14. Lies or Truth

“Lepas, aku mau makan.” Quinza berusaha memberi jarak pada kakak perempuannya dan mengambil gloves khusus memasak. Menarik turun pintu oven dan mengeluarkan roti panggangnya dari dalam, menatanya ke dua piring dengan cepat. Dion berasumsi kalau bisa jadi anak itu kelaparan.

Quinza meletakkannya ke meja dengan Dion mengekor dari belakang lalu duduk di samping anak itu dan segera melahap roti panggang. “Tidak bersama Daddy dan Mommy?” tanya Dion mencairkan suasana. Yang ditanya menggeleng kepala dengan adonan tersebut menempel di bibir.

Dia mengunyah makanan di dalam sebelum menelan yang terasa halus, “Daddy masih harus memonitor restoran. Kemarin yang kau lakukan itu belum menyelesaikan, Uncle masih datang. Cukup merepotkan.” Lalu kembali mengunyah roti panggang menjadi tersisa setengah.

Yang lebih tua hanya mengangguk walaupun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh putri bungsu, lalu ikut memakan suapan terakhir. Banyak yang akan dia tanyakan nanti malam kepada pemilik asli tubuh ini selain penguntit.

“Kali ini lebih baik dari sebelumnya. Aku nyaris menggosongkan sosis tempo itu, iya, kan?”

“Haha … iya. Saat itu sungguh kacau.” jawab Dion sembarang, berusaha mengikuti alur.

Quinza tersenyum dengan mata menerawang, “Iya. Untung saja ada kau yang membantu. Kalau tidak, mungkin saja Red House terbakar.”

“Leyna, aku ingin mengunjungi Andrian.”

Dion merenung sesaat, memikirkan balasan yang pas sesuai karakter Leyna, sebelum mengatakan, “Kita akan ke sana saat kau liburan sekolah.”

_The Stranger’s Lust_

07.34 p.m

Burk’s Falls, Ontario

Dion berganti baju menjadi piyama biru muda dengan tema floral. Dengan terpaksa dia memilih jenis baju tersebut karena tidak ada yang lebih baik selain model pakaian saat ini, dia menyimpulkan kalau wanita muda itu lebih suka mengoleksi warna merah, biru, dan ungu.

Berkeliaran dengan piyama dan sandal bulu sedari pagi tidak membuatnya merasa malu dan berkalan ke arah ruang bawah tanah sesuai ingatannya. Turunan tangga melingkar nan remang oleh lampu yang dipasang. Tungkai kaki kurus dan ideal itu melangkah dengan cepat dan sampai pada jalanan datar. Dua orang penjaga memberi hormat dengan membungkuk badannya.

“Ada yang bisa saya bantu, Nona Muda Olivia?” tanya salah satu dari mereka.

“Dimana letak Tuan Dion Addison?” balasnya dengan pertanyaan. Seolah mengerti, penjaga tahanan itu mengantar anak pemimpin melewati jalanan sempit. Tidak butuh waktu lama, sebuah tahanan dengan seorang pria berpenampilan kucel duduk di tempat tidur yang beralaska kayu.

Dion memberikan gestur untuk meninggalkan mereka berdua, setelah memastikan tidak ada siapapun yang berada di sekitar. Tahanan nomor satu dan tiga tidak terisi membuatnya merasa lega, dia tidak bisa membawanya ke ruang rapat karena Grissham telah pulang sejak satu jam yang lalu. Dengan canggung dia memanggil nama.

“Dion Addison.”

Sungguh, itu seperti memanggil nama sendiri. Tetapi, seperti telah terbiasa jiwa di tubuh pria mengangkat kepala dan tampak terkejut dengan kehadiran di depannya. Tanpa berpikir panjang, dia berjalan beringsut ke besi yang membatasi mereka berdua.

“Ada apa?” tanya Leyna yang melihat ke arah sekeliling.

“Mereka tidak ada di sini. Hanya kita berdua. Ada yang mau kubicarakan, tetapi aku tetap memintamu untuk memanggilku Leyna.” bisik Dion yang langsung disetujui oleh Leyna. Merasa telah lebih aman, dia berucap, “Quinza bicara denganku tadi sore.”

“Bicara tentang apa?” tanya Leyna yang mulai berpikir aneh-aneh.

“Tidak banyak. Tapi semuanya termasuk penting. Yang pertama, apa kau mengingat kalau ada yang menguntitnya sebulan yang lalu?”

Leyna berpikir sejenak, melihat dinding berlumut di belakang Dion lalu mengangguk, “Ya. Namanya Brandon Miles, dia tidak sekelas dengan Quinza tapi anak laki-laki itu tampak tertarik dengan adikku.” Suaranya memelan di akhir supaya tidak menimbulkan keraguan.

“Awal mula itu terjadi di tanggal 5 Januari, mereka datang hanya untuk merayakan pergantian tahun. Aku ada di sana tetapi menjauh sehingga Brandon tidak begitu melihatku. Namun, saat memasuki ajaran dia selalu menunggu Quinza di gerbang sekolah dan masuk ke dalam bangunan bersama,” ujar Leyna dengan nada serius, matanya melihat Dion yang masih terdiam untuk mendengar.

“Kukira awalnya, dia menyerah karena sudah dua minggu tidak berada di sana. Ternyata dia kembali dengan niat yang lebih parah. Mengintilinnya di dalam sekolah? Itu kelewatan,” katanya sebagai akhir dari penjelasan.

Dion mengangguk paham, “Mungkin dia sedang dilemma saat itu. Sekarang dia merasa yakin dengan perasaannya maka dari itu dia berani untuk melangkah lebih jauh. Quinza merasa risih dengan ikut, apa yang mau kau lakukan?”

“Bisa kau memantaunya untuk sekarang ini? Quinza itu walaupun wajahnya terlihat ketus dia itu hangat di dalam, diam-diam memperhatikan sekitar dan peka dengan kondisi kita semua. Quinza akan mengatakannya padamu lebih dalam kalau dia merasa lelah seperti tadi. Dia lebih dekat denganku untuk mengatakan seluruh kegundahannya.”

“Aku takut dia terluka.” timpal Dion yang membuka Leyna terkesiap. “Dia itu anak yang baik. Aku senang dia bisa mengutarakan perasaannya. Aku rasa kalau aku senggang aku akan ke sekolah untuk melihatnya.” Sambung Dion lagi. Leyna mengangguk setuju.

“Ada satu lagi,” kata Dion yang kembali membeku suasana.

“Apa … apa kalian pernah membuat kegosongan di dapur?”

Leyna membungkam dengan mata yang mengekspresi tidak tentu membuat Dion merasa salah langkah. Sepertinya dia membuat sebuah kesalahan fatal.

_The Stranger’s Lust_

To Be Continue