"Jadi gimana dong?" tanyaku sambil menggigit donat buatan Dinar yang sialnya, masih terasa enak di keadaan genting seperti ini.
Dinar menghisap rokok filternya dalam-dalam sebelum menghembuskan asap rokok ke depan wajahku.
Aku terbatuk-batuk karenanya. "Duh, sialan lo! Kalo gue kena kanker gimana?"
"Ya, ke rumah sakit. Duh, capek ya gue harus berkali-kali ngasih tahu lo hal yang sama. Apapun yang terjadi, kumpul kebo tuh cuma bakal ngerugiin pihak cewek!"
"Buset! Kohabitasi, Din. Ko-ha-bi-ta-si,"
"Bodo amat! Rasain tuh akibatnya! Ditinggal 'kan lo sama si Gilang?"
"Tapi, biasanya dia enggak kayak gini. Kita sering berantem tapi dia selalu balik lagi,"
"Berarti dia udah bosen sama elu!"
"Dinar! Brengsek lo!"
"Emang gue brengsek! Cuma gue kagak pernah mau diajak kumpul kebo sama cowok! Karena gue enggak sebucin elu!" Katanya sambil memamerkan cincin emas di jari manisnya.
"Gue juga pengen nikah, setan! Masih belum nemu moment yang pas aja. Cicilan apartemen sama mobil masih belum lunas. Udah gitu perusahaan Gilang juga masih struggling,"
"Yaudah, nikmatin aja pilihan lo. Mana apartemen itu masih pake nama Gilang 'kan? Kalo diputusin, auto jadi gembel deh,"
Aku mencebik tapi tak bisa membalas karena ucapannya benar.Kupikir rasa cinta Gilang takkan hilang seperti yang selalu dijanjikannya.
Sekeras dan seberat apapun situasinya, dia selalu kembali dalam pelukanku.
Duh, Gilang kamu dimana sih?Mungkin Dinar melihat sesuatu di wajahku. Karena tiba-tiba, ia menuangkan wiski ke gelasku. "Dari dulu, gue enggak setuju kalo elu sama Gilang. Semenjak kuliah, dia kayak misterius gitu dan enggak pernah punya temen deket juga,"
Aku menenggak isi gelasku sampai tandas. Membiarkan cairan pahit itu membasahi tenggorokanku. Mengambil alih sedikit kesadaranku, "Dia 'kan anak rantau. Jadi, pasti masih belum bisa adaptasi,"
Baik Dinar dan suaminya memang satu almamater dengan Gilang dan aku. Hanya saja, kami berbeda jurusan.
Aku bertemu dengan Gilang saat acara pernikahan teman suami Dinar. Kuakui, aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Kami bertukar nomor saat itu dan akulah yang pertama kali mengajaknya berkencan.
"Lu masih ngebelain dia?"
"Gue udah enam tahun tinggal bareng dia. Udah hapal segala kebiasaan, sifat, sampe luar dalemnya udah gue khatamin,"
"Dil, gue tahu elu kecewa. Tapi sebagai temen sekaligus rekan kerja, gue enggak mau lo terus-terusan sedih kek gini,"
Pintu apartemen terbuka dan Haidar Kusnohardjo, suami Dinar, masuk dengan membawa kantung plastik berisi belanjaan sambil bersenandung.
Ia datang untuk mencium istrinya lalu mengambil sepotong donat dari piring.
Gerakannya terhenti saat melihatku. Matanya membulat seolah-olah ia baru sadar akan keberadaanku, "Oi, Dil. Udah lama?"
"Mayan," kataku sambil menuang wiski ke gelasku lagi.
"Wah, ada apa nih? Masih sore gini kok udah berani minum?"
Dinar menyikut lengan suaminya dengan kasar, "Udahlah. Biarin aja,"
Tapi Haidar tetap saja terus menggangguku dengan pertanyaannya, "Bukannya lo udah berhenti minu--, Ah, kalian berantem lagi, ya? Atau Gilang minggat lagi?"
"Sayang, jangan gitu. Tadi, dia udah nangis sampe guling-guling di lantai,"
"Kenapa lagi nih sekarang? Rebutan remote ac?"
Aku hampir saja tertawa karena kami memang pernah meributkan hal ini. Gilang tak pernah betah dengan hawa panas sehingga ia selalu menyetel ac dengan suhu dibawah 20 derajat. Aku sih santai saja. Tapi, ketika melihat tagihan listrik yang membengkak, aku murka.
Baik Gilang dan aku, sama-sama memiliki penghasilan sebesar tujuh digit angka setiap bulannya.
Tetapi sebagai 'menteri keuangan' sebisa mungkin aku mengurangi setiap pengeluaran karena tanggungan cicilan yang menumpuk
Gilang biasanya 'ngambek' lalu memilih mengungsi ke perusahaan yang baru dirintisnya selama dua tahun belakangan ini. Tapi, keesokan harinya dia masuk ke dalam rumah seolah tak terjadi apa-apa.
Tiba-tiba setetes air mata jatuh dari mataku. Mungkin alkohol membuat perasaanku lebih emosional dari biasanya.
"Eh sorry, Dil. Gue enggak bermaksud bikin elu sedih. Gilang juga gitu. Sukanya ngabur mulu," Haidar menyerahkan sekotak tisu ke arahku.
Aku menggeleng sambil menghapus air mataku. "Enggak, gue aja yang lebai,"
Dinar dan Haidar saling melempar pandang seolah sedang mengirim sinyal telepati.
"Dil, sebenernya gue tahu si Gilang kemana," kata Haidar memecakan kesunyian yang canggung ini.
"Hah?"
"Waktu itu gue sama Dinar jemput temen di bandara. Terus gue ketemu Gilang lagi ngecek tiketnya di boarding pass. Kayaknya dia balik ke Malang,"
Kepalaku serasa berputar.
Malang? Gilang pulang kesana?Seingatku, ia pernah bercerita bahwa sejak zaman kuliah dulu, ia tak pernah pulang ke rumah. Bahkan saat wisuda pun, ia tak membawa kedua orang tuanya.
Kalau kuingat lagi, Gilang memang jarang menceritakan soal orang tuanya padaku. Kupikir Gilang juga seperti aku yaitu anak yang membenci orang tuanya.
Jadi, aku sama sekali tak menyalahkan atau mencoba mengorek informasi.Yang kubutuhkan adalah Gilang. Bukan orang tuanya.
Tapi kenapa? Apa yang terjadi? Apakah ada anggota keluarganya yang sakit?
Atau mungkinkah, mungkinkah dia melarikan diri?Ini sudah hari keempat semenjak dia menghilang dan ponselnya selalu tidak aktif.
Padahal pertengkaran kami sebelumnya bukanlah hal yang besar.
Aku tidak menyetujui tentang rencananya untuk mengadopsi anjing. Dia berjanji akan merawatnya dengan baik. Tapi apartemen tempat kami tinggal melarang adanya hewan peliharaan.
Gilang sampai menyarankan untuk menjual apartemen yang belum lunas itu hanya karena seekor anjing.
Sebenarnya, aku juga menyukai hewan berkaki empat tersebut.
Tapi di Jakarta ini, mencari apartemen dengan harga murah dan lokasi strategis seperti yang kami tinggali ini cukup sulit.
Gilang saat itu tidak mengatakan apapun. Ia hanya melihatku sebentar lalu pergi tanpa pamit.
Aku sudah membongkar isi kamar maupun lemarinya baik di rumah maupun di kantor.
Hasilnya nihil. Ponselnya sudah tidak aktif sejak itu.
Kemudian sebuah ide melintas di kepalaku. Aku mengambil ponselku dan mulai login ke email Gilang. Tanganku menyentuh kata 'Find my phone' dan benar saja.
Titik merah itu berkedip dan menujukkan sebuah lokasi di kota Malang.
Kenapa cara sederhana ini sama sekali tidak terlintas d otakku?
"Dil, sori ya. Bukannya gue enggak mau ngasih tahu. Tapi, gue rasa Gilang bukan cowok yang pantes buat elu,"
"Iya, gue tahu. Sayangnya, gue udah enggak bisa kalo enggak sama Gilang,"
"Dih, dasar bucin! Kalo lo nanti nyesel, jangan dateng kesini lagi, deh," sergah Dinar sambil menghisap rokoknya lagi.
Aku tersenyum sebelum bangkit dari kursiku, "Thanks ya Din, Haidar juga. Gue balik dulu deh,"
"Gue anter, Dil," tawar Dinar sambil mengulurkan tangan untuk meminta kunci mobilku, "Gue nginep sekalian. Besok kita berangkat kerja bareng,"
"Iya, Dil. Lu juga udah mabok ini," tambah Haidar.
Tapi aku menggeleng.
Aku yakin masih bisa berjalan lurus. Seluruh panca inderaku malah bisa dibilang dalam keadaan waspada.
Saat hampir mencapai pintu, aku menoleh ke belakang mendapati raut wajah kedua sahabatku yang khawatir, "Din, gue mau ambil cuti!"
Dinar mengetuk-ngetuk ujung puntung rokoknya ke dalam asbak. Ia tidak tampak terkejut, "Udah gue tebak bakal kayak gini jadinya. Seminggu ya, Dil. Lewat dari itu, gue pecat!"
Aku terkekeh dan memberi hormat padanya, "Siap, Bos!"
Penerbangan dari Jakarta ke Malang terasa seperti mimpi. Hanya sembilan puluh menit. Tidak sampai dua jam.Aku begitu percaya diri akan kemampuanku untuk 'merayu' Gilang sehingga aku hanya membawa sebuah ransel kecil berisi satu pasang baju ganti, dompet dan ponsel.Ini pertama kalinya aku pergi ke kota ini. Bandara Abdurahman Saleh tidak sebesar yang kukira.Saat aku keluar dari sana, seorang laki-laki paruh baya berseragam biru menyapaku dengan bahasa Indonesia yang medok, "Taksinya, Mbak?""Pak, tahu alamat ini enggak?" Tanyaku sambil menunjukan tempat keberadaan Gilang.Lelaki itu menggaruk kepalanya sebelum berkata, "Adoh e, Mbak," mungkin ia melihat wajah kebingungan dariku sehingga ia buru-buru menambahkan, "Maksud saya, ini lokasinya jauh, Mbak. Sekitar dua jam dari sini,""Dua jam?""Jalannya juga lumayan jelek. Mbaknya ini dari stasiun tivi, ya?"Aku menggeleng, "Saya mau nyari orang, Pak."Jawaban itu me
Penginapan Merinda nampak seperti rumah biasa. Kecuali ukuran bangunannya yang paling besar diantara pemukiman warga. Tapi sepertinya cukup berlebihan kalau kubilang sebagai pemukiman warga. Jarak antar rumah sangat jauh. Sepanjang perjalanan aku bisa menghitung jumlah rumah dengan kedua tanganku. Daerah ini lebih banyak di dominasi dengan kebun jagung yang luas. Mengingatkanku pada film horror yang diadaptasi dari novel Stephen King yang terkenal itu. Tukang ojek yang mengantarku memberondongiku dengan jutaan pertanyaan. Tapi aku sudah terlalu malas untuk menjawab. Ketika kami sampai di penginapan, ia menolak uang pemberianku dan langsung pergi begitu saja ketika aku turun. "Gak sopan," keluhku sambil melangkahkan kaki ke penginapan tersebut. Papan nama penginapan itu nampak baru saja di cat ulang dengan warna putih dan ditulis dengan cat merah yang mencolok. Di sekelilingku dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Aku tidak
Murni datang di saat waktu yang kurang tepat. Ia membawa troli tiga tingkat yang terbuat dari alumunium kecil yang mengangkut sebakul besar nasi, satu panci berukuran sedang berisi sayur asem, beberapa potong tempe goreng dan semangkuk kecil sambal terasi.Rak keduanya berisi setumpuk piring beserta alat makannya, tiga buah gelas belimbing, dan sebuah kendi besar, dari tanah liat, yang kuduga berisi air putih. Rak ketiganya dibiarkan kosong begitu saja."Silahkan, Mbak." Begitu katanya sambil menaruh piring dan sendok di hadapanku."Ayo, Mbak. Sayur asem buatan Murni dijamin enak dan seger. Cocok untuk menu makan siang.""Terima kasih, Bu. Tapi, saya penasaran mengenai kutukan yang ibu katakan." Kataku sambil menyendokkan nasi ke piring.Murni yang mendudukkan diri di sebelah ibunya, menggelengkan kepalanya,"Oalah, Bu. Kok selalu cerita yang bukan-bukan sih? Mbak Delilah ini c
Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. A
Orang yang mereka panggil sebagai Mbah Garong ternyata seorang wanita yang sedikit lebih tua daripada Bu Minah. Perawakannya tinggi besar dengan rambut putih bergelombang yang diurai begitu saja. Mata hitamnya menatapku tajam saat aku sedang mengelus bekas cekikan di leher. Si pelaku, anak laki-laki itu, pingsan tak sadarkan diri setelah Bu Minah memukul bagian belakang kepalanya dengan gayung. Saking kerasnya pukulan itu, senjata yang dipegangnya pecah menjadi dua. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan Tono dan Mbah Garong tiba di kamar itu dengan wajah panik. Kami semua, kecuali Mbah Garong yang akan 'membersihkan' tempat kejadian, pindah ke kamar bawah. Kami rebahkan anak laki-laki itu di atas kasur. Suasana hening yang menegangkan itu berlangsung cukup lama. Sekembalinya Mbah Garong, ketiga anak yang tersisa langsung menangis saat
Dengan nafas memburu, mataku terbuka lebar. Jantungku berdebar sangat keras seolah sanggup melompat dari tenggorokan.Aku berkedip dua kali saat menyadari bahwa aku sendirian. Langit-langit di kamar juga nampak normal. Mungkinkah ini hanya mimpi?Tak perlu menunggu lebih lama, aku segera mengambil ponsel sebelum melompat dari kasur dan berlari menuju lantai bawah.Aku merasa lega sekali sampai rasanya ingin memeluk Murni, yang kebetulan lewat di koridor bawah, kalau saja ia tidak membawa secangkir teh di atas nampan plastik tersebut. "Oh, Murni! Syukurlah!" Alis perempuan itu terangkat sebelah, "Mbak Delilah? Kenapa? Saya pikir sudah tidur." "Aku bermimpi buruk," Kataku sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk menjelaskan lebih detail. "Kamu mau pergi ke mana? Aku boleh ikut?" Murni mengangguk, "Boleh, Mbak. Anak yang tadi kesurup
"Jangan keras-keras, Mbak." Begitu kata Murni tatkala sebuah pekikan keluar dari mulutku. Palu itu ternyata menyasar pada tembok di belakang pundakku. "Kau ini bikin kaget saja." Kataku sambil mengambil dua langkah menjauhinya. "Maaf, Mbak. Enggak sengaja." Jawabnya sambil tersenyum malu. Ketika aku melihat arah sasaran palunya, alih-alih tembok yang retak, di sana tidak ada perubahan apapun. Padahal aku yakin sekali, dia memukulnya dengan keras. "Ikut aku, Mbak." Kali ini Murni mengatakannya sambil mengembalikan palu itu di tempat semula. "Kemana?" "Sudah ikut saja." "Kau tidak akan mengagetkan aku lagi 'kan?" Murni terkekeh, "Tidak, Mbak." Aku memutar bola mataku dan kembali berjalan mengekori Murni. Dari ruang laundry, kami pindah ke seberang koridor memasuki sebuah pintu bewarna cokelat kal
"Kamu itu tetap saja ceroboh!" Kata Bu Minah pada Murni sambil mencubit lengannya. "Kalau pakai mesin cuci itu ya mbok yang teliti! Masa kamu nyuci ndak pake sabun! Sudah begitu, bajunya kenapa ndak dipisah? Kan jadi kelunturan semua baju sama spreinya! Sini kamu, tak ajarin cara nyuci yang benar."Murni menghela nafas lega, "Oalah, Bu. Kupikir ada apa. Iya, iya. Nanti tak bereskan. Sudah, Ibu istirahat saja."Bu Minah langsung berkacak pinggang. "Kamu itu selalu saja nggampangno semua urusan! Wes lah, ayo balik ke londre.""Tapi, Bu. Saya mau nemenin Mbak Delilah dulu. Kasian ndak berani masuk kamar karena barusan mimpi buruk."Bu Minah lalu mengalihkan pandangannya kepadaku dengan sorot mata ingin tahu, "Mimpi buruk macam apa, Nduk?"Belum sempat aku menjawab, Murni buru-buru menyela, "Mimpi buruk ya mimpi buruk, Bu. Sudah ya, tak balik ke kamar Mbak Delilah."
Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra
Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi
“Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s
Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan
“Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah
“Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel