Mobil SUV hitam mengkilat keluar dari rumah mewah yang berada 5 blok setelah rumahku. Aku kembali mengayuh sepedaku dengan kencang. Sesampainya di depan rumah, aku melihat Om Gunawan sudah menggendong Hira menuju ke mobil hitam itu. Tante Ratih membukakan pintu mobil baris kedua dan masuk terlebih dahulu untuk memangku Hira.
Om Gunawan menepuk pundakku. Aku menatap tubuh Hira yang berada di pangkuan Tante Ratih. "Nanti Om kabari keadaan Hira," ucap Om Gunawan kembali menepuk pundakku. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bersuara sedikitpun.
Mobil itu melesat menerjang panasnya terik matahari. Aku terduduk di serambi depan toko ibu. Saat dimana tubuh Hira berhasil aku tangkap dan kudekap erat, melintas kembali di kepalaku. Seandainya tadi aku tidak berada di sana. Seandainya tadi langsung pulang seperti biasa. Siapa yang akan menolongnya? Siapa yang akan menggendongnya pulang? Begitu banyak pengandaian dan pertanyaan yang kuciptakan.
Aku menghela nafas, lalu beranjak dari dudukku, membawa masuk sepedaku dan meletakkannya di garasi, di samping mobil sedan ibu. Aku mengganti baju seragamku yang basah oleh keringat, dengan kaos oblong berwarna biru, setelah sebelumnya membersihkan tubuh dari lengketnya keringat yang melekat di tubuhku akibat tadi berlari dan bersepeda mengejar waktu.
Aku melangkahkan kaki ke meja makan, mengisi perutku yang sudah berteriak meminta jatah makan siang. Ibu berjalan mendekatiku lalu menarik kursi di seberangku dan duduk menghadap ke arahku.
"Barusan Om Gunawan menelpon, menitip ucapan terimakasih untukmu karena sudah menolong Hira. Telat sedikit Hira mungkin tidak bisa tertolong," ibu berkata dengan suara rendah, sembari menatapku sendu. Aku diam tercenung mendengar perkataan ibu. " Nanti malam selepas Isya kita menjenguk Hira ya.." ucap ibu kembali menatapku. Aku menjawab dengan nada pelan,"Iya, Bu,".
Sore harinya, aku menghabiskan waktu dengan mengerjakan semua tugas yang kudapat hari ini. Kebiasaan mempelajari pelajaran esok hari kulakukan setelah aku menyelesaikan semua tugas-tugasku. Makan malam yang biasanya berlangsung selepas sholat Isya kulakukan ba'da maghrib. Pikiranku hanya satu, selesaikan semuanya secepat mungkin, sehingga ketika aku dan ibu menengok Hira, sudah tidak ada lagi beban yang harus aku tanggung.
Pak Hadi mengendarai mobil sedan putih milik ibu dengan kecepatan sedang. Aku hanya diam sambil menatap ke jalan yang dipadati mobil-mobil yang beranjak pulang ke tempat peraduan sang tuan. Ibu pun demikian. Tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi, memasuki halaman parkir rumah sakit yang luas. Pak Hadi memarkirkan mobil tepat di depan jalan masuk lobby utama rumah sakit. Aku dan ibu melangkah keluar dari mobil. Aku mengambil bingkisan yang sudah dipersiapkan ibu untuk diberikan kepada Hira, yang diletakkan di bagasi mobil.
Aku melangkahkan kaki ke arah meja resepsionis, mendahului ibu. Setelah mendapat informasi di ruang mana Hira mendapat perawatan, aku menyusul ibu yang duduk di kursi tunggu. Kami berdua berjalan menuju sayap kiri gedung menyusuri selasar rumah sakit, menuju paviliun yang berada di ujung gedung sayap kiri, tempat Hira di rawat.
Berjalan selama lima menit, langkah kaki kami akhirnya terhenti di depan bangunan ber cat putih khas rumah sakit, dengan sebuah papan berukir indah yang bertuliskan "Paviliun Bougenville 3A". Pada daun pintu terpasang nama pasien, Hira dan nama dokter yang merawat Dokter Indra.
Kuketuk pintu di hadapanku. Tak berapa lama kemudian daun pintu itu terbuka dari dalam. Tante Ratih tersenyum seraya memelukku, tangannya berulang kali mengusap-usap punggungku. Punggungku terasa basah. Samar terdengar di pendengaranku, isakan pelan Tante Ratih. "Terimakasih.. Terimakasih ya sayang.." ucapnya lirih disela isak tangisnya. Aku membalas pelukannya sembari menepuk punggung beliau pelan. Beliau justru semakin erat memelukku dan isakannya berubah menjadi tangisan panjang. Aku menghentikkan tepukan tanganku di punggungnya, dan menatap ke arah Hira yang terbaring dengan mata terpejam.
Om Gunawan berjalan ke arah kami, dan merengkuh istrinya ke dalam pelukannya, meminta maaf atas sikap istrinya yang belum bisa mengendalikan perasaannya. Ibu menatap Tante Ratih dan berjalan ke arahnya. Om Gunawan melepas rengkuhannya dan membiarkan ibu mendekap tante Ratih dalam pelukan hangatnya.
"Mbakyu.." tangis tante Ratih kembali pecah dalam pelukan ibu.
"Iya.. Sudah.. Tidak apa-apa.. Hira sudah dalam penanganan dokter terbaik.. dan kondisinya pun sudah berangsur membaik.. tidak apa-apa.." ujar ibu menenangkan.
Aku berjalan mendekat ke arah Hira berbaring. Wajah gadis itu masih pucat tapi tidak sepucat tadi saat ku gendong tubuhnya. Nafasnya pun sudah teratur. Aku duduk di kursi yang terletak persis di samping tempat tidur Hira. Kugenggam tangannya. Hangat. Lalu kuletakkan kembali tangannya di samping badannya.
"Hira mengalami dehidrasi. Kondisi dehidrasi Hira lumayan berat. Tubuh Hira kekurangan air sebesar 6% dari jumlah yang seharusnya, dan ini sangat berbahaya bila tidak segera ditangani. Oleh karena itu, Om dan Tante sangat berterimakasih karena kamu sudah bertindak cepat menolong Hira. Untung ada kamu, Sat," terdengar suara Om Gunawan yang sudah berdiri di samping kananku.
"Sama-sama Om," jawabku singkat setelah mengalihkan pandanganku dari wajah cantik Hira ke wajah tampan Om Gunawan.
"Berapa lama Hira akan dirawat di sini Om?" tanyaku pelan.
"Belum tahu,Sat. Yang jelas sampai Hira benar-benar sehat. Om akan memastikan anak Om yang manja ini harus mendapatkan pelayanan dan perawatan terbaik di rumah sakit ini," tegas Om Gunawan sambil tersenyum saat mengucapkan kata manja untuk anak gadisnya itu.
"Kamu kelas berapa Sat?" tanya lelaki tampan itu.
"Kelas 2 Om," jawabku singkat.
"Anggota tim basket ya?" tanyanya lagi.
"Kok bisa tahu Om?" tanyaku heran.
"Perawakanmu itu perawakan pemain basket. Om dulu main basket waktu masih sekolah, jadi tukang dribble bola," ujarnya terdengar bangga, memulai ceritanya mengenang masa remaja dulu.
Satu jam berlalu. Ibu akhirnya berpamitan pada Tante Ratih dan Om Gunawan. Sebelum pergi meninggalkan kamar tempat Hira dirawat, aku berpesan untuk tidak menceritakan pada Hira siapa yang membawanya pulang saat ia pingsan. Kedua pasangan suami istri itu sempat hendak mengajukan keberatan dan pertanyaan, namun Om Gunawan dengan cepat mengangguk setuju.
Aku berjalan dibelakang Ibu. Selasar yang saat kami datang masih ramai kini sudah mulai sepi. Tampak para penjaga keamanan berkeliling untuk mengingatkan pengunjung bahwa jam berkunjung sudah habis dan saatnya bagi pasien untuk kembali beristirahat.
Pak Hadi tampak bergegas masuk ke dalam mobil setelah melihat diriku dan ibu keluar dari lobby utama rumah sakit. Mobil putih kembali membawaku dan ibu menyusuri jalan untuk pulang.
"Pulang sekolah kalau kamu sempat dan tidak sedang ada latihan basket mampirlah ke rumah sakit," tutur ibu setengah memerintah. Tanpa dimintapun aku memang akan menjenguk Hira di rumah sakit, gumamku dalam hati.
"Iya, Bu," kujawab perintah ibu singkat, dan aku kembali larut dalam anganku sendiri sembari memandang keluar jendela mobil, menikmati cahaya-cahaya yang berebut menerangi jalan.
Selamat beristirahat, Hira.
Semoga esok senyummu kembali menghias wajahmu seperti sediakala, doaku dalam hati.
Empat hari sudah berlalu. Keadaan Hira semakin membaik. Om Gunawan bercerita Hira sempat menanyakan penolongnya, namun karena kesepakatan yang sudah dibuat, maka mereka merahasiakan identitasku, dan mengatakan bahwa yang menolong saat ia pingsan adalah teman baik papa yang saat itu kebetulan sedang melintas di jalan yang dilalui Hira. Aku sendiri tidak bisa menengok Hira setiap hari. Aku hanya bisa menengok Hira pada dua hari setelah malam saat aku menengoknya bersama ibu. Hari ketiga, aku latihan basket selama 2 hari berturut-turut dan saat ini aku sedang mempersiapkan diri bersama tim untuk mengikuti lomba matematika tingkat provinsi. Aku mengetahui perkembangan kesehatan Hira dari ibu yang menelpon atau terkadang ditelpon Om Gunawan. Besok Hira sudah bisa pulang, tapi belum diperbolehkan masuk sekolah. Paling tidak ia masih melanjutkan istirahat di rumah selama dua hari baru ia bisa kembali bersekolah. Aku saat ini sedang menjalani masa k
Ibu mengantarku ke sekolah pagi ini. Hari ini aku akan berangkat mengikuti lomba matematika selama dua hari. Ibu memelukku erat sambil mengusap-usap lembut punggungku. Agak lama beliau memelukku, mungkin sambil merapal doa untukku. "Jangan lupa berdoa. Serahkan semua pada yang diatas. Ibu hanya ingin kamu pulang ke rumah dengan selamat," ucap Ibu. Dikecupnya dengan sayang keningku, dan kedua pipiku layaknya seorang bayi. Aku memang akan selalu menjadi bayi di mata dan hatinya. Bayi yang mulai tumbuh menjadi remaja labil, hehehe, kekehku dalam hati. Aku berjalan masuk ke ruang aula yang berada sebelum gedung tempat kelasku berada. Aku melangkah masuk dan menaruh tas ransel di atas meja yamg biasanya digunakan untuk menerima tamu. Aku memasang head set dan mulai memutar lagu kesayanganku, menunggu kedatangan guru dan teman-temanku yang lain. Tidak lama menunggu, satu per satu teman se-timku mulai berdatangan. Tim matematika yang dikirim
Hira masih sibuk memilih jajan yang akan ia bawa untuk bekal di sekolahnya besok. Sesaat sebelumnya ia memilih buku gambar yang terletak di etalase tempat ku duduk di belakangnya. Ia terus melihat ke arah etalase. Aku sempat terkejut karena ia menatap ke arah etalase sambil menyunggingkan senyum manisnya. Kukira ia mengetahui keberadaanku. Ternyata, aku salah. Senyum yang menghias wajahnya itu dikarenakan gambar sampul buku gambar yang ada di etalase adalah gambar kesukaannya. Snow White. Aku terkekeh dalam hati, menertawakan ke-pede-an ku yang kebablasan. Aku menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah yang sedikit tergesa karena kuatir Hira akan mengetahui keberadaanku di toko. Di dalam ketergesaanku, aku teringat akan oleh-oleh yang aku belikan untuk Hira kemarin. Beruntung saat ini Hira sedang berbelanja di toko ibu, aku segera berlari mengambil bungkusan kecil itu yang masih berada di dalam tas ranselku. Aku
Kata-kata ibu barusan tidak bisa kumengerti sepenuhnya. Apa maksudnya saatnya aku kembali mengenal siapa diriku sebenarnya? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pria blasteran di hadapanku hanya duduk diam seribu bahasa. Raut wajahnya angkuh dan dingin. Rahangnya seperti dipahat menjadi bentuk paling kaku yang pernah aku temui. Aku terus menelusuri semua yang ada pada dirinya. Wajah blasteran, bentuk wajah kaku, aura dingin dari dirinya berusaha mengintimidasiku. Jas yang ia pakai tampak bukan sembarang jas. Sangat jelas terlihat bila itu buatan penjahit profesional. Lama ku berdiam diri. Bermain dengan pikiran dan imajinasiku sendiri tentang pria dingin yang ada di depanku. Kupikir, dengan diamku yang begitu lama, ia akan mengajukan keberatan dan memecah kesunyian diantara kami dengan perintah atau petuah khas seorang asisten yang mengingatkan tuannya akan jadwal atau kegiatan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Asisten? Sebut saja pria yang bernama Erick
Tanpa terasa, setahun telah berlalu. Aku tetap berangkat sekolah seperti biasa, hanya saja kini aku diantar dan dijemput oleh Erick, asisten pribadiku. Latihan basketpun berjalan seperti biasanya, namun pada akhirnya, aku pun harus mengundurkan diri dari tim. Aku tidak lagi mengayuh sepeda sehingga tidak lagi bisa mengawasi Hira dari kejauhan, seperti yang biasa aku lakukan dulu. Kini, aku mengawasinya dari balik jendela mobil yang mengantar dan menjemputku. Ketika Hira sudah dijemput atau sudah tiba di rumahnya, barulah aku akan meminta Erick untuk melesat meninggalkan tempat itu Erick terus memberiku berbagai macam hal yang baru untukku. Aku tidak mengerti. Namun, aku mencoba memahami semampu yang aku bisa. Perlombaan basket yang seharusnya kuikuti, kubatalkan. Untuk sementara, aku mengundurkan diri dari tim. Keinginan untuk mengetahui kejadian sebenarnya yang menimpa ayah, membuatku menghentikan semua kegiatan yang biasa aku lakukan. Tapi, khusus untuk Hira, a
Aku masih duduk di ruang tunggu tepat di depan ruang ICU, ruang dimana Ivan sedang mendapat penanganan serius. Roy, salah satu kaki kananku yang membawa Ivan ke rumah sakit ini, duduk di sampingku dan melaporkan kondisi Ivan saat ditemukan dan dibawa ke rumah sakit. Ivan mengalami 2 luka tusukan di bagian perut, kaki kanan patah, pelipis sobek, dan sedikit pendarahan di hidung. Kuremas kesal botol air mineral yang ada dalam genggaman tanganku, mendengar laporan dari Roy. Dasar bajingan-bajingan tak berguna! Umpatku kesal. Untung aku memilih melewati jalan yang merupakan tembusan dari jalan pintas itu, lokasi penganiayaanku dulu. Kalau tidak, entah apa yang terjadi dengan Ivan. Melihat kondisinya dari jauh saat aku masih berada di dalam mobil, Ivan sudah terlihat kepayahan. Kulirik jam tanganku, jam 9. Aku beranjak berdiri dan melambaikan tanganku ke Andrew, yang baru saja datang, meminta ia untuk datang mendekat. "Erick, cari tahu identitas
Aku berjalan mengikuti Erick yang berjalan di depanku, sedangkan Andrew dan Roy mengiringiku dari belakang. Menggunakan lift, aku turun ke lantai 1, ingin mengetahui kondisi terakhir para preman-preman itu. Aku melihat satu ruangan yang dijaga orang-orangku. Bukan karena mereka termasuk orang-orang penting tapi lebih karena mereka adalah saksi kunci yang aku perlukan untuk menyelidiki jaringan mereka berhulu kemana. Terutama yang memiliki tato pegasus di punggungnya. Keberadaannya sungguh menarik perhatianku. Orangtuanya dulu sangat dekat dengan mendiang ayah, setahuku, mereka termasuk salah satu keluarga terpandang yang sangat terkenal dengan gaya hidup mereka yang glamour. Tapi itu seingatku. Hal yang sebenarnya, aku tidak tahu. Aku melangkahkan kakiku memasuki ruangan tempat mereka dirawat. Ada yang sedang tidur, yang tiduran dan ada juga yang sadar. Yang terakhir ini, adalah ketuanya. Ia yang memberi aba-aba untuk memukuli, menenda
Aku menghempaskan diriku di kursi penumpang, setelah Erick berhasil meminta bantuan polisi untuk menghadang mobil penculik Hira. Beni mengikuti petunjuk Erick untuk mengantarkanku ke kantor polisi tersebut. Kuhela nafas panjang. Pikiranku sungguh kacau. Memikirkan Ivan yang masih terbaring koma di rumah sakit, dan kini Hira menjadi korban penculikan. Aku tak habis pikir. Semua ini terjadi saat aku kebetulan berada di sekitar tempat kejadian. Andai aku tidak berada di sana, apa yang terjadi pada Ivan dan Hira? Aku kemudian mengirim pesan kepada Erick untuk menelpon keluarga Hira tentang kejadian ini. Aku sudah berjanji pada ibu, tidak akan menunjukkan keberadaanku pada orang-orang di lingkunganku yang lalu. Aku telah berjanji kepada ibu, untuk menghilang sementara waktu. Aku yang sekarang berbeda dengan aku yang dulu. Dulu aku begitu mudah menyerah. Aku sangat lemah, tidak percaya diri, lebih memilih diam da
Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t
"What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest
Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?
Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b
Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa
Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb
Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan
"Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal
Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag