“Jadi, kamu tidak mau cerita apa-apa sama Mom, Blue?” tanya Zara di seberang telepon, suaranya terdengar lembut tapi tegas.
Blue mengerutkan kening, merasa bingung dengan arah pembicaraan. “Cerita apa, Mom?” tanyanya balik dengan nada hati-hati. Helaan napas berat terdengar di ujung telepon, seperti ada beban yang sulit diungkapkan. “Kamu punya kekasih tapi tidak cerita apa-apa ke Mom. Kamu juga belum memperkenalkan dia ke Mom. Apa sekarang keluarga sudah seasing itu buatmu, Nak?” Deg! Kata-kata terakhir Zara membuat Blue tercekat. Asing? Oh, tidak. Tentu saja tidak. Ia menyayangi Ibunya lebih dari apapun, meski tidak bisa menyembunyikan rasa bencinya terhadap sang Ayah. Blue menghela napas panjang sebelum menjawab. “Mom dengar dari siapa?” tanyanya dengan suara yang lembut. “Itu tidak penting, Nak. Yang Mom ingin tahu, kenapa kamu tidak cerita? Apa Mom nggak cukup dekat lagi dengan kamu?” suarBlue terdiam, menghela napas panjang. Ia mengangkat tangan kirinya, mengusap pelipis yang tak gatal. “Ya, Mom. Aku akan bicarakan nanti dengannya,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar sedikit ragu namun tetap berusaha meyakinkan. “Semoga dia bersedia.”“Amin,” sahut Zara tulus, penuh harapan.Percakapan antara Blue dan Zara terus berlanjut. Zara mulai menanyakan kabar pekerjaan putranya dan beberapa hal lainnya. Meskipun mereka tinggal di kota yang sama, mereka jarang bertemu. Semua itu akibat sikap keras kepala Ronan, Ayah Blue, yang tetap bersikeras menolak untuk menerima Amara sebagai cucunya. Hal ini menciptakan jarak yang tak terhindarkan antara Blue dan keluarganya.Di sisi lain, di dalam kamar Amara, suasana terasa begitu tenang. Gadis kecil itu tertidur pulas di atas ranjangnya. Perlahan-lahan, Emely bangkit dari sisi tempat tidur. Dengan gerakan lembut dan penuh perhatian, ia merapikan selimut yang menyelimuti tubuh kecil Amara. Sebelu
Blue menutup pintu dengan perlahan sebelum berjalan menghampiri Emely yang tengah berbaring santai di sofa. Tanpa berkata apa-apa, ia menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Ketika ia tiba di dekat sofa, tubuhnya dengan santai merebah di atas tubuh Emely.Tangan Blue menyentuh lembut pahanya yang sedikit terekspos karena dress yang tersingkap. Ia mendekatkan wajahnya, bibirnya mengecup lembut kulit mulus itu, membuat Emely sedikit terkesiap.“Telepon sama siapa?” tanyanya tanpa suara, hanya dengan gerakan bibir, tapi sorot matanya seolah menuntut jawaban.“Sama Arwen,” jawab Emely dengan suara pelan, hampir berbisik. Blue mengangguk kecil, tanda mengerti, namun tetap tak beranjak dari posisinya.Emely terdiam sejenak, matanya menatap wajah tampan Blue yang begitu dekat dengannya. Ia ragu untuk sesaat, tapi akhirnya memberanikan diri berbicara. “Aku baru ingat, sore ini aku ada janji dengan Arwen. Kami mau diskusi soal tugas kuliah. Tapi... a
Emely tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Blue dengan sorot mata penuh kekaguman dan sedikit senyum di sudut bibirnya. Tangannya tetap bekerja, mengurut dengan lembut batang keperkasaan Blue, sesekali memberikan remasan kecil yang membuat pria itu menarik napas panjang. "Berapa lama kau ingin bermain?" tanya Blue, suaranya terdengar berat."Aku tidak bisa lama-lama," jawab Emely dengan nada parau, hampir berbisik. "Aku harus menyiapkan tugas kuliahku sebelum Arwen sampai."Blue mengangguk kecil. Kemudian, ia meraih pergelangan tangan Emely, menghentikan sentuhannya yang terus menggoda. Lalu, ia berpindah posisi, mengambil tempat di belakang tubuh ramping gadis itu. Sofa besar yang mereka duduki cukup luas, memungkinkan mereka berdua berbaring miring dengan nyaman.Emely mengerti tanpa perlu kata-kata. Ia meloloskan kain segitiga kecil yang membalut dirinya, lalu mengangkat gaun yang dikenakannya hingga cukup tinggi untuk memberi akses penuh pa
***Emely berdiri di teras rumah, pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman. Mobil itu milik Arwen, sahabatnya. Ia mengamati saat mobil berhenti perlahan di samping kendaraan Blue yang terparkir rapi.Mesin mobil dimatikan, dan tak lama kemudian Arwen keluar dengan membawa laptop di lengannya. Dengan langkah santai, gadis itu mendekati Emely yang sudah menunggunya di teras.“Hay!” sapa Arwen ceria, mengulas senyum lebar.“Kamu terlambat dua menit,” sindir Emely, tangannya dilipat di dada.Arwen berhenti tepat di hadapan sahabatnya dan memutar bola matanya dengan malas. “Bersyukur aku masih mau nyamperin kamu ke sini!” balasnya ketus.Emely hanya tertawa kecil, menikmati reaksi Arwen yang khas.Namun, tawa itu terhenti saat suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Arwen menoleh ke arah pintu dengan rasa penasaran. Beberapa detik kemudian, sosok Blue muncul, berjalan dengan tenang namun p
“Hmm, dunia pun tahu itu. Makanya kamu sangat tergila-gila padaku,” balas Emely tanpa menoleh, nada suaranya datar namun jelas penuh percaya diri.Blue tertawa pelan. “Kau memang benar,” gumamnya pelan.Ia menegakkan tubuh dari sandarannya dan berjalan santai mendekati Emely, yang sedang fokus menuangkan minuman ke dalam gelas. Sesampainya di belakang Emely, Blue membawa kedua tangannya ke pinggang gadis itu, melingkarkannya dengan mesra.Emely sejenak membeku saat merasakan pelukan hangat pria itu, tetapi ia memilih untuk tak bereaksi.Blue menunduk sedikit, mengecup lembut pipi Emely. Bibirnya hanya menyentuh sekilas, namun sentuhan itu cukup untuk membuat Emely menarik napas dalam. “Aku tidak akan menyangkal,” bisik Blue dekat di telinganya. Suaranya rendah, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat hati Emely sedikit bergetar. “Karena kenyataannya memang seperti itu. Aku tergila-gila padamu.”Dengan lembut, Blu
Beberapa hari kemudian…Setelah beberapa hari yang lalu, Emely akhirnya menyetujui permintaan Blue untuk bertemu dengan orang tua pria itu, terutama Ibunya. Kemudian, di hari itu Blue segera memberitahu Ibunya, Zara, yang menyambut kabar bahagia itu dengan antusiasme yang luar biasa.Malam ini adalah malam yang sangat dinanti oleh Zara. Setelah beberapa hari menunggu, malam ini akhirnya tiba juga, ketika putranya, Blue, akan datang ke Mansion untuk makan malam dan memperkenalkan kekasihnya. Zara semakin tidak sabar menunggu momen itu.Sejak siang, Zara dan Talia telah sibuk mempersiapkan menu makan malam yang akan menjadi hidangan untuk menyambut anggota baru dalam keluarga mereka. Semua persiapan dilakukan dengan penuh perhatian, memastikan segalanya berjalan sempurna. Dan kini, malam pun telah tiba. Semua persiapan telah selesai.Di ruang tengah Mansion Sinclair yang mewah, Zara duduk bersama suaminya, Ronan, dan putrinya, Talia. Mereka sedang m
***Dengan perasaan gugup yang sulit disembunyikan, Emely melangkah keluar dari mobil ketika Blue dengan sigap membuka pintu untuknya. Malam itu, ia mengenakan gaun elegan berwarna emerald green dengan potongan high-neck yang anggun. Gaun tersebut membalut tubuhnya dengan sempurna, memancarkan keanggunan yang tak terbantahkan, hingga berhenti tepat di lututnya.Di sisi lain, Amara, gadis kecil itu, tampak tak kalah memesona. Ia mengenakan gaun dusty pink dengan lengan puff yang manis, rok tutu bertingkat yang mengembang, dan dihiasi pita satin besar di pinggang. Rambutnya yang tergerai rapi dilengkapi bando mutiara, memberikan kesan seperti seorang putri kecil yang anggun dan menggemaskan.Amara memegang tangan kiri sang Ayah dengan erat, sementara tangan kanan pria itu membantu Emely turun dari mobil dengan lembut. Emely menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kegugupan yang menyelimuti dirinya. Ia menatap pintu besar di depan
Blue yang memperhatikan dari samping hanya bisa tersenyum geli. Ia berusaha menahan tawa kecilnya, melihat betapa canggungnya Emely menghadapi Ibunya. Zara tampak sama sekali tidak terganggu dengan panggilan itu. Sebaliknya, ia tetap tersenyum lembut. “Justru kami yang berterima kasih, Nak, karena kamu sudah berkenan meluangkan waktu untuk datang ke kediaman kami,” ucapnya, membuat suasana menjadi lebih nyaman.Pertemuan pertama mereka tampak berjalan baik-baik saja, tanpa kendala atau suasana tegang yang Emely khawatirkan sebelumnya. Perlahan, Emely merasa lega. Kekhawatiran tentang calon mertua yang galak atau sulit diterima seolah sirna. Zara tidak seperti yang ia bayangkan—wanita itu terlihat hangat.Selanjutnya, Talia maju menyapa Emely dengan ramah, membuat suasana semakin cair.Zara lalu mengajak Emely dan Amara masuk ke dalam Mansion mewah. Langkah mereka menuju ruang keluarga, sebuah ruangan luas dengan dekorasi elegan.Zara sen
Tubuh bagian atas Emely kini benar-benar polos, tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Blue mendekat, mengalihkan perhatiannya pada celana hotpants yang masih membalut pinggul gadis itu. Dengan gerakan cekatan, ia mulai membuka kancingnya, lalu menurunkan resletingnya secara perlahan.Tangannya yang kokoh kemudian memegang kedua sisi celana tersebut. Dalam satu gerakan lembut, ia meloloskan kain itu dari tubuh Emely. Gadis itu tidak tinggal diam. Ia mengangkat sedikit bokongnya, mempermudah proses pelepasan kain tersebut. Kaki jenjangnya juga bergerak lentur, memberikan ruang agar celana itu dengan mudah meluncur turun, meninggalkan kulitnya yang kini semakin terekspos.Dalam sekejap, celana hotpants itu sudah terlepas sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah sepotong celana dalam tipis yang tampak kontras dengan kulitnya yang halus. Emely sempat berpikir bahwa Blue tidak akan melepaskan kain tersebut. Namun, dengan cara yang tak terduga, pria itu justru melepask
“Ughh!” Emely dengan refleks menutup mulut menggunakan sebelah tangan ketika rintihan penuh kenikmatan itu lolos dari bibirnya akibat remasan lembut yang dilakukan oleh Blue di payudaranya.Matanya tertutup rapat. Napasnya mulai tersengal-sengal ketika Blue tak hanya meremas payudaranya, tetapi juga memelintir putingnya.Emely berusaha mati-matian menahan diri. Rasa panas menjalar di tubuhnya, tetapi ia tahu ia tak bisa mendesah bebas seperti biasanya. Karena bagaimanapun, Amara sedang berada di sampingnya.Tangan Emely terangkat, mencengkeram erat pergelangan tangan Blue, yang dengan santainya membiarkan jemarinya bermain di atas dadanya. Sentuhan itu mengirimkan gelombang sensasi yang membuatnya hampir kehilangan kendali.“Masih tidak mau memaafkanku?” bisik Blue pelan di telinganya. Suaranya serak dan memancing. Sesaat kemudian, ia menjulurkan lidah, menjilat lembut daun telinga Emely, sebelum akhirnya mengulum dan menghisapnya dengan penuh ken
***Emely perlahan membaringkan tubuhnya di atas ranjang Amara. Dengan posisi miring, ia menatap wajah gadis kecil itu yang tampak damai dalam tidurnya. Emely membawa sebelah tangannya untuk memeluk tubuh mungil Amara, menciptakan kehangatan di antara mereka.‘Ketika kamu besar nanti, aku yakin kamu akan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik hati,’ batinnya sambil menatap lembut wajah polos Amara. Emely mendekatkan wajahnya, lalu mengecup kening gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang.Meskipun Emely sangat membenci Lidya, ibu kandung Amara, perasaannya terhadap gadis kecil ini sama sekali tidak terpengaruh. Tidak ada kebencian, tidak ada kekesalan. Amara adalah anak yang baik, lucu, dan menggemaskan. Terlepas dari siapapun ibunya, Emely tahu ia akan tetap menyayangi Amara tanpa syarat.Hampir lima belas menit berlalu. Emely masih berbaring memeluk hangat tubuh mungil Amara, menikmati momen penuh ketenangan itu. Namun, tiba-tiba pintu kamar
Emely memejamkan mata sejenak, berusaha mengendalikan emosi yang terasa semakin membuncah. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kamu tahu tidak, Blue, apa yang sebenarnya membuat masalah ini jadi sebesar ini? Ini bukan soal sejauh mana kamu bermain api dengan mantan istrimu. Ini soal kebohonganmu!"Ia menunjuk ke arah Blue dengan gerakan cepat, membuat pria itu terdiam kaku. "Kamu pikir semua hal bisa kamu anggap remeh begitu saja? Kebohongan yang kamu anggap kecil itu, lama-lama akan jadi masalah besar. Karena apa? Karena kamu akan terus menutupi kebohonganmu dengan kebohongan lain. Dan sementara itu, kamu akan menertawakanku yang kamu anggap bodoh karena sudah berhasil kamu tipu mentah-mentah!"Blue hanya menatap Emely dengan ekspresi penuh penyesalan, namun ia tetap bungkam. Emely, di sisi lain, terlihat terengah-engah, seperti kehabisan napas setelah melampiaskan emosinya."Dan yang paling aku benci," lanjut Emely. “Adalah ketika aku terlihat seperti orang bodoh di dep
Salah satu pelayan yang kebetulan berada di dekat pintu langsung menyapanya dengan sopan. "Selamat malam, Tuan."Blue membalas singkat, "Selamat malam." Ia terus melangkah melewati pelayan tersebut menuju tangga yang menghubungkan lantai dasar dan atas, dengan ekspresi serius terpampang di wajahnya.Di tengah tangga, ia bertemu dengan Gina, yang tampaknya sedang turun. Wanita itu menghentikan langkahnya, lalu menunduk hormat. "Tuan," sapanya pelan."Amara dimana? Apakah dia bersama Emely?" tanya Blue tanpa basa-basi."Tidak, Tuan. Nona Amara sudah tidur di kamarnya. Dia sangat lelah dan mengantuk tadi. Sedangkan Nona Emely ada di kamarnya," jawab Gina.Blue mengangguk kecil, lalu melanjutkan langkahnya ke lantai atas. Beberapa saat kemudian, ia tiba di depan pintu kamar. Ia mengulurkan tangan, menggenggam tuas pintu, dan membukanya perlahan.Kamar itu sunyi. Langkah Blue terhenti di tengah ruangan, matanya langsung tertuju ke arah jendela tembus pandang yang memperlihatkan balkon. Sek
Kini, Emely duduk diatas kursi rotan bergaya modern yang khas menghiasi balkon rumah mewah. Kursi itu memiliki desain melengkung ergonomis dengan bantalan empuk berwarna krem yang memberikan kenyamanan maksimal. Di sebelahnya, terdapat meja kecil dari kayu jati dengan permukaan yang dilapisi kaca, tempat cangkir tehnya terletak. Emely membuka laptopnya dan menunggu perangkat itu menyala. Sambil menunggu, ia mengambil bungkusan rokok yang tadi dibawanya, membuka segel plastik dengan sedikit perasaan ragu, dan mengeluarkan sebatang rokok. Ia menyelipkannya di antara bibirnya, lalu menyalakan ujungnya menggunakan pemantik logam berwarna perak mengkilap. Asap tipis mulai mengepul saat ia menghisap rokok itu perlahan.Dia memejamkan mata sejenak, menikmati sensasi nikmat yang terasa di rongga mulutnya sebelum akhirnya melepaskan asap tersebut ke udara. Asap itu terbang melayang-layang, bergabung dengan angin yang berhembus dingin, sementara Emely membiarkan tubuhnya bersandar santai di k
***“Mommy, aku lelah dan mengantuk. Kalau misalkan aku mau langsung tidur saja, boleh tidak?” tanya Amara dengan wajah polos, menatap ibunya yang baru saja mematikan mesin mobil di depan teras rumah.Emely melirik gadis kecil itu sekilas sambil melepas sabuk pengaman. “Tentu saja boleh, sayang,” jawabnya lembut. “Tapi, Amara yakin tidak ada tugas dari sekolah yang harus dikumpulkan besok?” lanjutnya memastikan.“Tidak ada, Mommy,” balas Amara cepat.Emely menoleh sepenuhnya ke arah Amara yang duduk di kursi belakang. “Benar tidak ada tugas? Mommy hanya memastikan saja, supaya nanti tidak ada yang kelupaan.”Amara mengangguk mantap sambil menatap ibunya dengan serius. “Iya, Mommy. Betul, aku tidak ada tugas. Aku tidak akan mungkin berani berbohong sama Mommy,” jawabnya.Emely tersenyum kecil mendengar jawaban Amara. “Baiklah. Kalau begitu, sekarang kita turun dulu, ya?” ujarnya sambil membuka pintu mobil. Setelah turun, ia beralih ke sisi Amara, membuka pintu untuk gadis kecil itu, da
Setelah kepergian Blue, Emely menoleh kepada Zara. “Mom, aku dan Amara pamit pulang dulu, ya?” katanya dengan sopan.Zara tersenyum, meskipun ada sedikit rasa enggan melepaskan gadis itu bersama cucunya. “Hati-hati di jalan, ya, sayang. Kalau nanti kamu ada waktu, jangan ragu untuk datang lagi ke sini. Kami selalu menunggu kalian,” ujarnya tulus.Emely membalas senyum itu. “Pasti, Mom. Terima kasih.”Setelah itu, ia berdiri dan menggandeng tangan Amara yang masih terlihat enggan meninggalkan mansion. Emely memintanya berpamitan kepada Zara dan Talia. Gadis kecil itu pun segera melambai dan memeluk nenek dan bibinya dengan hangat sebelum keduanya mengantar mereka hingga ke teras depan.Zara dan Talia berdiri di sana, memperhatikan Emely dan Amara masuk ke dalam mobil. Sebelum mobil itu benar-benar melaju, Amara menurunkan kaca jendela dan melambaikan tangannya dengan semangat. “Daa daa, Grandma! Daa daa, Aunty!” serunya ceria.Zara dan Talia membalas lambaian itu dengan senyum lebar. “
Setelah berbicara dengan Emely sebelumnya, Ronan memilih untuk tidak banyak berbicara ketika Blue, Zara, dan Amara kembali bergabung di ruang keluarga. Keheningan Ronan cukup terasa, tetapi tidak mengganggu suasana yang kembali hangat dan ceria, terutama berkat interaksi antara Amara, Emely, dan Zara. Sedangkan Blue, sama seperti ayahnya, lebih banyak diam, hanya sesekali tersenyum kecil saat Zara atau Talia melontarkan candaan.Beberapa jam kemudian, Talia muncul. Wanita itu baru pulang dari kantor dan langsung bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Wajahnya terlihat bahagia—bukan hanya karena momen hangat yang tercipta, tetapi juga karena ia merasa kehadiran Emely membawa dampak positif pada keluarganya. Perlahan-lahan, Ronan mulai menerima Amara, dan Blue pun kini lebih sering berkunjung ke mansion. Semua ini mengingatkan Talia pada masa-masa harmonis keluarganya dulu.“Amara sama Mommy tidak mau menginap saja di mansion?” tanya Talia dengan senyum lembut, tepat setelah Emely