Dion berjalan ragu dengan sandal rumahan yang telah bersamanya lima jam hari ini. Setelah berlatih selama tiga jam penuh dengan si pemilik tubuh asli yang sekarang sedang dia gunakan untuk tetap dinyatakan hidup, dia kelaparan. Sudah hampir menyentuh angka empat dan satu gedung terasa tak berpenghuni.
Lima menit yang lalu, Leyna telah dibawa pergi kembali ke tahanan bersama dua penjaga yang juga ikut berdiri di depan pintu ruang rapat selama mereka di dalam. Tentu saja, Dion mengatakan untuk memindahkan Leyna ke sel nomor satu sesuai permintaannya.
Dion baru tahu kalau fasilitas tahanan memiliki hierarki, ada lima belas sel tahanan di bawah tanah Red House. Tapi, hanya ada tiga sel yang lebih baik dari yang lainnya. Menurut pengakuan Leyna, Chayton membuat tiga sel terlihat istimewa karena berdasarkan kasus yang ada. Kalau hanya berada di tingkat ringan, maka akan dimasukkan ke dalam tiga sel tersebut. Kalau berat, maka akan langsung dibawa ke pengadilan.
"Seharusnya, dapur akan ada di ... sini! Akhirnya, ketemu!" ucap Dion dan memasuki dapur yang sepi. Ada dua kulkas dengan masing-masing empat pintu berada di bawah lemari yang tergantung. Dua buah kompor listrik terpasang. Dion merasa kalau peralatan masak dimasukkan ke dalam lemari yang menggantung atau mungkin di lemari bawah. Juga ada oven terletak di bawah lemari.
Tetapi, jiwa laki-laki dalam raga perempuan itu berjalan membuka kulkas dan menemukan satu rak yang berisi susu coklat dan vanilla. Es krim diletakkan di dalam lemari yang lebih dingin. Dion mengambil susu kotak vanilla dan meminumnya sambil melihat sekitar.
Sebelah tangannya aktif membuka tutup kabinet atas dan berbinar ketika menemukan kaleng transparan terisi sereal. Tangan tersebut membawa turun kaleng dan bersiap mengambil sebuah mangkuk kosong kalau saja tidak ada suara yang menginterupsi.
"Nona Muda Olivia, ada yang bisa saya bantu?"
Dion mengutuk dirinya sendiri ketika melihat seorang wanita berdiri di ambang batas dapur dengan bagian yang lain. Daun kabinet yang terbuka ditutup terlebih dahulu, "Ah! Tidak ada. Kamu boleh melanjutkan pekerjaanmu."
Wanita yang berdiri di ambang batas dapur itu tersenyum kecil, nona muda mereka yang satu ini memang tidak suka menyulitkan sekitarnya, sebisa mungkin melakukan semua hal dengan sendirian, "Anda menginginkan sereal? Saya akan buatkan untuk Anda, Nona Muda. Saya mendengar dari Kepala Asisten, kalau Anda belum makan siang."
Dalam hati dia merasa lega karena ingat dengan perkataan Leyna kalau gadis itu lebih suka mandiri, sehingga dia tidak perlu repot-repot memikirkan kalimat yang bagus. Karena dia sendiri juga sama. "Tidak, tidak perlu. Saya akan membuatnya sendiri." tolak Dion sehalus dan sesopan mungkin.
"Kalau begitu, saya ambilkan peralatannya untuk Anda," kata wanita yang berpakaian formal kemeja putih dengan blazer dan rok span selutut berwarna biru gelap. Langkah ketuka high heels yang dipakai terdengar, diiringi dengan daun pintu lemari yang terletak di atas kompor listrik berderit dua kali sebelum menghampiri Dion.
"Terima kasih." Dion berucap setelah membisu sejenak. Pekerja tersebut mengundurkan diri, Dion menghembuskan napasnya karena itu adalah suatu yang mendadak. Dia mengambil susu kental manis dari kulkas dan menyeduh dengan air panas ke dalam mangkuk. Kemudian menuangkan sereal tersebut dan membawanya ke meja makan.
Tidak lupa dengan sebatang coklat yang memang sengaja dibawa olehnya untuk mengganjal perut lebih lama. Leyna mengatakan mereka selalu makan malam di jam tujuh kalau tidak ada acara mendesak. Berarti masih ada dua jam baginya. Dion menyuap sereal ke dalam mulut dengan tenang.
Leyna juga mengatakan kalau jam lima adalah waktu para pekerja bersipa-siap untuk kembali bekerja. Dion merasa menghargai Chayton karena membiarkan para asisten rumah tangga untuk beristirahat selama dua jam dan diberi waktu satu jam untuk bersiap-siap.
"Leyna,"
Dion menghentikan acara makan telat dan meneguk ludah, seorang anak gadis yang bersama dengannya sarapan berdiri di depan meja makan sembari melihatnya dengan tatapan menyelidik. Dia sudah tahu kalau itu adalah Quinza, setelah ditunjuk oleh Leyna dari galeri foto yang ada di ponsel wanita tersebut.
"How was you day?" tanya Dion basa-basi.
"Not going well. I don't understand about math today. Learning algorithm is the difficult thing in the world." balas Quinza yang mengambil tempat di depan kakaknya. Dia bersandar lesu pada kepala kursi karena memang pantang bagi mereka untuk bersandar pada meja makan.
"Can I help you?" tawar Dion yang segera dibalas dengan picingan dari lebih muda. Apa dia salah bicara?
Quinza memicing dan mendekatkan wajahnya ke arah Dion yang tengah gugup mendadak, "Selama yang aku tahu ... Leyna tidak pernah suka belajar algoritma. Makanya, Leyna tidak mau dimasukkan ke dalam kedokteran."
Dion tersentak kecil, dia membuat kesalahan fatal, padahal telah Leyna beritahu padanya. Dia merutuk dirinya sendiri karena melupakan fakta terdepan yang menyangkut hidup Leyna Olivia.
Kalau sudah begini, dia bisa berbuat apa?
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
[Dion Addison POV] Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur. "But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih. "Leyna baru makan siang?" Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas. "Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut. Aku tidak begitu
“Lepas, aku mau makan.” Quinza berusaha memberi jarak pada kakak perempuannya dan mengambil gloves khusus memasak. Menarik turun pintu oven dan mengeluarkan roti panggangnya dari dalam, menatanya ke dua piring dengan cepat. Dion berasumsi kalau bisa jadi anak itu kelaparan. Quinza meletakkannya ke meja dengan Dion mengekor dari belakang lalu duduk di samping anak itu dan segera melahap roti panggang. “Tidak bersama Daddy dan Mommy?” tanya Dion mencairkan suasana. Yang ditanya menggeleng kepala dengan adonan tersebut menempel di bibir. Dia mengunyah makanan di dalam sebelum menelan yang terasa halus, “Daddy masih harus memonitor restoran. Kemarin yang kau lakukan itu belum menyelesaikan, Uncle masih datang. Cukup merepotkan.” Lalu kembali mengunyah roti panggang menjadi tersisa setengah. Yang lebih tua hanya mengangguk walaupun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh putri bungsu, lalu ikut memakan suapan terakhir. Banyak yan
"Apa dia mengatakan seperti itu?" Lena bertanya dengan raut terkejut. Dion mengangguk ragu. "Itu saat dia membuat roti panggang sesudah pulang sekolah. Dia ingat kalau dia pernah membuat kegosongan parah denganmu. Itu memang terjadi, kan?" Jiwa pria itu semakin gusar ketika melihat Leyna yang terdiam tidak mau menjawab apapun. Sepertinya rahasia mereka akan terbongkar. Leyna mengangguk, "Ya, kami pernah." Bisikan halus dari suara serak itu membuat Dion menghembuskan napasnya dengan lega. "Itu bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan," kata Leyna yang menunduk malu. "Aku tahu. Tapi, sekecil apapun yang kau lakukan, sebesar apapun kejadian memalukan, kau haruslah mengatakannya padaku. Aku tidak tahu harus menjawab apa." Dion menjulur tangannya mengangkat dagu yang menunduk di depannya, tersirat jelas kalau lawan bicaranya menahan malu. "Hey, it's okay. You did a great job," kata Dion yang mempertahankan posisinya. Sedangkan L
"Duluan saja, Pak. Daddy lebih butuh bantuan." Dion tersenyum tipis saat melihat mobil yang ditumpangi kembali bergerak setelah pintu mobil ditutup olehnya. Sembari mengamankan tas yang dipikul oleh bahu kiri, dia melihat ke arah gedung di depannya. Gedung yang bertingkat tiga berdiri dengan kokoh di salah satu kumpulan barisan di sisi kiri jalan raya, tiga mobil terparkir apik di depan. Dia melihat plat bertulis 'Classic Studio' sejenak lalu melangkah mendorong pelan pintu yang dipasang. Aroma vanilla menyerbak ketika telapak kaki yang terbalut high heels dua sentimeter itu menapak di dalam gedung. Dingin menyeruak karena pendingin ruangan dinyalakan. Dion bisa melihat seorang wanita berpakaian semi-formal berdiri di belakang customer service menyapanya dengan hangat."Good afternoon, Dorine." sapanya ketika mengingat nama-nama yang dijelaskan Leyna mengenai orang di sekitar balerina tersebut. Dion kembali berjalan di sebuah lorong,
Dion langsung merebahkan badannya di atas kasur setelah mencapai kamarnya. Walaupun dia belum membersihkan diri, untuk sekarang dia lebih butuh istirahat daripada berada di kamar mandi mewah. Hanya untuk lima menit saja, dia terlalu lelah untuk berjalan setelah tungkai kakinya terus menerus terangkat hanya berdiri dengan pointe shoes dan area betisnya juga. Kepalanya terus berputar seperti ada bintang berkelip di depan matanya. Dia tahu itu hanya sekedar ilusi semata dan kembali memejam mata untuk mengarungi samudra mimpi yang telah menunggu sejak lima menit yang lalu. Karena, demi apapun yang ada di semesta, dia tidak pernah selelah ini, dia sanggup mengoreksi puluhan buku dengan tulisan berantakan dan masih bisa berjalan kaki setelahnya. Marahi jiwanya yang kurang suka bergerak. “Leyna.” Dia ingin mengerang kesal karena seseorang mengusik jam tidurnya, dengan mata yang sayu dia melihat Quinza berdiri di samping kasurnya dengan berkacak ping
[Dion Addison] Aku memilih melamun subuh ini di balkon kamarku sendiri. Tidak, maksudnya kamar Leyna Olivia. Kamar wanita muda itu mengarah ke belakang gedung ini berada di tingkat tiga seperti yang dikatakan sebelumnya. Dia menghirup napas sebanyak mungkin dan menghembuskannya pelan sebanyak lima kali dan melihat berbagai macam pohon menjulang di depannya. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyaku dan menyangga tangan di balkon. “Your uncle came again this morning.” Perkataan Tuan Chayton membuatku pusing karena tidak mengerti kemana arah topik ini berjalan. Tetapi, satu sisi Leyna sudah menceritakan semuanya membuatku merasa lebih baik. Aku melirik ponsel yang menunjuk gambar seorang pria yang dipanggil paman oleh keturunan Tuan Chayton. Tanpa sadar aku mengacak surai rambut yang tergerai karena terlalu pusing mengingatnya. “Dia ingin bertemu denganmu, Leyna. Katanya dia ingin mengatakan sesuatu pa
"Good Morning, Uncle." sapa Dion yang memberikan senyum tipis pada seorang pria yang duduk di depan meja kerja pemilik restoran. Jujur saja, dia gugup setengah mati melihat raut wajah yang berhadapan dengannya sangat datar dan tidak bersahabat. Bahkan, Dion berani bersaksi kalau tatapan mata Lancelot bisa membunuh nyawanya jika terus-menerus melihat dengan ekspresi seperti itu. Lancelot masih menatapnya dengan tatapan yang sama sejak kehadiran Dion yang datang dengan setelan yang lebih formal dari biasanya. Sebuah kemeja putih dengan blazer pink pastel yang senada dengan rok span di bawah lututnya, dipadu high heels tiga sentimeter beradu dengan lantai adalah pakaiannya untuk seharian ini. Dion perlu menghabiskan waktu malamnya untuk berjalan di atas tumpuan sepatu tersebut berjam-jam setelah di atas jam sepuluh dengan lampu yang meredup. Usaha tidak akan mengkhianati hasil ternyata bergerak di dalam kehidupan aneh pemuda Addison itu. "Leyna
[Leyna Olivia POV] Aku menikmati sepiring roti isi sebagai hidangan makan malam. Kudengar itu atas perintah Nona Muda Olivia dari para penjaga. Tentu saja itu berarti adalah perintah Dion yang mungkin sedang mengistirahatkan dirinya tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu. Satu-satunya yang mengganjal adalah hubunganku dengan Uncle Lancelot. Entah apa yang terjadi tadi pagi dengan pria yang menjadi favoritku kalau berhubungan tentang hunting food. Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar. Dion juga bukan tipikal pria yang ceroboh atau tidak bisa berpikir dengan cepat dan matang. Apapun yang terjadi juga dia harus bisa menjalaninya dengan baik. Lagipula, kalaupun dia salah melangkah. Masih ada alasan yang bermutu untuk menopang langkah tersebut untuk tidak terendus oleh siapapun. “Aku bosan,” kataku sambil duduk di papan kayu yang menjadi tempat tidurku selama ini. Aku diinterogasi oleh Kepala Divisi Hukum tadi pagi dan berjalan d