Emely melangkah masuk ke kamar yang luas dan tertata sempurna. Nuansa gelap mendominasi ruang itu, dengan dinding bercat abu-abu pekat yang dipadukan pencahayaan remang-remang dari lampu gantung berbentuk geometris. Lantai kayu mengilap memantulkan bayangan samar furnitur minimalis yang serbahitam dan cokelat tua. Sebuah tempat tidur berukuran besar dengan seprai hitam berada di tengah ruangan, dikelilingi oleh rak buku tinggi yang tertata penuh oleh buku-buku berjilid tebal.Ketika pintu di belakangnya tertutup, Emely kian terasa sesak. Matanya terus bergerak, menyapu setiap sudut ruangan dengan intens, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Kedua tangannya memegang erat pinggiran dress yang ia kenakan, meremas-remasnya seperti mencoba mengalihkan perhatian dari rasa yang mengaduk-aduk tubuhnya.Kakinya tidak bisa diam, melangkah tanpa arah, hanya untuk berhenti sejenak sebelum kembali bergerak. Bibirnya dikelupasi dengan gigi, tanda kegelisahan yang makin memuncak.
“Semakin hari, kau semakin liar, sulit diatur, dan otakmu yang cantik ini dipenuhi rencana-rencana licik,” desis Blue. Suaranya rendah tetapi mengancam.Wanita itu tetap diam, tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya untuk membela diri. Ia berdiri kaku, terlalu gugup untuk menghadapi tatapan penuh intimidasi dari pria di hadapannya. Melihat sikap pasif itu, Blue akhirnya menjauhkan tangannya yang semula mencengkeram dagu Emely. Dengan langkah ringan, ia mulai berjalan mengitari wanita itu. Kini, ia berhenti tepat di belakang Emely. “Baiklah,” ucap pria itu akhirnya. Suaranya lebih tenang tetapi tetap dingin. “Aku mengerti kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara. Ada hal lain yang jauh lebih penting yang harus kau selesaikan.”Tangan Blue perlahan terulur, jemarinya menggenggam rambut panjang dan halus milik Emely. Dengan gerakan lembut, ia menggeser rambut itu ke sisi kanan bahu sang wanita, memperlihatkan punggungnya yang kini terekspos sempurna. Lalu, dengan geraka
“Sshh—ahh! U–Uncle .…”Desahan itu meluncur dari bibir Emely, menggema lembut di ruangan yang hening. Suara itu seperti melodi yang menari di telinga Blue, membuat pria berusia 38 tahun itu tersenyum tipis, penuh kemenangan. Sesaat, gerakan tangannya terhenti, seolah-olah ingin menikmati reaksi wanita di hadapannya. Namun, hanya sekejap, karena jemarinya kembali bergerak, memberikan remasan lembut tetapi penuh kontrol pada dada Emely. Membuat tubuh wanita itu bergetar halus.Bibir Blue perlahan mendekat lagi. Kali ini bukan menuju leher Emely, melainkan daun telinganya. Dengan lembut, ia mengecup bagian itu, lalu menjulurkan lidahnya, menyapu lembut daun telinga Emely dengan gerakan yang penuh sensualitas. Napas Emely tersengal, desahan kecil kembali keluar dari bibirnya. “Ahhh!”Tubuhnya tersentak, refleks menegang sejenak sebelum akhirnya kembali lemas di bawah sentuhan Blue. Matanya terpejam rapat, bibirnya terbuka, dan dadanya naik-turun, mencoba mengatur napas yang kini mulai ti
Blue menyipitkan matanya, pura-pura tidak mengerti. “Lalu, apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan nada lembut tetapi jelas menuntut. Ia tahu jawabannya, tetapi ingin mendengar langsung dari bibir Emely.“Hmm? Katakan padaku,” desaknya lagi. Ia menunggu sang wanita membuat keputusan. “Apa yang kau inginkan, Emely? Apa yang kau butuhkan?”Napas Emely terdengar tidak teratur. Tubuhnya bergetar, kakinya bergerak gelisah, berusaha menahan sesuatu—kedutan yang terasa menguasai inti tubuhnya. Akhirnya, dengan suara yang hampir seperti bisikan, ia menjawab, “Sentuhanmu ....”Blue diam. Tatapannya tetap terarah pada wanita itu, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Namun, keheningan itu justru membuat Emely makin tidak sabar. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Blue, membawanya langsung ke dadanya.“Please,” pintanya dengan nada setengah berbisik, setengah memohon. Wajahnya yang memerah menjadi kombinasi sempurna antara rasa malu dan gairah yang menggelora. “Aku ... aku tidak mengerti kenap
Sementara itu, Blue meraih kedua tangan Emely, membawanya ke atas kepala sang wanita. Gerakannya mantap, tetapi tidak kasar. Kedua pergelangan tangan itu dicekal dengan satu tangan besar Blue, digenggamnya dengan cukup kuat untuk menahannya di tempat tanpa menyakiti. Ciumannya makin mendalam. Bibir Blue melumat, mengulum, dan mengisap bibir Emely dengan ritme yang perlahan tetapi penuh gairah. Sentuhannya seakan-akan menuntun Emely ke dalam perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Wanita itu tidak melawan, bahkan balasannya makin menunjukkan keinginannya untuk terus tenggelam dalam momen tersebut.Dengan tangan bebasnya, Blue membiarkan dirinya menjelajahi sisi wajah Emely. Jari-jarinya menyentuh pipi halus sang wanita, bergerak pelan menuju rahangnya, dan berhenti di pangkal leher. Sentuhannya terasa hangat, menggoda, tetapi tetap penuh kendali. Membuat Emely merasa kecil dan rapuh di bawah kendali pria itu.Ketika Blue akhirnya menarik diri sedikit untuk mengambil napas, ia
Blue mendekat pada Emely dan mencium bibir wanita itu. “Hmmppttt ....” Sementara itu, tangannya bergerak menuju inti tubuh si wanita. Ia mengusap lembut area sensitif itu, membuat tubuh Emely seketika menggelinjang. Jari tengahnya sengaja ditekan tepat pada belahan hangat yang terasa lembap.“Uhh!” Emely melenguh dengan suara pelan ketika Blue melepaskan bibirnya, sementara jari besar dan panjang pria itu menggesek klitorisnya dengan intens. Napasnya makin tersengal. Dadanya naik-turun dengan ritme yang begitu cepat, sedangkan sebelah tangannya mencengkeram kuat bahu kokoh pria itu.“Akhhh! Uncle! Akhhh!” Emely menjerit disusul oleh tubuhnya yang bergetar hebat ketika mengalami squirt yang begitu dahsyat.Blue segera menjauhkan tangan dari klitoris Emely. Ia menatap dengan tatapan puas. Cairan bening itu muncrat sangat banyak, membuat seprai basah kuyup. Tanpa membuang-buang waktu, Blue segera mengambil posisi di antara kedua kaki Emely sambil menekan paha bagian dalam sang wanita. Ia
Blue menurunkan wajah lebih dekat ke dada Emely. Ia mengulum puting payudara itu tanpa mengganggu goyang pinggulnya.“Ahh! Ahh! Ahh!” Emely menengadahkan wajah ke langit-langit dengan mata terpejam erat, sedangkan tangannya meremas rambut pria itu dengan manja, sambil sesekali menekan wajah Blue di atas dadanya.Blue menjauhkan wajah, meninggalkan dada Emely, dan mendekat ke telinga wanita itu. “Aahhh! Emely!” desahnya sambil memeluk erat tubuh Emely. Gerakan pinggulnya makin cepat, menusuk-nusuk liang kenikmatan sang wanita dengan intensitas yang luar biasa.“Ahh! Ahh! Blue …, oh my God! Akhh!” Suara Emely memecah keheningan, menggema penuh gairah di ruangan yang makin panas. Desahannya terputus-putus, bercampur dengan tarikan napas yang kian berat.Dengan mata terpejam, Blue membiarkan dirinya sepenuhnya tenggelam dalam momen itu. Ia menyandarkan wajahnya di lekukan leher Emely. Napasnya hangat, menyapu lembut kulit wanita itu, menciptakan sensasi yang begitu intim. Sudut bibirnya p
“Selamat pagi. Nona Amara sudah bangun rupanya?” sapa seorang wanita dengan lembut. Ia tampak mengenakan seragam pengasuh rapi berwarna biru pastel. Wajahnya yang selalu dihiasi senyuman ramah itu adalah Gina, sang pengasuh penuh untuk Amara.“Selamat pagi juga, Nanny!” balas Amara dengan ceria. Sudut bibir mungilnya melengkung manis. Gadis kecil berusia empat tahun itu sedang duduk di atas ranjang, memeluk erat boneka kelinci favoritnya yang sudah agak lusuh karena sering dipeluk.Gina mendekat dengan langkah ringan lalu duduk di tepi ranjang, tepat di samping Amara. Tangannya yang hangat mengusap pelan rambut gadis kecil itu yang masih sedikit berantakan. “Bagaimana tidurmu semalam? Apakah nyenyak? Atau, sangat nyenyak?” tanyanya dengan nada riang, kebiasaan yang ia lakukan setiap pagi. Ia tahu, biasanya pertanyaan ini berhasil mengundang tawa kecil dari Amara, tetapi pagi ini reaksi gadis kecil itu berbeda.Amara menggeleng pelan, mata bulatnya menatap lurus ke arah boneka kelinci
Kalimat terakhir Emely seperti petir yang menyambar di tengah keheningan. Ronan terhenyak, tubuhnya menegang. Untuk pertama kalinya malam itu, pria itu kehilangan ketenangannya. Tatapan dinginnya goyah, dan sebersit rasa terpojok terlihat di matanya. Blue pun tak berkata apa-apa. Emosinya yang sempat terpercik kini perlahan-lahan padam, digantikan oleh kekaguman pada Emely. Gadis itu tak hanya mampu mempertahankan ketenangannya, tetapi juga berhasil memukul balik Ronan dengan cara yang elegan. “Baiklah, Uncle,” ucap Emely dengan senyum tenang, matanya menatap lurus ke arah Ronan. “Aku akan menjawab satu per satu pertanyaan yang tadi Uncle ajukan kepadaku.” Keheningan memenuhi ruangan. Ronan tetap duduk dengan ekspresi datar, namun tatapannya menunjukkan rasa penasaran yang samar. Di samping Emely, Blue hanya menatapnya dengan senyum kecil, sementara Zara terlihat sedikit tegang, mengantisipasi apa yang akan dikatakan gadis itu.
Blue, yang duduk di samping Emely, hanya bisa menghela napas panjang. Ekspresinya menunjukkan rasa jenuh yang tak lagi bisa disembunyikan. Ia mulai muak dengan sikap ayahnya yang menurutnya tidak pada tempatnya.Berbeda dengan mereka, Emely justru merasa ini seperti permainan kecil yang menarik. Gadis itu terkekeh pelan dalam hati, tak terganggu sedikitpun oleh sikap dingin Ronan. Dengan tenang, ia menjawab, “Aku berkuliah, Uncle.” Suaranya begitu tenang.Ronan mengangguk pelan, namun sorot matanya jelas-jelas menunjukkan rasa meremehkan. Seolah jawaban Emely hanya memperkuat pandangan buruk yang telah ia simpulkan. “Di universitas mana kau berkuliah?” tanyanya, masih dengan nada datar.Tanpa ragu, Emely menjawab, “Di Columbia University. Aku adalah salah satu mahasiswa terbaik di sana.” Senyumnya mengembang, tapi tidak angkuh, lebih seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia miliki. “Maaf, Uncle. Bukan bermaksud sombong, tapi kurasa tak ada salahnya m
***Beberapa menit setelah selesai menyantap makan malam, Zara mengajak semua orang untuk kembali ke ruang keluarga. Mereka berjalan perlahan menuju ruangan luas itu.Tak lama setelah mereka duduk, dua pelayan datang dengan nampan perak, menyuguhkan minuman untuk semua orang. Jus apel segar, teh chamomile hangat, dan air mineral dengan irisan lemon tersaji di gelas-gelas kristal.Zara, sejak awal, tampak tak mau membiarkan suasana menjadi canggung. Wanita itu terus berusaha membuat Emely merasa nyaman di tengah sikap dingin Ronan yang kerap kali terasa seperti tembok tak tertembus. Dalam hati, Zara bertanya-tanya apakah Emely akan menjadi salah satu dari perempuan kebanyakan—lemah, mudah terintimidasi oleh tatapan dingin dan sikap tegas suaminya.Oh, tentu tidak. Emely jelas berbeda. Gadis itu tak semudah itu mundur. Bahkan dengan Blue, Emely tak segan melawan jika merasa diperlakukan tidak adil. Maka, menghadapi tatapan datar Ronan pun bukan
Blue yang memperhatikan dari samping hanya bisa tersenyum geli. Ia berusaha menahan tawa kecilnya, melihat betapa canggungnya Emely menghadapi Ibunya. Zara tampak sama sekali tidak terganggu dengan panggilan itu. Sebaliknya, ia tetap tersenyum lembut. “Justru kami yang berterima kasih, Nak, karena kamu sudah berkenan meluangkan waktu untuk datang ke kediaman kami,” ucapnya, membuat suasana menjadi lebih nyaman.Pertemuan pertama mereka tampak berjalan baik-baik saja, tanpa kendala atau suasana tegang yang Emely khawatirkan sebelumnya. Perlahan, Emely merasa lega. Kekhawatiran tentang calon mertua yang galak atau sulit diterima seolah sirna. Zara tidak seperti yang ia bayangkan—wanita itu terlihat hangat.Selanjutnya, Talia maju menyapa Emely dengan ramah, membuat suasana semakin cair.Zara lalu mengajak Emely dan Amara masuk ke dalam Mansion mewah. Langkah mereka menuju ruang keluarga, sebuah ruangan luas dengan dekorasi elegan.Zara sen
***Dengan perasaan gugup yang sulit disembunyikan, Emely melangkah keluar dari mobil ketika Blue dengan sigap membuka pintu untuknya. Malam itu, ia mengenakan gaun elegan berwarna emerald green dengan potongan high-neck yang anggun. Gaun tersebut membalut tubuhnya dengan sempurna, memancarkan keanggunan yang tak terbantahkan, hingga berhenti tepat di lututnya.Di sisi lain, Amara, gadis kecil itu, tampak tak kalah memesona. Ia mengenakan gaun dusty pink dengan lengan puff yang manis, rok tutu bertingkat yang mengembang, dan dihiasi pita satin besar di pinggang. Rambutnya yang tergerai rapi dilengkapi bando mutiara, memberikan kesan seperti seorang putri kecil yang anggun dan menggemaskan.Amara memegang tangan kiri sang Ayah dengan erat, sementara tangan kanan pria itu membantu Emely turun dari mobil dengan lembut. Emely menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kegugupan yang menyelimuti dirinya. Ia menatap pintu besar di depan
Beberapa hari kemudian…Setelah beberapa hari yang lalu, Emely akhirnya menyetujui permintaan Blue untuk bertemu dengan orang tua pria itu, terutama Ibunya. Kemudian, di hari itu Blue segera memberitahu Ibunya, Zara, yang menyambut kabar bahagia itu dengan antusiasme yang luar biasa.Malam ini adalah malam yang sangat dinanti oleh Zara. Setelah beberapa hari menunggu, malam ini akhirnya tiba juga, ketika putranya, Blue, akan datang ke Mansion untuk makan malam dan memperkenalkan kekasihnya. Zara semakin tidak sabar menunggu momen itu.Sejak siang, Zara dan Talia telah sibuk mempersiapkan menu makan malam yang akan menjadi hidangan untuk menyambut anggota baru dalam keluarga mereka. Semua persiapan dilakukan dengan penuh perhatian, memastikan segalanya berjalan sempurna. Dan kini, malam pun telah tiba. Semua persiapan telah selesai.Di ruang tengah Mansion Sinclair yang mewah, Zara duduk bersama suaminya, Ronan, dan putrinya, Talia. Mereka sedang m
“Hmm, dunia pun tahu itu. Makanya kamu sangat tergila-gila padaku,” balas Emely tanpa menoleh, nada suaranya datar namun jelas penuh percaya diri.Blue tertawa pelan. “Kau memang benar,” gumamnya pelan.Ia menegakkan tubuh dari sandarannya dan berjalan santai mendekati Emely, yang sedang fokus menuangkan minuman ke dalam gelas. Sesampainya di belakang Emely, Blue membawa kedua tangannya ke pinggang gadis itu, melingkarkannya dengan mesra.Emely sejenak membeku saat merasakan pelukan hangat pria itu, tetapi ia memilih untuk tak bereaksi.Blue menunduk sedikit, mengecup lembut pipi Emely. Bibirnya hanya menyentuh sekilas, namun sentuhan itu cukup untuk membuat Emely menarik napas dalam. “Aku tidak akan menyangkal,” bisik Blue dekat di telinganya. Suaranya rendah, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat hati Emely sedikit bergetar. “Karena kenyataannya memang seperti itu. Aku tergila-gila padamu.”Dengan lembut, Blu
***Emely berdiri di teras rumah, pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman. Mobil itu milik Arwen, sahabatnya. Ia mengamati saat mobil berhenti perlahan di samping kendaraan Blue yang terparkir rapi.Mesin mobil dimatikan, dan tak lama kemudian Arwen keluar dengan membawa laptop di lengannya. Dengan langkah santai, gadis itu mendekati Emely yang sudah menunggunya di teras.“Hay!” sapa Arwen ceria, mengulas senyum lebar.“Kamu terlambat dua menit,” sindir Emely, tangannya dilipat di dada.Arwen berhenti tepat di hadapan sahabatnya dan memutar bola matanya dengan malas. “Bersyukur aku masih mau nyamperin kamu ke sini!” balasnya ketus.Emely hanya tertawa kecil, menikmati reaksi Arwen yang khas.Namun, tawa itu terhenti saat suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Arwen menoleh ke arah pintu dengan rasa penasaran. Beberapa detik kemudian, sosok Blue muncul, berjalan dengan tenang namun p
Emely tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Blue dengan sorot mata penuh kekaguman dan sedikit senyum di sudut bibirnya. Tangannya tetap bekerja, mengurut dengan lembut batang keperkasaan Blue, sesekali memberikan remasan kecil yang membuat pria itu menarik napas panjang. "Berapa lama kau ingin bermain?" tanya Blue, suaranya terdengar berat."Aku tidak bisa lama-lama," jawab Emely dengan nada parau, hampir berbisik. "Aku harus menyiapkan tugas kuliahku sebelum Arwen sampai."Blue mengangguk kecil. Kemudian, ia meraih pergelangan tangan Emely, menghentikan sentuhannya yang terus menggoda. Lalu, ia berpindah posisi, mengambil tempat di belakang tubuh ramping gadis itu. Sofa besar yang mereka duduki cukup luas, memungkinkan mereka berdua berbaring miring dengan nyaman.Emely mengerti tanpa perlu kata-kata. Ia meloloskan kain segitiga kecil yang membalut dirinya, lalu mengangkat gaun yang dikenakannya hingga cukup tinggi untuk memberi akses penuh pa