Blue menggenggam tangan Emely dengan erat, seolah-olah tak ingin melepaskannya. Seakan-akan tangan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari dunia yang begitu penuh kecaman.
Di sebelahnya, Emely, yang kini seperti kucing liar yang terluka, hanya mengikuti langkah Blue dengan lemah. Langkah pria itu begitu mantap dan lebar. Setiap gerakannya memancarkan ketegasan yang begitu kuat, seolah-olah tak ada yang berani menghalanginya. Matanya menatap tajam, penuh amarah yang terpendam. Rahangnya pun makin mengetat, menahan gejolak yang hampir tak bisa terkendali. Wajahnya dingin, penuh dominasi—jauh dari sosok Blue yang biasa terlihat ramah. Setiap orang yang melirik tak mampu bertahan lama, seakan-akan aura intimidasi yang begitu kuat keluar dari tubuh Blue. Memaksa mereka untuk menunduk atau menjauh, menghindari tatapan yang bisa membekukan mereka di tempat. Ketika Blue sampai di meja tempat sebelumnya Emely duduk bersama teman-temannya, ia berhenti sejenak. Di sana, Arwen berdiri kaku, menatap Blue dan Emely dengan rasa penasaran sekaligus cemas. Apa yang telah terjadi pada Emely? pikir Arwen. Namun, ia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan Blue yang tajam dan dingin membuatnya terdiam, seolah-olah terhipnotis oleh ketegangan yang kian terasa kuat. Blue menatap Arwen tanpa ekspresi. “Tolong ambilkan tas milik Emely.” Suara pria itu datar dan keras, tanpa sedikit pun kehangatan. Arwen menelan ludah dengan cemas. Ia melirik sebentar pada Emely, yang kini tampak begitu rapuh—seakan-akan dirinya hanyalah seekor kucing liar yang lelah, terluka, dan tak memiliki tempat untuk bersembunyi. Matanya yang dipenuhi ketakutan tak berani menatap Blue terlalu lama. “Ya, tunggu sebentar, Uncle,” jawab wanita itu dengan suara pelan. Arwen cepat-cepat mengambil tas Emely di kursi dan menyerahkannya kepada Blue. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan kecemasannya. “Terima kasih,” kata Blue. Suaranya bahkan lebih dingin dari sebelumnya, tanpa sedikit pun keramahtamahan. Arwen mengangguk pelan. “Sama-sama, Uncle,” jawabnya. Suaranya kikuk dan sedikit gemetar. Wanita itu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia berdiri mematung, memandangi Blue yang tanpa basa-basi meninggalkan tempat itu. Blue segera berbalik, melangkah pergi dengan langkah lebar-lebar yang memecah keheningan sekitar; menarik Emely bersamanya. Mereka melintasi ruangan yang penuh keramaian di dalam club tersebut, menyusuri lorong yang dipenuhi orang-orang yang terbuai oleh musik keras dan lampu yang berkilauan. Namun, bagi Blue, dunia itu seperti tidak ada artinya. Ia mengabaikan semuanya, bahkan dentuman musik yang memekakkan telinga dan hiruk-pikuk yang memenuhi ruangan. Matanya tetap fokus pada tujuan: Emely yang masih setia mengikuti langkahnya. Di sepanjang jalan, wanita-wanita malam yang mengenakan pakaian seksi menghampiri Blue dengan senyum menggoda. “Hai, Tuan Sinclair,” sapa mereka. Suaranya manja, penuh rayuan. Namun, Blue hanya berjalan tanpa mengindahkan mereka, seolah-olah mereka tak ada di sana. Sayangnya, bagi Emely, suara itu—panggilan itu—seperti duri yang menusuk amat dalam. Tuan Sinclair? pikirnya dengan perasaan yang makin memanas, seperti naik ke ubun-ubun. What the hell? Amarah bergolak dalam dirinya. Nama itu, yang begitu biasa diucapkan oleh wanita-wanita tadi, mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia lupakan. Tentang pria yang ada di sampingnya, yang kini tak lagi terlihat seperti sosok yang ia kenal. Tatapan tajam Emely membakar setiap wanita yang berusaha mendekat. Panggilan itu, sikap Blue yang begitu dingin terhadap mereka, membangkitkan perasaan yang sulit ia kendalikan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, tubuhnya dipenuhi rasa panas yang hampir tak tertahankan. Namun, ia memaksakan diri untuk tetap mengikuti Blue keluar dari club itu. Menit berlalu, Blue akhirnya sampai di area parkir. Ia berhenti di samping SUV hitam mewahnya. Tanpa sepatah kata pun, ia membuka pintu depan sebelah kanan, lalu menatap Emely dengan tatapan tajam. “Masuk!” perintahnya dengan suara dingin dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. Matanya menyorot tajam, penuh dominasi, tak memberi ruang untuk penolakan. Emely hanya bisa terdiam. Hatinya bergejolak, tetapi ia memilih untuk mengikuti perintah itu tanpa banyak bicara. Meskipun seluruh tubuhnya ingin memberontak, mulutnya tetap terkunci dan langkahnya yang lelah hanya mengarah pada kursi di dalam mobil. Ia duduk di kursi penumpang. Blue menutup pintu mobil dengan lembut. Ia mengitari SUV hitam itu dengan langkah lebar. Tubuhnya yang tinggi dan tegap terlihat begitu dominan di bawah lampu parkir yang redup. Ia membuka pintu dan segera masuk, duduk dengan cepat. Napasnya sedikit terengah-engah. Dalam sekejap, ia memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. Blue melirik Emely dengan tatapan tajam yang penuh perhitungan, lalu suara rendah dan penuh sindiran keluar dari bibirnya. “Apakah pesta kali ini sangat memuaskan, Emely?” tanyanya. ***Emely hanya melirik pria itu dengan penuh kebingungan, perasaan yang sangat sulit dijelaskan mulai membekapnya. Keinginan untuk marah, untuk membentak pria itu, bahkan melontarkan kata-kata yang keras, bergolak begitu hebat dalam dirinya. Namun, tubuhnya terasa seperti terkunci, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang membuatnya diam, menahan segala amarah yang hendak ia luapkan. Kenapa aku diam saja? pikirnya dengan frustrasi.Panas itu kian merayap dari dalam tubuhnya, lebih intens daripada sebelumnya, menyelimuti setiap inci kulitnya. Wajahnya yang semula merah pun makin memerah, kali ini lebih karena perasaan yang sangat berbeda. Lebih rumit dan kacau. Matanya liar dan penuh kebingungan, menyusuri setiap detail wajah Blue tanpa bisa menghentikannya.Tatapannya bertemu dengan mata Blue. Lalu, tanpa bisa ia tahan, pandangannya meluncur turun ke hidung mancung pria itu yang terlihat begitu sempurna di bawah cahaya mobil. Emely tak bisa mengalihkan pandangannya begitu saja, seolah
SUV hitam mewah milik Blue meluncur mulus menembus gerbang perumahan elite yang tinggi dan kokoh. Gerbangnya dengan mudah terbuka setelah penjaga menekan tombol remote control. Dengan deru mesin yang halus, mobil itu melaju melewati jalan setapak berlapis batu yang diterangi cahaya lembut dari lampu-lampu taman. Ketika akhirnya mobil berhenti tepat di depan teras rumah yang luas dan elegan, Blue melirik sekilas ke arah Emely, si Kucing Liar yang duduk gelisah di kursi penumpang sampingnya. Emely terlihat makin tidak tenang, wajahnya memerah, dan tubuhnya menggigil. Blue bisa melihat dengan jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu. Dengan suara berat dan sedikit serak, Blue bertanya, “Apa yang sudah kau minum, Emely?” Suaranya menggema dalam kesunyian malam yang mencekam. Emely berbalik menatap Blue, matanya sedikit kosong dan bingung, tetapi ada kegelisahan yang jelas terpantul di sana. Wajahnya kini kian memerah, seakan-akan tubuhnya terbakar oleh sesuatu yang l
Mendengar itu, alis Blue terangkat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi yang seperti meremehkan. Dia mengubah posisinya, tubuhnya kini menghadap penuh ke arah Emely; satu tangannya bertumpu di pinggang. “Setelah semua yang aku lakukan untukmu, kau masih bertanya kenapa aku membawamu ke sini?” balasnya dengan suara yang terdengar dingin. Matanya menatap tajam, seakan-akan mencari celah untuk memahami pikiran wanita itu. Namun, Emely hanya mendengkus, membuang pandangannya ke arah lain.Blue menarik napas panjang, berusaha menahan rasa frustrasinya. “Pertanyaan bodoh macam apa itu, Emely?” Suaranya kali ini mengandung geraman halus.“Aku punya tempat tinggal sendiri, Blue!” balas Emely dengan nada tinggi. Emosinya mulai terpancing. “Seharusnya kamu mengantarku ke sana, bukan malah membawaku ke rumahmu!”Perkataan Emely membuat Blue terperangah. Kali ini, alisnya terangkat lebih tinggi. Matanya pun menyipit tajam, seolah-olah menilai wanita di depannya dengan penuh keheranan. “Blue? Heh?” b
Emely melangkah masuk ke kamar yang luas dan tertata sempurna. Nuansa gelap mendominasi ruang itu, dengan dinding bercat abu-abu pekat yang dipadukan pencahayaan remang-remang dari lampu gantung berbentuk geometris. Lantai kayu mengilap memantulkan bayangan samar furnitur minimalis yang serbahitam dan cokelat tua. Sebuah tempat tidur berukuran besar dengan seprai hitam berada di tengah ruangan, dikelilingi oleh rak buku tinggi yang tertata penuh oleh buku-buku berjilid tebal.Ketika pintu di belakangnya tertutup, Emely kian terasa sesak. Matanya terus bergerak, menyapu setiap sudut ruangan dengan intens, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Kedua tangannya memegang erat pinggiran dress yang ia kenakan, meremas-remasnya seperti mencoba mengalihkan perhatian dari rasa yang mengaduk-aduk tubuhnya.Kakinya tidak bisa diam, melangkah tanpa arah, hanya untuk berhenti sejenak sebelum kembali bergerak. Bibirnya dikelupasi dengan gigi, tanda kegelisahan yang makin memuncak.
“Semakin hari, kau semakin liar, sulit diatur, dan otakmu yang cantik ini dipenuhi rencana-rencana licik,” desis Blue. Suaranya rendah tetapi mengancam.Wanita itu tetap diam, tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya untuk membela diri. Ia berdiri kaku, terlalu gugup untuk menghadapi tatapan penuh intimidasi dari pria di hadapannya. Melihat sikap pasif itu, Blue akhirnya menjauhkan tangannya yang semula mencengkeram dagu Emely. Dengan langkah ringan, ia mulai berjalan mengitari wanita itu. Kini, ia berhenti tepat di belakang Emely. “Baiklah,” ucap pria itu akhirnya. Suaranya lebih tenang tetapi tetap dingin. “Aku mengerti kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara. Ada hal lain yang jauh lebih penting yang harus kau selesaikan.”Tangan Blue perlahan terulur, jemarinya menggenggam rambut panjang dan halus milik Emely. Dengan gerakan lembut, ia menggeser rambut itu ke sisi kanan bahu sang wanita, memperlihatkan punggungnya yang kini terekspos sempurna. Lalu, dengan geraka
“Sshh—ahh! U–Uncle .…”Desahan itu meluncur dari bibir Emely, menggema lembut di ruangan yang hening. Suara itu seperti melodi yang menari di telinga Blue, membuat pria berusia 38 tahun itu tersenyum tipis, penuh kemenangan. Sesaat, gerakan tangannya terhenti, seolah-olah ingin menikmati reaksi wanita di hadapannya. Namun, hanya sekejap, karena jemarinya kembali bergerak, memberikan remasan lembut tetapi penuh kontrol pada dada Emely. Membuat tubuh wanita itu bergetar halus.Bibir Blue perlahan mendekat lagi. Kali ini bukan menuju leher Emely, melainkan daun telinganya. Dengan lembut, ia mengecup bagian itu, lalu menjulurkan lidahnya, menyapu lembut daun telinga Emely dengan gerakan yang penuh sensualitas. Napas Emely tersengal, desahan kecil kembali keluar dari bibirnya. “Ahhh!”Tubuhnya tersentak, refleks menegang sejenak sebelum akhirnya kembali lemas di bawah sentuhan Blue. Matanya terpejam rapat, bibirnya terbuka, dan dadanya naik-turun, mencoba mengatur napas yang kini mulai ti
Blue menyipitkan matanya, pura-pura tidak mengerti. “Lalu, apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan nada lembut tetapi jelas menuntut. Ia tahu jawabannya, tetapi ingin mendengar langsung dari bibir Emely.“Hmm? Katakan padaku,” desaknya lagi. Ia menunggu sang wanita membuat keputusan. “Apa yang kau inginkan, Emely? Apa yang kau butuhkan?”Napas Emely terdengar tidak teratur. Tubuhnya bergetar, kakinya bergerak gelisah, berusaha menahan sesuatu—kedutan yang terasa menguasai inti tubuhnya. Akhirnya, dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia menjawab, “Sentuhanmu ....”Blue diam. Tatapannya tetap terarah pada wanita itu, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Namun, keheningan itu justru membuat Emely makin tidak sabar. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Blue, membawanya langsung ke dadanya.“Please,” pintanya dengan nada setengah berbisik, setengah memohon. Wajahnya yang memerah menjadi kombinasi sempurna antara rasa malu dan gairah yang menggelora. “Aku ... aku tidak mengerti kenap
Sementara itu, Blue meraih kedua tangan Emely, membawanya ke atas kepala sang wanita. Gerakannya mantap, tetapi tidak kasar. Kedua pergelangan tangan itu dicekal dengan satu tangan besar Blue, digenggamnya dengan cukup kuat untuk menahannya di tempat tanpa menyakiti. Ciumannya makin mendalam. Bibir Blue melumat, mengulum, dan mengisap bibir Emely dengan ritme yang perlahan tetapi penuh gairah. Sentuhannya seakan-akan menuntun Emely ke dalam perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Wanita itu tidak melawan, bahkan balasannya makin menunjukkan keinginannya untuk terus tenggelam dalam momen tersebut.Dengan tangan bebasnya, Blue membiarkan dirinya menjelajahi sisi wajah Emely. Jari-jarinya menyentuh pipi halus sang wanita, bergerak pelan menuju rahangnya, dan berhenti di pangkal leher. Sentuhannya terasa hangat, menggoda, tetapi tetap penuh kendali. Membuat Emely merasa kecil dan rapuh di bawah kendali pria itu.Ketika Blue akhirnya menarik diri sedikit untuk mengambil napas, ia
“Kalau aku berkata jujur, bahwa aku tidak berminat, apakah kau akan peduli?” Ia balik bertanya. Blue tertawa pelan, tawanya terdengar rendah dan menggoda. “Tentu saja tidak,” jawabnya dengan nada santai. “Kau tahu, Emely, kau tidak punya pilihan untuk menolak apa pun yang aku inginkan.”Emely mendengkus kecil. Meski nada bicaranya menunjukkan ketidaksukaan, matanya tetap terkunci pada Blue. “Aku tahu itu. Justru karena itu, aku malas berkata tidak,” balasnya tajam tetapi setengah menyerah.Blue tersenyum tipis, sebuah senyuman yang sarat penuh kemenangan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia mendekatkan wajahnya ke Emely, menatap matanya dengan dalam sebelum bibirnya menyentuh bibir wanita itu. Ciumannya lembut tetapi menguasai, seolah-olah mengklaim sesuatu yang sudah menjadi haknya. Emely yang awalnya ragu, pada akhirnya terbuai oleh kehangatan dan kelembutan sentuhan Blue.Untuk beberapa saat, mereka tenggelam dalam ciuman yang terasa membakar birahi dan mengabaikan segala hal lain d
Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit di perjalanan, akhirnya Blue dan Emely tiba di Luxe Midtown Residences, sebuah gedung apartemen elite yang terletak di kawasan Manhattan, New York. Gedung itu terkenal dengan fasilitas mewah dan lokasinya yang strategis di pusat kota, menawarkan pemandangan indah Central Park dari lantai-lantai atasnya.Mobil SUV hitam milik Blue perlahan memasuki area basemen yang luas dan terorganisir dengan baik. Lampu-lampu parkir menerangi jalur dengan sempurna, memberikan suasana eksklusif khas gedung premium. Blue menghentikan mobilnya di salah satu slot parkir khusus tamu, mematikan mesin, dan melirik sekilas ke arah Emely sebelum keluar dari kendaraan.Emely membuka pintu penumpang dan melangkah ke luar. Udara dingin dari sistem ventilasi bawah tanah terasa menerpa singkat kulitnya. Blue berjalan mendahului, tetapi langkahnya cukup lambat agar Emely bisa mengikuti tanpa tergesa-gesa.“Unitmu di lantai berapa?” tanya Blue, pura-pura tidak tahu letak
Selesai makan siang, Blue, Emely, dan Amara berpindah ke ruang TV untuk menghabiskan waktu bersama. Suasana terasa nyaman dan santai. Seorang pelayan masuk membawa dua cangkir teh hangat untuk Blue dan Emely, lalu meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka.Sejak tadi, Amara tampak tak mau berjauhan dari Emely. Gadis kecil itu duduk di sampingnya, memeluk erat tubuhnya seolah-olah takut ditinggalkan. Tangan mungilnya menggenggam ujung baju wanita itu.Waktu berlalu hampir satu jam. Di sela tawa ringan dan obrolan santai, suara Amara perlahan menghilang. Emely yang menyadari keheningan itu, menundukkan kepalanya untuk melihat Amara. Ia mendapati gadis kecil itu sudah berbaring di sofa dengan kepala bersandar pada pahanya, tertidur lelap.“Dia tidur, Blue,” gumam Emely dengan suara nyaris seperti bisikan. Tatapannya beralih pada pria yang duduk di sebelahnya.Blue menarik pandangannya dari layar TV dan menoleh ke arah Emely, alisnya sedikit terangkat. Ia lalu menunduk untuk memast
“Nanny, cantik, ya, Mommy aku?” tanya Amara sambil membalikkan badan, memunggungi Gina. Ia membiarkan wanita dewasa itu memasang ritsleting gaunnya yang cantik.Gina tersenyum lebar mendengar pertanyaan polos Amara. Sejak masuk kamar, bocah itu terus tersenyum. Wajahnya dipenuhi binar kebahagiaan.“Iya, mommy-nya Amara sangat cantik, sama seperti Amara,” jawabnya sambil memuji gadis kecil itu dengan lembut.Amara terkikik kecil, wajahnya memerah. “Ah, Nanny bisa saja memujiku,” katanya pelan dengan nada malu-malu. Ekspresi menggemaskan itu membuat Gina tak kuasa menahan tawa kecil.“Amara memang cantik, Sayang. Semua orang juga tahu itu,” sanjung Gina. Ia kemudian memegang kedua bahu mungil Amara dengan lembut dan memutar tubuh gadis kecil itu hingga menghadap ke arahnya. Kini Amara menatapnya dengan senyuman ceria.“Nanny, aku mirip Mommy tidak?” tanya Amara tiba-tiba. Suaranya terdengar penuh harapan.Gina yang sedang bersiap menyisir rambut panjang Amara pun berhenti sejenak. Tatapa
Emely menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Senyum lembut muncul di wajahnya meski hatinya terasa campur aduk. “Iya,” jawabnya singkat tetapi penuh arti.Amara menatap tanpa berkedip, seolah-olah ingin mendengar lebih banyak. Emely mengerjap, merasa gugup. Lidahnya terasa kelu. Ia tahu dirinya harus memilih kosa kata dengan hati-hati, tetapi emosi justru membuatnya sulit untuk berpikir jernih. “Aku ... eumm ... maksudku, Mommy adalah ibunya Amara,” jelasnya akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang. Dalam hati, ia berharap pernyataan itu cukup untuk memuaskan hati kecil bocah tersebut.Amara tersenyum lebar, begitu lebar hingga matanya memicing. Dalam sekejap, kedua matanya berkaca-kaca. Tanpa menunggu lama, ia mendekat dan memeluk erat leher Emely. “Aku rindu sama Mommy,” katanya dengan suara yang tiba-tiba serak. Bibir mungilnya bergetar, berusaha menahan tangis.Blue menyaksikan adegan itu dalam diam. Matanya tiba-tiba memanas, dadanya terasa sesak mendengar nada rindu
Beberapa saat kemudian, Blue menyudahi ciumannya. Ia menjauhkan wajahnya sedikit, cukup untuk melihat wajah Emely yang memerah. Napasnya masih tersengal. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Tangan bebas Blue bergerak perlahan, menyusuri paha mulus Emely dari balik dress yang ia kenakan, menyentuh kulitnya dengan lembut tetapi penuh niat.“Serius, mulutku bau bangkai?” bisik Blue. Suaranya terdengar rendah di dekat telinga Emely.Tubuh Emely menggelinjang lembut. Sentuhan pria itu mulai menyusup ke area sensitifnya, membuatnya makin salah tingkah. Matanya melebar panik. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia mencengkeram pergelangan tangan Blue dengan kuat.“Aku berbohong!” akunya cepat. Suaranya terdengar nyaris putus asa. Ia berusaha menyingkirkan tangan nakal Blue yang makin berani menjelajah area sensitifnya. “Blue, hentikan! Ish, cukup!” Dengan sekali sentakan tegas, ia berhasil menjauhkan tangan pria itu.Emely berdiri terpaku, napasnya tersengal. Ia merapatkan kedua paha, berusah
Blue berdiri dari kursinya, memastikan laci tempat dokumen-dokumen penting terkunci otomatis sebelum melangkah mengitari meja kerja. Dia berhenti tepat di depan Emely lalu menatap wanita itu dengan tatapan intens. “Ayo ke luar. Amara sudah pulang,” ajaknya singkat dengan nada tegas.Emely mendongak, menatap Blue dengan wajah tanpa ekspresi. Tanpa banyak bicara, dia bangkit dari duduknya, bersiap melangkah pergi. Namun, Blue lebih cepat. Dengan gerakan sigap, tangannya menangkap pergelangan Emely, lalu berpindah ke pinggang ramping wanita itu. Dalam satu tarikan, tubuh mereka bersentuhan erat.Blue menunduk, memperhatikan wajah Emely yang terlihat kesal. Dia mengangkat dagu wanita itu dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksanya menatap langsung ke arahnya. “Tersenyumlah, Emely.” Suaranya pelan tetapi penuh perintah. “Jangan tunjukkan wajah seperti ini di depan Amara. Kau harus menyambutnya dengan senyum. Katakan kalau kau sangat merindukannya. Setelah itu, minta maaf karena baru bisa p
Emely meraih pulpen itu dengan tangan gemetar. Meski hatinya dipenuhi amarah dan rasa benci, ia membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Resmi menyerahkan diri sepenuhnya pada pria yang kini memegang kendali atas hidupnya, Blue Sinclair. Setelah selesai, Blue mengambil kembali dokumen itu. Matanya menatap tanda tangan Emely dengan ekspresi puas sebelum ia menyimpan kembali berkas itu ke dalam laci.Sementara itu, Emely meraih foto-foto yang berserakan di depannya. Dengan penuh emosi, ia merobek semua foto itu hingga tak berbentuk lagi, seolah-olah ingin menghapus jejak memalukan dirinya. Blue yang menyaksikan aksinya, hanya tertawa pelan.“Foto-foto itu hanya permukaan saja,” ujar Blue dengan nada mengejek. “Aku menyimpan banyak salinannya di tempat yang aman. Jadi, jangan terlalu percaya diri.”Emely berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Namun, ia memilih untuk tidak merespons, hanya menatap Blue dengan sorot mata penuh kebencian yang tertahan.Blue menutup laci lalu mengalihkan p
Emely merasa seluruh tubuhnya membeku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, apalagi ketika Blue menyebut nama ibunya. “Aku jadi penasaran,” lanjut pria itu dengan nada lebih rendah, hampir berbisik. “Bagaimana reaksi Lucia jika dia tahu semua ini?”Ketakutan tampak makin jelas di mata Emely ketika Blue dengan santainya membawa-bawa nama sang ibu dalam percakapan ini. Mom ..., batinnya dengan perasaan bergejolak. Emely tahu betul seperti apa rasa kecewa yang dirasakan oleh wanita yang paling ia sayangi itu jika semua ini terungkap. Itu adalah hal terakhir yang ingin ia lihat di dunia ini. Namun, apa daya, ia juga tak pernah berpikir jauh sebelum bertindak, hingga akhirnya terjerat dalam masalah-masalah seperti sekarang.Selama tinggal di New York, kehidupan Emely bisa dibilang sangat bebas. Hal itu karena ia selalu berhasil menghindar dari pengawasan ketat keluarganya di Italia. Di hadapan orang tuanya, Emely berhasil menciptakan citra wanita sempurna: seorang pelajar yang fo