Tepat pukul dua belas siang, Ayu Soraya sudah duduk dengan tenang di halte bus yang letaknya sekitar lima ratus meter dari gerbang kampus. Ayu baru saja melihat situasi kampus yang ingin dirinya pilih, tentu saja jika melihat melalui internet saja rasa-rasanya kurang puas. Ayu sejatinya sempat ragu untuk mengambil kuliah di sini, karena sama saja dirinya akan terpisah dengan ibunya yang sering sakit-sakitan dan ia juga harus mengekos demi menghemat pengeluarannya nantinya.
“Evan nggak antar kamu, Yu?” tanya Ika salah satu temannya sekampung.
Ayu memalingkan wajah menatap Ika yang sedang menikmati es teh manis. “Dia udah mulai kerja katanya,” jawab Ayu seraya tersenyum tipis.
Ika mengerutkan dahinya, ia merasa janggal dengan pernyataan Ayu karena kemarin lusa ia sempat melihat Evan menggandeng tangan seorang wanita memasuki gerbang kampus swasta ternama di kota itu.
“Kamu yakin?” tanya Ika lagi memastikan.
“Yakinlah dia sendiri yang bilang tadi pagi,” kata Ayu bersamaan dengan bus yang mereka tunggu telah tiba. Mereka berdua bergegas menaiki bus dan kembali ke kampung.
“Ika kamu tahu nggak, Bapak hari ini pulang lho. Akhirnya setelah dua bulan tugas luar pulau terus,” kata Ayu setelah keduanya mendapatkan tempat duduk di bangku tengah.
“Wah, Ibu pasti senang ya? Semoga aja kali ini, Bapakmu nggak tugas keluar lagi. Siapa tahu dengan begitu Ibu segera bisa cepat sembuh ya, Yu,” timpal Ika. Ika tentu bahagia teman sekolah dan teman mainnya ini bisa kembali berkumpul dengan sang ayah, selama ini Ayu sudah banyak melewatkan masa remajanya dengan mengabdikan dirinya untuk mengurusi sang bunda.
“Amin ….” ucap mereka bersamaan.
“Ayu, jam berapa sampai rumah, Nak? Bapak sudah sampai baru saja.” Begitu pesan yang berasal dari Damar Prawira, ayah Ayu.
“Ayu sudah di atas bus, Pak. Sekitar tiga puluh menit lagi Ayu pasti sudah sampai.” Itu balasan pesan dari Ayu.
Hatinya semakin bahagia sudah mengetahui jika sang ayah sudah berada di rumah, kendati sang pacar sejak mereka lulus seperti menjaga jarak. Ayu tentu menyadari hal itu tetapi ia selalu berusaha untuk berpikir positif dan tidak menaruh curiga. Evan, pacarnya itu setiap pagi masih mengubunginya saja buat Ayu sudah sangat bersyukur karenanya. Ayu juga belum berpikir untuk terlalu serius dalam berlanjut jejang berikutnya karena ia ingin menjadi orang yang berhasil dan bisa membanggakan kedua orangtuanya, terlebih jika dirinya bisa bekerja di luar negeri seperti yang dilakukan oleh saudara sepupunya Dion.
***
Ayu membuka pintu pagar rendah rumahnya dan bergegas melangkah riang ke pintu depan yang sedikit terbuka. Sayup-sayup terdengar tawa riang sang bunda yang rasanya sudah lama sekali tidak Ayu dengar, senyum gadis itu semakin mengembang karenanya.
“Selamat siang, spada!” sapa Ayu dengan ceria yang kemudian dibalas oleh kedua orangtuanya.
Ayu sendiri langsung berhambur memeluk leher sang ayah, Damar membalas pelukan sang anak semata wayangnya itu. Keduanya saling menyalurkan rasa rindu yang membuncah, wajar saja sudah dua purnama mereka tak bersua.
“Ayu kangen banget sama Bapak. Bapak jangan pergi ke luar pulau lagi ya, Pak?” pinta Ayu.
Masih di dalam pelukan anak perempuannya, Damar menjawab, “Sepertinya kali ini Bapak tidak akan pergi kemana-mana lagi. Bapak cuma ingin agar Ayu bisa menjadi anak yang selalu bisa mandiri dan baik ya Nak.” Kata-kata yang diucapkan oleh Damar memang biasa saja tetapi untuk Ayu terasa berbeda, dadanya berdesir dengan rasa yang membuatnya gundah. Ayu merenggangkan pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah sang ayah yang memang tampak sedikit pucat di kulit paruh bayanya yang berwarna gelap karena seringnya terpapar sinar surya.
Ayu menangkup kedua sisi wajah sang ayah dan bertanya, “Bapak sakit?”
Damar tersenyum lembut dan mengusap puncak kepala sang putri. “Nggak sakit Sayang, Bapak ini capek aja,” jawab Damar menyakinkan sang putri.
“Sungguh Pak, yakin nih?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ayu terasa seperti ini menyakinkan dirinya sendiri jika sang ayah baik-baik saja dari pada melontarkan pertanyaan.
“Iya Bapak baik saja kok, Ayu. Buktinya bapak bisa gendong Ibu dari lantai dua,” timpal Ani.
Ayu melirik meja di depannya yang masih kosong tidak ada cangkir kesayangan sang ayah, ia pun kemudian benar-benar melerai pelukan sang ayah dan beringsut ke dapur. “Ya udah kalau gitu. Ayu siapkan makan siang dan teh hangat untuk Bapak ya.”
Perasaan tidak enak masih saja berkecamuk di hatinya, ia susah payah menepis hal itu tetapi rasanya kegelisahan itu tak jua pergi dari benaknya. Bahkan sampai mereka selesai makan siang dan kedua orangtuanya beristirahat di dalam kamar. Ayu menyibukkan dirinya dengan membersihkan rumah dan merawat taman mungil milik sang bunda hingga malam menjelang.
Ting … ting … ting ….
Ayu bergegas membuka pintu rumahnya saat terdengar suara pedagang bakso langganannya melintas. “Ayu beli bakso dulu ya Pak,” pamit Ayu.
Damar yang duduk di kursi ruang tamu dengan di temani sang istri hanya mengangguk dan kembali berkonsentrasi pada laptop yang ia pegang. Ia merasakan kejanggalan dengan isi laporan dari temannya di kantor.
Ayu baru saja hendak menyeberang ke rumahnya, saat dua mobil polisi berhenti tepat di depan rumah itu. “Siapa itu Neng, tumpen ada Pak Polisi?” tanya mang Jupri, pedagang bakso itu.
“Nggak tahu Pak, kok berhenti di rumah Ayu ya? Ayu tinggal ya Pak,” ujar Ayu seraya berlalu.
Perasaan Ayu semakin tak menentu, perutnya sakit terasa teremas-remas. Rasa resah yang sejak siang ia rasakan semakin menjadi saat ini.
“Maaf, Bapak-bapak ini mencari siapa ya?” tanya Ayu dengan ramah, tetapi jangan ditanya detak jantungnya seolah saling berlomba melompat keluar rongga dadanya.
“Betul ini rumah Bapak Damar Prawira?” tanya salah satu anggota polisi yang memakai atribut lengkap kepolisian dan berdiri paling dekat dengan Ayu.
Ayu mengangguk. “Betul Pak, itu Bapak saya ada di dalam. Mari Pak,” jawab Ayu.
Belum juga Ayu sampai di teras sang ayah Damar sudah berjalan ke luar menatap keheranan pada para petugas kepolisian.
“Ada keperluan apa Bapak-bapak ini mencari saya ya?” tanya Damar dengan hati gusar. Ia mencium sesuatu yang tidak beres dan hal itu membuat rasa nyeri pada dada kirinya, yang ia rasakan sejak tadi pagi semakin menjadi.
Salah satu anggota kepolisian menyerahkan sepucuk surat penangkapan terhadapnya dengan tuduhan penggelapan uang perusahaan. Para polisi yang bahkan belum ada satupun yang angkat bicara sudah dikejutkan dengan tumbangnya Damar dengan wajahnya yang pucat pasi dan matanya yang melotot.
Bahkan Ayu yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari sang ayah melemparkan bungkus baksonya begitu saja dan segera memeluk sang ayah yang tanganya begitu erat mencengkeram kaos bagian dadanya.
“Bapak kenapa? Pak bangun … Ayu sayang Bapak, Pak!” Ayu menangis histeris seraya memeluk tubuh sang ayah.
Ani yang begitu mendengar keributan dari arah luar segera menghampiri sumber suara dan saat ia melihat keadaan suaminya yang lemas dalam pelukan sang putri, iapun jatuh tak sadarkan diri. Para anggota kepolisian dan Ayu segera membawa kedua orangtuanya ke rumah sakit terdekat. Ayu sudah tidak mempedulian apa-apa lagi, bahkan kejanggalan kedatangan para pria yang mengaku dari kepolisian tersebut.Ia baru menyadari hal itu saat di rumah sakit. Bahkan mobil yang mendatangi rumahnya itu bukan mobil yang dipakai para polisi tidak ada satupun lambang kepolisian terlihat. Mereka berjum
"Mantan? Ayu merasa ndak pernah putus dari Evan," timpal Ayu."Gadis miskin macam kamu itu nggak level sama Evan. Kamu nggak tahu 'kan kalau selama ini Evan itu anak orang kaya, rumahmu dijual pun uangnya masih kurang untuk membeli mobil yang kami pakai ini," sindir Debora dengan bibirnya mencebik.deg ….
Mobil yang ditumpangi ayu dan kedua paman dan bibi serta Dion sepupunya mulai memasuki gerbangGlory Ranchdi kota kecil bernama Holy Spring yang berjarak tiga jam perjalanan dari San Antonio salah satu kota besar di bagian negara Texas, Amerika Serikat.Bangunan seperti perkantoran berdiri di sisi kiri dan kanan jalan. Kemudian terhampar padang ilalang, bukit indah di kejauhan, aliran sungai kecil horizontal yang seolah-olah membelah tanah padang menjadi dua. Sebelah kiri terdapat pertanian, ladang-ladang dengan beraneka macam tanaman membentang luas seolah tak t
Di antara para Koboi itu ada satu mata setajam elang menatapnya balik, dengan semakin dalam membenamkan wajahnya dalam topi koboynya."Menarik," gumamnya salah satu ujung bibir tipisnya tersungging.
"Ayu, itu namamu bukan?" tanya Kian tegas seraya menatap datar ke arah Ayu.Ayu, merespon dengan cepat menganggukkan kepalanya."Antar kudapan dan kopi hitam ke ruang kerjaku se ka rang," tita
Akhirnya Dion berhenti di bawah pohon besar samping kolam bebek. Dion menunduk saat melihat ada puntung cerutu mahal. Dahinya mengernyit pasalnya para pekerja tidak ada yang menghisap cerutu Kuba mahal ini. Dion mengambil sapu tangan dari kantong celananya dan memungut puntung cerutu tersebut kemudian membawanya ke rumah utama untuk menemui Fransesco sang tuan rumah.
Brenda Scooty, bergegas kembali ke apartemennya dan menggenakan bajunya yang menggoda, gaun terbaru yang ia beli di New York seminggu yang lalu. Ia memutuskan acara kencannya bersama dengan Jhon dan memilih untuk menemani Kian di apatemennya. Jhon tidak bisa melarang Brenda jika wanita itu sudah berkedendak. Ia hanya bisa mengingatkan wanita itu akan batas yang selalu ditekankan oleh Kian. Cinta memang bisa membuat siapapun buta akan kenyataan, bucin parah ini mah!
Keesokan harinya, tidur lelap Kian terganggu karena dering suara ponsel yang masih tertinggal di ruang tamu apartemen.Kian bangkit dan melerai pelukan Brenda di tubuhnya. Ia segera bangkit dan berjalan keluar meraih ponsel di saku jaketnya. Kian memeriksa identitas siapa gerangan yang meneleponnya sepagi ini.
Seorang pria gagah berdiri bersisian dengan seorang wanita anggun, menatap gedung perkantoran milik Edgar Berto sang putra. Ia kemudian bergandengan tangan dengan sang wanita masuk ke dalam gedung tersebut dan segera menaiki lift ke lantai tempat ruang kerja Edgar berada.Dave asisten Edgar sedang berada bersamanya di dalam ruangan. Mereka sedang membahas kasus yang menimpa orangtua Ayu.
"Jadi Aslye kapan kamu akan meresmikan hubunganmu dengan sang pujaan hati?" tanya Fransesco dengan mimik jahil kepada putri semata wayangnya.Saat ini keluarga Prawira dan Dario sedang makan siang bersama di taman belakang rumah utama.Aslye berdecak dengan sekilas pandang melirik kearah Dion yang tetap fokus dengan piring makanannya. Hari ini mereka makan siang dengan menu ayam cabe hijau, tumis bayam, balado telur dan kentang.
Evan mondar mandir di kamar apartemennya gelisah menunggu kabar dari Guteres. Ia tak menyangka jika nasib baik bersamanya. Ada Guteres yang bisa mengawasi Ayu di sana. Kebetulan bukan? Guteres adalah kenalannya saat berlibur ke Amerika Selatan beberapa tahun yang lalu dan pada akhirnya mereka menjalin persahabatan. Lalu Evan enceritakan masalahnya dan ternyata Guteres berada di tempat yang sama dan mengenal Ayu. Evan tidak perlu jauh-jauh pergi ke benua seberang untuk memata-matai Ayu. Ia terpaksa memutuskan Ayu dulu karena desakan orangtuanya. Sungguh bajin*** ia dengan sengaja memeluk perempuan lain di depan Ayu.
"Apa yang kau pikirkan Sayang?" tanya Kian sembari berjongkok di depan Ayu. Kedua tangannya terulur merengkuh pinggang Ayu.Ayu menghela nafas dan menatap Kian.
Guteres mendengar derap langkah kuda dan deru kendaraan roda empat ia segera memacu kendaraannya menuju perbatasan.Sudah tak dihiraukannya keberadaan Ayu, yang terpenting baginya sekarang para Sherif tak bisa menangkapnya. Penyamarannya bisa berantakan, dengan geram dia memukul-mukul setir dengan kedua kepalan tangannya. Bagaimana bisa urusannya dengan keluarga Dario bisa bersamaan dengan kepentingan Evan.
Jaylen kembali ke motel tempat tinggalnya, sekali lagi dirinya menolak untuk tinggal di rumah sepupunya Mario. Jaylen kecewa dengan kenyataan bahwa Mario ternyata ikut ambil bagian dalam mengkhianati Kian, sahabatnya sendiri. Memang cinta kadang bisa membutakan. Terlebih jika sampai mengindahkan larangan hati nurani dan menceburkan diri dalam api asmara terlarang. Jaylen sejujurnya tidak ingin berkata kasar terhadap Mario tetapi perbuatan pria itu sungguh membuatnya kecewa.
Setelah keluarganya kembali ke rumah sebelah, Ayu membersihkan diri. Saat ia keluar dari kamar mandi, ia terkejut mendapati Kian sudah bertelanjang bulat sedang mengurut naik turun bukti gairahnya dengan kaki lurus sedikit mengangkang dengan setengah tubuh bagian atasnya bersandar di kepala ranjang."Apa yang kau lakukan?!" tanya Ayu dengan mulut ternganga.
Kian membimbing Ayu yang tampak kelelahan dan kembali berbaring ditemani oleh Budi dan Fitri. Kelegaan meliputi mereka setelah mendapatkan berita terkini dari Jonas. Mereka kemudian memutuskan untuk menunggu kedatangan Dion di dalam kamar.Dion membuka pintu kamar Ayu setelah berpelukan dengan Aslye dan menenangkan gadis cantik itu. Ia melangkah ke dalam kamar dan ikut memeluk keluarga kecilnya. Adik kecilnya sudah kembali, hatinya y
Stefany terpaku menatap pintu depan dan mendapati sang putri semata wayangnya berlinang air mata.“Ada Apa?” tanya Stefany seraya mengerutkan dahinya khawatir.Aslye menggigit bibir bawahnya, meragu mengungkapkan kekhawatirannya. Ia masih ingin menyimpan rahasia ini sampai acara pernikahan sang kakak sulung selesai diadakan.