Share

Dari Jauh

last update Last Updated: 2021-03-17 21:21:52

Empat  hari sudah berlalu. Keadaan Hira semakin membaik. Om Gunawan bercerita  Hira sempat menanyakan penolongnya, namun karena kesepakatan yang sudah dibuat, maka mereka merahasiakan identitasku, dan mengatakan bahwa yang menolong saat ia pingsan adalah teman baik papa yang saat itu kebetulan sedang melintas di jalan yang dilalui Hira.

Aku sendiri tidak bisa menengok Hira setiap hari. Aku hanya bisa menengok Hira pada dua hari setelah malam saat aku menengoknya bersama ibu. Hari ketiga, aku  latihan basket selama 2 hari berturut-turut dan saat ini aku sedang mempersiapkan diri bersama tim untuk mengikuti lomba matematika tingkat provinsi. Aku mengetahui perkembangan kesehatan Hira dari ibu yang menelpon atau terkadang ditelpon Om Gunawan.

Besok Hira sudah bisa pulang, tapi belum diperbolehkan masuk sekolah. Paling tidak ia masih melanjutkan istirahat di rumah selama dua hari baru ia bisa kembali bersekolah.

Aku saat ini sedang menjalani masa karantina sebelum lusa berangkat ke ibukota untuk mengikuti lomba matematika baik individu maupun tim. Dan hari ini adalah hari terakhirku. Ibu hanya membekaliku dengan doa semoga aku bisa mengikuti lomba dengan baik. Doa ibu adalah bekal yang terbaik dan pasti mujarab selain usaha yang sudah aku lakukan sebelum-sebelumnya. Menang atau kalah, itu urusan Yang Diatas.  

Aku dan tim terus digembleng dengan berpuluh-puluh soal-soal matematika dalam berbagai model pertanyaan dan ditarget harus bisa menyelesaikan soal dalam waktu kurang dari satu menit. 

Tepat pukul 15.00, masa karantina selesai, dan kami diperbolehkan pulang untuk beristirahat sehari di rumah. Beristirahat tanpa perlu membuka-buka buku dan mengerjakan soal-soal lagi. Istirahat total. Terserah kami ingin melakukan apa, yang terpenting tidak melakukan kegiatan ekstrem dan lebih kepada kegiatan yang menenangkan dan menyenangkan.    

Kukayuh sepedaku pelan. Melintasi jalan mulus menuju rumahku. Kunikmati semilir angin sore yang berhembus pelan menyejukkan, menghapus keringat dikeningku. Headset yang menempel di telingaku  memperdengarkan lagu oldies yang tidak lengkang tergerus jaman. 

Penjual cilot langgananku masih mangkal didepan sekolah Hira. Kubelokkan sepedaku tepat didepan gerobak Bang Jamil. Bang Jamil yang saat itu baru saja selesai melayani pembeli langsung menyapaku begitu melihatku.

"Lama nggak mampir, Den?" tanyanya ramah sambil mengambil plastik kemasan bakso untuk membungkus pesananku.

"Iya Bang, lagi sibuk. Biasa ya Bang, 10 ribuan satu aja sama 5 ribuan untuk ibu satu. Saos kacang satu, kuah bakso satu," ujarku detil. 

"Siap, Den!" jawab Bang Jamil langsung membungkuskan pesanan yang kusebutkan tadi.

"Ibu gimana kabarnya?" tanyanya sambil mengikat pesanan yang sudah jadi.

"Alhamdulillah baik, Bang. Ini juga titipan ibu. Ibu sih belum bisa tidur kalau belum makan cilotnya Bang Jamil," ucapku menggoda Bang Jamil. Bang Jamil tertawa senang. 

Aku tidak terlalu suka mengobrol dengan sembarang orang. Bukan juga seseorang yang sok akrab dengan orang yang baru kutemui atau orang yang baru kukenal. Akrabnya aku dengan sosok Bang Jamil karena ia pun sama sepertiku, tidak banyak bicara dan hanya bisa ngobrol atau cerita banyak dengan orang tertentu saja. 

Sepuluh menit kemudian pesananku selesai dan aku kembali mengayuh sepedaku pulang. Dan kali ini, kayuhanku kupercepat karena aku ingin segera menikmati cilot Bang Jamil.

Kalian pasti kenal kan dengan cilot atau cilok. Ada banyak sebutan untuk cilot. Ada yang menyebutnya dengan bakso kojek karena penyajiannya pakai tusuk sate atau bakso tetot karena yang jual membunyikan sebuah alat yang bila dipencet akan mengeluarkan suara tetot-tetot-tetot.

Nah, cilot yang dijual aBng Jamil ini komplit pilihan kuahnya. Tersedia saos kacang bumbu sate, kuah kaldu ala kuah bakso, dan saos sambal. Ketiganya pun punya rasa yang lain dari yang lain. Mantab pokoknya. 

Karena kayuhan sepeda kupercepat dalam sekejap aku sudah sampai di depan rumah dan segera aku membawa masuk sepedaku dan memarkirkan ditempat biasanya.

Kulihat ibu baru saja menutup toko. Kusapa dan kusalami tangan kanannya, lalu mengajaknya menikmati cilot yang baru saja kubeli, setelah  mencuci tangan dan kakiku lebih dulu. Ibu menatapku sumringah. Tuh kan, kalau sudah melihat cilot Bang Jamil, ibu pasti langsung mapan duduk di meja makan. Aku bergegas ke dapur mengambilkan mangkok untuk menaruh cilot dan dua sendok untuk menyantapnya.

"Satya, Hira hari ini pulang," ucap ibu sambil menikmati satu sendok cilot yang sudah dicampur dengan saus kacang.

"Hari ini? Katanya besok bu?" tanyaku menatap Ibu. 

"Hira minta pulang karena sudah tidak betah di rumah sakit. Pengen istirahat di rumah saja," terang ibu.

Aku mengangguk.

"Kamu tidak ingin menjenguk Hira di rumahnya?" tanya beliau menatapku.

"Nggak, Bu. Satya ingin tidur. Capek," sahutku pelan sambil terus menikmati cilot di mangkokku yang kini tinggal setengah. Aku merem melek menikmati saos kacang Bang Jamil. Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, lalu beranjak berdiri meninggalkan aku yang masih asyik mengunyah cilot Bang Jamil.

Aku memberikan mangkok-mangkok dan sendok kotor kepada Bik Sum yang sedang sibuk mencuci piring di dapur. Mulai merasa gerah, aku ingin segera membasuh badanku. Aku kemudian berjalan menuju kamarku untuk mengambil baju ganti lalu berjalan masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku. 

Samar aku mendengar langkah kaki di depan kamarku. Aku baru saja keluar dari kamar mandi.  Benar saja, terdengar suara ketukan di depan pintu kamarku

"Sat... Satya," kudengar suara ibu memanggil namaku.

Segera kubukakan pintu kamarku. Tampak olehku ibu sudah rapi dan sudah menenteng sesuatu di tangan kanannya.

"Ibu mau menengok Hira, kamu bisa antarkan Ibu?" tanya ibu meminta tolong.

Rasanya aku ingin segera merebahkan badanku, tapi karena permintaan datang dari perempuan yang sangat aku sayangi, tidak ada kata terucap melainkan anggukan mengabulkan permintaannya. 

"Ibu tunggu kamu di teras ya..." ujar ibu melangkah meninggalkan kamarku. Aku segera mengambil kaos t-shirt dengan model kerah V-neck berwarna merah maruh dan celana chino berwarna coklat muda. Aku menyisir rambut ku yang cepak dengan menggunakan jari-jari tanganku yang sebelumnya sudah kulumuri dengan pomade. 

Aku kemudian mengeluarkan motor metikku dan mulai men-starternya. Ibu bangun dari duduknya dan berjalan ke arahku. Tidak sampai 10 menit, kami sudah sampa di depan rumah Hira yang mewah. Ibu menekan bel rumah dua kali. Lalu tampak satpam rumah membukakan pintu gerbang rumah dan mengantarkan kami masuk ke dalam.

Dari arah teras terdengar suara imut Hira yang sedang asyik bercerita dengan mamanya. Ïbu mengucap salam dan tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah.

"Waalaikumsalam," terdengar suara bariton khas Om Gunawan. Lalu sosok tampan itu muncul di pintu rumah yang sudah terbuka dari tadi.

"Ada tamu kakak ganteng nih,Hira," ujar Om Gunawan menyambut kedatanganku dan ibu. Hira langsung beranjak dari sofa tempat ia tiduran sebelumnya.

"Halo, Tante.." sapanya sambil menyalimi tangan ibu. Aku yang berdiri dibelakang ibu hanya ia pandangi saja dengan senyum mengembang diwajahnya. 

Deg. Aku terpesona melihat senyum manisnya. Aku sejenak terpaku tanpa menghiraukan sekelilingku.

Menit berikutnya tatapanku berubah menjadi sendu. Teringat lusa aku akan berangkat ke ibukota mengikuti lomba selama tiga hari, yang artinya aku tidak akan bisa mengawasinya dari jauh seperti biasanya.

Related chapters

  • The Secret Admire's Love   Ketahuan

    Ibu mengantarku ke sekolah pagi ini. Hari ini aku akan berangkat mengikuti lomba matematika selama dua hari. Ibu memelukku erat sambil mengusap-usap lembut punggungku. Agak lama beliau memelukku, mungkin sambil merapal doa untukku. "Jangan lupa berdoa. Serahkan semua pada yang diatas. Ibu hanya ingin kamu pulang ke rumah dengan selamat," ucap Ibu. Dikecupnya dengan sayang keningku, dan kedua pipiku layaknya seorang bayi. Aku memang akan selalu menjadi bayi di mata dan hatinya. Bayi yang mulai tumbuh menjadi remaja labil, hehehe, kekehku dalam hati. Aku berjalan masuk ke ruang aula yang berada sebelum gedung tempat kelasku berada. Aku melangkah masuk dan menaruh tas ransel di atas meja yamg biasanya digunakan untuk menerima tamu. Aku memasang head set dan mulai memutar lagu kesayanganku, menunggu kedatangan guru dan teman-temanku yang lain. Tidak lama menunggu, satu per satu teman se-timku mulai berdatangan. Tim matematika yang dikirim

    Last Updated : 2021-03-18
  • The Secret Admire's Love   Erick

    Hira masih sibuk memilih jajan yang akan ia bawa untuk bekal di sekolahnya besok. Sesaat sebelumnya ia memilih buku gambar yang terletak di etalase tempat ku duduk di belakangnya. Ia terus melihat ke arah etalase. Aku sempat terkejut karena ia menatap ke arah etalase sambil menyunggingkan senyum manisnya. Kukira ia mengetahui keberadaanku. Ternyata, aku salah. Senyum yang menghias wajahnya itu dikarenakan gambar sampul buku gambar yang ada di etalase adalah gambar kesukaannya. Snow White. Aku terkekeh dalam hati, menertawakan ke-pede-an ku yang kebablasan. Aku menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah yang sedikit tergesa karena kuatir Hira akan mengetahui keberadaanku di toko. Di dalam ketergesaanku, aku teringat akan oleh-oleh yang aku belikan untuk Hira kemarin. Beruntung saat ini Hira sedang berbelanja di toko ibu, aku segera berlari mengambil bungkusan kecil itu yang masih berada di dalam tas ranselku. Aku

    Last Updated : 2021-03-19
  • The Secret Admire's Love   Mengikuti Erick

    Kata-kata ibu barusan tidak bisa kumengerti sepenuhnya. Apa maksudnya saatnya aku kembali mengenal siapa diriku sebenarnya? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Pria blasteran di hadapanku hanya duduk diam seribu bahasa. Raut wajahnya angkuh dan dingin. Rahangnya seperti dipahat menjadi bentuk paling kaku yang pernah aku temui. Aku terus menelusuri semua yang ada pada dirinya. Wajah blasteran, bentuk wajah kaku, aura dingin dari dirinya berusaha mengintimidasiku. Jas yang ia pakai tampak bukan sembarang jas. Sangat jelas terlihat bila itu buatan penjahit profesional. Lama ku berdiam diri. Bermain dengan pikiran dan imajinasiku sendiri tentang pria dingin yang ada di depanku. Kupikir, dengan diamku yang begitu lama, ia akan mengajukan keberatan dan memecah kesunyian diantara kami dengan perintah atau petuah khas seorang asisten yang mengingatkan tuannya akan jadwal atau kegiatan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Asisten? Sebut saja pria yang bernama Erick

    Last Updated : 2021-03-21
  • The Secret Admire's Love   Ingat Aku

    Tanpa terasa, setahun telah berlalu. Aku tetap berangkat sekolah seperti biasa, hanya saja kini aku diantar dan dijemput oleh Erick, asisten pribadiku. Latihan basketpun berjalan seperti biasanya, namun pada akhirnya, aku pun harus mengundurkan diri dari tim. Aku tidak lagi mengayuh sepeda sehingga tidak lagi bisa mengawasi Hira dari kejauhan, seperti yang biasa aku lakukan dulu. Kini, aku mengawasinya dari balik jendela mobil yang mengantar dan menjemputku. Ketika Hira sudah dijemput atau sudah tiba di rumahnya, barulah aku akan meminta Erick untuk melesat meninggalkan tempat itu Erick terus memberiku berbagai macam hal yang baru untukku. Aku tidak mengerti. Namun, aku mencoba memahami semampu yang aku bisa. Perlombaan basket yang seharusnya kuikuti, kubatalkan. Untuk sementara, aku mengundurkan diri dari tim. Keinginan untuk mengetahui kejadian sebenarnya yang menimpa ayah, membuatku menghentikan semua kegiatan yang biasa aku lakukan. Tapi, khusus untuk Hira, a

    Last Updated : 2021-03-22
  • The Secret Admire's Love   Ivan

    Aku masih duduk di ruang tunggu tepat di depan ruang ICU, ruang dimana Ivan sedang mendapat penanganan serius. Roy, salah satu kaki kananku yang membawa Ivan ke rumah sakit ini, duduk di sampingku dan melaporkan kondisi Ivan saat ditemukan dan dibawa ke rumah sakit. Ivan mengalami 2 luka tusukan di bagian perut, kaki kanan patah, pelipis sobek, dan sedikit pendarahan di hidung. Kuremas kesal botol air mineral yang ada dalam genggaman tanganku, mendengar laporan dari Roy. Dasar bajingan-bajingan tak berguna! Umpatku kesal. Untung aku memilih melewati jalan yang merupakan tembusan dari jalan pintas itu, lokasi penganiayaanku dulu. Kalau tidak, entah apa yang terjadi dengan Ivan. Melihat kondisinya dari jauh saat aku masih berada di dalam mobil, Ivan sudah terlihat kepayahan. Kulirik jam tanganku, jam 9. Aku beranjak berdiri dan melambaikan tanganku ke Andrew, yang baru saja datang, meminta ia untuk datang mendekat. "Erick, cari tahu identitas

    Last Updated : 2021-03-23
  • The Secret Admire's Love   Target

    Aku berjalan mengikuti Erick yang berjalan di depanku, sedangkan Andrew dan Roy mengiringiku dari belakang. Menggunakan lift, aku turun ke lantai 1, ingin mengetahui kondisi terakhir para preman-preman itu. Aku melihat satu ruangan yang dijaga orang-orangku. Bukan karena mereka termasuk orang-orang penting tapi lebih karena mereka adalah saksi kunci yang aku perlukan untuk menyelidiki jaringan mereka berhulu kemana. Terutama yang memiliki tato pegasus di punggungnya. Keberadaannya sungguh menarik perhatianku. Orangtuanya dulu sangat dekat dengan mendiang ayah, setahuku, mereka termasuk salah satu keluarga terpandang yang sangat terkenal dengan gaya hidup mereka yang glamour. Tapi itu seingatku. Hal yang sebenarnya, aku tidak tahu. Aku melangkahkan kakiku memasuki ruangan tempat mereka dirawat. Ada yang sedang tidur, yang tiduran dan ada juga yang sadar. Yang terakhir ini, adalah ketuanya. Ia yang memberi aba-aba untuk memukuli, menenda

    Last Updated : 2021-03-24
  • The Secret Admire's Love   Target 2

    Aku menghempaskan diriku di kursi penumpang, setelah Erick berhasil meminta bantuan polisi untuk menghadang mobil penculik Hira. Beni mengikuti petunjuk Erick untuk mengantarkanku ke kantor polisi tersebut. Kuhela nafas panjang. Pikiranku sungguh kacau. Memikirkan Ivan yang masih terbaring koma di rumah sakit, dan kini Hira menjadi korban penculikan. Aku tak habis pikir. Semua ini terjadi saat aku kebetulan berada di sekitar tempat kejadian. Andai aku tidak berada di sana, apa yang terjadi pada Ivan dan Hira? Aku kemudian mengirim pesan kepada Erick untuk menelpon keluarga Hira tentang kejadian ini. Aku sudah berjanji pada ibu, tidak akan menunjukkan keberadaanku pada orang-orang di lingkunganku yang lalu. Aku telah berjanji kepada ibu, untuk menghilang sementara waktu. Aku yang sekarang berbeda dengan aku yang dulu. Dulu aku begitu mudah menyerah. Aku sangat lemah, tidak percaya diri, lebih memilih diam da

    Last Updated : 2021-03-25
  • The Secret Admire's Love   Target Utama

    Beberapa hari setelah aku mengikuti Erick, ia menceritakan bagaimana usaha ayahku dulu dalam memulai bisnisnya. Ayah memulai bisnisnya dengan berjualan di pinggir jalan selama 4 bulan. Tiap hari barang yanga dijual ayah berganti-ganti. Kadang pakaian, sepatu dan sandal, aneka perhiasan imitasi, tas dan lain sebagainya. Seiring waktu berjalan, ada seseorang yang menitipkan pakaian hasil produksinya untuk dijualkan ayah, sehingga ayah membuat gerobak yang bisa untuk menaruh dagangannya. Lambat laun usaha ayah semakin lancar. Ayah memberanikan diri untuk menyewa sebuah tempat untuk dijadikan toko guna memajang lebih banyak pakaian untuk dijual, karena nama Ayah semakin dikenal oleh produsen baju sebagai tempat menitip dagangan yang amanah. Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga bulan berganti tahun, hidup ayah dan ibu mulai mengalami perubahan. Dua tahun kemudian, hadirlah aku menjadi pelengkap kebahagian ayah dan ibu. Aku menjadi penyemangat ayah u

    Last Updated : 2021-03-27

Latest chapter

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 2 (End)

    Aku melangkah ke luar dari ruang kerjaku setelah hampir satu jam tertidur di atas kursi. Kepalaku terasa seperti dipukul puluhan kayu. Berjalan ke meja makan dan menuangkan segelas air putih ke dalam gelas yang memang selalu tersedia di atas meja. Aku meneguk perlahan air di dalam gelas setelah mendudukkan tubuhku di kursi makan. "Kamu kenapa, Sat?" Suara ibu tiba-tiba terdengar di belakangku. Aku mendongakkan kepalaku menghadap beliau yang kini sudah berdiri tepat di sampingku. "Sedikit pusing, Bu. Tadi agak terburu-buru bangun dari tidur." "Kamu tidur di kursi kerjamu?" "Iya, Bu. Ketiduran." "Nah, itu salah posisi tidurnya. Sekalian Ibu kerokin saja ya... Biar nggak jadi penyakit. Paling kamu kemarin juga masuk angin, tapi tidak kamu rasakan." ujar ibu berjalan ke lemari di dekat meja makan, membuka laci dan mengambil minyak gosok yang beraroma cengkeh. "Aduh, Bu. Pakai minyak yang lain saja, ya? Badan Satya t

  • The Secret Admire's Love   End of The Journey 1

    "What are you doing here?" tanyaku pada Richard yang sedang berdiri mengantar kepergian aparat yang satu persatu beranjak meninggalkan halaman kastilku. Pria itu membalikkan badannya, berjalan melewatiku dengan senyumnya yang penuh misteri. "I just wanna help you." Kata-kata yang diucapkannya membuatku curiga. "Instead you already have to go to the airport, right? Why are you still here?" Aku terus membuntutinya hingga langkah kakinya berhenti tepat di samping brankar Om Johan. Aunty Jenny menatap kehadiran Richard dengan tatapan penuh waspada. "Hello, Mr. Johan and Madam... Please cooperate by providing the information that you know regarding this murder case. I will try to get both of you reduced prison time," suara dalam Richard menyapa Om Johan dan Aunty Jenny. Pasangan suami istri itu memandang satu sama lain. "Do you mean we will also be arrested?" tanya Aunty Jenny dengan suara gugup. "Yes, Madam. Your arrest

  • The Secret Admire's Love   The Truth

    Semua orang di ruang tamu terdiam mendengar perkataanku. Oom Johan pun menunduk diam, sedangkan Jenny istri oom Johan mulai gelisah, sebentar-sebentar merubah posisi berdirinya. "No one knows about him?" tanyaku sekali lagi, menatap tidak percaya ke semua orang yang tengah menundukkan kepala mereka. "Wow! He must be very genius, doing all the crime without anyone help." Aku bertepuk tangan sendiri hingga menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Mereka tetap menunduk diam. Tidak ada lagi suara yang berusaha memancing keributan di kastilku, Beni membisikkan sesuatu, dan aku mengangguk setuju. Rony yang berada tepat di samping Beni, berjalan meninggalkan ruang tamu setelah menerima bisikan dari Beni. Aku menghela nafasku. Aku benar-benar harus memutar otak untuk mengungkap dalang sesungguhnya. Bukan untuk membalas dendam, hanya saja aku ingin tahu alasan apa yang membuat mereka tega merencanakan pembunuhan terhadap Ayah?

  • The Secret Admire's Love   Tell Me The Truth

    Pelukan dari perempuan yang aku panggil aunty itu begitu erat hingga membuat nafasku sesak. Pelukan itu berakhir setelah aku terbatuk, berusaha mencari udara. "Ohhooohooo... I'm sorry, Sweetie... " Ia melepaskan pelukan eratnya dari tubuhku. "Never mind, Aunty...." aku menggantungkan kalimatku, menanyakan namanya, sambil sesekali terbatuk. "I think you must have forgotten me...I am your aunty, Elizabeth, but just call me Betty." Ia berjalan mencari kursi yang ukurannya bisa menampung badan gendutnya. "I see." Aku mempersilahkan semua orang bule itu masuk. Tampak seorang perempuan dengan rambut pirang yang bergelombang masuk di urutan terakhir dengan gaya angkuhnya. Aku menebak dia pastilah perempuan yang dimaksud Richard. Ia tidak sudi menerima salamku dan membiarkan tangan kananku mengambang di udara untuk sesaat. Dengan sedikit rasa dongkol, aku menurunkan kembali tanganku dan duduk di kursi yang di belakangnya sudah b

  • The Secret Admire's Love   Here They Are

    Teleconference yang kujadwalkan bersama Erick kemarin berlangsung cukup lama. Begitu banyak pertanyaan yang mereka lontarkan sehingga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Untungnya, hasil yang kudapat tidaklah sia-sia. Hampir sebagian besar mereka memilih untuk ikut bersamaku, mengembangkan perusahaan yang baru saja aku rintis satu tahun yang lalu. Aku sangat puas. Paling tidak harga mahal yang harus kubayarkan tidak akan sia-sia karena aku pun mendapat ganti yang lebih bernilai bahkan dapat berlipat di tahun-tahun yang akan datang. Jarum jam di ruang kerjaku menunjukkan jam sebelas lebih dua puluh menit. Aku mengistirahatkan mataku sejenak dengan berjalan ke taman samping rumah sembari melempar sedikit pakan untuk koleksi ikan koi ku. Ketukan di jendela dekat kursi membuatku menghentikan kegiatanku. Beni melangkah mendekat, mengingatkanku untuk menjenguk paman sekaligus sepupu jauhku. Aku mengangguk. Sebenarnya aku agak malas namun sekali lagi hanya alasa

  • The Secret Admire's Love   A Tough Decision

    Empat jam berlalu. Aku yang masih terbaring, mulai mengerjapkan mataku setelah berhasil terlelap. Dua jam, waktu yang cukup untuk memulihkan dan mencukupkan istirahatku dengan jarum infus yang masih terpasang di tanganku, yang mulai menetes lambat. Aku mulai bangun dari tidurku dan duduk bersandar di kasurku, mengumpulkan kesadaran yang belum begitu seratus persen terkumpul. Suara jarum jam seakan mengikuti irama detak jantungku. Pikiranku melayang ke ruang operasi Harun. Bagaimana operasinya? Berjalan lancarkah? Aku memainkan ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamanku. Pikiranku bercabang, antara kamar operasi dan laporan dari Erick. Ya, Aku menantikan laporan dari Erick yang sejak kemarin sore sudah berangkat ke London, melakukan permintaanku, membawa pulang semua karyawan yang terpilih dan yang memilih untuk tetap bersama denganku. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin memberikan apa yang mereka mau, perusahaan, tapi tidak diikuti dengan sumb

  • The Secret Admire's Love   Deep Condolences

    Selama satu hari penuh, aku berdiam diri di kamarku, mengembalikan kesehatanku yang menurun beberapa hari yang lalu. Masa kritisku sudah berhasil kulalui. Sekarang masa penyembuhan yang harus aku manfaatkan semaksimal mungkin dengan meminum habis semua resep Harun yang diberikan padaku, termasuk di dalamnya larangan agar aku beristirahat total tanpa melakukan aktifitas apapun, bahkan hanya sekedar membalas pesan saja. Pekerjaanku hanya tidur, makan, dan rebahan. Bagi sebagian orang mungkin ini menyenangkan tapi bagiku ini sungguh menyiksa lahir batin. Aku tidak bisa ke mana-mana dan melakukan hal yang aku suka, meski hanya berjalan ke taman menghirup udara pagi yang bebas polusi. Ketukan di pintu kamarku dan langkah kaki yang tegas datang menghampiriku. "Apa yang kau rasakan sekarang?" Harun mendekat dan menyentuh keningku, lalu menganggukkan kepalanya. "Lumayan, sudah mulai bertenaga," jawabku hendak duduk bersandar pada headboard kasurku. "Jan

  • The Secret Admire's Love   Sakit

    "Kau tidak takut jika suatu saat nanti aku menikungmu?" tanya Richard menatap netraku lekat. Aku mengulas senyumku dan dengan tenang aku membalik pertanyaannya. "Apakah kau berniat menikungku?" Richard terdiam. "I'm not. Why should I do that? You are like a brother to me." Richard menjawab tegas. "So, Why should I worry if one day you will play behind my back?" ujarku sambil tersenyum ke arah Richard. Aku segera menghubungi Harun agar segera mengirimkan berkas yang harus ditandatangani Richard. Sambil menunggu berkas dari Harun, aku dan Richard membahas tempat tinggal sementara untuk Hira, sekaligus kemunginan terburuk yang akan terjadi termasuk penolakan dari Hira. Denting ponsel terdengar membuatku menghentikan diskusi kami sesaat. "Kau buka emailmu, aku sudah mengirimkan semua persyaratan dan berkas yang harus ditandatangani Richard, sedang kelengkapan data bisa menyusul kemudian. Segera kirim balik berkas itu. Nanti mal

  • The Secret Admire's Love   Menikungmu

    Aku terdiam mendengar perkataan Ivan yang menggebu-gebu, yang justru terlihat begitu mendendam dibandingkan aku. Ivan mendengus kesal melihatku yang hanya terdiam mendengarkan perkataannya. "Yang kulakukan hanya sebatas rasa kemanusiaan, tidak lebih. Untuk rasa dendam, tentu aku menyimpan dendam, yang tidak perlu kukatakan kepada siapapun tapi cukup dipahami bagi mereka yang mengenal diriku. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan catatan hidupku dengan melakukan hal yang sama seperti mereka. Jika aku melakukan kekerasan seperti yang mereka lakukan terhadapku dan orang-orang terdekatku, lalu apa bedanya aku dengan mereka? Aku tidak mau menjadi manusia brengsek, yang bisanya mengancam dan merampas yang bukan hakku." Aku berhenti sejenak, mengatur nafas. "Akankah kau membenciku bila aku tidak melakukan seperti saranmu?" tanyaku lalu kembali mendatangi pemuda bertato itu. "Keluargamu, maksudku keluarga besarmu sebentar lag

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status