Aina terdiam, sebenarnya ia ingin menceritakannya, tapi ia takut jika Dea menjauhinya, apalagi melihat kejadian hari ini di luar akal sehatnya. “Aku tadi cuma mimpi buruk aja Dea, gak kenapa-kenapa kok,” ujar Aina.
Rasa penasaran Dea, membuat Aina merasa kalau Dea begitu peduli dengannya, Dea yang duduk manis langsung di pegang Aina pundaknya, bentuk ucapan betapa berterima kasihnya ia karena Dea telah mau berteman dengannya.
Lagi-lagi Aina tidak mampu menahan air matanya, sakit di masa lalu, masih terasa jika ia mengingatnya, perlakukan teman-temannya rupanya menggerogoti kenyamanan Aina selama ini. Sudah ada Dea yang mau berteman dengannya, tetap saja Aina terus di hantui rasa takut jika Dea akan ikut meninggalkannya. Dengan cepat ia mengusap air mata ini, takut jika Dea melihatnya seperti ini sekarang.
“Itu rumahku,” ujar Aina menunjuki dari balik kaca mobil.
“Mampir dulu, Dea,” tambah Aina dan berlalu turun.
“Kapan-kapan ya Ai, soalnya aku harus buru-buru pulang,” sahut Dea dari dalam mobil dan melambaikan tangannya.
Aina langsung buru-buru berteduh di depan rumah, sambil melihati kepergian mobil Dea tersebut.
Aina pun segera masuk, kebetulan rumah tidak di kunci, dan juga udara di luar begitu dingin.
Menggigil tubuhnya, ia langsung berlari kecil menuju kamar mandi umum di bawah, untuk mengganti baju dan bersih-bersih. Di hidupnya shower membasahi tubuhnya yang dingin dengan air hangat. Lumayan nyaman.
Mengguyurkan shampo sedikit demi sedikit di kepalanya yang terasa amat nyaman, bernyanyi santai ala Aina yang selalu percaya diri jika sudah berada di dalam kamar mandi. Selang beberapa detik, Aina mematikan shower yang begitu mengguyur tubuhnya, ia terdiam sejenak kala mendengar sesuatu seperti mendekati kamar mandi ini, begitu jelas.
Aina yang mudah peka langsung mendekatkan telinganya di badan pintu untuk memperjelas apa yang ia dengar, langkah itu, benar-benar terdengar di telinganya, begitu mendekat. Kembang kempis dada Aina menarik menghembuskan napas kasar.
Aina segera menarik handuk yang tergantung dan membalutkan di tubuhnya, untuk mengecek siapa yang berada di luar.
Turun naik jantung rasanya tak karuan berdetak kencang, ia benar-benar takut kejadian tadi terjadi lagi sekarang. Begitu gemetarannya sudah tangannya, yang benar-benar tidak sanggup rasanya membuka pintu kamar mandi ini. Perlahan namun pasti, ia terus terbawa kepada ketakutan yang terjadi di sekolah tadi, namun ia juga penasaran.
Ceklek! Aina membuka pintu ini namun dengan mata yang tertutup karena takut. “Aina, kapan kamu pulang nak?” spontan! Aina langsung membuka matanya mendengar suara tersebut.
“Bunda?” ujar Aina dengan mata yang membulat lebar.
Bu Nilam heran melihat Aina, terlebih melihat rambutnya penuh dengan busa-busa shampo. Meleleh lagi ke leher-lehernya. “Aina kamu belum selesai mandi, mau kemana?” ujar bu Nilam.
"Gak kemana-mana, Bunda," sahut Aina langsung kembali masuk ke kamar mandi.
Di balik pintu, Aina bersandar sambil memegang dadanya yang tak karuan berdetak, ia mencoba menenangkan dan kembali untuk melanjutkan mandinya.
Menyisir rambutnya menggunakan ke lima jarinya, sambil merenung kejadian aneh yang menimpanya hari ini. Aina terus berusaha mencari tau ada apa dengan dirinya sekarang.
******
Aina sudah selesai, dan kembali menuju kamarnya di atas di lantai dua. Ia berdiri dari atas anak tangga melihati bu Nilam bolak balik menuju pintu bawah tanah, heran. Namun aina tidak terlalu penasaran, ia pun langsung menuju kamarnya. Mengambil daster yang biasa ia pake, Lalu Aina menghempaskan tubuhnya di atas kasur berukuran king size tersebut, hari ini benar-benar melelahkan.
Lelah membuatnya terlarut dalam rasa kantuk yang begitu dalam, hingga memberatkan kedua matanya untuk membuka.
“Orang-orang berlarian, klakson mobil bersahut-sahutan, berkerumun menyesakkan tempat ini, terlihat anak kecil yang sedang membawa boneka terdiam di tengah jalur lampu merah sambil menangis, tidak ada satupun yang menghiraukannya, ia terus menangis semakin nyaring tapi semua orang tetap fokus kepada wanita yang pingsan itu, hingga dari arah yang tidak terduga melaju truk pengangkut tangki minyak menghantam gadis itu, hingga ia terlempar jauh beberapa langkah dari orang yang berkerumunan, truk tersebut tak terkendali hingga melanggar tiang listrik di depannya, boneka yang gadis itu pegang terlempar jauh dari keberadaannya hingga darah gadis itu mengalir di atas jalan raya bersih ini, namun satupun tidak ada yang menolongnya,”
“Bunda! Tolong aku! Sakit bunda!” ujar gadis kecil ini menahan sakit di kepalanya yang terus mengeluarkan darah, namun tidak ada satupun orang yang menolongnya.
Ditariknya sprai di atas ranjang yang kencang ini, hingga berantakan. Teriaknya membuat bu Nilam terkejut dan bergegas ke atas menuju kamar Aina. Betapa paniknya bu Nilam kamar anaknya ini terkunci.
Di gedornya berkali-kali namun Aina tidak juga membukainya, hingga bu Nilam berlari lagi ke bawah untuk mengambil kunci serep. Tapi lagi-lagi kunci lemari yang menaruh kunci serep tersebut lupa di mana ia menaruhnya. Bu Nilam semakin kalut, dan panik kalau terjadi apa-apa kepada putri semata wayangnya itu.
Bu Nilam langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil ponsel, untuk menelpon suaminya pak Hilman. Telepon tersebut hanya berdering, berkali-kali dihubungi pak Hilman tidak juga mengangkatnya. Bu Nilam semakin panik, suara teriakan Aina semakin menjadi, ia pun berlari lagi menuju kamar anaknya. Untuk menggedor-gedor pintunya namun untuk ke sekian kalinya juga Aina tidak membukainya.
Tiba-tiba suara bel dari lantai bawah berbunyi, bu Nilam berharap itu adalah suaminya, ia pun langsung turun ke bawah untuk membukakan pintu dengan langkah cepat.
Namun sayang ini bukanlah pak Hilman melainkan yang datang hanyalah tukang paket yang mengantarkan pesanan suaminya. Tanpa pikir panjang bu Nilam yang bingung harus minta tolong dengan siapa lagi, ia pun meminta bantuan pria paruh baya ini untuk mendobrak pintu kamar Aina, mereka berlari kecil menuju ke kamarnya, namun saat menaiki anak tangga yang terakhir, langkah bu Nilam terhenti kala melihat tv menyala di ruang tengah.
Betapa membulat lebarnya mata bu Nilam, kala melihat Aina yang sedang duduk di sofa ruang tengah, sontak bu Nilam tersentak mundur langkahnya kaget melihat Aina sekarang. Ia bolak-balik mencari cara membuka pintu kamar Aina, tapi saat ada bantuan tiba, Aina sekarang malah duduk di sofa. Bu Nilam mencengkram dadanya sesak, karena lelah bolak-balik turun tangga, keringat dingin membasahi dahinya.
Bu Nilam pun menghampiri Aina yang sedang duduk menonton tv. “Aina, kamu tadi kenapa? Bunda panik, sampai minta tolong dengan bapak ini,” ujar bu Nilam yang begitu paniknya.
“Aina tadi ketiduran, terus Aina turun karena haus,” jelas Aina yang membuat bu Nilam semakin bingung.
“Kamu tadi, teriak-teriak ada apa?” sahut bu Nilam yang begitu penasaran.
“Aina gak ada teriak-teriak,” sahut Aina melihat bu Nilam heran.
Tukang paket tersebut pun pamit untuk pulang, bu Nilam yang mengantarkannya ke depan rumah masih bertanya-tanya dalam pikirannya, kenapa dengannya hari ini, ia begitu jelas mendengar anaknya itu berteriak begitu nyaringnya, tapi saat mendengar jawaban Aina, bu Nilam semakin bingung, mana ponsel suaminya tidak bisa di hubungi, padahal ujar suaminya sore ini ia akan pulang, tapi hingga sekarang belum juga datang.
“Apa mungkin ini cuma halusinasi aku saja,” batin bu Nilam sambil mengigit kukunya dengan gemeteran.
“Bunda kenapa?” tanya Aina yang langsung berdiri menghampiri bu Nilam.
“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam. “Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. B
Pintu kamar ini seakan menjauh dari tempatnya, begitu jauh hingga mata manusia normal pun tak akan bisa mendapatinya. Aina semakin heran, kenapa benda-benda di sekitarnya mengecil dan berpindah tempat, gorden yang terbuka lebar langsung menampakan pohon besar di depan rumahnya. Aina semakin takut, ia seakan terbawa untuk melihat lebih jelas keadaan pohon tersebut.Aina beranjak dari tempat duduknya, ia genggam buku deary tersebut dalam lima jarinya, lalu ia buka pintu keluar dari balkon kamarnya, Aina melihat pohon besar di depan rumahnya lebih dekat dan lebih fokus, Begitu lebat dan hijau menggelap."Anak-anak kecil tertawa terbahak-bahak sambil menikmati main kelereng di bawah pohon besar, terlihat beberapa bapak-bapak duduk santai, mengobrol lelahnya pekerjaan mereka masing-masing, di antara mereka terlihat gadis kecil yang tak di perbolehkan bergabung, ia sendirian, berkali-kali ia memaksa pria paruh baya ini pulang, namun pria ini tetap fokus dengan obrolannya, ga
"Cowok siapa, Ai?" tanya Dea heran melihat ke arah yang di tunjuk Aina tidak ada seseorang yang dimaksud. "Tadi cowok itu disana, kenapa bisa cepat sekali perginya," batin Aina. Aina langsung beranjak pergi, mengejar pria bertopi itu, sedangkan Dea memilih tinggal dan fokus mendengarkan wanita berkacamata itu berbicara. Aina berjalan menyusuri panjangnya koridor sekolah ini, begitu sepi karena memang seluruh murid berada di Aula.Aina terus mencari, tapi tidak ia temukan pria bertopi hitam itu, dilihatnya sekelilingnya, tidak ada siapapun, hanya ada beberapa siswi yang pergi ke toilet satu, dua orang. Aina berlanjut menuju arah perpustakaan, yang mana jaraknya ke Aula lumayan jauh. Di mana perpustakaan ini berada di samping ruangan bekas barang-barang kantor yang sudah tidak terpakai lagi. Saat Aina memperhatikan perpustakaan itu, yang jauh beberapa langkah darinya, entah kenapa Aina merasa begitu yakin kalau pria itu ada di sana, tap
Mereka semua mengagungkannya, karena ada hidup yang harus mereka tanggung, dan memaksa mereka untuk masuk ke tempat seperti ini. "Hari ini saya yang akan menghandle kalian, apakah kalian sudah membawa berkas yang saya minta?" ujar pria berbadan kekar ini. "Saya sudah pak," sahut pria bertubuh tinggi ini. Saat pria kekar ini menengok ke sekitarnya, matanya yang begitu tajam, telinganya yang begitu peka, merasakan ada sesuatu yang ganjal di ruangan ini. Ia berjalan ke arah pria yang tampak mendengus, membuatnya merasa ada yang begitu aneh. Ia menutupi wajahnya dengan menundukan erat di atas lututnya yang sengaja ia tekukkan, membekap dirinya dalam kedua tangannya erat. Pria kekar ini mencoba memperhatikan lebih dekat dalam kegelapan ini, cahaya di ruangan ini begitu samar, lampu menyala hanya berada di ujung pintu masuk. Ia berjalan lebih pasti, lalu menghidupkan senter kecil di tangannya, tak lupa yang lain ikut bangkit karena rasa penasa
"Unce?" ujar Aina yang begitu terkejutnya. "Kamu sedang apa? Apa yang kamu lihat?" ujar Devi yang membuat Aina langsung bingung harus jawab apa. "Itu, Aina tadi melihat-lihat suasana malam di langit, begitu indahnya," ujar Aina berusaha tetap tenang. "Sudah malam, cepat tidur ya, nanti mata panda lho," gurau Devi dan berlalu pergi. ****** Ini benar-benar melelahkan, bisa-bisanya sudah hampir satu jam berlalu Aina masih tidak bisa tidur, dan sekarang jam dinding sudah menunjukan pukul empat pagi. "Mending aku sholat," pikir Aina ia pun bangkit. Suara adzan telah berkumandang, Aina pun berjalan ke arah tempat berwudhu, yang tak jauh dari dapur, sungguh! Saat membukakan pintu ke arah tempat berwudhu, Jantung Aina seketika kontraksi melihat tempat ini sekarang, kenapa tempat perwudhuan ini begitu kotor sekali, layaknya sudah tak terurus lagi. Tampak serak serak dedaunan berjatuhan mengotori lantai tempat ini, lantai y
"Aina bangun! Bangun! Kamu kenapa?" Nilam menggoyang-goyangkan bahu anaknya ini.Kini ia jadi sorotan orang banyak, dengan rambut yang benar-benar berantakan. Aina yang terbangun terus memperhatikan di sekitarnya, menggaruk-garuk lehernya, menyentuhnya, dan terus merabanya."Apa yang terjadi?" batin Aina.Semua orang berbisik memperhatikannya, Nilam yang benar-benar kalut, menarik tangan Aina dan membawanya ke kamar.Aina yang bingung terus memperhatikan di sekelilingnya, dengan tatapannya yang begitu kosong."Aina! Kamu kenapa? Kenapa kamu teriak-teriak tidak jelas, hah!" ucap Nilam heran melihat sikap Aina yang begitu aneh."Bunda, Aina dimana?" sahut Aina."Dimana? Kamu di tempat uncemu," sahut Nilam yang begitu panik."Gak! Ini gak mungkin! Arghhhh," Aina memukul-mukul kepalanya, dan menangis tak karuan.Nilam yang bingung langsung mencoba menenangkan anaknya ini, dan langsung memeluknya. Ia pun meminta maaf ka
"Hai!" Neo menunjukan gigi putihnya yang rapi. Aina terbengong dengan mulut yang terbuka, dengan mata yang melotot heran, ditambah jantungnya yang sudah seperti adu balapan, Aina semakin menunjukan detik detik kecurigaan, Aina mencengkram kuat gaunnya, dan terus memperhatikan orang di depannya ini. Aina memundurkan langkahnya pelan, apa yang mengganggu pikirannya sekarang membuat jantung Aina beralun tak seirama, tangan kanannya mencoba menggapai sesuatu di belakangnya, namun nihil, jaraknya terhadap benda di belakangnya terasa amat jauh. Aina tak bisa berkedip melihat Neo sekarang. "Apa Neo selama ini yang menerorku," batin Aina terus berkata-kata. Neo yang merasa risih di lihat oleh Aina seperti ini mengikuti langkah Aina yang pelan, dan berulang kali menegur Aina, namun Aina terus melangkah mundur dengan diam, keringat mengalir membasahi dahinya bak biji jagung yang bermunculan. Keheningan yang terjadi sekarang, hanya meyisakan mereka berdu
Malam ini hujan membasahi kota, lampu kelap-kelip layaknya kunang-kunang malam berwarna kuning merah kejinggaan. Lalu lalang mobil memandikan tubuhnya menyusuri jalan yang sudah basah tak tertahan. "Jika teringat tentang dikau jauh di mata dekat dihati," suara pengamen jalan menghiasi malam halte sekarang. Dengan payung kecil ini, membuatnya sudah bersyukur bisa tiba di sini jauh dari keterlambatan. "Adek, ini buat kamu," ucapnya. "Terima kasih kak," ucap anak berusia 8 tahun tersebut lalu pergi dengan temannya yang dilihat tak jauh umurnya darinya dengan garis wajah yang begitu girang. "Kamu harus tahan, dan kuat sebentar lagi bayi kita lahir, sayang," ucap pria yang sedang mengelus perut buncit wanita di sebelahnya. Malam ini suasana begitu kompleks dengan kehidupan para anak manusia, hujan memberikan ketenangan akan damai, menyejukan pikiran yang awalnya panas kini sejuk dan ternyata. "Tolong!!!!" Tak jauh be
"Kamu gak papa?" tanya Aina pelan. "Ai." Dea langsung terisak tak sanggup berkata lagi. Aina pun langsung memberikan sambutan sebuah pelukan hangat kepada sahabatnya ini. "Ai ada yang ingin aku omongin sama kamu," ujar Dea menyeka air matanya. "Apa itu Dea?" jawab Aina. Obrolan me
Malam ini hujan membasahi kota, lampu kelap-kelip layaknya kunang-kunang malam berwarna kuning merah kejinggaan. Lalu lalang mobil memandikan tubuhnya menyusuri jalan yang sudah basah tak tertahan. "Jika teringat tentang dikau jauh di mata dekat dihati," suara pengamen jalan menghiasi malam halte sekarang. Dengan payung kecil ini, membuatnya sudah bersyukur bisa tiba di sini jauh dari keterlambatan. "Adek, ini buat kamu," ucapnya. "Terima kasih kak," ucap anak berusia 8 tahun tersebut lalu pergi dengan temannya yang dilihat tak jauh umurnya darinya dengan garis wajah yang begitu girang. "Kamu harus tahan, dan kuat sebentar lagi bayi kita lahir, sayang," ucap pria yang sedang mengelus perut buncit wanita di sebelahnya. Malam ini suasana begitu kompleks dengan kehidupan para anak manusia, hujan memberikan ketenangan akan damai, menyejukan pikiran yang awalnya panas kini sejuk dan ternyata. "Tolong!!!!" Tak jauh be
"Hai!" Neo menunjukan gigi putihnya yang rapi. Aina terbengong dengan mulut yang terbuka, dengan mata yang melotot heran, ditambah jantungnya yang sudah seperti adu balapan, Aina semakin menunjukan detik detik kecurigaan, Aina mencengkram kuat gaunnya, dan terus memperhatikan orang di depannya ini. Aina memundurkan langkahnya pelan, apa yang mengganggu pikirannya sekarang membuat jantung Aina beralun tak seirama, tangan kanannya mencoba menggapai sesuatu di belakangnya, namun nihil, jaraknya terhadap benda di belakangnya terasa amat jauh. Aina tak bisa berkedip melihat Neo sekarang. "Apa Neo selama ini yang menerorku," batin Aina terus berkata-kata. Neo yang merasa risih di lihat oleh Aina seperti ini mengikuti langkah Aina yang pelan, dan berulang kali menegur Aina, namun Aina terus melangkah mundur dengan diam, keringat mengalir membasahi dahinya bak biji jagung yang bermunculan. Keheningan yang terjadi sekarang, hanya meyisakan mereka berdu
"Aina bangun! Bangun! Kamu kenapa?" Nilam menggoyang-goyangkan bahu anaknya ini.Kini ia jadi sorotan orang banyak, dengan rambut yang benar-benar berantakan. Aina yang terbangun terus memperhatikan di sekitarnya, menggaruk-garuk lehernya, menyentuhnya, dan terus merabanya."Apa yang terjadi?" batin Aina.Semua orang berbisik memperhatikannya, Nilam yang benar-benar kalut, menarik tangan Aina dan membawanya ke kamar.Aina yang bingung terus memperhatikan di sekelilingnya, dengan tatapannya yang begitu kosong."Aina! Kamu kenapa? Kenapa kamu teriak-teriak tidak jelas, hah!" ucap Nilam heran melihat sikap Aina yang begitu aneh."Bunda, Aina dimana?" sahut Aina."Dimana? Kamu di tempat uncemu," sahut Nilam yang begitu panik."Gak! Ini gak mungkin! Arghhhh," Aina memukul-mukul kepalanya, dan menangis tak karuan.Nilam yang bingung langsung mencoba menenangkan anaknya ini, dan langsung memeluknya. Ia pun meminta maaf ka
"Unce?" ujar Aina yang begitu terkejutnya. "Kamu sedang apa? Apa yang kamu lihat?" ujar Devi yang membuat Aina langsung bingung harus jawab apa. "Itu, Aina tadi melihat-lihat suasana malam di langit, begitu indahnya," ujar Aina berusaha tetap tenang. "Sudah malam, cepat tidur ya, nanti mata panda lho," gurau Devi dan berlalu pergi. ****** Ini benar-benar melelahkan, bisa-bisanya sudah hampir satu jam berlalu Aina masih tidak bisa tidur, dan sekarang jam dinding sudah menunjukan pukul empat pagi. "Mending aku sholat," pikir Aina ia pun bangkit. Suara adzan telah berkumandang, Aina pun berjalan ke arah tempat berwudhu, yang tak jauh dari dapur, sungguh! Saat membukakan pintu ke arah tempat berwudhu, Jantung Aina seketika kontraksi melihat tempat ini sekarang, kenapa tempat perwudhuan ini begitu kotor sekali, layaknya sudah tak terurus lagi. Tampak serak serak dedaunan berjatuhan mengotori lantai tempat ini, lantai y
Mereka semua mengagungkannya, karena ada hidup yang harus mereka tanggung, dan memaksa mereka untuk masuk ke tempat seperti ini. "Hari ini saya yang akan menghandle kalian, apakah kalian sudah membawa berkas yang saya minta?" ujar pria berbadan kekar ini. "Saya sudah pak," sahut pria bertubuh tinggi ini. Saat pria kekar ini menengok ke sekitarnya, matanya yang begitu tajam, telinganya yang begitu peka, merasakan ada sesuatu yang ganjal di ruangan ini. Ia berjalan ke arah pria yang tampak mendengus, membuatnya merasa ada yang begitu aneh. Ia menutupi wajahnya dengan menundukan erat di atas lututnya yang sengaja ia tekukkan, membekap dirinya dalam kedua tangannya erat. Pria kekar ini mencoba memperhatikan lebih dekat dalam kegelapan ini, cahaya di ruangan ini begitu samar, lampu menyala hanya berada di ujung pintu masuk. Ia berjalan lebih pasti, lalu menghidupkan senter kecil di tangannya, tak lupa yang lain ikut bangkit karena rasa penasa
"Cowok siapa, Ai?" tanya Dea heran melihat ke arah yang di tunjuk Aina tidak ada seseorang yang dimaksud. "Tadi cowok itu disana, kenapa bisa cepat sekali perginya," batin Aina. Aina langsung beranjak pergi, mengejar pria bertopi itu, sedangkan Dea memilih tinggal dan fokus mendengarkan wanita berkacamata itu berbicara. Aina berjalan menyusuri panjangnya koridor sekolah ini, begitu sepi karena memang seluruh murid berada di Aula.Aina terus mencari, tapi tidak ia temukan pria bertopi hitam itu, dilihatnya sekelilingnya, tidak ada siapapun, hanya ada beberapa siswi yang pergi ke toilet satu, dua orang. Aina berlanjut menuju arah perpustakaan, yang mana jaraknya ke Aula lumayan jauh. Di mana perpustakaan ini berada di samping ruangan bekas barang-barang kantor yang sudah tidak terpakai lagi. Saat Aina memperhatikan perpustakaan itu, yang jauh beberapa langkah darinya, entah kenapa Aina merasa begitu yakin kalau pria itu ada di sana, tap
Pintu kamar ini seakan menjauh dari tempatnya, begitu jauh hingga mata manusia normal pun tak akan bisa mendapatinya. Aina semakin heran, kenapa benda-benda di sekitarnya mengecil dan berpindah tempat, gorden yang terbuka lebar langsung menampakan pohon besar di depan rumahnya. Aina semakin takut, ia seakan terbawa untuk melihat lebih jelas keadaan pohon tersebut.Aina beranjak dari tempat duduknya, ia genggam buku deary tersebut dalam lima jarinya, lalu ia buka pintu keluar dari balkon kamarnya, Aina melihat pohon besar di depan rumahnya lebih dekat dan lebih fokus, Begitu lebat dan hijau menggelap."Anak-anak kecil tertawa terbahak-bahak sambil menikmati main kelereng di bawah pohon besar, terlihat beberapa bapak-bapak duduk santai, mengobrol lelahnya pekerjaan mereka masing-masing, di antara mereka terlihat gadis kecil yang tak di perbolehkan bergabung, ia sendirian, berkali-kali ia memaksa pria paruh baya ini pulang, namun pria ini tetap fokus dengan obrolannya, ga
“Gak papa kok sayang, mungkin bunda hanya kelelahan saja,” sahut bu Nilam. “Ya udah bunda mau melanjutkan membersihkan ruangan bawah tanah dulu,” lanjut bu Nilam yang diangguk Aina, dan ia pun ikut menyusul untuk membantu.Karena dirasa tidak terjadi apa-apa dengan Aina, bu Nilam pun kembali melanjutkan bersih-bersih ke ruangan bawah tanah dibantu oleh Aina sendiri. Sebenarnya ia cukup lelah tapi mengingat tiga hari lagi ruangan ini akan di jadikan tempat penyimpanan bibit bunga mawarnya, apalagi ruangan ini sangat berdebu sekali, tentu sangat tidak nyaman jika dilihat.Sebenarnya bu Nilam bisa saja menyuruh orang untuk membersihkannya, tapi bu Nilam terlalu tidak biasa pekerjaan rumah yang menurutnya masih bisa ia kerjakan tapi malah meminta bantuan orang lain. B