Di tempat lain, Blue, Emely, dan putri mereka, Amara, baru saja selesai menikmati makan siang di sebuah restoran dalam pusat perbelanjaan mewah—The Shops & Restaurants at Hudson Yards. Sebelum makan, Emely dan Amara sempat berbelanja, mengisi tas belanja mereka dengan barang-barang pilihan. Amara membeli beberapa baju anak-anak, boneka Barbie, dan mainan lain yang disukai, semuanya atas rekomendasi dan pilihan Ibunya.Sementara itu, Emely membeli dua set baju tidur seksi berbahan satin dan bikini baru. Rencananya, ia dan Amara akan berenang bersama lusa di kolam renang rumah mereka.Blue, yang tak membeli apapun untuk dirinya sendiri, hanya mengemban tugas utama: membayar semua barang belanjaan mereka. Ketika makan siang usai, Emely menatap Amara dengan lembut. "Sayang, sudah kenyang ‘kan? Atau Amara masih mau pesan makanan yang lain?" tanyanya penuh perhatian. Amara menggeleng sambil menyengir manis. "Aku sudah kenyang, Mommy," jawab gadis kecil berusia empat tahun itu.Emely ters
***Matanya terpaku pada sosok pria itu, tampan, berkharisma, dan penuh aura yang tak pernah benar-benar sirna dari ingatannya. Ia menatap tanpa berkedip, seolah waktu berhenti untuk beberapa detik yang terasa begitu panjang.“Blue…,” gumamnya dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar, menyebut nama pria yang dulu pernah menjadi suaminya. Pria yang, meski sudah bertahun-tahun berlalu, tetap sulit ia lupakan.Wanita itu adalah Lidya. Ibu kandung Amara, sekaligus mantan istri Blue. Sudah empat tahun berlalu sejak kepergiannya, menghilang tanpa jejak dari kehidupan mereka. Namun kini, langkahnya kembali menapak di New York, membawa segudang misteri yang tak terungkap.Apa alasan Lidya kembali? Apakah untuk Amara, putri kecil yang dulu ia tinggalkan? Apakah untuk Blue, pria yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya? Ataukah ada tujuan lain yang hanya dirinya sendiri yang tahu?Lamunannya terpecah ketika sebuah suara lembut menyapanya dari belakang.“Lidya, apa kau sudah selesai?”L
Empat tahun yang lalu, Lidya hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu. Kehidupannya berantakan. Perusahaan keluarganya, yang selama ini menjadi pilar penopang kehidupannya, bangkrut secara tiba-tiba dan diambil alih oleh pihak lain. Kekayaan yang dulu melimpah lenyap dalam sekejap, meninggalkan Lidya tanpa apa-apa selain tubuh dan kehormatannya sendiri.Setelah itu, tragedi lain menimpanya. Sebuah kecelakaan merenggut nyawa kedua orang tua dan kakak laki-lakinya dalam satu malam yang tak pernah ia lupakan. Lidya kehilangan semua orang yang pernah menjadi sandarannya. Dunianya runtuh, dan ia jatuh ke titik terendah dalam hidupnya.Saat itu, ia tahu dirinya tidak lagi mampu memberikan kehidupan yang layak bagi Amara. Ia tidak memiliki pekerjaan, tempat tinggal, atau bahkan uang untuk makan. Maka, dengan berat hati, Lidya memutuskan untuk meninggalkan Amara bersama Blue. Meski pria itu adalah mantan suaminya dan bukan Ayah kandung Amara, Lidya yakin, hanya Blue yang mampu menjamin kebaha
Di tempat lain, Blue menghentikan mobilnya perlahan di depan sebuah apotek kecil yang terletak di tepi jalan. “Kenapa berhenti di apotek?” tanya Emely sambil melirik ke arahnya. Tanpa menjawab langsung, Blue melepas sabuk pengamannya, kemudian meraih dompet yang tergeletak di atas dashboard. “Beli obat…” jawabnya singkat, lalu berhenti sejenak. Pandangannya beralih ke kursi belakang, tempat Amara sedang duduk dengan boneka barunya. Mata gadis kecil itu terlihat sayu, hampir terpejam, sepertinya terlalu lelah.“Obat kontrasepsi,” lanjut Blue dengan suara rendah, nyaris berbisik, memastikan agar kata-katanya tidak terdengar oleh Amara.“Oh,” gumam Emely pelan. Tatapannya ikut beralih ke belakang, memperhatikan Amara yang kini mulai bersandar di kursinya, memeluk boneka itu erat-erat.Blue kembali menatap Emely. “Dia kelihatan mengantuk. Kau tunggu di sini saja, hmm? Temani Amara. Biar aku saja yang beli,” ucapnya dengan nada lembut, lebih seperti perintah halus daripada permintaan.Em
“Jadi, kamu tidak mau cerita apa-apa sama Mom, Blue?” tanya Zara di seberang telepon, suaranya terdengar lembut tapi tegas. Blue mengerutkan kening, merasa bingung dengan arah pembicaraan. “Cerita apa, Mom?” tanyanya balik dengan nada hati-hati. Helaan napas berat terdengar di ujung telepon, seperti ada beban yang sulit diungkapkan. “Kamu punya kekasih tapi tidak cerita apa-apa ke Mom. Kamu juga belum memperkenalkan dia ke Mom. Apa sekarang keluarga sudah seasing itu buatmu, Nak?” Deg! Kata-kata terakhir Zara membuat Blue tercekat. Asing? Oh, tidak. Tentu saja tidak. Ia menyayangi Ibunya lebih dari apapun, meski tidak bisa menyembunyikan rasa bencinya terhadap sang Ayah. Blue menghela napas panjang sebelum menjawab. “Mom dengar dari siapa?” tanyanya dengan suara yang lembut. “Itu tidak penting, Nak. Yang Mom ingin tahu, kenapa kamu tidak cerita? Apa Mom nggak cukup dekat lagi dengan kamu?” suar
Blue terdiam, menghela napas panjang. Ia mengangkat tangan kirinya, mengusap pelipis yang tak gatal. “Ya, Mom. Aku akan bicarakan nanti dengannya,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar sedikit ragu namun tetap berusaha meyakinkan. “Semoga dia bersedia.”“Amin,” sahut Zara tulus, penuh harapan.Percakapan antara Blue dan Zara terus berlanjut. Zara mulai menanyakan kabar pekerjaan putranya dan beberapa hal lainnya. Meskipun mereka tinggal di kota yang sama, mereka jarang bertemu. Semua itu akibat sikap keras kepala Ronan, Ayah Blue, yang tetap bersikeras menolak untuk menerima Amara sebagai cucunya. Hal ini menciptakan jarak yang tak terhindarkan antara Blue dan keluarganya.Di sisi lain, di dalam kamar Amara, suasana terasa begitu tenang. Gadis kecil itu tertidur pulas di atas ranjangnya. Perlahan-lahan, Emely bangkit dari sisi tempat tidur. Dengan gerakan lembut dan penuh perhatian, ia merapikan selimut yang menyelimuti tubuh kecil Amara. Sebelu
Blue menutup pintu dengan perlahan sebelum berjalan menghampiri Emely yang tengah berbaring santai di sofa. Tanpa berkata apa-apa, ia menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Ketika ia tiba di dekat sofa, tubuhnya dengan santai merebah di atas tubuh Emely.Tangan Blue menyentuh lembut pahanya yang sedikit terekspos karena dress yang tersingkap. Ia mendekatkan wajahnya, bibirnya mengecup lembut kulit mulus itu, membuat Emely sedikit terkesiap.“Telepon sama siapa?” tanyanya tanpa suara, hanya dengan gerakan bibir, tapi sorot matanya seolah menuntut jawaban.“Sama Arwen,” jawab Emely dengan suara pelan, hampir berbisik. Blue mengangguk kecil, tanda mengerti, namun tetap tak beranjak dari posisinya.Emely terdiam sejenak, matanya menatap wajah tampan Blue yang begitu dekat dengannya. Ia ragu untuk sesaat, tapi akhirnya memberanikan diri berbicara. “Aku baru ingat, sore ini aku ada janji dengan Arwen. Kami mau diskusi soal tugas kuliah. Tapi... a
Emely tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Blue dengan sorot mata penuh kekaguman dan sedikit senyum di sudut bibirnya. Tangannya tetap bekerja, mengurut dengan lembut batang keperkasaan Blue, sesekali memberikan remasan kecil yang membuat pria itu menarik napas panjang. "Berapa lama kau ingin bermain?" tanya Blue, suaranya terdengar berat."Aku tidak bisa lama-lama," jawab Emely dengan nada parau, hampir berbisik. "Aku harus menyiapkan tugas kuliahku sebelum Arwen sampai."Blue mengangguk kecil. Kemudian, ia meraih pergelangan tangan Emely, menghentikan sentuhannya yang terus menggoda. Lalu, ia berpindah posisi, mengambil tempat di belakang tubuh ramping gadis itu. Sofa besar yang mereka duduki cukup luas, memungkinkan mereka berdua berbaring miring dengan nyaman.Emely mengerti tanpa perlu kata-kata. Ia meloloskan kain segitiga kecil yang membalut dirinya, lalu mengangkat gaun yang dikenakannya hingga cukup tinggi untuk memberi akses penuh pa
Emely memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan emosi yang terasa semakin membuncah. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kamu tahu tidak, Blue, apa yang sebenarnya membuat masalah ini jadi sebesar ini? Ini bukan soal sejauh mana kamu bermain api dengan mantan istrimu. Ini soal kebohonganmu!"Ia menunjuk ke arah Blue dengan gerakan cepat, membuat pria itu terdiam kaku. "Kamu pikir semua hal bisa kamu anggap remeh begitu saja? Kebohongan yang kamu anggap kecil itu, lama-lama akan jadi masalah besar. Karena apa? Karena kamu akan terus menutupi kebohonganmu dengan kebohongan lain. Dan sementara itu, kamu akan menertawakanku yang kamu anggap bodoh karena sudah berhasil kamu tipu mentah-mentah!"Blue hanya menatap Emely dengan ekspresi penuh penyesalan, namun ia tetap bungkam. Emely, di sisi lain, terlihat terengah-engah, seperti kehabisan napas setelah melampiaskan emosinya."Dan yang paling aku benci," lanjut Emely. “Adalah ketika aku terlihat seperti orang bodoh di dep
Salah satu pelayan yang kebetulan berada di dekat pintu langsung menyapanya dengan sopan. "Selamat malam, Tuan."Blue membalas singkat, "Selamat malam." Ia terus melangkah melewati pelayan tersebut menuju tangga yang menghubungkan lantai dasar dan atas, dengan ekspresi serius terpampang di wajahnya.Di tengah tangga, ia bertemu dengan Gina, yang tampaknya sedang turun. Wanita itu menghentikan langkahnya, lalu menunduk hormat. "Tuan," sapanya pelan."Amara dimana? Apakah dia bersama Emely?" tanya Blue tanpa basa-basi."Tidak, Tuan. Nona Amara sudah tidur di kamarnya. Dia sangat lelah dan mengantuk tadi. Sedangkan Nona Emely ada di kamarnya," jawab Gina.Blue mengangguk kecil, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan pintu kamar. Ia mengulurkan tangan, menggenggam tuas pintu, dan membukanya perlahan.Kamar itu sunyi. Langkah Blue terhenti di tengah ruangan, matanya langsung tertuju ke arah jendela tembus pandang yang memperlihatkan balkon. Sek
Kini, Emely duduk diatas kursi rotan bergaya modern yang khas menghiasi balkon rumah mewah. Kursi itu memiliki desain melengkung ergonomis dengan bantalan empuk berwarna krem yang memberikan kenyamanan maksimal. Di sebelahnya, terdapat meja kecil dari kayu jati dengan permukaan yang dilapisi kaca, tempat cangkir tehnya terletak. Emely membuka laptopnya dan menunggu perangkat itu menyala. Sambil menunggu, ia mengambil bungkusan rokok yang tadi dibawanya, membuka segel plastik dengan sedikit perasaan ragu, dan mengeluarkan sebatang rokok. Ia menyelipkannya di antara bibirnya, lalu menyalakan ujungnya menggunakan pemantik logam berwarna perak mengkilap. Asap tipis mulai mengepul saat ia menghisap rokok itu perlahan.Dia memejamkan mata sejenak, menikmati sensasi nikmat yang terasa di rongga mulutnya sebelum akhirnya melepaskan asap tersebut ke udara. Asap itu terbang melayang-layang, bergabung dengan angin yang berhembus dingin, sementara Emely membiarkan tubuhnya bersandar santai di k
***“Mommy, aku lelah dan mengantuk. Kalau misalkan aku mau langsung tidur saja, boleh tidak?” tanya Amara dengan wajah polos, menatap ibunya yang baru saja mematikan mesin mobil di depan teras rumah.Emely melirik gadis kecil itu sekilas sambil melepas sabuk pengaman. “Tentu saja boleh, sayang,” jawabnya lembut. “Tapi, Amara yakin tidak ada tugas dari sekolah yang harus dikumpulkan besok?” lanjutnya memastikan.“Tidak ada, Mommy,” balas Amara cepat.Emely menoleh sepenuhnya ke arah Amara yang duduk di kursi belakang. “Benar tidak ada tugas? Mommy hanya memastikan saja, supaya nanti tidak ada yang kelupaan.”Amara mengangguk mantap sambil menatap ibunya dengan serius. “Iya, Mommy. Betul, aku tidak ada tugas. Aku tidak akan mungkin berani berbohong sama Mommy,” jawabnya.Emely tersenyum kecil mendengar jawaban Amara. “Baiklah. Kalau begitu, sekarang kita turun dulu, ya?” ujarnya sambil membuka pintu mobil. Setelah turun, ia beralih ke sisi Amara, membuka pintu untuk gadis kecil itu, da
Setelah kepergian Blue, Emely menoleh kepada Zara. “Mom, aku dan Amara pamit pulang dulu, ya?” katanya dengan sopan.Zara tersenyum, meskipun ada sedikit rasa enggan melepaskan gadis itu bersama cucunya. “Hati-hati di jalan, ya, sayang. Kalau nanti kamu ada waktu, jangan ragu untuk datang lagi ke sini. Kami selalu menunggu kalian,” ujarnya tulus.Emely membalas senyum itu. “Pasti, Mom. Terima kasih.”Setelah itu, ia berdiri dan menggandeng tangan Amara yang masih terlihat enggan meninggalkan mansion. Emely memintanya berpamitan kepada Zara dan Talia. Gadis kecil itu pun segera melambai dan memeluk nenek dan bibinya dengan hangat sebelum keduanya mengantar mereka hingga ke teras depan.Zara dan Talia berdiri di sana, memperhatikan Emely dan Amara masuk ke dalam mobil. Sebelum mobil itu benar-benar melaju, Amara menurunkan kaca jendela dan melambaikan tangannya dengan semangat. “Daa daa, Grandma! Daa daa, Aunty!” serunya ceria.Zara dan Talia membalas lambaian itu dengan senyum lebar. “
Setelah berbicara dengan Emely sebelumnya, Ronan memilih untuk tidak banyak berbicara ketika Blue, Zara, dan Amara kembali bergabung di ruang keluarga. Keheningan Ronan cukup terasa, tetapi tidak mengganggu suasana yang kembali hangat dan ceria, terutama berkat interaksi antara Amara, Emely, dan Zara. Sedangkan Blue, sama seperti ayahnya, lebih banyak diam, hanya sesekali tersenyum kecil saat Zara atau Talia melontarkan candaan.Beberapa jam kemudian, Talia muncul. Wanita itu baru pulang dari kantor dan langsung bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Wajahnya terlihat bahagia—bukan hanya karena momen hangat yang tercipta, tetapi juga karena ia merasa kehadiran Emely membawa dampak positif pada keluarganya. Perlahan-lahan, Ronan mulai menerima Amara, dan Blue pun kini lebih sering berkunjung ke mansion. Semua ini mengingatkan Talia pada masa-masa harmonis keluarganya dulu.“Amara sama Mommy tidak mau menginap saja di mansion?” tanya Talia dengan senyum lembut, tepat setelah Emely
***“Kenapa kamu nekat sekali, Lidya?” ucap Rose, suaranya terdengar tercekat di tenggorokan. Tatapannya penuh ketidakpercayaan saat ia menatap sahabatnya yang duduk di depannya.Lidya menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada sofa dengan ekspresi lelah. “Aku hanya ingin bertemu dengan Amara, Rose. Apa itu salah?” jawabnya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Bagaimanapun, dia adalah anakku. Aku hanya seorang ibu yang sudah lama menyimpan kerinduan untuk putrinya. Kamu tidak akan mengerti bagaimana perasaanku.”Rose memicingkan mata, tatapannya kini penuh curiga. “Sungguh, kamu melakukan semua ini semata-mata karena Amara?” tanyanya dengan nada datar.“Ya, semuanya karena Amara,” jawab Lidya tegas. “Kenapa kamu menanyakannya seperti itu? Seolah kamu meragukan niatku.”Rose menggeleng pelan, ekspresinya terlihat rumit. “Entah kenapa, kali ini aku meragukan niatmu, Lidya. Maaf, tapi itulah yang aku rasakan.”Lidya terdiam, menatap Rose dengan lekat-lekat, mencoba mencari tahu apa
Ronan mengerutkan kening, jelas heran dengan sikap gadis itu. “Kenapa kau tertawa?” tanyanya, suaranya kini sedikit penasaran.Emely menurunkan ponselnya dan menatap Ronan dengan senyuman samar. “Tidak apa-apa, Dad,” ujarnya, suaranya terdengar tenang. “Aku hanya merasa... lucu saja mendengar saran darimu.”“Lucu?” Ronan mengangkat salah satu alisnya, jelas tidak mengerti apa maksud gadis itu.“Ya,” jawab Emely, singkat sembari mengangguk kecil. Ronan terdiam sesaat. Gadis itu, sekali lagi, berhasil membuatnya kehilangan kata-kata dengan caranya yang tenang dan santai. Emely kemudian menghela napas. “Dad, setiap kali aku bersama keluargaku, terutama ayahku, aku sering bertingkah seperti balita. Bahkan Amara saja jauh lebih dewasa dibandingkan aku. Tapi, ketika aku berada di samping putramu—percaya atau tidak—aku merasa jauh lebih dewasa dibandingkan dia,” ujar Emely tenang, namun nada sarkastis dibalik kalimatnya begitu kentara.Ronan, yang tengah duduk dengan tubuh tegap, spontan m
Dengan tenang, Emely bangkit dari kursinya, dan mengambil sebuah piring. Ia mulai menyusun beberapa menu favorit Blue tanpa bicara, mengatur porsinya dengan cermat. Ia meletakkan piring itu di depan Blue.Meskipun suasana di antara mereka terasa dingin, Emely tetap melayaninya. Mungkin ini bentuk tanggung jawabnya, atau hanya demi menjaga kesopanan di depan Zara dan Ronan, yang jelas-jelas tengah memperhatikan setiap interaksi mereka. Entah karena apa, Emely tetap menutupi ketegangan di antara mereka, membuat Zara berpikir bahwa hubungan mereka baik-baik saja.“Mommy?” suara kecil Amara memecah perhatian Emely. Gadis kecil itu menarik ujung baju ibunya dengan lembut.Emely menunduk sedikit, melirik ke arah putrinya. “Ya, sayang? Ada apa?” tanyanya lembut sambil membungkuk untuk mendengar lebih jelas.“Kalau aku sudah selesai makan, aku tunggu Mommy di ruang keluarga ya?” ujar Amara sambil mengusap sudut mulutnya.Emely tersenyum kecil, mengusap lembut rambut gadis kecil itu. “Oke, say