Wanita itu jelas mengenalnya. Blue adalah pengunjung tetap di tempat ini, meskipun ia selalu datang dengan alasan yang berbeda dari kebanyakan pria lainnya.
Blue menepis tangan wanita itu dengan gerakan cepat dan tegas. Matanya menatap tajam, memberi pesan yang tak terbantahkan. “Jangan ganggu aku. Aku di sini untuk urusan penting.” Suaranya dingin dan menusuk. Wanita itu langsung mundur dengan wajah tersipu, menyadari bahwa Blue tak sedang dalam mood untuk bermain-main. Ia mundur ke kerumunan tanpa sepatah kata lagi, sementara Blue melanjutkan langkahnya. Dengan tubuh tegap, Blue makin jauh masuk ke dalam club. Matanya yang tajam memindai seluruh ruangan sekali lagi. Kali ini, pandangannya terhenti pada sebuah meja di sudut ruangan. Ia melihat sosok wanita muda yang cukup familier. Rambutnya panjang bergelombang, dengan wajah ceria yang sulit dilupakan. Itu adalah Arwen, salah satu sahabat Emely. Blue segera melangkah cepat menuju meja itu. “Hai, Uncle Blue!” sapa Arwen dengan nada ceria. Senyumnya lebar, menunjukkan betapa ia mengenali pria itu. “Hai,” jawab Blue, mengulas senyum tipis yang hampir tak terlihat. “Kau melihat Emely di mana?” Ia bertanya tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar serius. Arwen tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Tadi kata yang lain, Emely pergi ke toilet, Uncle. Tapi, dia belum kembali sampai sekarang.” Mendengar itu, Blue mengangguk singkat. “Oke, terima kasih,” ujarnya tegas. Ia lalu segera membalik tubuh dan melangkah lebar, meninggalkan meja. Pikirannya kini hanya tertuju pada satu hal: menemukan Emely. Langkah demi langkahnya makin cepat, hampir tergesa. Udara panas dan suara bising club tak lagi terasa. Ia hanya fokus menuju satu arah: toilet, tempat terakhir Emely terlihat. Detik-detik terasa seperti berputar lambat saat Blue berhenti di ujung lorong. Di bawah pencahayaan remang-remang yang memantulkan bayangan panjang, matanya menajam, memandang lurus ke depan. Napasnya memburu dan rahangnya mengetat ketika akhirnya ia menemukan apa yang dicari. Sosok itu, sang kucing seksi dan liar yang selama ini selalu memancarkan aura kebebasan, kini terlihat rapuh. Emely, wanita itu terpojok di dinding dengan ekspresi ketakutan yang begitu jelas. Tubuhnya gemetar, wajahnya memerah—bukan karena malu, melainkan karena terjebak di antara rasa takut dan ketidakberdayaan. Di hadapannya, seorang pemuda berdiri dengan sikap mendominasi, seolah-olaj menantang siapa saja yang mencoba mendekat. Blue tidak perlu mendengar kata-kata mereka untuk memahami apa yang terjadi. Matanya menangkap bagaimana Emely memalingkan wajah, berusaha menghindari pemuda itu, sementara tangan si pemuda mencengkeramnya dengan kasar, memaksa. Napas Blue bergemuruh, membakar seperti api yang menyala-nyala di dadanya. Darahnya mendidih. Hanya satu pikiran yang memenuhi kepalanya: tak ada seorang pun yang berhak memperlakukan kucing liarnya seperti itu. Tidak seorang pun. Tanpa pikir panjang, Blue melangkah maju. Langkahnya lebar dan berat, mengisi lorong dengan aura yang mengintimidasi. Ketika ia mendekat, tangannya terulur. Dengan gerakan cepat dan presisi, ia meraih kerah baju pemuda itu dari belakang, mencengkeramnya erat dengan kekuatan yang tidak main-main. “Apa ....” Sebelum pemuda itu sempat bereaksi, Blue menariknya dengan satu sentakan kuat. Tubuh pemuda itu terhuyung ke belakang, terlempar menjauh dari Emely yang langsung terduduk di lantai, memeluk tubuhnya sendiri. Delon berdiri sambil menatap Blue dengan penuh kemarahan. “Apa yang kau lakukan, brengsek!” Ia mendesis dengan suara penuh kebencian, meskipun ia tahu pria di hadapannya jelas lebih tua, lebih besar, dan lebih kuat darinya. Blue tidak menggubris omelan itu. Napasnya berat dan matanya hanya memancarkan satu hal: kemarahan. Tangan kanannya mengepal, urat-urat di lengannya menegang—memperlihatkan intensitas emosinya yang memuncak. “Kau mengganggu ....” Delon bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dalam sepersekian detik, Blue melayangkan tinju keras ke wajah pemuda itu. Bug! Tubuh Delon terempas ke lantai dengan keras. Kepala dan punggungnya menghantam ubin yang dingin. Darah mengalir dari sudut bibirnya. Pemuda itu mengerang kesakitan, tangannya memegangi wajah yang baru saja ditinju. Emely memekik kaget sambil berusaha menjauh. Matanya membelalak, menatap pemandangan di depannya dengan perasaan syok dan tidak percaya. Namun, bukan Delon yang menjadi pusat keterkejutannya. Sesuatu yang membuat Emely terdiam kaku adalah sosok pria yang baru saja muncul seperti badai, Blue Sinclair. Ia tidak menduga pria itu akan ada di sini, apalagi membelanya dengan begitu ganas. Blue melirik sekilas ke arah Emely, memastikan wanita itu tidak terluka, sebelum kembali mengalihkan pandangan pada Delon yang tengah berusaha bangkit. Tanpa mengurangi intensitasnya, Blue berkata dengan nada rendah yang penuh ancaman, “Jika kau menyentuhnya lagi—atau bahkan hanya memikirkan tentang dia—aku pastikan kau tak akan bisa bangkit dari tempat tidur selama berbulan-bulan, atau bahkan selamanya!” Delon terdiam, tubuhnya menegang di tempat. Mata Blue seperti belati, memotong keberaniannya sedikit demi sedikit. Kemudian, Blue berbalik, mengulurkan tangannya ke arah Emely yang masih terduduk di lantai. Emely menatap tangan itu dengan ragu. Matanya bertemu dengan tatapan Blue yang sama tajamnya ketika pria itu menatap Delon. Perlahan, ia mengulurkan tangan, membiarkan pria itu membantunya berdiri. ***Blue menggenggam tangan Emely dengan erat, seolah-olah tak ingin melepaskannya. Seakan-akan tangan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari dunia yang begitu penuh kecaman. Di sebelahnya, Emely, yang kini seperti kucing liar yang terluka, hanya mengikuti langkah Blue dengan lemah. Langkah pria itu begitu mantap dan lebar. Setiap gerakannya memancarkan ketegasan yang begitu kuat, seolah-olah tak ada yang berani menghalanginya. Matanya menatap tajam, penuh amarah yang terpendam. Rahangnya pun makin mengetat, menahan gejolak yang hampir tak bisa terkendali. Wajahnya dingin, penuh dominasi—jauh dari sosok Blue yang biasa terlihat ramah.Setiap orang yang melirik tak mampu bertahan lama, seakan-akan aura intimidasi yang begitu kuat keluar dari tubuh Blue. Memaksa mereka untuk menunduk atau menjauh, menghindari tatapan yang bisa membekukan mereka di tempat.Ketika Blue sampai di meja tempat sebelumnya Emely duduk bersama teman-temannya, ia berhenti sejenak. Di sana, Arwe
Emely hanya melirik pria itu dengan penuh kebingungan, perasaan yang sangat sulit dijelaskan mulai membekapnya. Keinginan untuk marah, untuk membentak pria itu, bahkan melontarkan kata-kata yang keras, bergolak begitu hebat dalam dirinya. Namun, tubuhnya terasa seperti terkunci, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang membuatnya diam, menahan segala amarah yang hendak ia luapkan. Kenapa aku diam saja? pikirnya dengan frustrasi.Panas itu kian merayap dari dalam tubuhnya, lebih intens daripada sebelumnya, menyelimuti setiap inci kulitnya. Wajahnya yang semula merah pun makin memerah, kali ini lebih karena perasaan yang sangat berbeda. Lebih rumit dan kacau. Matanya liar dan penuh kebingungan, menyusuri setiap detail wajah Blue tanpa bisa menghentikannya.Tatapannya bertemu dengan mata Blue. Lalu, tanpa bisa ia tahan, pandangannya meluncur turun ke hidung mancung pria itu yang terlihat begitu sempurna di bawah cahaya mobil. Emely tak bisa mengalihkan pandangannya begitu saja, seolah
SUV hitam mewah milik Blue meluncur mulus menembus gerbang perumahan elite yang tinggi dan kokoh. Gerbangnya dengan mudah terbuka setelah penjaga menekan tombol remote control. Dengan deru mesin yang halus, mobil itu melaju melewati jalan setapak berlapis batu yang diterangi cahaya lembut dari lampu-lampu taman. Ketika akhirnya mobil berhenti tepat di depan teras rumah yang luas dan elegan, Blue melirik sekilas ke arah Emely, si Kucing Liar yang duduk gelisah di kursi penumpang sampingnya. Emely terlihat makin tidak tenang, wajahnya memerah, dan tubuhnya menggigil. Blue bisa melihat dengan jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu. Dengan suara berat dan sedikit serak, Blue bertanya, “Apa yang sudah kau minum, Emely?” Suaranya menggema dalam kesunyian malam yang mencekam. Emely berbalik menatap Blue, matanya sedikit kosong dan bingung, tetapi ada kegelisahan yang jelas terpantul di sana. Wajahnya kini kian memerah, seakan-akan tubuhnya terbakar oleh sesuatu yang l
Mendengar itu, alis Blue terangkat. Wajahnya memperlihatkan ekspresi yang seperti meremehkan. Dia mengubah posisinya, tubuhnya kini menghadap penuh ke arah Emely; satu tangannya bertumpu di pinggang. “Setelah semua yang aku lakukan untukmu, kau masih bertanya kenapa aku membawamu ke sini?” balasnya dengan suara yang terdengar dingin. Matanya menatap tajam, seakan-akan mencari celah untuk memahami pikiran wanita itu. Namun, Emely hanya mendengkus, membuang pandangannya ke arah lain.Blue menarik napas panjang, berusaha menahan rasa frustrasinya. “Pertanyaan bodoh macam apa itu, Emely?” Suaranya kali ini mengandung geraman halus.“Aku punya tempat tinggal sendiri, Blue!” balas Emely dengan nada tinggi. Emosinya mulai terpancing. “Seharusnya kamu mengantarku ke sana, bukan malah membawaku ke rumahmu!”Perkataan Emely membuat Blue terperangah. Kali ini, alisnya terangkat lebih tinggi. Matanya pun menyipit tajam, seolah-olah menilai wanita di depannya dengan penuh keheranan. “Blue? Heh?” b
Emely melangkah masuk ke kamar yang luas dan tertata sempurna. Nuansa gelap mendominasi ruang itu, dengan dinding bercat abu-abu pekat yang dipadukan pencahayaan remang-remang dari lampu gantung berbentuk geometris. Lantai kayu mengilap memantulkan bayangan samar furnitur minimalis yang serbahitam dan cokelat tua. Sebuah tempat tidur berukuran besar dengan seprai hitam berada di tengah ruangan, dikelilingi oleh rak buku tinggi yang tertata penuh oleh buku-buku berjilid tebal.Ketika pintu di belakangnya tertutup, Emely kian terasa sesak. Matanya terus bergerak, menyapu setiap sudut ruangan dengan intens, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Kedua tangannya memegang erat pinggiran dress yang ia kenakan, meremas-remasnya seperti mencoba mengalihkan perhatian dari rasa yang mengaduk-aduk tubuhnya.Kakinya tidak bisa diam, melangkah tanpa arah, hanya untuk berhenti sejenak sebelum kembali bergerak. Bibirnya dikelupasi dengan gigi, tanda kegelisahan yang makin memuncak.
“Semakin hari, kau semakin liar, sulit diatur, dan otakmu yang cantik ini dipenuhi rencana-rencana licik,” desis Blue. Suaranya rendah tetapi mengancam.Wanita itu tetap diam, tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya untuk membela diri. Ia berdiri kaku, terlalu gugup untuk menghadapi tatapan penuh intimidasi dari pria di hadapannya. Melihat sikap pasif itu, Blue akhirnya menjauhkan tangannya yang semula mencengkeram dagu Emely. Dengan langkah ringan, ia mulai berjalan mengitari wanita itu. Kini, ia berhenti tepat di belakang Emely. “Baiklah,” ucap pria itu akhirnya. Suaranya lebih tenang tetapi tetap dingin. “Aku mengerti kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara. Ada hal lain yang jauh lebih penting yang harus kau selesaikan.”Tangan Blue perlahan terulur, jemarinya menggenggam rambut panjang dan halus milik Emely. Dengan gerakan lembut, ia menggeser rambut itu ke sisi kanan bahu sang wanita, memperlihatkan punggungnya yang kini terekspos sempurna. Lalu, dengan geraka
“Sshh—ahh! U–Uncle .…”Desahan itu meluncur dari bibir Emely, menggema lembut di ruangan yang hening. Suara itu seperti melodi yang menari di telinga Blue, membuat pria berusia 38 tahun itu tersenyum tipis, penuh kemenangan. Sesaat, gerakan tangannya terhenti, seolah-olah ingin menikmati reaksi wanita di hadapannya. Namun, hanya sekejap, karena jemarinya kembali bergerak, memberikan remasan lembut tetapi penuh kontrol pada dada Emely. Membuat tubuh wanita itu bergetar halus.Bibir Blue perlahan mendekat lagi. Kali ini bukan menuju leher Emely, melainkan daun telinganya. Dengan lembut, ia mengecup bagian itu, lalu menjulurkan lidahnya, menyapu lembut daun telinga Emely dengan gerakan yang penuh sensualitas. Napas Emely tersengal, desahan kecil kembali keluar dari bibirnya. “Ahhh!”Tubuhnya tersentak, refleks menegang sejenak sebelum akhirnya kembali lemas di bawah sentuhan Blue. Matanya terpejam rapat, bibirnya terbuka, dan dadanya naik-turun, mencoba mengatur napas yang kini mulai ti
Blue menyipitkan matanya, pura-pura tidak mengerti. “Lalu, apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan nada lembut tetapi jelas menuntut. Ia tahu jawabannya, tetapi ingin mendengar langsung dari bibir Emely.“Hmm? Katakan padaku,” desaknya lagi. Ia menunggu sang wanita membuat keputusan. “Apa yang kau inginkan, Emely? Apa yang kau butuhkan?”Napas Emely terdengar tidak teratur. Tubuhnya bergetar, kakinya bergerak gelisah, berusaha menahan sesuatu—kedutan yang terasa menguasai inti tubuhnya. Akhirnya, dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia menjawab, “Sentuhanmu ....”Blue diam. Tatapannya tetap terarah pada wanita itu, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Namun, keheningan itu justru membuat Emely makin tidak sabar. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Blue, membawanya langsung ke dadanya.“Please,” pintanya dengan nada setengah berbisik, setengah memohon. Wajahnya yang memerah menjadi kombinasi sempurna antara rasa malu dan gairah yang menggelora. “Aku ... aku tidak mengerti kenap
Kalimat terakhir Emely seperti petir yang menyambar di tengah keheningan. Ronan terhenyak, tubuhnya menegang. Untuk pertama kalinya malam itu, pria itu kehilangan ketenangannya. Tatapan dinginnya goyah, dan sebersit rasa terpojok terlihat di matanya. Blue pun tak berkata apa-apa. Emosinya yang sempat terpercik kini perlahan-lahan padam, digantikan oleh kekaguman pada Emely. Gadis itu tak hanya mampu mempertahankan ketenangannya, tetapi juga berhasil memukul balik Ronan dengan cara yang elegan. “Baiklah, Uncle,” ucap Emely dengan senyum tenang, matanya menatap lurus ke arah Ronan. “Aku akan menjawab satu per satu pertanyaan yang tadi Uncle ajukan kepadaku.” Keheningan memenuhi ruangan. Ronan tetap duduk dengan ekspresi datar, namun tatapannya menunjukkan rasa penasaran yang samar. Di samping Emely, Blue hanya menatapnya dengan senyum kecil, sementara Zara terlihat sedikit tegang, mengantisipasi apa yang akan dikatakan gadis itu.
Blue, yang duduk di samping Emely, hanya bisa menghela napas panjang. Ekspresinya menunjukkan rasa jenuh yang tak lagi bisa disembunyikan. Ia mulai muak dengan sikap ayahnya yang menurutnya tidak pada tempatnya.Berbeda dengan mereka, Emely justru merasa ini seperti permainan kecil yang menarik. Gadis itu terkekeh pelan dalam hati, tak terganggu sedikitpun oleh sikap dingin Ronan. Dengan tenang, ia menjawab, “Aku berkuliah, Uncle.” Suaranya begitu tenang.Ronan mengangguk pelan, namun sorot matanya jelas-jelas menunjukkan rasa meremehkan. Seolah jawaban Emely hanya memperkuat pandangan buruk yang telah ia simpulkan. “Di universitas mana kau berkuliah?” tanyanya, masih dengan nada datar.Tanpa ragu, Emely menjawab, “Di Columbia University. Aku adalah salah satu mahasiswa terbaik di sana.” Senyumnya mengembang, tapi tidak angkuh, lebih seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia miliki. “Maaf, Uncle. Bukan bermaksud sombong, tapi kurasa tak ada salahnya m
***Beberapa menit setelah selesai menyantap makan malam, Zara mengajak semua orang untuk kembali ke ruang keluarga. Mereka berjalan perlahan menuju ruangan luas itu.Tak lama setelah mereka duduk, dua pelayan datang dengan nampan perak, menyuguhkan minuman untuk semua orang. Jus apel segar, teh chamomile hangat, dan air mineral dengan irisan lemon tersaji di gelas-gelas kristal.Zara, sejak awal, tampak tak mau membiarkan suasana menjadi canggung. Wanita itu terus berusaha membuat Emely merasa nyaman di tengah sikap dingin Ronan yang kerap kali terasa seperti tembok tak tertembus. Dalam hati, Zara bertanya-tanya apakah Emely akan menjadi salah satu dari perempuan kebanyakan—lemah, mudah terintimidasi oleh tatapan dingin dan sikap tegas suaminya.Oh, tentu tidak. Emely jelas berbeda. Gadis itu tak semudah itu mundur. Bahkan dengan Blue, Emely tak segan melawan jika merasa diperlakukan tidak adil. Maka, menghadapi tatapan datar Ronan pun bukan
Blue yang memperhatikan dari samping hanya bisa tersenyum geli. Ia berusaha menahan tawa kecilnya, melihat betapa canggungnya Emely menghadapi Ibunya. Zara tampak sama sekali tidak terganggu dengan panggilan itu. Sebaliknya, ia tetap tersenyum lembut. “Justru kami yang berterima kasih, Nak, karena kamu sudah berkenan meluangkan waktu untuk datang ke kediaman kami,” ucapnya, membuat suasana menjadi lebih nyaman.Pertemuan pertama mereka tampak berjalan baik-baik saja, tanpa kendala atau suasana tegang yang Emely khawatirkan sebelumnya. Perlahan, Emely merasa lega. Kekhawatiran tentang calon mertua yang galak atau sulit diterima seolah sirna. Zara tidak seperti yang ia bayangkan—wanita itu terlihat hangat.Selanjutnya, Talia maju menyapa Emely dengan ramah, membuat suasana semakin cair.Zara lalu mengajak Emely dan Amara masuk ke dalam Mansion mewah. Langkah mereka menuju ruang keluarga, sebuah ruangan luas dengan dekorasi elegan.Zara sen
***Dengan perasaan gugup yang sulit disembunyikan, Emely melangkah keluar dari mobil ketika Blue dengan sigap membuka pintu untuknya. Malam itu, ia mengenakan gaun elegan berwarna emerald green dengan potongan high-neck yang anggun. Gaun tersebut membalut tubuhnya dengan sempurna, memancarkan keanggunan yang tak terbantahkan, hingga berhenti tepat di lututnya.Di sisi lain, Amara, gadis kecil itu, tampak tak kalah memesona. Ia mengenakan gaun dusty pink dengan lengan puff yang manis, rok tutu bertingkat yang mengembang, dan dihiasi pita satin besar di pinggang. Rambutnya yang tergerai rapi dilengkapi bando mutiara, memberikan kesan seperti seorang putri kecil yang anggun dan menggemaskan.Amara memegang tangan kiri sang Ayah dengan erat, sementara tangan kanan pria itu membantu Emely turun dari mobil dengan lembut. Emely menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kegugupan yang menyelimuti dirinya. Ia menatap pintu besar di depan
Beberapa hari kemudian…Setelah beberapa hari yang lalu, Emely akhirnya menyetujui permintaan Blue untuk bertemu dengan orang tua pria itu, terutama Ibunya. Kemudian, di hari itu Blue segera memberitahu Ibunya, Zara, yang menyambut kabar bahagia itu dengan antusiasme yang luar biasa.Malam ini adalah malam yang sangat dinanti oleh Zara. Setelah beberapa hari menunggu, malam ini akhirnya tiba juga, ketika putranya, Blue, akan datang ke Mansion untuk makan malam dan memperkenalkan kekasihnya. Zara semakin tidak sabar menunggu momen itu.Sejak siang, Zara dan Talia telah sibuk mempersiapkan menu makan malam yang akan menjadi hidangan untuk menyambut anggota baru dalam keluarga mereka. Semua persiapan dilakukan dengan penuh perhatian, memastikan segalanya berjalan sempurna. Dan kini, malam pun telah tiba. Semua persiapan telah selesai.Di ruang tengah Mansion Sinclair yang mewah, Zara duduk bersama suaminya, Ronan, dan putrinya, Talia. Mereka sedang m
“Hmm, dunia pun tahu itu. Makanya kamu sangat tergila-gila padaku,” balas Emely tanpa menoleh, nada suaranya datar namun jelas penuh percaya diri.Blue tertawa pelan. “Kau memang benar,” gumamnya pelan.Ia menegakkan tubuh dari sandarannya dan berjalan santai mendekati Emely, yang sedang fokus menuangkan minuman ke dalam gelas. Sesampainya di belakang Emely, Blue membawa kedua tangannya ke pinggang gadis itu, melingkarkannya dengan mesra.Emely sejenak membeku saat merasakan pelukan hangat pria itu, tetapi ia memilih untuk tak bereaksi.Blue menunduk sedikit, mengecup lembut pipi Emely. Bibirnya hanya menyentuh sekilas, namun sentuhan itu cukup untuk membuat Emely menarik napas dalam. “Aku tidak akan menyangkal,” bisik Blue dekat di telinganya. Suaranya rendah, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat hati Emely sedikit bergetar. “Karena kenyataannya memang seperti itu. Aku tergila-gila padamu.”Dengan lembut, Blu
***Emely berdiri di teras rumah, pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman. Mobil itu milik Arwen, sahabatnya. Ia mengamati saat mobil berhenti perlahan di samping kendaraan Blue yang terparkir rapi.Mesin mobil dimatikan, dan tak lama kemudian Arwen keluar dengan membawa laptop di lengannya. Dengan langkah santai, gadis itu mendekati Emely yang sudah menunggunya di teras.“Hay!” sapa Arwen ceria, mengulas senyum lebar.“Kamu terlambat dua menit,” sindir Emely, tangannya dilipat di dada.Arwen berhenti tepat di hadapan sahabatnya dan memutar bola matanya dengan malas. “Bersyukur aku masih mau nyamperin kamu ke sini!” balasnya ketus.Emely hanya tertawa kecil, menikmati reaksi Arwen yang khas.Namun, tawa itu terhenti saat suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Arwen menoleh ke arah pintu dengan rasa penasaran. Beberapa detik kemudian, sosok Blue muncul, berjalan dengan tenang namun p
Emely tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Blue dengan sorot mata penuh kekaguman dan sedikit senyum di sudut bibirnya. Tangannya tetap bekerja, mengurut dengan lembut batang keperkasaan Blue, sesekali memberikan remasan kecil yang membuat pria itu menarik napas panjang. "Berapa lama kau ingin bermain?" tanya Blue, suaranya terdengar berat."Aku tidak bisa lama-lama," jawab Emely dengan nada parau, hampir berbisik. "Aku harus menyiapkan tugas kuliahku sebelum Arwen sampai."Blue mengangguk kecil. Kemudian, ia meraih pergelangan tangan Emely, menghentikan sentuhannya yang terus menggoda. Lalu, ia berpindah posisi, mengambil tempat di belakang tubuh ramping gadis itu. Sofa besar yang mereka duduki cukup luas, memungkinkan mereka berdua berbaring miring dengan nyaman.Emely mengerti tanpa perlu kata-kata. Ia meloloskan kain segitiga kecil yang membalut dirinya, lalu mengangkat gaun yang dikenakannya hingga cukup tinggi untuk memberi akses penuh pa