Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.
Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.
Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.
Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.
Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.
Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. Aku bangun dan melongokkan diri ke luar jendela.
Sebuah mobil Jeep bewarna putih berhenti dan dua pasang anak lelaki serta perempuan turun dari sana. Dari penampilannya dan pembawaannya, yang kupikir cukup norak, mereka sepertinya belum genap berumur dua puluh.
Suara cekikikan mereka terdengar berisik sampai ke kamarku. Aku curiga kalau tiap kamar di penginapan ini sama sekali tidak kedap suara.
Aku sedikit teringat pada masa kuliahku. Penuh semangat, sukacita dan idealisme. Sebelum semuanya dihancurkan dengan tumpukan tugas, riset yang berkepanjangan juga drama-drama emosional yang sekarang terasa tidak penting.
Aku bukan seorang penyendiri yang tak memiliki teman. Tapi, sifatku yang bicara serta bertingkah seenaknya sendiri adalah salah satu alasan kenapa jumlah temanku bisa dihitung dengan satu tangan.
Berkali-kali berpacaran dengan berbagai macam lelaki malah tak membuatku mengenal makna cinta. Niat untuk berkencan-pun surut saat aku mulai bekerja.
Lebih dari separuh hariku habis di kantor dan rumah tak lebih sekedar tempat menumpang tidur.
Aku menikmati hal itu.Berbeda dengan idealisme yang dulu kubanggakan, menjadi budak korporat dan terjebak pada rutinitas yang berulang ternyata tidak membosankan. Terlebih, aku juga digaji dengan baik.
Menjadi ikan mati yang terbawa arus tidak seburuk yang kupikirkan.
Maaf kalau aku akan mengatakan hal paling klise dalam novel atau film roman picisan. Tapi, hidupku benar-benar berubah saat mengenal Gilang.
Kupikir hubungan kami tidak akan berlanjut setelah kencan pertama. Jujur saja, aku memang tertarik pada fisiknya yang kuanggap ideal. Ia tampan dan manis.
Tapi, pertemuan-pertemuan kami terus berlanjut karena baru kusadari untuk pertama kalinya ada yang betah mendengar celotehku.
Gilang begitu pendiam dan tipe pendengar yang baik. Ia menyetujui beberapa pendapatku dan tidak mendebat ketika pandangan kami berseberangan.
Sampai dua tahun yang lalu, sifatnya perlahan berubah mengikutiku dan kami jadi sering bertengkar. Pertengkaran-pertengkaran yang membuatnya kabur meskipun esok harinya ia kembali dengan senyum lebar.
Pernikahan adalah salah satu hal yang kami inginkan. Gilang sering melamarku. Bukan satu atau dua kali. Melainkan delapan kali.
Dengan total delapan cincin, delapan kali menyewa venue di tempat yang berbeda serta delapan kali ia berlutut memintaku menjadi isterinya.
Selalu ada masalah terjadi setelah atau selama acara lamaran berlangsung. Kalau bukan aku atau Gilang yang kecelakaan, pasti ada masalah dengan venue acara.
Selalu seperti itu.Gilang, yang agak konvensional, berpendapat mungkin karena kami berdua tidak mendapat restu dari orang tua, yang sengaja tidak kami undang.
Tentu saja kupatahkan argumen itu. Bagaimana bisa restu orang tua memiliki efek sedahsyat itu? Menciptakan masa kecil atau keadaan yang berbahagia saja tak mampu.
Malahan aku curiga bahwa semuanya akan bertambah kacau hanya dengan kehadiran mereka.
Lagipula aku sudah lama sekali tidak berhubungan dengan kedua orang tuaku. Aku kabur dari rumah setelah lulus SMA dan pergi ke rumah bibiku di Jakarta.
Dan sampai sekarang, aku sama sekali tak mendengar kabar apapun dari mereka.
Aku mendapatkan beasiswa penuh dan Bibi, yang masih lajang, mendukungku sampai lulus.
Sayangnya, Bibi meninggal, karena sakit, saat aku baru saja wisuda.
Aku menjual rumah yang diwariskannya dan pindah kost di dekat tempat kerjaku. Uang hasil penjualan rumah itu masih utuh dalam tabungan rahasiaku.Kalau seandainya Bibi masih hidup, beliau adalah orang yang akan kumintai restu.
Suara gaduh datang dari sebelah kamarku. Kedua anak perempuan itu cekikikan sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Jawa.
Aku memejamkan mataku dan mulai tertidur.
Aku terbangun saat mendengar suara pintu diketuk dari luar. Kupaksakan diri untuk bangkit dan membukanya. Murni, si perusak tidur siangku, tersenyum dan menawarkan makan malam.
Kujawab bahwa aku tidak lapar tapi akan turun ke ruang makan untuk mencari kudapan.
Ia tersenyum dan mengatakan akan menungguku di bawah. Aku menutup pintu dan pergi ke kamar mandi.
Tentu saja tidak ada shower box disini. Kamar mandi berupa bak mandi dari ubin putih, kloset jongkok warna biru dan sebuah gayung merah. Ada peralatan mandi seperti sabun dan pasta gigi.
Airnya begitu dingin saat menyentuh kulitku. Membuat seluruh inderaku terbangun.
Begitu selesai kututup gorden jendela dan keluar dari kamar.
Dua orang anak laki-laki yang tadi kulihat, mengetuk pintu kamar di sebelahku. Penampilan keduanya seperti remaja tanggung bergaya gothic. Berpakaian serba hitam dan aku melihat tindik di hidung salah satu anak itu.
Aku turun dari tangga dan menemui Bu Minah sedang mengelap meja di ruang makan.
"Mau makan apa, Mbak?" Tanyanya ramah. Ada sesuatu yang mencegahku untuk menanyakan mengenai bunga dan gunting itu.
"Pingin cemilan aja sih, Bu. Saya enggak begitu lapar."
"Kebetulan Murni tadi masak gorengan. Langsung ambil ke meja kasir saja,"
Aku mengangguk. Baru saja berjalan selama tiga langkah, terdengar suara teriakan dari lantai atas.
Bu Minah langsung pergi dan meninggalkan lap di mejanya. Aku ikut berlari menyusulnya.
Suara teriakan itu kembali terdengar, kali ini lebih lantang dari sebelumnya, dan seorang laki-laki, yang seumuran denganku, sudah berada di depan pintu dan memutar sebuah kunci di kenopnya.
Saat pintu berhasil terbuka, aku melihat pemandangan yang tak lazim. Anakyang bertindik di hidung, terkapar di lantai sambil meronta seolah sedang kesakitan. Teman laki-lakinya memegangi tubuhnya sambil meneriakkan namanya dengan panik.
Sedangkan pandangan kedua gadis itu seolah terhipnotis dan mereka terpaku begitu saja.
"Waduh, arek-arek iki! Tono, panggil Mbah Garong sekarang!"
Lelaki itu mengangguk dan berlari meninggalkan ruangan. Bu Mina masuk ke dalam kamar mandi dan kembali membawa segayung air.
Ia mengucapkan sesuatu yang tidak kukenal dan meminum air dalam gayung sebelum menyemburkannya ke wajah anak malang itu.
"Mbak Delilah, tolong tekan jempol kaki kirinya, ya. Sekeras mungkin."
Aku menurutinya dan merasa aneh saat menyentuh kaki yang sedingin es itu. Kutekan jempol kaki yang lebih terasa seperti beton. Bagaimana bisa kaki manusia bisa terasa seperti itu?
Kupikir semuanya berakhir saat anak laki-laki itu berhenti mengejang. Perlahan ia bangun dan duduk. Matanya hitam gelap dan nampak kosong. Ia memandangku lekat-lekat.
Teman lelakinya menghembuskan nafas lega sedangkan Bu Minah masih terlihat tegang.
"Kowe lapo mrene?" Suara anak laki-laki itu terdengar lebih dalam dan serak dari remaja kebanyakan.
"Apa?" Tanyaku bingung karena tak mengerti apa yang dikatakannya.
"Kowe ora pantes ngidek lemah ndek kene," Anak laki-laki itu kemudian menggeram padaku. "Mati! Mati! Mati!"
Aku berani bersumpah bahwa mata anak itu berubah semerah darah sebelum ia meloncat untuk mencekik leherku.
Orang yang mereka panggil sebagai Mbah Garong ternyata seorang wanita yang sedikit lebih tua daripada Bu Minah. Perawakannya tinggi besar dengan rambut putih bergelombang yang diurai begitu saja. Mata hitamnya menatapku tajam saat aku sedang mengelus bekas cekikan di leher. Si pelaku, anak laki-laki itu, pingsan tak sadarkan diri setelah Bu Minah memukul bagian belakang kepalanya dengan gayung. Saking kerasnya pukulan itu, senjata yang dipegangnya pecah menjadi dua. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan Tono dan Mbah Garong tiba di kamar itu dengan wajah panik. Kami semua, kecuali Mbah Garong yang akan 'membersihkan' tempat kejadian, pindah ke kamar bawah. Kami rebahkan anak laki-laki itu di atas kasur. Suasana hening yang menegangkan itu berlangsung cukup lama. Sekembalinya Mbah Garong, ketiga anak yang tersisa langsung menangis saat
Dengan nafas memburu, mataku terbuka lebar. Jantungku berdebar sangat keras seolah sanggup melompat dari tenggorokan.Aku berkedip dua kali saat menyadari bahwa aku sendirian. Langit-langit di kamar juga nampak normal. Mungkinkah ini hanya mimpi?Tak perlu menunggu lebih lama, aku segera mengambil ponsel sebelum melompat dari kasur dan berlari menuju lantai bawah.Aku merasa lega sekali sampai rasanya ingin memeluk Murni, yang kebetulan lewat di koridor bawah, kalau saja ia tidak membawa secangkir teh di atas nampan plastik tersebut. "Oh, Murni! Syukurlah!" Alis perempuan itu terangkat sebelah, "Mbak Delilah? Kenapa? Saya pikir sudah tidur." "Aku bermimpi buruk," Kataku sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk menjelaskan lebih detail. "Kamu mau pergi ke mana? Aku boleh ikut?" Murni mengangguk, "Boleh, Mbak. Anak yang tadi kesurup
"Jangan keras-keras, Mbak." Begitu kata Murni tatkala sebuah pekikan keluar dari mulutku. Palu itu ternyata menyasar pada tembok di belakang pundakku. "Kau ini bikin kaget saja." Kataku sambil mengambil dua langkah menjauhinya. "Maaf, Mbak. Enggak sengaja." Jawabnya sambil tersenyum malu. Ketika aku melihat arah sasaran palunya, alih-alih tembok yang retak, di sana tidak ada perubahan apapun. Padahal aku yakin sekali, dia memukulnya dengan keras. "Ikut aku, Mbak." Kali ini Murni mengatakannya sambil mengembalikan palu itu di tempat semula. "Kemana?" "Sudah ikut saja." "Kau tidak akan mengagetkan aku lagi 'kan?" Murni terkekeh, "Tidak, Mbak." Aku memutar bola mataku dan kembali berjalan mengekori Murni. Dari ruang laundry, kami pindah ke seberang koridor memasuki sebuah pintu bewarna cokelat kal
"Kamu itu tetap saja ceroboh!" Kata Bu Minah pada Murni sambil mencubit lengannya. "Kalau pakai mesin cuci itu ya mbok yang teliti! Masa kamu nyuci ndak pake sabun! Sudah begitu, bajunya kenapa ndak dipisah? Kan jadi kelunturan semua baju sama spreinya! Sini kamu, tak ajarin cara nyuci yang benar."Murni menghela nafas lega, "Oalah, Bu. Kupikir ada apa. Iya, iya. Nanti tak bereskan. Sudah, Ibu istirahat saja."Bu Minah langsung berkacak pinggang. "Kamu itu selalu saja nggampangno semua urusan! Wes lah, ayo balik ke londre.""Tapi, Bu. Saya mau nemenin Mbak Delilah dulu. Kasian ndak berani masuk kamar karena barusan mimpi buruk."Bu Minah lalu mengalihkan pandangannya kepadaku dengan sorot mata ingin tahu, "Mimpi buruk macam apa, Nduk?"Belum sempat aku menjawab, Murni buru-buru menyela, "Mimpi buruk ya mimpi buruk, Bu. Sudah ya, tak balik ke kamar Mbak Delilah."
Menurut cerita Murni, Gilang adalah anak yang pendiam dan cukup pintar. Terlepas dari pengabaian teman-temannya, dia memang hanya berbicara seperlunya. Daripada bermain-maian, ia lebih suka menyendiri dan menenggelamkan diri dalam buku bacaannya di perpustakaan. Bahkan para guru juga memilih untuk tidak berurusan dengannya.Pernah suatu ketika Gilang terlambat masuk sekolah, biasanya anak-anak yang terlambat akan dihukum lari keliling lapangan. Tapi peraturan sekolah itu sama sekali tidak berlaku untuknya. Entah karena sifat abai atau karena orang tua Gilang memberi sumbangan yang besar untuk pengembangan sekolah. Hal ini mengundang rasa iri dari teman-temannya. Namun, mereka lebih memilih untuk diam serta menyimpan perasaan itu dalam-dalam. "Bukankah itu tidak adil? Bukan keinginan Gilang untuk lahir menjadi Rahardjodiningrat, 'kan?Dia seharusmya diperlakukan biasa saja. Tid
Aku iri pada Murni yang masih bisa mengantuk di situasi seperti ini. Tono merangkul Murni,yang sudah membungkus tubuhnya dengan selimut, sesekali perempuan itu menguap lebar. Bu Minah duduk di seberang kedua orang itu. Sedangkan Mbah Garong dan aku mengambil tempat duduk paling jauh. Tapi percuma saja, suaranya lantang sekali hingga aku yakin bahwa anak-anak muda dalam kamar itu bisa mendengarnya. Kami sedang berada di ruang makan lagi. Aku sampai bisa menghapal titik noda di tembok ruangan ini. "Aku tanya sekali lagi. Apa yang kau lakukan pada makhluk itu? Tidak mungkin ia bisa sampai menunjukkan seribu wajahnya kalau bukan karena merasa terdesak." "Mana aku tahu. Aku sudah menjelaskan kronologinya dengan jelas. Terserah kau akan mempercayainya atau tidak." Sahutku pura-pura sebal. Aku memang menceritakannya nyaris secara keseluruhan. Hal yang tidak kuceritakan hanyal
"Dila, kamu enggak bangun? Sekarang udah jam enam." Mataku langsung terbuka lebar begitu mendengarnya.Dan benar saja, pemilik suara itu adalah Gilang yang sedang memelukku. Wajahnya kelihatan segar dan kaos lengan pendek warna hitamnya nampak kusut."Morning, Princess." Sapanya sambil mengecup puncak kepalaku. "Mimpi buruk lagi? Semalaman kamu gelisah sekali.""Apa?!" Teriakku spontan sambil duduk di atas ranjang. Kulemparkan pandangan ke segala arah dan mendapati bahwa kami ada di dalam kamar di apartemen.Ruangan berukuran dua belas meter persegi ini secara khusus hanya berisi ranjang, sebuah AC, dan dua lemari sedang berisi baju-baju kami.Itu saja.Tak ada televisi, komputer, bingkai foto atau apapun. Kedua ponsel kami yang sedang dalam posisi charging, tergeletak begitu saja di atas lantai.Lampu bohlam putih yang t
Suasana begitu lengang ketika aku menyelinap ke dalam mobil milik anak-anak muda itu. Begitu aku menginjak gas, mobil Jeep putih itu berjalan dengan lancar.Segalanya begitu lancar seolah semesta memang merestui rencana ini.Aku menoleh ke arah spion dan sepertinya tak ada yang menyadari bahwa aku sedang mencuri.. ralat, maksudku, meminjamnya sampai siang ini.Mimpi itu membuatku gelisah. Mungkin saja, Gilang memang membutuhkanku.Dari awal, aku sudah tak berencana pulang tanpa membawa Gilang. Sifat sentimental-ku saja yang berlebihan dan mengacaukan semua rencanaku.Mataku sesekali melirik ke layar ponsel. Untungnya, peta dari aplikasi ini bisa diakses meski aku sedang tidak berada dalam jaringan. Tentu saja tujuannya adalah posisi ponsel Gilang.Tinggal tiga kilometer lagi.Aku kembali memfokuskan diri ke jalan satu arah yang berbatu ini. Kali in
Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra
Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi
“Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s
Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan
“Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah
“Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel