Sekali lagi mendongakkan wajahnya di depan cermin besar, menarik napas pelan dan menghembuskannya perlahan. Tas yang sudah bertengger di atas meja belajar, ia ambil dan bergegas turun ke bawah. Anak tangga yang lumayan banyak, membuat ia tak kuasa menahan lapar aroma nasi goreng yang sudah tersaji di atas meja makan.
“Aina! Makanan sudah siap sayang, ayo sarapan,” panggil bu Nilam.
Gadis berusia delapan belas tahun ini bernama Aina Zeira Clarista, anak semata wayang dari pasangan suami istri pak Hilman dan bu Nilam. Terlahir dari keluarga yang sempurna dan berkecukupan, namun seperti yang diketahui Aina adalah anak yang sangat jarang bergaul, dan betah di rumah, lingkungan pertemanan begitu jauh baginya, hari-hari Aina, ia habiskan hanya untuk membaca dan menulis.
“Permisi Non, mobilnya sudah siap,” ujar pak Yogo sopir di rumahnya.
Aina langsung menghentikan suapannya, segera beranjak dan langsung mencium punggung tangan bu Nilam. “Aina berangkat dulu, Bunda,” ujar Aina lalu berlalu pergi.
Masuk ke dalam mobil, Aina menyenderkan kepalanya tepat di kaca mobil, sepanjang perjalanan Aina menikmati pemandangan jalan raya pagi ini melalui balik jendela, sesekali pak Yogo menengok dari kaca spion melihat Aina yang dari tadi tampak diam.
Aina mendapati beberapa anak seusianya mengamen di pinggiran jalan, terenyuh hatinya, ekspresi sedih terukir di wajah Aina. Lagi-lagi Aina memegang dadanya yang begitu nyeri saat melihat anak-anak yang mengamen itu, ia masih bersyukur diberikan tempat yang layak, dan masih bisa merasakan nikmatnya hidup ini.
Anak-anak itu mengingatkan Aina tentang delapan tahun yang lalu, saat ia menemani ayahnya pergi bekerja jualan siomay keliling, begitu melelahkan dan tentunya jerih payah keringat kedua orang tuanya masih mengakar di kepala Aina. Hidup bergelimang harta seperti sekarang tentu tidak instan bagi keluarganya, banyak perjuangan dan pengorbanan yang mereka lalui hingga bisa berada di posisi sekarang.
"Aina mau ice cream?" tanya Hilman.
"Mau," sahut Aina dengan anggukannya.
Ingatan itu masih terus membayangi, betapa Aina ingat saat Hilman begitu berusaha membahagiakan seperti temannya yang lain.
Hingga kini tak terasa Aina sudah duduk di bangku SMA, yang mana merupakan sekolah terfavorit dan hanya kebanyakan di huni oleh orang-orang berada, Aina masih tidak menyangka bisa duduk di bangku SMA ini, secara setiap ia lewat di depan SMA ini, ia ingat betul ia hanya bisa mengelus tembok sekolah ini sambil memanjatkan harapan bisa menjadi bagiannya, dan sekarang Aina merupakan bagian mereka.
Logo SMA Bina Jaya sudah tampak beberapa langkah di depan. Aina turun dengan seragam andalan SMA Bina Jaya yang selalu paling terdepan dari SMA-SMA elit lainnya. Tidak lupa ia selalu berpamitan dengan pak Yogo, selaku sopir yang selalu mengantarkannya. Langkah Aina begitu pasti memasuki gerbang, akan tetapi kali ini ia tersentak terhenti. Menyudutkan muram durja di wajahnya. Terlihat beberapa temannya yang sedang duduk santai di ujung kelas, begitu jelas menggelegarnya canda tawa dari mereka.
Sudah bukan rahasia lagi jika kedatangan Aina, bukanlah suatu hal yang menyenangkan bagi mereka. Circle pertemanannya masih bersikap sama hingga sekarang. Tidak peduli, dan menganggap Aina bukan bagian dari mereka.
Sudah hampir dua tahun berlalu Aina melewati lika-liku pertemanan toxic yang membuatnya hampir depresi. Bullying, bahkan berani main tangan itu sudah menjadi makannya selama duduk di bangku SMP, hingga sekarang mereka masih bersikap sama. Bukan Aina namanya, jika ia tak memiliki sikap sabar di atas rata-rata, masalah ini ia simpan rapat-rapat tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.
Di depan gerbang ia terdiam, kakinya tiba-tiba kaku untuk melangkah, lagi-lagi napasnya terasa pendek, Aina mencengkram erat dadanya, begitu sesak. Membuatnya merunduk menahan nyeri. Padahal libur panjang, sudah hampir membantunya bangkit dari rasa keterpurukan, namun kini ia harus terbayang lagi.
Aina berusaha menahan sesak dadanya , sekilas ia lihat mobilnya telah jauh pergi, sekitarnya tak ada siapapun, Aina berusaha menyadarkan pikirannya yang mulai pusing, di tampaknya sekelilingnya seakan begitu mendekat, begitu pengap sesulit ini Aina mencari rasa untuk bernapas, Aina berusaha menarik napas kasar, menghembuskan berkali-kali, namun tak juga napasnya terasa nyaman, malah semakin sesak dan pengap.
Bruk!!!
Bumi seakan bertolak pada porosnya, pohon-pohon serasa mendekat di depannya. Aina berusaha membuka pelupuk matanya, pelan. Dan merasakan tumpuan tangan di pinggangnya erat menyadarkan Aina dari pusing yang teramat sakit ini. Tepat di atas matanya kini, ia menyadari timpaan cahaya matahari terik begitu panas terasa, menyilaukan matanya, hingga Aina menyadari suatu siluet yang membentuk sebuah wajah seseorang di balik telapak tangannya, saat Aina memindahkan tangan ini dari depan wajahnya, Aina menemui suatu siluet wajah yang sulit ia kenali.
"Kamu gak papa? tanyanya.
"Gak, gak papa." Aina melepaskan pangkuan tersebut dan menjauh beberapa langkah, namun pandangannya masih tidak bisa fokus, buram. Ia mencoba merunduk beberapa detik untuk menghilangkan rasa pusingnya. Aina masih memegang pelipis kepalanya, begitu nyeri.
Ketika Aina menengadahkan wajahnya, masih begitu terasa berat. Alhasil hanya keburaman yang ia lihat. Aina berusaha menyeimbangkan posisi tubuhnya yang agak sempoyongan.
"Kamu gak papa?" ujar seseorang yang langsung menopang tubuh Aina.
"Kepalaku sakit sekali," ucap Aina lirih sambil menekan erat pelipis kepalanya.
Orang ini pun segera membantu Aina menuju UKS. Lima belas menit berlalu, Aina yang masih berbaring di tempat istirahat, perlahan bisa tenang dan sadar, setelah meminum obat yang diberikannya. Aina yang terbangun dari tempat tidurnya. Menyadari ada sepucuk surat di bawah telapak tangannya.
Maaf aku gak bisa nungguin kamu.
Tadi aku dipanggil untuk segera ke kantor.
Salam kenal Dea.
Membaca secarik surat tersebut membuat kepala Aina bak berkontraksi nyeri lagi. Aina menekan hebat pelipis kepalanya lebih kuat, Ia langsung terbawa kepada kejadian di depan gerbang tadi.
"Dea? Dea siapa?" pikir Aina.
"Suaranya, bukan seperti suara perempuan," batin Aina.
"Melainkan suara laki-laki," pikirnya sekali lagi.
Aina berusaha merilekskan badan dan pikirannya. Aina berusaha menenangkan dan pikirannya kalau yang ia lihat tadi adalah perempuan, tapi lagi-lagi Aina masih begitu yakin kalau itu adalah seorang laki-laki.
"Nama Dea agak asing," pikir Aina.
"Tapi dia siapa? Murid baru?" batin Aina lagi.
Ingatan Aina kepada garis wajah yang tertimpa cahaya terik tadi. Masih menjadi bahan pikiran Aina sekarang, hingga sakit kepalanya tak kunjung hilang.
Aina benar-benar penasaran, tangan yang pertama begitu berbeda dengan tangan kedua, Aina meyakini itu. Sekali lagi Aina memegang tanganmu merah pinggangnya, untuk membedakan kekuatan pegang antara seorang perempuan dan laki-laki.
"Argh! Kenapa aku memikirkan itu! Yang penting ia sudah menolongku," ucap Aina kesal sejak tadi tak menemukan jawabannya.
Napas Aina berlarut pelan. Membuat Aina menyunggingkan senyum kecil di bibirnya. Ia memejamkan matanya beberapa detik. Ia baru ingat, kalau hari ini ia ditugaskan untuk mencatat di kelas. Meski sakit kepalanya masih tidak sepenuhnya hilang. Aina berlari melewati koridor dengan cepat menuju kantor guru, karena tersisa satu menit lagi maka bel akan berbunyi. Aina mendengus napas kasar, merunduk lelah berlari melewati koridor sepanjang ini. Masih pagi, tapi keringatnya sudah bercucuran kesana kemari. Tepat beberapa langkah dari keberadaannya, Aina seperti mengenali perempuan yang sedang duduk di anak tangga depan kantor. Aina berlari kecil menghampirinya. "Kamu Dea?" Aina menebak seorang perempuan yang sedang duduk santai di bawah anak tangga ini.
“Iya gak papa,” ujarnya dan berlalu pergi.Aina terus melihati langkah orang tersebut, seperti seumuran dengan mereka, tapi ia tidak mengenakan seragam, apakah dia guru baru? Aina menerka-nerka orang yang ia tabrak itu.“Ai, ayo! Kamu kenapa masih bengong di situ,” kejut Dea dan membuyarkan apa yang Aina pikirkan.Aina bangkit dan mereka pun melangkah cepat menuju kelas, lagi ketika Aina menoleh ke belakang, pria tersebut sudah tidak ada, langkahnya begitu cepat sekali padahal tidak sampai semenit Aina menoleh ke arah Dea di depannya, ia sudah menghilang bak kecepatan cahaya. Lagi-lagi kepala Aina kembali nyeri.Pikiran Aina langsung linglung, bukankah ditolong seseorang itu biasa saja, tapi kenapa Aina begitu dihantui rasa penasaran, pertanyaan s
Aina terdiam, sebenarnya ia ingin menceritakannya, tapi ia takut jika Dea menjauhinya, apalagi melihat kejadian hari ini di luar akal sehatnya. “Aku tadi cuma mimpi buruk aja Dea, gak kenapa-kenapa kok,” ujar Aina.Rasa penasaran Dea, membuat Aina merasa kalau Dea begitu peduli dengannya, Dea yang duduk manis langsung di pegang Aina pundaknya, bentuk ucapan betapa berterima kasihnya ia karena Dea telah mau berteman dengannya.Lagi-lagi Aina tidak mampu menahan air matanya, sakit di masa lalu, masih terasa jika ia mengingatnya, perlakukan teman-temannya rupanya menggerogoti kenyamanan Aina selama ini. Sudah ada Dea yang mau berteman dengannya, tetap saja Aina terus di hantui rasa takut jika Dea akan ikut meninggalkannya. Dengan cepat ia mengusap air mata ini, takut jika Dea melihatnya seperti ini sekarang.
“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam. “Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. B
Pintu kamar ini seakan menjauh dari tempatnya, begitu jauh hingga mata manusia normal pun tak akan bisa mendapatinya. Aina semakin heran, kenapa benda-benda di sekitarnya mengecil dan berpindah tempat, gorden yang terbuka lebar langsung menampakan pohon besar di depan rumahnya. Aina semakin takut, ia seakan terbawa untuk melihat lebih jelas keadaan pohon tersebut.Aina beranjak dari tempat duduknya, ia genggam buku deary tersebut dalam lima jarinya, lalu ia buka pintu keluar dari balkon kamarnya, Aina melihat pohon besar di depan rumahnya lebih dekat dan lebih fokus, Begitu lebat dan hijau menggelap."Anak-anak kecil tertawa terbahak-bahak sambil menikmati main kelereng di bawah pohon besar, terlihat beberapa bapak-bapak duduk santai, mengobrol lelahnya pekerjaan mereka masing-masing, di antara mereka terlihat gadis kecil yang tak di perbolehkan bergabung, ia sendirian, berkali-kali ia memaksa pria paruh baya ini pulang, namun pria ini tetap fokus dengan obrolannya, ga
"Cowok siapa, Ai?" tanya Dea heran melihat ke arah yang di tunjuk Aina tidak ada seseorang yang dimaksud. "Tadi cowok itu disana, kenapa bisa cepat sekali perginya," batin Aina. Aina langsung beranjak pergi, mengejar pria bertopi itu, sedangkan Dea memilih tinggal dan fokus mendengarkan wanita berkacamata itu berbicara. Aina berjalan menyusuri panjangnya koridor sekolah ini, begitu sepi karena memang seluruh murid berada di Aula.Aina terus mencari, tapi tidak ia temukan pria bertopi hitam itu, dilihatnya sekelilingnya, tidak ada siapapun, hanya ada beberapa siswi yang pergi ke toilet satu, dua orang. Aina berlanjut menuju arah perpustakaan, yang mana jaraknya ke Aula lumayan jauh. Di mana perpustakaan ini berada di samping ruangan bekas barang-barang kantor yang sudah tidak terpakai lagi. Saat Aina memperhatikan perpustakaan itu, yang jauh beberapa langkah darinya, entah kenapa Aina merasa begitu yakin kalau pria itu ada di sana, tap
Mereka semua mengagungkannya, karena ada hidup yang harus mereka tanggung, dan memaksa mereka untuk masuk ke tempat seperti ini. "Hari ini saya yang akan menghandle kalian, apakah kalian sudah membawa berkas yang saya minta?" ujar pria berbadan kekar ini. "Saya sudah pak," sahut pria bertubuh tinggi ini. Saat pria kekar ini menengok ke sekitarnya, matanya yang begitu tajam, telinganya yang begitu peka, merasakan ada sesuatu yang ganjal di ruangan ini. Ia berjalan ke arah pria yang tampak mendengus, membuatnya merasa ada yang begitu aneh. Ia menutupi wajahnya dengan menundukan erat di atas lututnya yang sengaja ia tekukkan, membekap dirinya dalam kedua tangannya erat. Pria kekar ini mencoba memperhatikan lebih dekat dalam kegelapan ini, cahaya di ruangan ini begitu samar, lampu menyala hanya berada di ujung pintu masuk. Ia berjalan lebih pasti, lalu menghidupkan senter kecil di tangannya, tak lupa yang lain ikut bangkit karena rasa penasa
"Unce?" ujar Aina yang begitu terkejutnya. "Kamu sedang apa? Apa yang kamu lihat?" ujar Devi yang membuat Aina langsung bingung harus jawab apa. "Itu, Aina tadi melihat-lihat suasana malam di langit, begitu indahnya," ujar Aina berusaha tetap tenang. "Sudah malam, cepat tidur ya, nanti mata panda lho," gurau Devi dan berlalu pergi. ****** Ini benar-benar melelahkan, bisa-bisanya sudah hampir satu jam berlalu Aina masih tidak bisa tidur, dan sekarang jam dinding sudah menunjukan pukul empat pagi. "Mending aku sholat," pikir Aina ia pun bangkit. Suara adzan telah berkumandang, Aina pun berjalan ke arah tempat berwudhu, yang tak jauh dari dapur, sungguh! Saat membukakan pintu ke arah tempat berwudhu, Jantung Aina seketika kontraksi melihat tempat ini sekarang, kenapa tempat perwudhuan ini begitu kotor sekali, layaknya sudah tak terurus lagi. Tampak serak serak dedaunan berjatuhan mengotori lantai tempat ini, lantai y
"Kamu gak papa?" tanya Aina pelan. "Ai." Dea langsung terisak tak sanggup berkata lagi. Aina pun langsung memberikan sambutan sebuah pelukan hangat kepada sahabatnya ini. "Ai ada yang ingin aku omongin sama kamu," ujar Dea menyeka air matanya. "Apa itu Dea?" jawab Aina. Obrolan me
Malam ini hujan membasahi kota, lampu kelap-kelip layaknya kunang-kunang malam berwarna kuning merah kejinggaan. Lalu lalang mobil memandikan tubuhnya menyusuri jalan yang sudah basah tak tertahan. "Jika teringat tentang dikau jauh di mata dekat dihati," suara pengamen jalan menghiasi malam halte sekarang. Dengan payung kecil ini, membuatnya sudah bersyukur bisa tiba di sini jauh dari keterlambatan. "Adek, ini buat kamu," ucapnya. "Terima kasih kak," ucap anak berusia 8 tahun tersebut lalu pergi dengan temannya yang dilihat tak jauh umurnya darinya dengan garis wajah yang begitu girang. "Kamu harus tahan, dan kuat sebentar lagi bayi kita lahir, sayang," ucap pria yang sedang mengelus perut buncit wanita di sebelahnya. Malam ini suasana begitu kompleks dengan kehidupan para anak manusia, hujan memberikan ketenangan akan damai, menyejukan pikiran yang awalnya panas kini sejuk dan ternyata. "Tolong!!!!" Tak jauh be
"Hai!" Neo menunjukan gigi putihnya yang rapi. Aina terbengong dengan mulut yang terbuka, dengan mata yang melotot heran, ditambah jantungnya yang sudah seperti adu balapan, Aina semakin menunjukan detik detik kecurigaan, Aina mencengkram kuat gaunnya, dan terus memperhatikan orang di depannya ini. Aina memundurkan langkahnya pelan, apa yang mengganggu pikirannya sekarang membuat jantung Aina beralun tak seirama, tangan kanannya mencoba menggapai sesuatu di belakangnya, namun nihil, jaraknya terhadap benda di belakangnya terasa amat jauh. Aina tak bisa berkedip melihat Neo sekarang. "Apa Neo selama ini yang menerorku," batin Aina terus berkata-kata. Neo yang merasa risih di lihat oleh Aina seperti ini mengikuti langkah Aina yang pelan, dan berulang kali menegur Aina, namun Aina terus melangkah mundur dengan diam, keringat mengalir membasahi dahinya bak biji jagung yang bermunculan. Keheningan yang terjadi sekarang, hanya meyisakan mereka berdu
"Aina bangun! Bangun! Kamu kenapa?" Nilam menggoyang-goyangkan bahu anaknya ini.Kini ia jadi sorotan orang banyak, dengan rambut yang benar-benar berantakan. Aina yang terbangun terus memperhatikan di sekitarnya, menggaruk-garuk lehernya, menyentuhnya, dan terus merabanya."Apa yang terjadi?" batin Aina.Semua orang berbisik memperhatikannya, Nilam yang benar-benar kalut, menarik tangan Aina dan membawanya ke kamar.Aina yang bingung terus memperhatikan di sekelilingnya, dengan tatapannya yang begitu kosong."Aina! Kamu kenapa? Kenapa kamu teriak-teriak tidak jelas, hah!" ucap Nilam heran melihat sikap Aina yang begitu aneh."Bunda, Aina dimana?" sahut Aina."Dimana? Kamu di tempat uncemu," sahut Nilam yang begitu panik."Gak! Ini gak mungkin! Arghhhh," Aina memukul-mukul kepalanya, dan menangis tak karuan.Nilam yang bingung langsung mencoba menenangkan anaknya ini, dan langsung memeluknya. Ia pun meminta maaf ka
"Unce?" ujar Aina yang begitu terkejutnya. "Kamu sedang apa? Apa yang kamu lihat?" ujar Devi yang membuat Aina langsung bingung harus jawab apa. "Itu, Aina tadi melihat-lihat suasana malam di langit, begitu indahnya," ujar Aina berusaha tetap tenang. "Sudah malam, cepat tidur ya, nanti mata panda lho," gurau Devi dan berlalu pergi. ****** Ini benar-benar melelahkan, bisa-bisanya sudah hampir satu jam berlalu Aina masih tidak bisa tidur, dan sekarang jam dinding sudah menunjukan pukul empat pagi. "Mending aku sholat," pikir Aina ia pun bangkit. Suara adzan telah berkumandang, Aina pun berjalan ke arah tempat berwudhu, yang tak jauh dari dapur, sungguh! Saat membukakan pintu ke arah tempat berwudhu, Jantung Aina seketika kontraksi melihat tempat ini sekarang, kenapa tempat perwudhuan ini begitu kotor sekali, layaknya sudah tak terurus lagi. Tampak serak serak dedaunan berjatuhan mengotori lantai tempat ini, lantai y
Mereka semua mengagungkannya, karena ada hidup yang harus mereka tanggung, dan memaksa mereka untuk masuk ke tempat seperti ini. "Hari ini saya yang akan menghandle kalian, apakah kalian sudah membawa berkas yang saya minta?" ujar pria berbadan kekar ini. "Saya sudah pak," sahut pria bertubuh tinggi ini. Saat pria kekar ini menengok ke sekitarnya, matanya yang begitu tajam, telinganya yang begitu peka, merasakan ada sesuatu yang ganjal di ruangan ini. Ia berjalan ke arah pria yang tampak mendengus, membuatnya merasa ada yang begitu aneh. Ia menutupi wajahnya dengan menundukan erat di atas lututnya yang sengaja ia tekukkan, membekap dirinya dalam kedua tangannya erat. Pria kekar ini mencoba memperhatikan lebih dekat dalam kegelapan ini, cahaya di ruangan ini begitu samar, lampu menyala hanya berada di ujung pintu masuk. Ia berjalan lebih pasti, lalu menghidupkan senter kecil di tangannya, tak lupa yang lain ikut bangkit karena rasa penasa
"Cowok siapa, Ai?" tanya Dea heran melihat ke arah yang di tunjuk Aina tidak ada seseorang yang dimaksud. "Tadi cowok itu disana, kenapa bisa cepat sekali perginya," batin Aina. Aina langsung beranjak pergi, mengejar pria bertopi itu, sedangkan Dea memilih tinggal dan fokus mendengarkan wanita berkacamata itu berbicara. Aina berjalan menyusuri panjangnya koridor sekolah ini, begitu sepi karena memang seluruh murid berada di Aula.Aina terus mencari, tapi tidak ia temukan pria bertopi hitam itu, dilihatnya sekelilingnya, tidak ada siapapun, hanya ada beberapa siswi yang pergi ke toilet satu, dua orang. Aina berlanjut menuju arah perpustakaan, yang mana jaraknya ke Aula lumayan jauh. Di mana perpustakaan ini berada di samping ruangan bekas barang-barang kantor yang sudah tidak terpakai lagi. Saat Aina memperhatikan perpustakaan itu, yang jauh beberapa langkah darinya, entah kenapa Aina merasa begitu yakin kalau pria itu ada di sana, tap
Pintu kamar ini seakan menjauh dari tempatnya, begitu jauh hingga mata manusia normal pun tak akan bisa mendapatinya. Aina semakin heran, kenapa benda-benda di sekitarnya mengecil dan berpindah tempat, gorden yang terbuka lebar langsung menampakan pohon besar di depan rumahnya. Aina semakin takut, ia seakan terbawa untuk melihat lebih jelas keadaan pohon tersebut.Aina beranjak dari tempat duduknya, ia genggam buku deary tersebut dalam lima jarinya, lalu ia buka pintu keluar dari balkon kamarnya, Aina melihat pohon besar di depan rumahnya lebih dekat dan lebih fokus, Begitu lebat dan hijau menggelap."Anak-anak kecil tertawa terbahak-bahak sambil menikmati main kelereng di bawah pohon besar, terlihat beberapa bapak-bapak duduk santai, mengobrol lelahnya pekerjaan mereka masing-masing, di antara mereka terlihat gadis kecil yang tak di perbolehkan bergabung, ia sendirian, berkali-kali ia memaksa pria paruh baya ini pulang, namun pria ini tetap fokus dengan obrolannya, ga
“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam. “Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. B