien. Just Damien.""Tapi ….""No! No tapi. Bisakah kita bicara sebentar? Kau belum makan malam 'kan? Aku harap tidak ada penolakan," ucap Damien memelas. "Baiklah, sebentar saja ya?""Oke."Damien tersenyum karena Aubrey menerima ajakan makan malamnya.
Damien dan Aubrey memasuki restoran mewah dekat Le Bristol. Di sana mereka memesan beberapa hidangan dan makan dengan santai. Meskipun Aubrey terlihat banyak pikiran, tetapi Damien mampu menghibur dan memecah rasa canggung. "Kamu oke?" tanya Damien sambil menyentuh tangan Aubrey yang berada di atas meja. "It's oke." Aubrey menarik tangannya dari genggaman Damien. Ia tidak ingin Dominique melihat dan masalah di antara mereka makin membesar.Ada sedikit kecewa di hati Damien. Ia berpikir, tampaknya Aubrey sangat mencintai Dominique. Ya, Damien mengenal Dominique. Pasalnya mereka adalah saingan di bisnis periklanan. Siapa yang tidak mengenal Dominique, pemimpin dingin bertangan besi dalam menjatuhkan lawannya. "Kalau kau ingin bercerita aku bisa menjadi pendengar yang baik." Damien menawarkan diri. "It's okay, aku hanya kelelahan. Bisakah kita selesaikan ini secepat mungkin?""Baiklah. Kau makan saja terlebih dahulu."Rupanya Damien terlalu berharap