Napas Aina berlarut pelan. Membuat Aina menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.
Ia memejamkan matanya beberapa detik. Ia baru ingat, kalau hari ini ia ditugaskan untuk mencatat di kelas. Meski sakit kepalanya masih tidak sepenuhnya hilang. Aina berlari melewati koridor dengan cepat menuju kantor guru, karena tersisa satu menit lagi maka bel akan berbunyi.
Aina mendengus napas kasar, merunduk lelah berlari melewati koridor sepanjang ini. Masih pagi, tapi keringatnya sudah bercucuran kesana kemari. Tepat beberapa langkah dari keberadaannya, Aina seperti mengenali perempuan yang sedang duduk di anak tangga depan kantor.
Aina berlari kecil menghampirinya. "Kamu Dea?" Aina menebak seorang perempuan yang sedang duduk santai di bawah anak tangga ini.
"Hei! Gimana? Udah enakan?" sahutnya.
"Makasih ya, udah nolongin aku,” ujar Aina yang dibalas anggukan senyum oleh Dea.
Lagi – lagi Aina terbawa keingatan tadi, garis wajah itu, suara seraknya, sentuhannya meskipun hanya beberapa detik tapi otak Aina masih bisa mengingatnya. Entah kenapa Aina begitu penasaran, siapa yang menolongnya di awal, apakah Dea? Atau?
"Hei! Kok bengong." Dea mengibaskan kertas di tangannya mengejutkan Aina.
Aina merapikan rambutnya, dan memegang pelipis kepalanya beberapa detik, yang mulai terasa nyeri hebat lagi.
"Ehmm, kamu siswi baru?" tanya Aina penasaran.
"Iya, aku baru masuk hari ini," sahut Dea.
“Dea Yisha Azela?” panggil bu Anjela, wakil kepala sekolah di SMA Bina Jaya.
“Iya bu, Saya,” sahut Dea mengacungkan tangannya. “Aku masuk dulu,” tambah Dea berbalik menatap Aina dan berlalu meninggalkannya.
Aina pun ikut menyusul di belakang untuk menuju ke ruang wali kelas mereka, pak Wilan. Karena kebetulan pak Wilan ada urusan keluarga yang mendadak, mengharuskanya untuk pulang ke Bogor. Tersusun beberapa buku di atas rak meja beliau, Aina pun segera mencari buku yang ditugaskan untuk mereka.
*****
Tumpukan kertas memenuhi meja kecil di dalam ruangan ini. Panas matahari begitu terasa. Padahal Ac hidup saja, entah kenapa panas ini begitu menyengat, sampai Dea dari tadi keringatan.
"Ayo ikut saya, kita akan ke kelas kamu," ujar bu Anjela.
Wajah Dea berbinar senang, duduk di bangku SMA lagi dengan jurusan IPA yang merupakan minatnya, bukan tanpa alasan Dea sangat mencintai pelajaran ini, yang mana menurutnya, ini adalah ilmu mengetahui, lebih lanjut tentang benda dalam kehidupan, ujarnya.
Dea melangkah pasti masuk ke dalam ruangan ini, beberapa pasang mata menatapnya. Kelas yang begitu besar, dimana dihuni oleh orang-orang pintar, dan Dea memiliki kualifikasi yang memang mengharuskannya masuk ke sini.
Tok! Suara pintu kelas, Aina menarik napas kasar masuk ke dalam kelas, rupanya kedatangan Aina telah ditunggu oleh teman-temannya sebagian. Karena ia telah terlambat sepuluh menit dan ini membuat mereka terlambat juga mencatat.
“Kamu?” Aina menyeringai dengan kehadiran Dea di depannya sekarang.
“Ayo perkenalkan dirimu,” perintah bu Anjela memberikan kode ke Dea.
“Hallo, perkenalkan nama aku Dea Yisha Azela, biasa di panggil Dea, semoga kita bisa berteman,” ujar Dea.
“Pergi ke Sumatra membeli itik,” sahut yang lain.”Cakep,” terkekeh bu Anjela mendengar Jaylani mulai berpantun.
“Disana, buah mangga rasanya pisang, neng Dea yang cantik, salam kenal dari abang Jay yang tampan,” tambah Jay yang langsung dilempari tawa dan sorakan dari teman-temannya.
Dea tersipu malu menahan tawa akibat candaan dari Jaylani. Ia pun dipersilahkan duduk satu meja bersebelahan dengan Aina, karena kebetulan di kelas ini cuma Aina yang duduk sendiri.
“Baik semuanya, saya akan kembali ke kantor lagi, untuk tugas kalian, sudah dibawa oleh Aina,” ujar perempuan berambut pendek ini.
“Baik bu,” sahut mereka serempak.
Aina pun membuka halaman demi halaman buku tebal ini, mencari tanda yang kemaren ia bulati dengan pensil. Beberapa detik berlalu, tanda tersebut rupanya berada di halaman pertengahan. Semua murid di kelas ini bersiap untuk mengejar catatan yang super banyak ditugaskan. Hingga jarum jam terus berputar memakan waktu yang begitu cepat berlalu.
*****
Jam istirahat kali ini lumayan lama, karena kebetulan para guru juga pada rapat di kantor, alhasil jam kedua masih jam pelajaran pak Wilan, karena catatan mereka juga sudah selesai sudah di pastikan mereka akan jam kosong.
Semua siswa - siswi di kelas ini pada pergi ke kantin, sedangkan Aina duduk di mejanya, sambil menulis beberapa kata, beginilah Aina selain orangnya susah bergaul ia juga tampak pendiam.
Ia terpilih menjadi sekretaris juga bukan melalui ajang vote di kelas, melainkan atas pilihan pak Wilan, karena Aina sangat disiplin, dan begitu rajin jadi itulah yang membuat pak Wilan tertarik untuk menjadikan Aina bagian penting di kelas ini.
Sangat cerdas, dan suka membantu siapapun jika memerlukan bantuannya. Namun karena kemampuan di bidang akademis dan non akademisnya yang sudah cemerlang sejak lama, itulah membuat teman-temanya iri dan begitu tidak menyukai Aina. Aina jauh dari kata pertemanan, ia sendirian, begitu di kucilkan, tapi ia anak emas para guru-guru di sekolah ini, dibanggakan, disanjung, dan selalu mendapat perhatian lebih dari para guru. Hal ini semakin membuat teman-temannya menjauh dan tidak meanggap Aina ada di sekolah ini.
“Permisi,” ujar perempuan yang berdiri di depan pintu.
“Iya? Ada apa?” tanya Aina.
“Disini, ruangan kelas Neo kan?" tanya perempuan yang satu seragam dengannya.
“Neo lagi ke luar kota ada urusan keluarga, jadi ia tidak hadir,” sahut Aina yang diangguk perempuan tersebut dan berlalu pergi.
Neo adalah ketua kelas di kelas 11 IPA satu ini, nama lengkapnya Neo Aldraputra, bisa di katakan dari 150 murid di kelas ini, Neo adalah teman yang begitu care dengan Aina, sejak pertama bertemu mereka sudah saling membantu dan bekerja sama mengurus kelas ini baik dalam urusan apapun. Seperti yang diketahui Neo dan Aina tidak pernah berganti kedudukan dari kelas sepuluh, bahkan pak Wilan pernah meminta Aina untuk menjadi wakil, tapi Aina selalu menolak, karena ia ingin memberikan kesempatan kepada yang lain, dan memilih menjadi sekretaris karena kebetulan ia juga senang menulis.
“Nih, buat kamu Ai.” Aina mendongakkan wajahnya, ternyata ada Dea teman di sebelah duduknya. Aina mengambil ice cup pemberian Dea dan melemparkan senyum di sudut bibirnya, ini baru pertama kali bagi Aina diperlakukan baik oleh teman perempuannya.
“Makasih, Dea,” ujar Aina yang diangguk senyum oleh Dea dan beristirahat duduk di sebelahnya sambil melihat apa yang Aina tulis.
“Angin melaju kencang, membawa serpihan bunga mawar kesayanganku, mereka terpisah menjadi banyak, berlari menjauhiku, kini tersisa tangkai yang setia, mengakar di tanganku, entah apakah tangkai ini akan ikut pergi menyusulmu, atau akan tetap diam dan bertahan untuk hidup bersamaku.”- Rose-
“kata-kata kamu dalam sekali Ai, aku tersentuh, sepertinya kamu senang menulis ya?” ucap Dea begitu kagum dengan karya tulis Aina.
“Iya, dari kecil aku sudah menghabiskan waktu menggeluti kehobian ini, rasanya sehari saja tidak menulis aku seperti kehilangan sesuatu,” tambah Aina yang diangguk Dea begitu serius mendengarkan ucapannya.
“Ai, kita ke luar yuk, kamu gak bosan di dalam kelas?” ucap Dea.
“Kemana?” tanya Aina.
“Gimana kalau kita duduk di taman aja, di sanakan udaranya sejuk banget, banyak pepohonan,” ujar Dea yang diangguk setuju Aina.
Mereka pun berlalu pergi ke taman, di koridor tak sengaja Aina berpapasan dengan teman-temannya, mereka menatap Aina sinis, tidak suka melihatnya. Aina hanya menunduk dan berusaha tersenyum, namun ini tidak menutup dari pandangan Dea, ia merasa ada sesuatu yang Aina pendam, tapi ia tidak berani menanyakan itu.
“Tuhkan! Disini nyaman,” ujar Dea sambil menghirup kasar udaranya.
Sepanjang Dea merentangkan tangannya bebas menghirup udara segar, Aina berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi ranum pipinya, ia tidak mau Dea mengetahui apa yang ia alami. Kebetulan Aina membawa buku di tangannya dan sebuah pensil, ia melukis wajah Dea yang sedang berdiri di depannya dengan alat seadanya. Polesan demi polesan pensil mengukir garis wajah perempuan di depannya ini, dengan lembut penuh perasaan, gambar yang begitu nyata tampak bernyawa terlukis di kertas biasa miliknya.
Dea berbalik menghampiri Aina yang sedang duduk di kursi taman.” Kamu melukis apa Ai?” tanya Dea penasaran.
“Ini untuk kamu, Dea.” Aina meyodorkan kertas tersebut.
Betapa senangnya Dea melihat dirinya dilukis Aina begitu indah sekali, garis wajahnya, matanya, semuanya begitu mirip dan tampak nyata. Tidak lupa tanggal pembuatan dan tanda tangan Aina di bawah gambar terselip kecil, harapannya agar Dea selalu mengingatnya.
Bel berbunyi mengejutkan Aina dan Dea, mereka pun bangkit dan bergegas kembali ke kelas. Berlari kecil menyusuri koridor yang terasa begitu panjang ini, karena kebetulan kelas mereka lumayan jauh.
Bruk!!!
Sialan! Dada bidang ini begitu keras hingga membuat dahi Aina rasa terpantul diulahnya, berserakan buku-buku di lantai koridor sekarang. Aina tak sengaja, menabrak orang ini, karena mereka begitu terburu-buru.
"Maaf," ujar Aina sambil membantunya memungut buku-buku yang terjatuh ini.
“Iya gak papa,” ujarnya dan berlalu pergi.Aina terus melihati langkah orang tersebut, seperti seumuran dengan mereka, tapi ia tidak mengenakan seragam, apakah dia guru baru? Aina menerka-nerka orang yang ia tabrak itu.“Ai, ayo! Kamu kenapa masih bengong di situ,” kejut Dea dan membuyarkan apa yang Aina pikirkan.Aina bangkit dan mereka pun melangkah cepat menuju kelas, lagi ketika Aina menoleh ke belakang, pria tersebut sudah tidak ada, langkahnya begitu cepat sekali padahal tidak sampai semenit Aina menoleh ke arah Dea di depannya, ia sudah menghilang bak kecepatan cahaya. Lagi-lagi kepala Aina kembali nyeri.Pikiran Aina langsung linglung, bukankah ditolong seseorang itu biasa saja, tapi kenapa Aina begitu dihantui rasa penasaran, pertanyaan s
Aina terdiam, sebenarnya ia ingin menceritakannya, tapi ia takut jika Dea menjauhinya, apalagi melihat kejadian hari ini di luar akal sehatnya. “Aku tadi cuma mimpi buruk aja Dea, gak kenapa-kenapa kok,” ujar Aina.Rasa penasaran Dea, membuat Aina merasa kalau Dea begitu peduli dengannya, Dea yang duduk manis langsung di pegang Aina pundaknya, bentuk ucapan betapa berterima kasihnya ia karena Dea telah mau berteman dengannya.Lagi-lagi Aina tidak mampu menahan air matanya, sakit di masa lalu, masih terasa jika ia mengingatnya, perlakukan teman-temannya rupanya menggerogoti kenyamanan Aina selama ini. Sudah ada Dea yang mau berteman dengannya, tetap saja Aina terus di hantui rasa takut jika Dea akan ikut meninggalkannya. Dengan cepat ia mengusap air mata ini, takut jika Dea melihatnya seperti ini sekarang.
“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam. “Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. B
Pintu kamar ini seakan menjauh dari tempatnya, begitu jauh hingga mata manusia normal pun tak akan bisa mendapatinya. Aina semakin heran, kenapa benda-benda di sekitarnya mengecil dan berpindah tempat, gorden yang terbuka lebar langsung menampakan pohon besar di depan rumahnya. Aina semakin takut, ia seakan terbawa untuk melihat lebih jelas keadaan pohon tersebut.Aina beranjak dari tempat duduknya, ia genggam buku deary tersebut dalam lima jarinya, lalu ia buka pintu keluar dari balkon kamarnya, Aina melihat pohon besar di depan rumahnya lebih dekat dan lebih fokus, Begitu lebat dan hijau menggelap."Anak-anak kecil tertawa terbahak-bahak sambil menikmati main kelereng di bawah pohon besar, terlihat beberapa bapak-bapak duduk santai, mengobrol lelahnya pekerjaan mereka masing-masing, di antara mereka terlihat gadis kecil yang tak di perbolehkan bergabung, ia sendirian, berkali-kali ia memaksa pria paruh baya ini pulang, namun pria ini tetap fokus dengan obrolannya, ga
"Cowok siapa, Ai?" tanya Dea heran melihat ke arah yang di tunjuk Aina tidak ada seseorang yang dimaksud. "Tadi cowok itu disana, kenapa bisa cepat sekali perginya," batin Aina. Aina langsung beranjak pergi, mengejar pria bertopi itu, sedangkan Dea memilih tinggal dan fokus mendengarkan wanita berkacamata itu berbicara. Aina berjalan menyusuri panjangnya koridor sekolah ini, begitu sepi karena memang seluruh murid berada di Aula.Aina terus mencari, tapi tidak ia temukan pria bertopi hitam itu, dilihatnya sekelilingnya, tidak ada siapapun, hanya ada beberapa siswi yang pergi ke toilet satu, dua orang. Aina berlanjut menuju arah perpustakaan, yang mana jaraknya ke Aula lumayan jauh. Di mana perpustakaan ini berada di samping ruangan bekas barang-barang kantor yang sudah tidak terpakai lagi. Saat Aina memperhatikan perpustakaan itu, yang jauh beberapa langkah darinya, entah kenapa Aina merasa begitu yakin kalau pria itu ada di sana, tap
Mereka semua mengagungkannya, karena ada hidup yang harus mereka tanggung, dan memaksa mereka untuk masuk ke tempat seperti ini. "Hari ini saya yang akan menghandle kalian, apakah kalian sudah membawa berkas yang saya minta?" ujar pria berbadan kekar ini. "Saya sudah pak," sahut pria bertubuh tinggi ini. Saat pria kekar ini menengok ke sekitarnya, matanya yang begitu tajam, telinganya yang begitu peka, merasakan ada sesuatu yang ganjal di ruangan ini. Ia berjalan ke arah pria yang tampak mendengus, membuatnya merasa ada yang begitu aneh. Ia menutupi wajahnya dengan menundukan erat di atas lututnya yang sengaja ia tekukkan, membekap dirinya dalam kedua tangannya erat. Pria kekar ini mencoba memperhatikan lebih dekat dalam kegelapan ini, cahaya di ruangan ini begitu samar, lampu menyala hanya berada di ujung pintu masuk. Ia berjalan lebih pasti, lalu menghidupkan senter kecil di tangannya, tak lupa yang lain ikut bangkit karena rasa penasa
"Unce?" ujar Aina yang begitu terkejutnya. "Kamu sedang apa? Apa yang kamu lihat?" ujar Devi yang membuat Aina langsung bingung harus jawab apa. "Itu, Aina tadi melihat-lihat suasana malam di langit, begitu indahnya," ujar Aina berusaha tetap tenang. "Sudah malam, cepat tidur ya, nanti mata panda lho," gurau Devi dan berlalu pergi. ****** Ini benar-benar melelahkan, bisa-bisanya sudah hampir satu jam berlalu Aina masih tidak bisa tidur, dan sekarang jam dinding sudah menunjukan pukul empat pagi. "Mending aku sholat," pikir Aina ia pun bangkit. Suara adzan telah berkumandang, Aina pun berjalan ke arah tempat berwudhu, yang tak jauh dari dapur, sungguh! Saat membukakan pintu ke arah tempat berwudhu, Jantung Aina seketika kontraksi melihat tempat ini sekarang, kenapa tempat perwudhuan ini begitu kotor sekali, layaknya sudah tak terurus lagi. Tampak serak serak dedaunan berjatuhan mengotori lantai tempat ini, lantai y
"Aina bangun! Bangun! Kamu kenapa?" Nilam menggoyang-goyangkan bahu anaknya ini.Kini ia jadi sorotan orang banyak, dengan rambut yang benar-benar berantakan. Aina yang terbangun terus memperhatikan di sekitarnya, menggaruk-garuk lehernya, menyentuhnya, dan terus merabanya."Apa yang terjadi?" batin Aina.Semua orang berbisik memperhatikannya, Nilam yang benar-benar kalut, menarik tangan Aina dan membawanya ke kamar.Aina yang bingung terus memperhatikan di sekelilingnya, dengan tatapannya yang begitu kosong."Aina! Kamu kenapa? Kenapa kamu teriak-teriak tidak jelas, hah!" ucap Nilam heran melihat sikap Aina yang begitu aneh."Bunda, Aina dimana?" sahut Aina."Dimana? Kamu di tempat uncemu," sahut Nilam yang begitu panik."Gak! Ini gak mungkin! Arghhhh," Aina memukul-mukul kepalanya, dan menangis tak karuan.Nilam yang bingung langsung mencoba menenangkan anaknya ini, dan langsung memeluknya. Ia pun meminta maaf ka
"Kamu gak papa?" tanya Aina pelan. "Ai." Dea langsung terisak tak sanggup berkata lagi. Aina pun langsung memberikan sambutan sebuah pelukan hangat kepada sahabatnya ini. "Ai ada yang ingin aku omongin sama kamu," ujar Dea menyeka air matanya. "Apa itu Dea?" jawab Aina. Obrolan me
Malam ini hujan membasahi kota, lampu kelap-kelip layaknya kunang-kunang malam berwarna kuning merah kejinggaan. Lalu lalang mobil memandikan tubuhnya menyusuri jalan yang sudah basah tak tertahan. "Jika teringat tentang dikau jauh di mata dekat dihati," suara pengamen jalan menghiasi malam halte sekarang. Dengan payung kecil ini, membuatnya sudah bersyukur bisa tiba di sini jauh dari keterlambatan. "Adek, ini buat kamu," ucapnya. "Terima kasih kak," ucap anak berusia 8 tahun tersebut lalu pergi dengan temannya yang dilihat tak jauh umurnya darinya dengan garis wajah yang begitu girang. "Kamu harus tahan, dan kuat sebentar lagi bayi kita lahir, sayang," ucap pria yang sedang mengelus perut buncit wanita di sebelahnya. Malam ini suasana begitu kompleks dengan kehidupan para anak manusia, hujan memberikan ketenangan akan damai, menyejukan pikiran yang awalnya panas kini sejuk dan ternyata. "Tolong!!!!" Tak jauh be
"Hai!" Neo menunjukan gigi putihnya yang rapi. Aina terbengong dengan mulut yang terbuka, dengan mata yang melotot heran, ditambah jantungnya yang sudah seperti adu balapan, Aina semakin menunjukan detik detik kecurigaan, Aina mencengkram kuat gaunnya, dan terus memperhatikan orang di depannya ini. Aina memundurkan langkahnya pelan, apa yang mengganggu pikirannya sekarang membuat jantung Aina beralun tak seirama, tangan kanannya mencoba menggapai sesuatu di belakangnya, namun nihil, jaraknya terhadap benda di belakangnya terasa amat jauh. Aina tak bisa berkedip melihat Neo sekarang. "Apa Neo selama ini yang menerorku," batin Aina terus berkata-kata. Neo yang merasa risih di lihat oleh Aina seperti ini mengikuti langkah Aina yang pelan, dan berulang kali menegur Aina, namun Aina terus melangkah mundur dengan diam, keringat mengalir membasahi dahinya bak biji jagung yang bermunculan. Keheningan yang terjadi sekarang, hanya meyisakan mereka berdu
"Aina bangun! Bangun! Kamu kenapa?" Nilam menggoyang-goyangkan bahu anaknya ini.Kini ia jadi sorotan orang banyak, dengan rambut yang benar-benar berantakan. Aina yang terbangun terus memperhatikan di sekitarnya, menggaruk-garuk lehernya, menyentuhnya, dan terus merabanya."Apa yang terjadi?" batin Aina.Semua orang berbisik memperhatikannya, Nilam yang benar-benar kalut, menarik tangan Aina dan membawanya ke kamar.Aina yang bingung terus memperhatikan di sekelilingnya, dengan tatapannya yang begitu kosong."Aina! Kamu kenapa? Kenapa kamu teriak-teriak tidak jelas, hah!" ucap Nilam heran melihat sikap Aina yang begitu aneh."Bunda, Aina dimana?" sahut Aina."Dimana? Kamu di tempat uncemu," sahut Nilam yang begitu panik."Gak! Ini gak mungkin! Arghhhh," Aina memukul-mukul kepalanya, dan menangis tak karuan.Nilam yang bingung langsung mencoba menenangkan anaknya ini, dan langsung memeluknya. Ia pun meminta maaf ka
"Unce?" ujar Aina yang begitu terkejutnya. "Kamu sedang apa? Apa yang kamu lihat?" ujar Devi yang membuat Aina langsung bingung harus jawab apa. "Itu, Aina tadi melihat-lihat suasana malam di langit, begitu indahnya," ujar Aina berusaha tetap tenang. "Sudah malam, cepat tidur ya, nanti mata panda lho," gurau Devi dan berlalu pergi. ****** Ini benar-benar melelahkan, bisa-bisanya sudah hampir satu jam berlalu Aina masih tidak bisa tidur, dan sekarang jam dinding sudah menunjukan pukul empat pagi. "Mending aku sholat," pikir Aina ia pun bangkit. Suara adzan telah berkumandang, Aina pun berjalan ke arah tempat berwudhu, yang tak jauh dari dapur, sungguh! Saat membukakan pintu ke arah tempat berwudhu, Jantung Aina seketika kontraksi melihat tempat ini sekarang, kenapa tempat perwudhuan ini begitu kotor sekali, layaknya sudah tak terurus lagi. Tampak serak serak dedaunan berjatuhan mengotori lantai tempat ini, lantai y
Mereka semua mengagungkannya, karena ada hidup yang harus mereka tanggung, dan memaksa mereka untuk masuk ke tempat seperti ini. "Hari ini saya yang akan menghandle kalian, apakah kalian sudah membawa berkas yang saya minta?" ujar pria berbadan kekar ini. "Saya sudah pak," sahut pria bertubuh tinggi ini. Saat pria kekar ini menengok ke sekitarnya, matanya yang begitu tajam, telinganya yang begitu peka, merasakan ada sesuatu yang ganjal di ruangan ini. Ia berjalan ke arah pria yang tampak mendengus, membuatnya merasa ada yang begitu aneh. Ia menutupi wajahnya dengan menundukan erat di atas lututnya yang sengaja ia tekukkan, membekap dirinya dalam kedua tangannya erat. Pria kekar ini mencoba memperhatikan lebih dekat dalam kegelapan ini, cahaya di ruangan ini begitu samar, lampu menyala hanya berada di ujung pintu masuk. Ia berjalan lebih pasti, lalu menghidupkan senter kecil di tangannya, tak lupa yang lain ikut bangkit karena rasa penasa
"Cowok siapa, Ai?" tanya Dea heran melihat ke arah yang di tunjuk Aina tidak ada seseorang yang dimaksud. "Tadi cowok itu disana, kenapa bisa cepat sekali perginya," batin Aina. Aina langsung beranjak pergi, mengejar pria bertopi itu, sedangkan Dea memilih tinggal dan fokus mendengarkan wanita berkacamata itu berbicara. Aina berjalan menyusuri panjangnya koridor sekolah ini, begitu sepi karena memang seluruh murid berada di Aula.Aina terus mencari, tapi tidak ia temukan pria bertopi hitam itu, dilihatnya sekelilingnya, tidak ada siapapun, hanya ada beberapa siswi yang pergi ke toilet satu, dua orang. Aina berlanjut menuju arah perpustakaan, yang mana jaraknya ke Aula lumayan jauh. Di mana perpustakaan ini berada di samping ruangan bekas barang-barang kantor yang sudah tidak terpakai lagi. Saat Aina memperhatikan perpustakaan itu, yang jauh beberapa langkah darinya, entah kenapa Aina merasa begitu yakin kalau pria itu ada di sana, tap
Pintu kamar ini seakan menjauh dari tempatnya, begitu jauh hingga mata manusia normal pun tak akan bisa mendapatinya. Aina semakin heran, kenapa benda-benda di sekitarnya mengecil dan berpindah tempat, gorden yang terbuka lebar langsung menampakan pohon besar di depan rumahnya. Aina semakin takut, ia seakan terbawa untuk melihat lebih jelas keadaan pohon tersebut.Aina beranjak dari tempat duduknya, ia genggam buku deary tersebut dalam lima jarinya, lalu ia buka pintu keluar dari balkon kamarnya, Aina melihat pohon besar di depan rumahnya lebih dekat dan lebih fokus, Begitu lebat dan hijau menggelap."Anak-anak kecil tertawa terbahak-bahak sambil menikmati main kelereng di bawah pohon besar, terlihat beberapa bapak-bapak duduk santai, mengobrol lelahnya pekerjaan mereka masing-masing, di antara mereka terlihat gadis kecil yang tak di perbolehkan bergabung, ia sendirian, berkali-kali ia memaksa pria paruh baya ini pulang, namun pria ini tetap fokus dengan obrolannya, ga
“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam. “Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. B