Share

The Secret Admire's Love
The Secret Admire's Love
Penulis: Lavender My Name

Awal Pertemuan

Penulis: Lavender My Name
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bugh. Bugh. Bugh. Seorang bocah laki-laki, berusia sekitar 14 tahunan, menjadi bulan-bulanan sekelompok remaja pengangguran di sudut jalanan yang harus ia lalui setiap pulang sekolah. Dan hari ini adalah hari naas baginya, karena bertemu dengan sekelompok remaja yang memang terkenal sering membuat onar di lingkungan sekitar daerah tersebut.

Tubuhnya yang kecil, membuatnya terlihat tak berdaya dan menjadi sasaran empuk ketika remaja-remaja itu gagal memeras orang lain. Kekesalan mereka, mereka tumpahkan pada seorang bocah yang sebenarnya berusia tidak jauh dari mereka. 

Ketika tubuh kecil itu sudah tidak bergerak barulah mereka menghentikan pukulan-pukulan itu, dan meninggalkannya begitu saja. Wajah bocah itu sudah tidak berbentuk lagi, lebam di sana sini, darah mengucur di kedua sudut bibirnya. Pelipis kanan dan kiri pun sobek meninggalkan bekas yang juga mengeluarkan darah segar. Pakaian seragam sekolahnya sudah tidak berwarna putih lagi melainkan coklat merah kehitaman.

Setelah tidak terdengar lagi suara para pembuat onar tersebut, bocah remaja malang itu, mencoba membuka matanya, tubuhnya yang terbaring dengan posisi tengkurap, terasa lemas, tak bertenaga. Rasa perih ia rasakan di sekujur tubuhnya. Ingin ia menangis, tetapi ia ingat akan pesan almarhum ayahnya, jangan menangis, bersyukurlah ketika kau tertimpa kemalangan, itu artinya engkau sangat dekat dengan keberuntungan. Yang kau butuhkan hanyalah sedikit lagi kesabaran, maka, ketika  kau sudah bersabar, tunggulah, akan ada keajaiban yang akan datang kepadamu, tanpa disangka-sangka. Hanya itu yang ia pegang setiap kali kejadian ini menimpanya. Ia terus berusaha bersabar, berharap keberuntungan seperti yang almarhum ayahnya katakan akan segera datang menghampirinya. 

Ia mencoba bangkit, dengan mencari sesuatu yang bisa ia jadikan pegangan untuk menopang dirinya saat mencoba untuk berdiri. Ia tidak menemukan apapun selain pohon mangga yang terletak sekitar 10 langkah dari tempatnya tergeletak. Ia merangkak perlahan untuk mencapai pohon mangga itu, sambil sesekali meringis menahan sakit karena luka di lutut dan siku tangannya bergesekan dengan jalan.  Sesampainya di depan pohon itu, ia mencoba menegakkan badan dari posisi merangkaknya, lalu dengan berpegangan pada pohon itu, ia berusaha berdiri pelan. sangat pelan mengingat luka di lutut kanannya  cukup parah. 

Setelah berusaha cukup lama, bocah remaja itu akhirnya dapat berdiri, tidak sempurna karena luka di lututnya tidak mampu membuatnya berdiri tegak, tapi cukuplah untuk dirinya berjalan meski harus berjalan dengan tertatih. Ia berjalan terseok-seok dengan menjadikan apapun yang ia temui, entah itu pohon atau pagar atau tembok, untuk ia jadikan pegangan saat berjalan.

Bocah remaja malang itu adalah aku. Satya. Anak yatim yang selalu menjadi sasaran empuk para pemuda pembuat onar di daerah tempat tinggalku. Tubuhku yang kurus kecil, membuat ku terlihat semakin lemah sehingga mudah ditindas mereka yang berbadan lebih besar dan kekar. 

Saat aku  masih berkonsentrasi bagaimana caranya berjalan dengan benar, terdengar jeritan seorang gadis kecil yang entah sejak kapan berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.

"Papah....!" teriak gadis kecil itu memanggil papahnya, yang saat itu tidak terlihat berdiri di dekatnya. Tak juga datang, ia kembali berteriak memanggil papahnya kembali, hingga pada akhirnya datanglah seorang pria bertubuh tegap, tampan lagi berkharisma dengan masih memakai kemeja lengkap dengan dasinya. Gadis kecil itu menunjuk ke arah bocah remaja yang tengah berdiri linglung dengan luka disekujur tubuh dan wajahnya.

Pria dewasa itu mengikuti arah yang ditunjukkan oleh gadis kecilnya, dan ia terkejut mendapati pemandangan di hadapannya. Gadis itu berlari mendahului pria yang ia panggil sebagai papahnya itu. Berlari sambil menangis. Berlari menuju ke arahku, bocah remaja yang babak belur wajah dan sekujur tubuhnya.

"Papah... Papah... Lihat kakak ini.... Hiks.... Hiks.... Huaaaah... Kakak... Mana yang sakit... Semua sakit.... Huaaah... Papah.... Cepat bawa kakak ini ke rumah sakit Papah... Ayo cepat Papah.... Lihat darahnya banyak sekali... Hiks... Hiks... Huaaah.." ucap gadis itu panik begitu ia melihat dari dekat kondisiku, bocah malang itu. Ia menjadi heboh dan panik sendiri. 

Pria itu lantas dengan cepat menggulung lengan kemejanya dan membopongku ke dalam gendongannya. Gadis itu mengiringi langkah papahnya dibelakang sambil terus terisak kecil. Entah karena rasa lapar yang sudah kurasakan sejak keluar dari gerbang sekolah atau karena banyaknya darah yang keluar dari luka-luka ditubuhku, aku merasa pandangan ku kian kabur, semua terlihat samar-samar, kemudian semua menjadi gelap. Yah, aku akhirnya pingsan dalam gendongan pria dewasa yang tidak aku kenal.

Sudah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Kini aku mencoba membuka mataku. Kabur. Tidak tampak warna apapun. Semua putih. Kucoba membuka mataku lebih lebar lagi dari sebelumnya. Masih sama. Putih. Hanya warna putih yang aku lihat. Aku mulai panik. Kulebarkan lagi bukaan mataku. Tetap sama. Hanya warna putih yang telihat.

Hatiku mencelos. Merinding. Lemas. Jantungku mulai berdetak tak beraturan. Apakah aku sudah mati? Betulkah aku sudah mati? Lalu, dimana ayahku? Mengapa tidak tampak sosok yang sangat aku hormati dan sayangi itu? Ayah? Ayah? Aku mulai menangis di dalam hati. Mengapa aku sendiri? Ibu... Ibu... Aku mulai mencari keberadaan wanita yang sangat aku sayangi...

Kulayangkan pandanganku ke segkala arah. Tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Hanya tampak warna putih. Tidak ada yang lain. Kecemasan kian melandaku. Kurasakan keringat mulai keluar membasahi kening, pelipis dan tanganku. Tubuhku terasa lemas. 

Kucoba menoleh ke sebelah kananku. Tampak tiang infus menggelantung berikut selangnya yang kulihat perlahan terpasang di tangan kananku. Aku mengerjapkan mataku. Infus. Tiang, Selang. Berarti aku masih hidup, gumamku dalam hati. Aku masih hidup, gumamku sekali lagi. Lalu kuputar pandanganku ke sebelah kiriku. Terlihat seorang gadis kecil tertidur diatas pangkuan pria berkemeja biru laut, yang sedang terlibat percakapan lewat benda pipih yang menempel ditelinga kirinya.

Pria itu tanpa sengaja melihat kearahku, kemudian dengan cepat ia mengakhiri pembicaraannya. Dengan hati-hati, ia meletakkan gadis kecil itu di sofa yang ia duduki tadi. Pria itu lalu bergegas mendatangiku. Memegang tanganku, memeriksa nadi dileherku. Tangannya lalu menekan tombol putih yang terletak di dinding, di samping tempat tidurku.

Beberapa menit kemudian, datanglah dokter dan seorang perawat. Mereka memeriksaku. Mereka kemudian berbincang agak menjauh dari tempatku berbaring sedangkan perawat mengganti infusku yang sudah mulai menipis.

Tak berapa lama dokter dan perawat tersebut pergi. Tinggallah aku, pria penolongku dan gadis kecil yang masih tertidur itu. 

"Hai.." sapa pria itu setelah ia sampai di samping tempatku berbaring. Aku hanya diam sembari mengerjapkan mataku, yang kumaksudkan sebagai sapaan balikku terhadapnya.

"Namamu Satya? Putra Almarhum Bapak Raharja?" tanyanya lagi. 

Kini aku menganggukkan kepalaku. 

"Saya sudah mengirim kabar pada Bu Rasti.. Sebentar lagi beliau akan datang. Jadi kamu tidak perlu kuatir lagi. Istirahatlah dulu. Tenang dan tidak usah khawatir, ada kami yang akan menjagamu. Tidurlah lagi," tutur pria yang belum kuketahui namanya itu

Dan tidak tahu mengapa, setelah mendengar kata-katanya, aku kembali tertidur. 

Bab terkait

  • The Secret Admire's Love   Namanya Hira

    Aku menghabiskan waktu selama tiga hari dua malam di rumah sakit untuk menyembuhkan luka-lukaku. Untung tidak ada satu pun bagian dari tubuhku yang mengalami patah tulang. Hanya memar saja. Semua biaya rumah sakit sudah dilunasi Ibu. Dan hari ini, hari ketiga, aku sudah diijinkan pulang oleh Dokter Erwin, dokter yang merawatku. Ada satu pesan dari Dokter Erwin yang terus terngiang di telingaku. "Saatnya kamu menunjukkan siapa kamu sebenarnya, agar kamu bisa melindungi orang-orang yang kamu sayangi. Jadikan ini sebagai awal baru hidupmu". Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Berjalan disamping wanita cantik yang sudah melahirkanku. Sesaat kurasakan tangan lembutnya menepuk punggungku pelan. Tepukan yang mengalirkan rasa nyaman dan hangat dalam diriku. Aku menundukkan kepalaku. Tanpa sadar, diujung pelupuk kedua mataku, sudah terbentuk beberapa kristal bening yang siap jatuh membasahi pipiku. Wanita cantik itu menghentikan langkahnya. Re

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • The Secret Admire's Love   Namaku Satya

    Seminggu sudah kejadian penganiayaan itu berlalu. Kini aku kembali masuk sekolah. Aku sekarang duduk di tingkat menengah pertama, kelas 2. Kali ini aku berangkat dengan sepeda. Iya, ibu membelikanku sepeda agar tidak perlu melewati jalan tikus yang selalu digunakan tempat nongkrong anak-anak yang tidak jelas identitasnya. Namun sejak kejadian yang aku alami jalan tersebut sepi. Tidak ada lagi anak-anak nongkrong yang sering kali memeras orang yang sedang melintasi jalan tersebut, atau pesta minum-minuman keras yang ujungya berakhir dengan kericuhan diantara mereka sendiri. Perangkat kerukunan warga bersama warga memutuskan untuk membangun pos keamanan yang dijaga oleh hansip dan warga dengan jadwal bergiliran. Hal ini untuk mencegah kejadian penganiayaan dan pemerasan berulang kembali. Aku mengayuh sepedaku. Saat hendak berbelok ke kanan, aku melihat seorang gadis kecil berjalan bersama seorang wanita yang usianya tidak jauh dari ibuku, sambil memanggul t

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • The Secret Admire's Love   Bertahanlah Hira

    Pagi ini, aku berangkat agak lebih pagi dari biasanya, karena ada jam praktik di laboratorium fisika di jam ke 0. Ibu menyiapkan bekal 2 rangkap roti isi selai kacang kesukaanku serta air putih hangat seperti biasanya. Aku tidak begitu suka pergi ke kantin. Aku hanya akan ke sana bila diseret paksa oleh teman-temanku. Bukan tanpa alasan. Sekali lagi, aku tidak suka dengan keramaian. Satu-satunya keramaian yang aku suka hanya keramaian pada saat tim basketku melawan tim dari sekolah lain dalam suatu pertandingan. Kembali ke masalah kantin tadi. Karena kantin selalu penuh saat jam istirahat, maka sebisa mungkin aku menghindari kantin. Aku tidak suka dengan perhatian lebih yang diberikan oleh gadis-gadis labil di sekolahku, bila aku berada di kantin. Aku tidak seperti Aji, sang Ketua OSIS, yang justru terlihat santai bila didekati oleh kaum hawa. Sejak dulu. Sejak pertama kali aku menapakkan kakiku di sekolah ini, aku sudah membatasi diriku sendiri untuk tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • The Secret Admire's Love   Kembali Tersenyum

    Mobil SUV hitam mengkilat keluar dari rumah mewah yang berada 5 blok setelah rumahku. Aku kembali mengayuh sepedaku dengan kencang. Sesampainya di depan rumah, aku melihat Om Gunawan sudah menggendong Hira menuju ke mobil hitam itu. Tante Ratih membukakan pintu mobil baris kedua dan masuk terlebih dahulu untuk memangku Hira. Om Gunawan menepuk pundakku. Aku menatap tubuh Hira yang berada di pangkuan Tante Ratih. "Nanti Om kabari keadaan Hira," ucap Om Gunawan kembali menepuk pundakku. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bersuara sedikitpun. Mobil itu melesat menerjang panasnya terik matahari. Aku terduduk di serambi depan toko ibu. Saat dimana tubuh Hira berhasil aku tangkap dan kudekap erat, melintas kembali di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak berada di sana. Seandainya tadi langsung pulang seperti biasa. Siapa yang akan menolongnya? Siapa yang akan menggendongnya pulang? Begitu banyak pengandaian dan pertanyaan yang kuciptakan. Aku menghela nafa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • The Secret Admire's Love   Dari Jauh

    Empat hari sudah berlalu. Keadaan Hira semakin membaik. Om Gunawan bercerita Hira sempat menanyakan penolongnya, namun karena kesepakatan yang sudah dibuat, maka mereka merahasiakan identitasku, dan mengatakan bahwa yang menolong saat ia pingsan adalah teman baik papa yang saat itu kebetulan sedang melintas di jalan yang dilalui Hira. Aku sendiri tidak bisa menengok Hira setiap hari. Aku hanya bisa menengok Hira pada dua hari setelah malam saat aku menengoknya bersama ibu. Hari ketiga, aku latihan basket selama 2 hari berturut-turut dan saat ini aku sedang mempersiapkan diri bersama tim untuk mengikuti lomba matematika tingkat provinsi. Aku mengetahui perkembangan kesehatan Hira dari ibu yang menelpon atau terkadang ditelpon Om Gunawan. Besok Hira sudah bisa pulang, tapi belum diperbolehkan masuk sekolah. Paling tidak ia masih melanjutkan istirahat di rumah selama dua hari baru ia bisa kembali bersekolah. Aku saat ini sedang menjalani masa k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • The Secret Admire's Love   Ketahuan

    Ibu mengantarku ke sekolah pagi ini. Hari ini aku akan berangkat mengikuti lomba matematika selama dua hari. Ibu memelukku erat sambil mengusap-usap lembut punggungku. Agak lama beliau memelukku, mungkin sambil merapal doa untukku. "Jangan lupa berdoa. Serahkan semua pada yang diatas. Ibu hanya ingin kamu pulang ke rumah dengan selamat," ucap Ibu. Dikecupnya dengan sayang keningku, dan kedua pipiku layaknya seorang bayi. Aku memang akan selalu menjadi bayi di mata dan hatinya. Bayi yang mulai tumbuh menjadi remaja labil, hehehe, kekehku dalam hati. Aku berjalan masuk ke ruang aula yang berada sebelum gedung tempat kelasku berada. Aku melangkah masuk dan menaruh tas ransel di atas meja yamg biasanya digunakan untuk menerima tamu. Aku memasang head set dan mulai memutar lagu kesayanganku, menunggu kedatangan guru dan teman-temanku yang lain. Tidak lama menunggu, satu per satu teman se-timku mulai berdatangan. Tim matematika yang dikirim

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • The Secret Admire's Love   Erick

    Hira masih sibuk memilih jajan yang akan ia bawa untuk bekal di sekolahnya besok. Sesaat sebelumnya ia memilih buku gambar yang terletak di etalase tempat ku duduk di belakangnya. Ia terus melihat ke arah etalase. Aku sempat terkejut karena ia menatap ke arah etalase sambil menyunggingkan senyum manisnya. Kukira ia mengetahui keberadaanku. Ternyata, aku salah. Senyum yang menghias wajahnya itu dikarenakan gambar sampul buku gambar yang ada di etalase adalah gambar kesukaannya. Snow White. Aku terkekeh dalam hati, menertawakan ke-pede-an ku yang kebablasan. Aku menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah yang sedikit tergesa karena kuatir Hira akan mengetahui keberadaanku di toko. Di dalam ketergesaanku, aku teringat akan oleh-oleh yang aku belikan untuk Hira kemarin. Beruntung saat ini Hira sedang berbelanja di toko ibu, aku segera berlari mengambil bungkusan kecil itu yang masih berada di dalam tas ranselku. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • The Secret Admire's Love   Mengikuti Erick

    Kata-kata ibu barusan tidak bisa kumengerti sepenuhnya. Apa maksudnya saatnya aku kembali mengenal siapa diriku sebenarnya? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pria blasteran di hadapanku hanya duduk diam seribu bahasa. Raut wajahnya angkuh dan dingin. Rahangnya seperti dipahat menjadi bentuk paling kaku yang pernah aku temui. Aku terus menelusuri semua yang ada pada dirinya. Wajah blasteran, bentuk wajah kaku, aura dingin dari dirinya berusaha mengintimidasiku. Jas yang ia pakai tampak bukan sembarang jas. Sangat jelas terlihat bila itu buatan penjahit profesional. Lama ku berdiam diri. Bermain dengan pikiran dan imajinasiku sendiri tentang pria dingin yang ada di depanku. Kupikir, dengan diamku yang begitu lama, ia akan mengajukan keberatan dan memecah kesunyian diantara kami dengan perintah atau petuah khas seorang asisten yang mengingatkan tuannya akan jadwal atau kegiatan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Asisten? Sebut saja pria yang bernama Erick

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 2 (End)

    Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 1

    "What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest

  • The Secret Admire's Love   The Truth

    Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?

  • The Secret Admire's Love   Tell Me The Truth

    Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b

  • The Secret Admire's Love   Here They Are

    Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa

  • The Secret Admire's Love   A Tough Decision

    Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb

  • The Secret Admire's Love   Deep Condolences

    Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan

  • The Secret Admire's Love   Sakit

    "Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal

  • The Secret Admire's Love   Menikungmu

    Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag

DMCA.com Protection Status