Murni datang di saat waktu yang kurang tepat. Ia membawa troli tiga tingkat yang terbuat dari alumunium kecil yang mengangkut sebakul besar nasi, satu panci berukuran sedang berisi sayur asem, beberapa potong tempe goreng dan semangkuk kecil sambal terasi.
Rak keduanya berisi setumpuk piring beserta alat makannya, tiga buah gelas belimbing, dan sebuah kendi besar, dari tanah liat, yang kuduga berisi air putih. Rak ketiganya dibiarkan kosong begitu saja.
"Silahkan, Mbak." Begitu katanya sambil menaruh piring dan sendok di hadapanku.
"Ayo, Mbak. Sayur asem buatan Murni dijamin enak dan seger. Cocok untuk menu makan siang."
"Terima kasih, Bu. Tapi, saya penasaran mengenai kutukan yang ibu katakan." Kataku sambil menyendokkan nasi ke piring.
Murni yang mendudukkan diri di sebelah ibunya, menggelengkan kepalanya,"Oalah, Bu. Kok selalu cerita yang bukan-bukan sih? Mbak Delilah ini calon istrinya Gilang, lho."
"Justru karena calon isteri, dia yo harus tau, lho." Jawab Bu Minah sebelum mengunyah makanannya.
"Tapi, seharusnya Gilang yang cerita, Bu. Aku ndak mau kalau kita ini dianggap lancang."
"Halah, halah. Sudah kamu diam saja, Nduk. Biar ibu yang selesaikan semuanya."
Melihat sifat keras kepala milik ibunya membuat Murni menghela nafas pasrah dan kembali fokus kepada makananya.Bu Minah kemudian mulai bercerita padaku yang sudah tak sabar. "Jadi gini, Mbak. Keluarganya Gilang itu memang yang paling kaya di desa ini. Cuma, mereka memang bernasib sial. Beberapa anggota keluarga mereka banyak yang meninggal di usia muda. "
"Lalu apa hubungannya dengan Gilang?"
Murni tiba-tiba melirik ibunya dengan pandangan seperti sedang mengantisipasi sesuatu.
Bu Minah berdehem sebelum berkata, "Ya karena kutukan itu menular, Mbak. Bisa menantu, cucu, saudara ipar sampai pembantu di rumah itu. Pokoknya semua orang yang berhubungan dengan keluarga Raharjodiningrat pasti kena getahnya. Makanya orang-orang yang takut mulai menyebarkan gosip kalau rumah itu adalah sarang setan."
"Aku melongo mendengar cerita yang tak masuk akal tersebut, "Jadi, alasan Gilang kesana..,"
"Ya untuk memutuskan diri sepenuhnya dari keluarga gila itu!"
"Ibu, jangan begitu." Kata Murni sambil menuangkan air putih dari kendi cokelat itu ke dalam gelas ibunya.
"Memangnya keluarga waras mana yang memperlakukan anaknya seperti itu? Ndak boleh begini, ndak boleh begitu. Anak sekarang mana bisa diatur macam begitu?"
Aku masih tak mengerti tapi urung mengatakan sesuatu saat melihat wajah kesal Bu Minah.
Wanita itu segera menghabiskan isi gelasnya sebelum kembali melanjutkan ceritanya, "Kutukan mati muda itu konon bisa dipatahkan dengan pernikahan sedarah, Mbak. Gilang sendiri hampir saja dinikahkan sama sepupunya. Untungnya dia langsung kabur ke Jakarta. Cuma ya, mungkin Gilang sudah paham kalau kabur saja enggak cukup."Jantungku seolah diremas oleh tangan dingin. Bagaimana bisa hanya dengan satu kalimat saja, membuat duniaku berjungkir balik?
"Saya sebenarnya juga kurang paham dengan maksud Gilang untuk memutuskan diri dari ikatan keluarganya. Mungkin dia ingin meminta restu untuk menikahi Mbak Delilah." Katanya lagi.
"Tapi apa kutukan itu benar adanya, Bu? Saya masih belum sepenuhnya percaya."
Bu Minah tersenyum sambil memegang tanganku, "Tenang saja, Mbak. Kutukan seberat apapun akan kalah dengan kuasa Tuhan. Percaya saja, Gilang pasti akan berusaha yang terbaik."
Ada sesuatu yang terasa mencekik leherku. Sesak meski di sisi lain aku merasa terkhianati karena ia sama sekali tak pernah menceritakan hal ini kepadaku.
Tapi mungkin Gilang tahu mengenai reaksiku yang anti dengan hal semacam ini sehingga memutuskan untuk memendamnya sendiri.
"Tolong jangan menyalahkan diri sendiri, Mbak," kata Murni dengan nada agak hati-hati seolah ia tahu benar isi hatiku. "Semua laki-laki itu memiliki sifat yang sok kuat. Malu kalau kelemahannya diketahui pasangannya."
"Murni benar, Mbak. Kalau begitu bagaimana kalau menginap saja di sini? Besok pagi, biar Tono yang mengantar ke sana."
"Saya ingin segera bertemu Gilang. Bukannya tidak mempercayai cerita Bu Minah, tapi saya ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri."
Perempuan tua itu mengangguk maklum, "Iyo, Mbak. Saya tahu. Cuma Tono ini kalau agak sore saja lewat daerah situ, sudah enggak berani. Badannya saja yang besar, tapi nyalinya kecil seperti semut."
Murni hanya tersenyum mendengar ejekan mengenai suaminya itu.
"Di penginapan ini cuma kami bertiga saja, Mbak. Tono sudah saya anggap seperti anak sendiri. Jadi, kalau ada apa-apa sama dia, nanti saya juga yang kesulitan."
Aku memaksakan seulas senyum. Satu hari lagi terbuang tanpa bisa melihat wajah Gilang. Aku mulai frustasi tapi setidaknya ada sebuah petunjuk yang mendekatkan kami secara emosional.
Keluarga kami memang sama-sama bermasalah.
"Baiklah, Bu. Kalau bisa, saya mau menempati kamar yang ditinggali Gilang kemarin."
Murni mengangguk, "Baik, Mbak. Cuma kamar mandinya memang agak bermasalah. Nanti kalau perlu, pakai kamar mandi saya saja."
Bu Minah lalu berdiri dan menawarkan bantuan untuk menunjukkan kamar yang akan kutempati. Aku mengangguk dan berjalan mengekorinya.
Penginapan itu memiliki satu koridor yang panjang. Anak tangga ada di pojok koridor. Setiap koridor terdapat empat kamat yang berukuran cukup besar.
Kami naik tangga menuju lantai dua dan berhenti di depan pintu kedua dari kanan.
Bu Minah membuka pintu kamar dan menekan saklar untuk menyalakan lampu.
"Terima kasih, Bu." Kataku saat memasuki ruangan itu.
Ada sebuah ranjang besar dan dua buah lemari dengan pintu kaca di dalam kamar bertembok putih tersebut.
Jendela kamar menghadap persis ke kebun jagung. Aku mengingatkan diri untuk menutupnya dengan gorden.
Persetan dengan pemandangan perdesaan. Tapi sejak tadi bayangan mengenai film horor di kebun jagung itu membuatku terngiang. Berani sumpah, aku bukanlah penakut.
Bukannya pergi, tapi perempuan itu malah menutup pintu lalu berjalan mendekatiku. "Tadi karena ada Murni, ibu enggak berani bicara banyak. Dia paling ndak suka kalau keluarga temennya itu dijelek-jelekkan padahal Mbak ini 'kan perlu tahu segalanya."
"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah cukup mengerti mengenai kondisi keluarga Gilang."
Ia menggelengkan kepalanya, "Ada satu lagi yang belum Ibu ceritakan. Kalau seandainya keluarga Gilang meminta Mbak Delilah untuk menginap, langsung tolak saja. Begitu juga kalau ditawari makan atau minum. Kalau bisa begitu kesana, langsung ajak Gilang pulang ke Jakarta. Atau menginap di sini dulu juga, ndak apa-apa."
"Memangnya kenapa ya, Bu?"
"Ya, buat berjaga-jaga saja, Mbak. Siapa tau dicampuri sesuatu."
Aku nyaris tertawa kalau tidak melihat wajah seriusnya. Mungkin dipikirnya aku masih anak kecil, "Seperti obat tidur gitu ya, Bu?"
"Kalau cuma tidur sebentar ya ndak apa-apa. Tapi susah kalau tidur selamanya."
"Apa?!"
"Keluarganya Gilang itu paling ndak suka sama orang luar. Pergaulan mereka ya cuma sebatas di keluarganya saja. Sama sekali ndak pernah mau kumpul-kumpul sama warga sekitar."
"Selama saya bersama Gilang, semuanya akan aman."
"Selama Mbak bersama Tuhan, semuanya akan aman," koreksinya sambil tersenyum tipis. "Kalau seandainya Gilang tidak ada langsung pulang saja kesini. Nanti saya mintakan nomor telepon Tono untuk Mbak."
Aku merasa cukup tersentuh mendengar ucapannya yang separuh terdengar paranoid sedangkan sisanya hanya ada ketulusan.
"Jaga diri baik-baik, ya, Mbak."
Lalu dia mengenggam tanganku sebentar sebelum pergi sambil tersenyum hangat.
Aku membuka tanganku dan mendapati sebuah gunting serta sebuah plastik berisi bunga disana.
Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. A
Orang yang mereka panggil sebagai Mbah Garong ternyata seorang wanita yang sedikit lebih tua daripada Bu Minah. Perawakannya tinggi besar dengan rambut putih bergelombang yang diurai begitu saja. Mata hitamnya menatapku tajam saat aku sedang mengelus bekas cekikan di leher. Si pelaku, anak laki-laki itu, pingsan tak sadarkan diri setelah Bu Minah memukul bagian belakang kepalanya dengan gayung. Saking kerasnya pukulan itu, senjata yang dipegangnya pecah menjadi dua. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan Tono dan Mbah Garong tiba di kamar itu dengan wajah panik. Kami semua, kecuali Mbah Garong yang akan 'membersihkan' tempat kejadian, pindah ke kamar bawah. Kami rebahkan anak laki-laki itu di atas kasur. Suasana hening yang menegangkan itu berlangsung cukup lama. Sekembalinya Mbah Garong, ketiga anak yang tersisa langsung menangis saat
Dengan nafas memburu, mataku terbuka lebar. Jantungku berdebar sangat keras seolah sanggup melompat dari tenggorokan.Aku berkedip dua kali saat menyadari bahwa aku sendirian. Langit-langit di kamar juga nampak normal. Mungkinkah ini hanya mimpi?Tak perlu menunggu lebih lama, aku segera mengambil ponsel sebelum melompat dari kasur dan berlari menuju lantai bawah.Aku merasa lega sekali sampai rasanya ingin memeluk Murni, yang kebetulan lewat di koridor bawah, kalau saja ia tidak membawa secangkir teh di atas nampan plastik tersebut. "Oh, Murni! Syukurlah!" Alis perempuan itu terangkat sebelah, "Mbak Delilah? Kenapa? Saya pikir sudah tidur." "Aku bermimpi buruk," Kataku sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk menjelaskan lebih detail. "Kamu mau pergi ke mana? Aku boleh ikut?" Murni mengangguk, "Boleh, Mbak. Anak yang tadi kesurup
"Jangan keras-keras, Mbak." Begitu kata Murni tatkala sebuah pekikan keluar dari mulutku. Palu itu ternyata menyasar pada tembok di belakang pundakku. "Kau ini bikin kaget saja." Kataku sambil mengambil dua langkah menjauhinya. "Maaf, Mbak. Enggak sengaja." Jawabnya sambil tersenyum malu. Ketika aku melihat arah sasaran palunya, alih-alih tembok yang retak, di sana tidak ada perubahan apapun. Padahal aku yakin sekali, dia memukulnya dengan keras. "Ikut aku, Mbak." Kali ini Murni mengatakannya sambil mengembalikan palu itu di tempat semula. "Kemana?" "Sudah ikut saja." "Kau tidak akan mengagetkan aku lagi 'kan?" Murni terkekeh, "Tidak, Mbak." Aku memutar bola mataku dan kembali berjalan mengekori Murni. Dari ruang laundry, kami pindah ke seberang koridor memasuki sebuah pintu bewarna cokelat kal
"Kamu itu tetap saja ceroboh!" Kata Bu Minah pada Murni sambil mencubit lengannya. "Kalau pakai mesin cuci itu ya mbok yang teliti! Masa kamu nyuci ndak pake sabun! Sudah begitu, bajunya kenapa ndak dipisah? Kan jadi kelunturan semua baju sama spreinya! Sini kamu, tak ajarin cara nyuci yang benar."Murni menghela nafas lega, "Oalah, Bu. Kupikir ada apa. Iya, iya. Nanti tak bereskan. Sudah, Ibu istirahat saja."Bu Minah langsung berkacak pinggang. "Kamu itu selalu saja nggampangno semua urusan! Wes lah, ayo balik ke londre.""Tapi, Bu. Saya mau nemenin Mbak Delilah dulu. Kasian ndak berani masuk kamar karena barusan mimpi buruk."Bu Minah lalu mengalihkan pandangannya kepadaku dengan sorot mata ingin tahu, "Mimpi buruk macam apa, Nduk?"Belum sempat aku menjawab, Murni buru-buru menyela, "Mimpi buruk ya mimpi buruk, Bu. Sudah ya, tak balik ke kamar Mbak Delilah."
Menurut cerita Murni, Gilang adalah anak yang pendiam dan cukup pintar. Terlepas dari pengabaian teman-temannya, dia memang hanya berbicara seperlunya. Daripada bermain-maian, ia lebih suka menyendiri dan menenggelamkan diri dalam buku bacaannya di perpustakaan. Bahkan para guru juga memilih untuk tidak berurusan dengannya.Pernah suatu ketika Gilang terlambat masuk sekolah, biasanya anak-anak yang terlambat akan dihukum lari keliling lapangan. Tapi peraturan sekolah itu sama sekali tidak berlaku untuknya. Entah karena sifat abai atau karena orang tua Gilang memberi sumbangan yang besar untuk pengembangan sekolah. Hal ini mengundang rasa iri dari teman-temannya. Namun, mereka lebih memilih untuk diam serta menyimpan perasaan itu dalam-dalam. "Bukankah itu tidak adil? Bukan keinginan Gilang untuk lahir menjadi Rahardjodiningrat, 'kan?Dia seharusmya diperlakukan biasa saja. Tid
Aku iri pada Murni yang masih bisa mengantuk di situasi seperti ini. Tono merangkul Murni,yang sudah membungkus tubuhnya dengan selimut, sesekali perempuan itu menguap lebar. Bu Minah duduk di seberang kedua orang itu. Sedangkan Mbah Garong dan aku mengambil tempat duduk paling jauh. Tapi percuma saja, suaranya lantang sekali hingga aku yakin bahwa anak-anak muda dalam kamar itu bisa mendengarnya. Kami sedang berada di ruang makan lagi. Aku sampai bisa menghapal titik noda di tembok ruangan ini. "Aku tanya sekali lagi. Apa yang kau lakukan pada makhluk itu? Tidak mungkin ia bisa sampai menunjukkan seribu wajahnya kalau bukan karena merasa terdesak." "Mana aku tahu. Aku sudah menjelaskan kronologinya dengan jelas. Terserah kau akan mempercayainya atau tidak." Sahutku pura-pura sebal. Aku memang menceritakannya nyaris secara keseluruhan. Hal yang tidak kuceritakan hanyal
"Dila, kamu enggak bangun? Sekarang udah jam enam." Mataku langsung terbuka lebar begitu mendengarnya.Dan benar saja, pemilik suara itu adalah Gilang yang sedang memelukku. Wajahnya kelihatan segar dan kaos lengan pendek warna hitamnya nampak kusut."Morning, Princess." Sapanya sambil mengecup puncak kepalaku. "Mimpi buruk lagi? Semalaman kamu gelisah sekali.""Apa?!" Teriakku spontan sambil duduk di atas ranjang. Kulemparkan pandangan ke segala arah dan mendapati bahwa kami ada di dalam kamar di apartemen.Ruangan berukuran dua belas meter persegi ini secara khusus hanya berisi ranjang, sebuah AC, dan dua lemari sedang berisi baju-baju kami.Itu saja.Tak ada televisi, komputer, bingkai foto atau apapun. Kedua ponsel kami yang sedang dalam posisi charging, tergeletak begitu saja di atas lantai.Lampu bohlam putih yang t
Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra
Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi
“Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s
Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan
“Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah
“Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel