Penginapan Merinda nampak seperti rumah biasa. Kecuali ukuran bangunannya yang paling besar diantara pemukiman warga.
Tapi sepertinya cukup berlebihan kalau kubilang sebagai pemukiman warga.
Jarak antar rumah sangat jauh. Sepanjang perjalanan aku bisa menghitung jumlah rumah dengan kedua tanganku.
Daerah ini lebih banyak di dominasi dengan kebun jagung yang luas. Mengingatkanku pada film horror yang diadaptasi dari novel Stephen King yang terkenal itu.
Tukang ojek yang mengantarku memberondongiku dengan jutaan pertanyaan. Tapi aku sudah terlalu malas untuk menjawab.
Ketika kami sampai di penginapan, ia menolak uang pemberianku dan langsung pergi begitu saja ketika aku turun.
"Gak sopan," keluhku sambil melangkahkan kaki ke penginapan tersebut.
Papan nama penginapan itu nampak baru saja di cat ulang dengan warna putih dan ditulis dengan cat merah yang mencolok.
Di sekelilingku dipenuhi pohon-pohon yang rindang. Aku tidak mengenali jenisnya selain pohon nangka dan jambu air yang kebetulan sedang berbuah.
Halamannya sudah disapu dengan bersih. Tapi, aku bisa melihat tumpukan rumput dan daun kering di bawah pepohonan. Sapu lidinya tergeletak tak jauh dari tumpukan sampah tersebut.
Siapapun yang menyapu, pasti orang yang ceroboh. Kemungkinan besar juga memiliki sifat malas.Aku mendorong pintu masuk dan mendapati lobi dalam keadaan kosong.
Lobi penginapan hanya berupa bangku kecil dari kayu bewarna cokelat. Serta beberapa kursi kecil untuk tamu. Ada sebuah buku besar bewarna biru tua di meja resepsionis. Kuduga itu adalah buku untuk mencatat tamu yang menginap.
Aku menekan bel kecil yang berada di sebelah buku tersebut.
Setelah tiga kali, barulah muncul seorang perempuan berwajah manis berkulit agak gelap yang kelihatannya sebaya denganku. Ia memakai daster panjang bermotif batik dan dilapisi dengan sebuah celemek putih.Ia tersenyum sumringah saat melihatku. Logat jawanya terdengar kental, "Sugeng rawuh, Mbak. Selamat datang, mau menginap berapa hari? Tarif semalamnya seratus ribu saja. Sudah termasuk tiga kali makan juga ada air panas,"
Aku menggeleng dan menunjukkan layar ponselku. Kupasang wajah tergarangku agar ia tahu bahwa aku tak ingin mendengar penolakan," Jalan Kenongosari nomor lima. Antarkan saya ke tempat itu,"
Alih-alih penolakan, perempuan itu membuka buku besar itu lalu jemarinya menelusuri halaman demi halaman. Ia membalikkan bukunya dan menunjuk sebuah nama yang kukenal dengan baik.
Jantungku mencelos dan tanganku gemetaran. Sensasi menyebalkan saat kutahu Gilang, bedebah brengsek yang kusayangi itu, ternyata menginap di sini.
"Mas Gilang sudah pulang kemarin lusa, Mbak,"
"Pulang ke Jakarta?" Secara refleks, aku menelpon ponsel Gilang yang ternyata masih tidak aktif.
Perempuan itu menggeleng, "Bukan, tapi ke rumahnya. Saya juga kaget pas melihat Mas Gilang. Sudah sebelas tahun lebih kalau tidak salah,"
Ada sesuatu yang asing di dalam dadaku saat mendengarnya, "Kamu kenal sama Gilang?"
"Kami dulu teman sekolah, Mbak." Jawabnya malu-malu. Namun, saat ia melihat kegusaran yang nampak pada wajahku, dia segera menambahkan, "Suami saya juga sekelas dengan Mas Gilang,"
"Gilang itu pacar saya, Mbak. Kami ada rencana menikah dalam waktu dekat," Aku merasa perlu mengatakan hal ini. Meskipun aku sendiri tidak begitu yakin dengan definisi dari kata 'dalam waktu dekat.'
"Iya, saya tahu. Mas Gilang kemarin sempat cerita kalau punya pacar yang cantik di Jakarta," Ia tersenyum ramah. "Dan, tebakannya juga benar. Katanya pacarnya nanti pasti akan kesini."
Kuharap wajahku tidak memerah. Bukan karena malu. Tapi karena sebal. Seolah-olah ia sudah memprediksi segalanya. Aku merasa sudah terjebak dalam permainannya.
"Nama saya Murni, Mbak." Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Aku meraih tangannya namun ketika aku ingin memperkenalkan diri, Murni mendahuluiku, "Namanya Mbak ini pasti Delilah,"
"Gilang cerita apa saja mengenai saya?" Tanyaku sambil melepas jabatan tangannya.
"Hal yang bagus-bagus saja. Saya yakin Mas Gilang sangat mencintai Mbak Delilah,"
Aku mengerutkan dahi. Masih tidak mengerti hal bagus apa saja yang bisa ia dapatkan dariku. Kuduga, Gilang pasti mengarang cerita.
"Murni, jeding e di kamar sebelas kok mati yo air e?" Seorang wanita paruh baya yang berwajah mirip seperti Murni datang dengan kepanikan yang tergambar di mukanya. Meski bertubuh kurus dan rambutnya penuh uban, ia masih terlihat dalam kondisi yang prima. Langkahnya pun terdengar mantap.
"Memang kamar mandinya sering mampet, Bu. Ini juga masih dibenerin Mas Tono," Murni kemudian menoleh ke arahku, "Itu ibu saya, Mbak. Namanya Ngatminah, tapi biasa dipanggil Bu Minah,"
Aku mengangguk memberi salam sedangkan Bu Minah sendiri langsung menyalamiku, "Iki pasti pacar e Gilang 'kan? Mirip sama di foto,"
"Di foto?"
Bu Minah mengangguk lalu ia mengalihkan pandangannya ke anak perempuannya, "Nduk, kamu siapkan makan siang yo. Pacar e Gilang ini pasti belum sempat makan,"
Aku berusaha menolak karena tak ingin membuang banyak waktu tapi Murni sudah menghilang dari pandanganku.
Bu Minah menepuk-nepuk lenganku dengan hangat, "Sudah biarkan, Mbak. Enggak baik menolak makanan. Lagipula, Gilang itu sudah saya anggap seperti anak sendiri. Jadi, Mbak santai saja,"
"Terimakasih, Bu. Tapi saya belum lapar. Lagipula saya juga ingin segera bertemu dengan Gilang dan kembali ke Jakarta,"
"Jakarta itu ndak pindah-pindah kok, Mbak. Jadi ndak perlu dikejar. Wes lah, mendingan kita ngobrol dulu ya di ruang makan. Kebetulan tamu lagi sepi,"
Aku tidak tahu apakah karena Bu Minah sangat kuat atau tubuhku saja yang lemah. Tapi, satu lengannya sudah sanggup menyeret tubuhku dengan mantap. Aku merasa seperti berjalan sambil setengah melayang.
Ruang makannya nampak sederhana. Cukup luas meski hanya terdiri dari tujuh meja dari kayu bercat cokelat gelap. Masing-masing meja berisi empat kursi yang saling berhadapan.
Temboknya bewarna oranye muda dan ada beberapa lukisan bergambar wayang menghiasai tembok. Dua buah pot besar berisi tumbuhan seperti pohon palem berada di sudut ruangan. Memberi nuansa teduh yang menyenangkan.
Kami duduk berhadapan. Bu Minah menggenggam kedua tanganku sambil bertanya bagaimana caraku menemukan penginapan ini. Lalu kuceritakan pengalaman perjalananku ini secara singkat.
Senyumnya terus mengembang dan aku baru menyadari kalau giginya masih utuh serta bewarna putih cemerlang, "Supir yang Mbak temui itu pasti Mas Giman. Kakak mbarep saya. Eh, maksudnya kakak sulung. Yang paling tua. Dia memang suka membanggakan tempat ini, Mbak. Maklum, kami dulu tinggal bersama disini. Lima bersaudara, saya yang paling terakhir. Meskipun begitu, semua saudara saya sudah jarang pulang ke sini. Sibuk sama usahanya di kota,"
Aku mengangguk dan sedikit tersenyum karena tak tahu harus berkomentar apa. Bu Minah mengingatkanku pada mayoritas wanita tua yang suka berbicara."Pasti sulit sekali ya, Mbak. Karena memang endak banyak orang datang ke sini. Orang-orang dari stasiun tivi yang malah sering kesini. Mau meliput apa sih itu namanya ya. Makhluk as, as, as apa ya?"
"Mungkin maksudnya astral," Kataku mencoba mengoreksi. Aku separuh menduga kalau mungkin karena sering bertemu dengan kru dari stasiun tivi, bahasa Indonesia-nya setingkat lebih baik daripada Murni.
Bu Minah mengangguk mantap, " Iya itu. Meskipun menurut saya, ada beberapa jenis manusia yang lebih menyeramkan daripada setan,"
"Itu benar, Bu." Sayangnya, aku tak tertarik atau bahkan mempercayai omong kosong semacam hantu atau makhluk gaib semacam itu. Semua hal itu hanya akal-akalan stasiun tivi untuk menarik penonton. Lagipula, aku sudah pernah bertemu hal yang lebih menakutkan dari sekedar dedemit yang tak berwujud.
"Tapi bukan berarti hal-hal yang tak kasat mata itu tidak ada," katanya sambil menepuk tanganku dengan lembut. "Saya berharap, baik Mbak Delilah dan Gilang ini terus berbahagia. Sepertinya hubungan kalian juga tidak mudah,"
Dasar Gilang! Apa saja yang sebenarnya dia ceritakan pada orang-orang?
Mata cokelat milik lawan bicaraku tiba-tiba terlihat sendu, "Mungkin, Gilang sudah menyadarinya. Makanya dia pulang ke tempat itu,"
"Apa maksudnya, Bu?" Tanyaku dengan rasa ingin tahu.
Untuk pertama kalinya, perempuan itu memandangku serius. Mata cokelatnya menatapku lekat-lekat,"Tentu saja, Gilang ingin melepaskan diri sepenuhnya dari kutukan itu."
Murni datang di saat waktu yang kurang tepat. Ia membawa troli tiga tingkat yang terbuat dari alumunium kecil yang mengangkut sebakul besar nasi, satu panci berukuran sedang berisi sayur asem, beberapa potong tempe goreng dan semangkuk kecil sambal terasi.Rak keduanya berisi setumpuk piring beserta alat makannya, tiga buah gelas belimbing, dan sebuah kendi besar, dari tanah liat, yang kuduga berisi air putih. Rak ketiganya dibiarkan kosong begitu saja."Silahkan, Mbak." Begitu katanya sambil menaruh piring dan sendok di hadapanku."Ayo, Mbak. Sayur asem buatan Murni dijamin enak dan seger. Cocok untuk menu makan siang.""Terima kasih, Bu. Tapi, saya penasaran mengenai kutukan yang ibu katakan." Kataku sambil menyendokkan nasi ke piring.Murni yang mendudukkan diri di sebelah ibunya, menggelengkan kepalanya,"Oalah, Bu. Kok selalu cerita yang bukan-bukan sih? Mbak Delilah ini c
Kurebahkan diri di atas kasur yang agak keras itu sambil melihat benda pemberian Bu Minah yang tidak ku ketahui maksudnya.Akhirnya benda itu kumasukkan ke dalam tas dan memutuskan untuk tidur. Perjalanan hari ini cukup melelahkan.Tapi, aku jadi tertarik untuk mencari sesuatu di Booble, salah satu mesin pencari informasi secara daring. Kedua ibu jariku secara fasih mengetikkan nama penginapan ini pada layar ponsel.Seperti yang dikatakan orang, desa ini memang terkenal karena memiliki tur wisata hantu. Ku kerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan diri bahwa aku tidak salah baca.Banyak juga anak-anak muda yang menginap di tempat ini hanya untuk menguji nyali. Tempat ini biasanya ramai saat tanggal atau hari tertentu seperti malam Jumat legi maupun malam satu di bulan Suro. Aku juga sering melihat wajah Bu Minah sebagai narasumber.Tiba-tiba terdengar suara mobil yang berhenti. A
Orang yang mereka panggil sebagai Mbah Garong ternyata seorang wanita yang sedikit lebih tua daripada Bu Minah. Perawakannya tinggi besar dengan rambut putih bergelombang yang diurai begitu saja. Mata hitamnya menatapku tajam saat aku sedang mengelus bekas cekikan di leher. Si pelaku, anak laki-laki itu, pingsan tak sadarkan diri setelah Bu Minah memukul bagian belakang kepalanya dengan gayung. Saking kerasnya pukulan itu, senjata yang dipegangnya pecah menjadi dua. Dan dalam waktu yang nyaris bersamaan Tono dan Mbah Garong tiba di kamar itu dengan wajah panik. Kami semua, kecuali Mbah Garong yang akan 'membersihkan' tempat kejadian, pindah ke kamar bawah. Kami rebahkan anak laki-laki itu di atas kasur. Suasana hening yang menegangkan itu berlangsung cukup lama. Sekembalinya Mbah Garong, ketiga anak yang tersisa langsung menangis saat
Dengan nafas memburu, mataku terbuka lebar. Jantungku berdebar sangat keras seolah sanggup melompat dari tenggorokan.Aku berkedip dua kali saat menyadari bahwa aku sendirian. Langit-langit di kamar juga nampak normal. Mungkinkah ini hanya mimpi?Tak perlu menunggu lebih lama, aku segera mengambil ponsel sebelum melompat dari kasur dan berlari menuju lantai bawah.Aku merasa lega sekali sampai rasanya ingin memeluk Murni, yang kebetulan lewat di koridor bawah, kalau saja ia tidak membawa secangkir teh di atas nampan plastik tersebut. "Oh, Murni! Syukurlah!" Alis perempuan itu terangkat sebelah, "Mbak Delilah? Kenapa? Saya pikir sudah tidur." "Aku bermimpi buruk," Kataku sambil menggelengkan kepala. Menolak untuk menjelaskan lebih detail. "Kamu mau pergi ke mana? Aku boleh ikut?" Murni mengangguk, "Boleh, Mbak. Anak yang tadi kesurup
"Jangan keras-keras, Mbak." Begitu kata Murni tatkala sebuah pekikan keluar dari mulutku. Palu itu ternyata menyasar pada tembok di belakang pundakku. "Kau ini bikin kaget saja." Kataku sambil mengambil dua langkah menjauhinya. "Maaf, Mbak. Enggak sengaja." Jawabnya sambil tersenyum malu. Ketika aku melihat arah sasaran palunya, alih-alih tembok yang retak, di sana tidak ada perubahan apapun. Padahal aku yakin sekali, dia memukulnya dengan keras. "Ikut aku, Mbak." Kali ini Murni mengatakannya sambil mengembalikan palu itu di tempat semula. "Kemana?" "Sudah ikut saja." "Kau tidak akan mengagetkan aku lagi 'kan?" Murni terkekeh, "Tidak, Mbak." Aku memutar bola mataku dan kembali berjalan mengekori Murni. Dari ruang laundry, kami pindah ke seberang koridor memasuki sebuah pintu bewarna cokelat kal
"Kamu itu tetap saja ceroboh!" Kata Bu Minah pada Murni sambil mencubit lengannya. "Kalau pakai mesin cuci itu ya mbok yang teliti! Masa kamu nyuci ndak pake sabun! Sudah begitu, bajunya kenapa ndak dipisah? Kan jadi kelunturan semua baju sama spreinya! Sini kamu, tak ajarin cara nyuci yang benar."Murni menghela nafas lega, "Oalah, Bu. Kupikir ada apa. Iya, iya. Nanti tak bereskan. Sudah, Ibu istirahat saja."Bu Minah langsung berkacak pinggang. "Kamu itu selalu saja nggampangno semua urusan! Wes lah, ayo balik ke londre.""Tapi, Bu. Saya mau nemenin Mbak Delilah dulu. Kasian ndak berani masuk kamar karena barusan mimpi buruk."Bu Minah lalu mengalihkan pandangannya kepadaku dengan sorot mata ingin tahu, "Mimpi buruk macam apa, Nduk?"Belum sempat aku menjawab, Murni buru-buru menyela, "Mimpi buruk ya mimpi buruk, Bu. Sudah ya, tak balik ke kamar Mbak Delilah."
Menurut cerita Murni, Gilang adalah anak yang pendiam dan cukup pintar. Terlepas dari pengabaian teman-temannya, dia memang hanya berbicara seperlunya. Daripada bermain-maian, ia lebih suka menyendiri dan menenggelamkan diri dalam buku bacaannya di perpustakaan. Bahkan para guru juga memilih untuk tidak berurusan dengannya.Pernah suatu ketika Gilang terlambat masuk sekolah, biasanya anak-anak yang terlambat akan dihukum lari keliling lapangan. Tapi peraturan sekolah itu sama sekali tidak berlaku untuknya. Entah karena sifat abai atau karena orang tua Gilang memberi sumbangan yang besar untuk pengembangan sekolah. Hal ini mengundang rasa iri dari teman-temannya. Namun, mereka lebih memilih untuk diam serta menyimpan perasaan itu dalam-dalam. "Bukankah itu tidak adil? Bukan keinginan Gilang untuk lahir menjadi Rahardjodiningrat, 'kan?Dia seharusmya diperlakukan biasa saja. Tid
Aku iri pada Murni yang masih bisa mengantuk di situasi seperti ini. Tono merangkul Murni,yang sudah membungkus tubuhnya dengan selimut, sesekali perempuan itu menguap lebar. Bu Minah duduk di seberang kedua orang itu. Sedangkan Mbah Garong dan aku mengambil tempat duduk paling jauh. Tapi percuma saja, suaranya lantang sekali hingga aku yakin bahwa anak-anak muda dalam kamar itu bisa mendengarnya. Kami sedang berada di ruang makan lagi. Aku sampai bisa menghapal titik noda di tembok ruangan ini. "Aku tanya sekali lagi. Apa yang kau lakukan pada makhluk itu? Tidak mungkin ia bisa sampai menunjukkan seribu wajahnya kalau bukan karena merasa terdesak." "Mana aku tahu. Aku sudah menjelaskan kronologinya dengan jelas. Terserah kau akan mempercayainya atau tidak." Sahutku pura-pura sebal. Aku memang menceritakannya nyaris secara keseluruhan. Hal yang tidak kuceritakan hanyal
Guru Gan menggerakkan bibirnya tanpa suara. Aku nyaris teringat dengan ikan yang megap-megap di udara. Tak jelas apa yang sedang dia katakan saat ini. Yang jelas, aku dan Kanha menunggunya dengan sabar, seraya memperhatikan ke sekeliling kamar Aruni.Bukan apa-apa. Hanya saja, mungkin saja masih ada makhluk lain yang bersemayam dalam benda-benda aneh yang biasanya diberikan penggemarnya. Aku memang tak bisa melihat aura gelap lagi. Tapi, tak ada salahnya untuk berjaga-jaga.“Oke. Sudah selesai.”“Apa semua aman?”Meski aku tak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik penutup, Guru Gan terlihat tak nyaman. Dugaanku semakin kuat saat mendengar helaan napasnya yang berat. Jelas, ia tak terlihat seceria biasanya, “Ada beberapa hal yang ingin kupastikan. Hmm, aneh.”“Jadi, apa yang harus kami lakukan sekarang?” tanya Kanha menyela.“Sebelum itu, kita turun dulu.”Guru Gan melangkah pergi, lalu kami berdua mengikuti dari belakang. Di bawah sana, Tante Dinar sedang menunggu dengan ra
Guru Gan melajukan kendaraannya dengan tenang, tapi tidak dengan Kanha yang terlihat begitu tergesa-gesa. Terdengar dia menggerutu, entah apa yang dia ucapkan.Karena aku juga tak yakin apakah itu adalah kata-kata yang ditujukan untukku atau mungkin, hanya halusinasiku semata. Mengingat, Kanha tak biasanya sepanik ini.Mobil melewati jalan raya yang cukup padat, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah, lalu guru Gan langsung menginjak rem saat itu juga. Mendapati perjalanannya terganggu, Kanha menggerutu kesal.“Ah, sial! Kenapa harus lampu merah, sih?!”“Tenangkan dirimu, Kanha,” seru Guru Gan dengan ekspresi tengilnya.“Iya, tenanglah. Lagi pula, seharusnya aku yang seperti itu,” timpalku.“Kau tidak akan mengerti, Yas. Kanha memiliki memori kelam dengan kelompok Teratai Biru.”“Mengingatnya kembali saja sudah membuatku muak.”Kanha menunjukkan sosoknya yang tidak biasa. Dia yang biasanya terlihat tenang kali ini terlihat tergesa-gesa. Aku tak bermaksud mengorek luka lama, tapi
“Dunia ini menjadi semakin tidak aman saja,” ucap Kanha sambil menggulirkan layar ponselnya. Ia menaruh nampan berisi makanan di mejaku begitu saja. “Pagi, Yas. Sudah dengar berita terbaru?”Kuhela nafas malas. Setelah perselisihanku dengan jenglot kemarin, aku tertidur pulas begitu menyentuh kasur dan baru terbangun saat jam sarapan tiba. Beruntung tidak ada kelas yang harus kuikuti. Tapi, badanku masih terasa lelah, “Ini masih terlalu pagi untuk mendengar hal buruk.”“Eh? Bagaimana bisa kau menyimpulkan begitu? Ini berita yang sedang panas, lho!”“Raut wajahmu telah memberitahuku segalanya.”“Tidak seru! Coba lihat ini dan katakan padaku apa pendapatmu,” katanya sambil menyodorkan ponselnya kepadaku. Headline berita tentang penculikan anak perempuann terpajang di layar. Kasus itu memang sedang marak diperbincangkan, “Sudah gila, ‘kan? Dia korban ke tiga dalam bulan ini s
Hampir saja aku terkekeh.Nada sombongnya itu benar-benar membuatku kesal akan ketidak berdayaanku. Aku selalu berpikir jika aku ini cukup kuat serta tangguh untuk melawan apapun.Tapi, kusadari bahwa aku hanya sendirian dan lawanku kali ini hanya menganggapku sebagai makanan pembuka yang dapat dimakan hanya dengan sekali gigitan.Benar-benar sialan.Kupaksakan diri untuk berdiri meski kakiku gemetar. Harus kuakui bahwa aku takut.Takut setengah mati.Namun, harga diriku menolak untuk menyerah. Jika aku mati sekarang, setidaknya aku harus sedikit melawan.Kuhela nafas panjang sebelum mulai mengingat ucapan Guru Gan mengenai cara memusatkan energi pada senjata. Karena aku tak memilikinya, terpaksa kugunakan kepalan tinjuku. Dibanding Kanha, kekuatan fisikku masih jauh dibawahnya. Tapi, itu jauh lebih baik daripada terus bertahan dari serangan.Jujur saja, aku sama sekali tak melihat adanya peluang untuk memenangkan pertandingan
“Benar ini tempatnya?” tanyaku sambil memasang tali masker kain itu ke balik daun telinga.Kelvin memakai kacamata berbingkai besar itu dengan santai. Tentu saja itu hanya kacamata biasa, tanpa minus. Tapi tetap saja berhasil membuatnya terlihat seperti anak baik-baik.Apalagi rambutnya sudah disisir ke belakang dan diolesi gel hingga tertata rapi, “Tidak salah lagi. Aku tahu dengan pasti darimana asalnya jenglot pembuat onar ini. Tapi, untuk pemiliknya... Itulah alasan aku meminta tolong padamu.”“Dari semua tempat yang mengerikan, jenglot ini malah berasal dari tempat ini?”“Jangan salah sangka, Yas. Tempat ini adalah neraka bagi beberapa orang. Berbagai emosi negatif yang lahir dari sini adalah santapan yang lezat bagi makhluk-makhluk itu. Tidakkah kau mencium aroma keputusasaan, kesengsaraan, kekhawatiran, sampai perasaan bingung dari para bocah tanggung?” tanyanya sambil menyeringai.Alis sebelah
“Aku menolak.”Mama mengangkat kedua alisnya. Merasa heran karena ini adalah penolakan pertamaku selama ini, “Apa?”“Aku ingin tetap bersekolah di sini,” kedua tanganku terkepal karena teringat dengan sensasi menyenangkan saat bertarung dengan--, “Ah, iya! Aku bahkan belum mengalahkan makhluk itu, Ma! Jadi, aku tak bisa berhenti disini.”Guru Gan menggigit bibir bawahnya dan nampak seperti sedang menahan tawa. Sambil mengangguk-anggukan kepala, dia berkata, “Ah, kau… benar. Nanti akan kuantar kesana.”“Bisa kau pergi dari ini? Aku ingin bicara empat mata dengan anakku,” ujar Mama sambil mengibaskan tangannya.“Baiklah, sampai ketemu lagi, Yas.”Aku membalas lambaian tangan laki-laki itu sementara Mama tetap bersedekap dan nampak tak nyaman. Barulah ketika Guru Gan benar-benar pergi, Mama m
Pandanganku agak sedikit kabur akibat nafasku yang mengembun di kaca helm maskerku. Guru Gan benar-benar serius. Bahkan meski telah menggunakan masker, aroma pahit masih samar-samar menyengat hidungku. Di hadapanku adalah bangunan yang terbengkalai. Kalau dilihat dari ukuran yang besar serta berbagai peralatan mesin yang berdebu hingga berwarna kehitaman, sepertinya tempat ini dulunya adalah pabrik.“Mari kita selesaikan sebelum makan siang,” katanya sambil menyerahkan sebuah tongkat baseball yang terbuat dari logam berwarna perak padaku. Entah dari mana ia mendapatkannya.Berbeda dengan dugaanku, tongkat itu ringan dan pas digenggamanku. Meski begitu, pegangannya terasa dingin. “Baik.”“Ada dua makhluk yang mungkin dapat menyulitkanmu. Karena itu, aku akan sedikit membantumu. Ingat, cuma sedikit.”Kuanggukan kepala tanpa mengatakan apapun. Ada pe
Di dunia ini tersembunyi banyak hal yang tidak kumengerti. Seperti yang terjadi saat ini.Siapa yang sangka di balik gemerlapnya ibukota serta gedung-gedung tinggi menjulang hingga mampu mencakar langit, terdapat lorong bawah tanah dengan koridor panjang yang tak berakhir?Saat ini masih pukul delapan pagi, tapi suasananya begitu temaram hingga kupikir senja telah datang. Lampu-lampu neon kuning berjejer di dinding yang berlapis batu bata merah itu membuat suasana begitu suram. Di lorong ini, hanya Guru Gan dan aku saja. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya sudah sejak tadi aku tidak melihat adanya manusia lainnya.Selesai sarapan, Guru Gan mengajakku keluar. Kami naik bus warna kuning sebelum berhenti di halte pertama. Setelah itu, kami berjalan tanpa mengatakan apapun sampai di sebuah pemukiman warga yang sepi.Langkahnya berhenti di depan rumah besar bercat putih pucat. Ada
Aku terbangun tepat pukul lima pagi saat alarmku berbunyi nyaring. Kelopak mataku terasa berat karena aku baru tidur tidak lama setelah sampai di asrama. Mungkin beberapa jam lewat tengah malam.Aku tak begitu ingat. Kuregangkan tubuh dengan malas. Sekali terbangun, aku akan sulit untuk tidur kembali. Jadi, kupaksakan diri untuk keluar dan berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Saat membuka pintu, aku melihat seorang anak laki-laki menggosok gigi dengan mata terpejam.Tubuhnya lebih tinggi dariku. Rambutnya hitam pendek nampak berantakan. Dengan kaos oblong putih dan celana cokelat selutut, membuatnya terkesan santai. "Oh! Anak baru?" Tanyanya saat melihatku. Bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. "Kelvin Dirgantara kelas dua. Salam kenal.""Ah, aku Ilyas. Ilyas Cakrawala." Sahutku tanpa mengulurkan tangan karena ia menunduk untuk berkumur di wastafel